Terhitung sudah tiga hari Aya mendiamkan sang bunda. Bukan hanya Sinar yang didiamkannya tapi juga Bintang. Aya tidak pernah mengangkat ataupun membalas chat yang dikirimkan oleh sang papa kepadanya. Hatinya masih saja tidak bisa terima dengan sikap para orang tua di masa lalu. Mereka yang bermasalah, tapi anak yang terkena imbasnya seperti ini.
Aya merasa ada pergerakan di ranjang yang tengah ia tiduri. Tidak lama, satu tangan besar telah melingkar dan jatuh di atas perutnya. Mengusap lembut dengan gerakan naik turun seirama. Sepertinya, Yasa sudah selesai dengan semua pekerjaannya.
“Kamu lagi ada masalah sama bunda?” Yasa menyingkirkan surai ikal milik sang istri agar bisa lebih leluasa bersembunyi di ceruk lehernya.
“Biasa, ibu sama anak itu, kadang selisih paham. Entar juga baikan lagi.” namun, tatapannya menerawang lurus memikirkan nasib hidupnya yang seperti saat ini. Hanya ada pengandaian yang tercipta dibalik setiap kata.
Baik Astro dan diriny
Ponsel Aya yang berada di atas meja rias, berbunyi singkat. Yasa yang tengah sibuk mengancingkan kemejanya membalik tubuh. Menghampiri dengan cepat kemudian menoleh ke kiri dan ke kanan, bagai pencuri yang takut tertangkap tangan. Aya memang ada di luar kamar. Mengeluh perutnya sudah sangat lapar dan ingin sarapan lebih dahulu, ketika Yasa masih berada di dalam kamar mandi. Tapi, tetap saja, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat saat meraih ponsel sang istri lalu menyalakannya. Lagi-lagi, Yasa melihat notifikasi sebuah e-mail dari Astro. Apa mau pria itu sebenarnya? Yasa baru hendak membuka ponsel milik istrinya, namun diurungkan. Handle pintu kamarnya berbunyi dan terlihat mengayun ke bawah. Jantungnya berdegup riuh, meletakkan ponsel Aya dengan cepat kemudian segera berdiri di samping ranjang. Menghela cepat, membuang kegugupan yang mendera. Ia tidak ingin dianggap sebagai suami yang terlalu over posesive maupun protektif pada istrinya.
Seharusnya makan siang kali ini benar-benar menyenangkan, penuh dengan tawa dan kehangatan keluarga. Namun tidak demikian, hingga Rubypun menyadari ada yang salah dari keluarganya saat mereka semua duduk melingkari meja makan untuk berkumpul siang ini. Diantara semua anak cucunya yang datang, hanya Astro seorang yang bisa menunjukkan sikap santai di meja makan. Sisanya, terlihat diam dan hanya menanggapi hal seadanya, seperlunya. Ruby sengaja meminta asisten rumah tangganya untuk memasak sup iga karena ia tahu, kedua cucunya itu biasanya saling berebut jika menu masakan itu sudah tersaji meja. Bahkan dahulu kala, Astro dan Aya tidak jarang makan sepiring berdua dan saling suap untuk menghabiskan sup iga yang ada. “Aya, kamu itu lagi hamil, jangan malas-malasan gitu makannya.” Teguran yang dilontarkan oleh Ruby hanya disambut dengan senyum datar oleh sang cucu. Hati Aya cemas tidak terperi, memikirkan Yasa yang mendadak mendiamkannya. Ini memang bukanlah salah
Daisy yang baru keluar dari pintu setelah mengantarkan Aya ke dalam rumah, melihat Yasa. Pria itu tergesa keluar dan membanting pintu mobil dengan keras. Wajahnya tampak mengeras, jelas sekali terlihat guratan amarah pada maniknya. Buru-buru Daisy menghalanginya. Merentangkan kedua tangan untuk berbicara dengan suami Aya tersebut. Ia hanya ingin memberi Yasa sebuah pengertian dan tidak bebuat hal yang mampu menyakiti perasaan ibu hamil yang terkadang bisa sangat sensitif. Bagaimanapun juga, Daisy sudah menganggap Aya seperti anaknya sendiri, terlebih, ia tidak memiliki seorang anak perempuan dari Bintang. Oleh karena itu, rasa sayang yang diberikannya pada Aya pun sama saja, dengan kedua putranya, meski intensitasnya berbeda. “Mama mau bicara sebentar.” Bibir Yasa terbuka tipis, seolah hendak berdecak, tapi tidak ada satupun suara yang dikeluarkannya. Hanya diam ditempat dan menurut apa kata Daisy. Menghela panjang untuk sejenak. “Jangan terpancing de
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, namun Yasa belum juga menjejakkan kakinya di rumah, sejak pria itu meninggalkan Aya dengan tangisan siang tadi. Telepon yang dilayangkan olehnya pun tidak diangkat oleh Yasa. Aya tahu kalau suaminya tengah online pada salah satu aplikasi chat yang dimilikinya, tapi, pria itu tidak kunjung membuka rentetan pesan dari Aya. Dengan dada yang terhunus sesak, Aya memutuskan keluar dari kamar untuk menunggu suaminya di ruang tengah. Dan sungguh terkejut, Aya mendapati Yasa sudah duduk lelah dengan kepala menengadah menatap langit-langit, di sofa seorang diri. “Kamu sudah pulang?” tanya Aya menghampiri Yasa. Berdiri di hadapannya dengan wajah sedikit kesal. “Aku telpon dari tadi kenapa gak diangkat.” “Aku sibuk.” Yasa melongos, bangkit dan beranjak dari ruang tengah tanpa melihat wajah istrinya sama sekali. Entah mengapa, rasa sakit di hatinya masih saja tertinggal dan tidak mudah untuk dienyahkan. Giliran h
Yasa menarik napasdalam-dalam dan membuangnya dengan perlahan. Hari ini adalah hari ulang tahun istrinya dan seharusnya, kemarin mereka akan merayakannya di Bandung. Yasa sudah mengatur semua kejutan yang telah dirancangnya untuk sang istri, tapi semua batal. Rasa sakit karena telah dibohongi masih saja menggerogoti hatinya. Entah bagaimana nanti dirinya akan bersikap ketika makan malam keluarga. Tidak mungkin Yasa akan menghindar, dan kembali pulang larut, ketika Sinar sudah memintanya untuk pulang cepat. Merayakan ulang tahun Aya serta Asa dengan makan malam sederhana. Yasa membuka pintu mobilnya, melempar tas kerja begitu saja pada kursi penumpang di samping kemudi. Lagi-lagi, ia berangkat kerja lebih pagi, untuk menghindari berada satu meja makan untuk sarapan dengan keluarga. Rendra bahkan masih terlihat santai di dalam rumah, belum mengenakan seragam sekolahnya. Tepat ketika tubuhnya sudah duduk sempurna di belakang kemudi, ponselnya berdering singkat.
Langkah kakinya berjalan gontai. Memasuki koridor demi koridor tanpa arah tujuan. Sesekali terdengar kekehan yang keluar dari bibir polos yang masih saja tampak sensual meski tanpa balutan apapun. Aya hanya ingin mencari jalan keluar. Dalam kebingungan yang mendera otaknya yang tengah kosong, langkahnya sudah berputar entah beberapa kali di tempat yang sama. Sampai akhirnya ia melihat seorang yang pernah dikenalnya. Memakai jas putih dengan sebuah stetoskop yang baru saja dilepas dari lehernya. Aya mengikuti orang tersebut, yang ternyata keluar menuju parkiran. “Hey, kamu!” Yang dipanggil menoleh, menautkan alis melihat gadis yang pernah dilihatnya namun kali nampak kacau. Masih memakai piyama tidur, serta sandal boneka rumahan berwarna putih kebas, karena sudah terkena debu. “Saya?” orang itu menunjuk wajahnya sendiri dan memakai bahasa formal karena masih berada di lingkungan kerjanya. “Iya kamu.” Aya mendekat, sedikit mendongak keti
Bak orang linglung, Aya berjalan tanpa tujuan. Terus saja melangkah, diteriknya matahari yang siang ini begitu terasa menyengat. Sesekali kakinya berhenti di sebuah halte, untuk sekedar mengistirahatkan tubuh lelahnya. Setelah itu, ia kembali melangkah kemanapun hatinya menginginkan. Sesekali bibirnya bersenandung, seolah tidak ada beban yang tengah menghimpit hidupnya. Berbicara sendiri dan tertawa sesuka hati. Aya hanya ingin melupakan semuanya, melupakan dirinya, melupakan apa yang pernah terjadi di dalam hidupnya. Sesaat tubuhnya terpaku, menatap restoran cepat saji yang kini tepat berada di depannya. Matanya berbinar melihat spanduk yang terpajang di depan restoran. Tumpukan roti, patty beserta keju yang tampak tebal itu, sangat menggugah selera. Aya seolah lupa, kapan terakhir kali ia menyantapnya. Tanpa ragu kakinya melangkah ke dalam restoran, tidak peduli dengan sindiran ataupun tatapan aneh saat melihat penampilannya. Berdiri di depan mesin kiosk
Bintang meraup wajahnya berulang-ulang, sangat frustasi saat mendengar penjelasan Elo. Sedangkan Sinar, sudah sesegukan dan bolak-balik mengusap wajahnya dengan tisu. Elo menjelaskan kalau dirinya telah menemui Tara, dokter yang sempat tertangkap CCTV sedang berbicara dengan Aya di lapangan parkir rumah sakit. Tara menjelaskan, bahwa Aya tengah menanyakan mengenai tempat aborsi kepadanya. Entah apa yang menjadi alasan gadis itu hendak menggugurkan bayi yang ada di dalam kandungannya. “Yasa! mana Yasa!” Sinar beranjak dari duduknya dengan menarik tangan Asa. “Antarin Bunda ke rumah sakit! ini semua pasti karena Yasa! kalau sampai ada apa-apa sama Aya dan calon cucuku, Bunda akan bikin perusahaannya jungkir balik dengan cara apapun!” Sinar menjerit dengan mata yang sudah memerah. Keluar rumah dengan terburu dan menggandeng erat tangan Asa. Bintang dan Elo tidak bisa berbuat apapun untuk mencegah. Karena keduanya pun punya pemikiran yang sama dengan Sina