Jarum jam hampir menunjukkan pukul 8 pagi, kaki Bintang akhirnya menjejak di lobi rumah sakit. Pria paruh baya itu terbang dengan pesawat pertama yang berangkat pukul 4.30 tanpa ada delay sama sekali. Perjalanan ke rumah sakitlah yang sedikit lama karena bertepatan dengan keberangkatan para pelajar serta para pekerja di pagi hari.
Sudah ada Sinar yang menyambutnya di lobi dengan memberi senyum hangat. Senyum yang dahulu selalu menghiasai hari-harinya, meskipun hanya dalam waktu yang sangat singkat.
“Pagi, Mas. Udah sarapan?” sapa Sinar menjulurkan tangan bersikap santai.
Bintang balas tersenyum, menyambut uluran tangan mantan istrinya. “Sudah, di pesawat. Terlalu pagi sebenarnya, tapi yaa daripada gak sempat.”
Keduanya berjalan bersisihan melewati lobi dan masuk ke sebuah koridor.
“Astro sudah datang?” tanya Bintang menoleh pada Sinar, menunggu wanita itu menjawab pertanyaannya.
“Belum, tapi kemarin dia bilang mau datang lagi
Sinar, Yasa serta Asa memilih keluar tidak lama setelah kedatangan Bintang untuk menjenguk putrinya. Aya masih saja memanyunkan bibirnya. Memilih berbaring dan memunggungi sang papa yang sudah jauh-jauh datang, untuk sekedar bertemu dengan Aya. Tentu saja kedatangan Bintang adalah untuk meminta maaf dan memperbaiki hubungan yang sempat retak. “Kamu gak mau lihat, Papa?” Bintang duduk pada kursi yang selalu setia berada di samping tempat tidur Aya, tidak pernah berpindah ke manapun. “Masih gak mau bicara dengan Papa?” tanyanya lagi. Hening Aya memejamkan matanya, berharap ia akan tertidur begitu saja dan setelah bangun nanti tidak akan melihat papanya ada di ruangan yang sama dengannya. Hatinya masih terlampau sakit, dengan sikap Bintang yang lebih percaya dan memihak Astro kala itu. “Papa minta maaf untuk semuanya.” akhirnya Bintang membuka suara kembali, karena Aya tidak kunjung memberinya respon apapun. “Papa yang salah di sini. Sebagai oran
Hari ini, adalah hari terakhir Bintang berada di Surabaya. Jika tidak ada aral melintang, ia akan kembali ke Jakarta menggunakan penerbangan terakhir. Meskipun selama tiga hari di rumah sakit bergantian menjaga putrinya, Aya masih saja bersikeras, enggan berbicara dengan Bintang. Dan keesokan harinya, Aya sudah diperbolehkan untuk pulang dari rumah sakit. Untuk sementara waktu, Yasa memutuskan untuk tinggal di hotel. Tidak kembali menumpang di rumah Langit, karena khawatir merepotkan. Selain itu, alasan lainnya adalah, karena Yasa merasa tidak nyaman dengan kedua anak Langit yang semuanya berjenis kelamin perempuan. Ia hanya ingin menjaga batasannya. Tidak ingin membuat sang istri cemburu, meskipun diantara mereka tidak terjalin suatu hubungan apapun. Yasa hanya ingin menjaga hati istrinya. Tidak mau menimbulkan masalah lagi ke depannya. Setelah nanti, Aya benar-benar pulih dan sudah diperbolehkan untuk melakukan perjalanan udara dengan pesawat terbang, maka,
Dada Astro bergemuruh hebat, tidak mampu berkonsentrasi dengan kasus yang tengah ia pelajari saat ini. Beberapa berkas yang tergeletak di atas meja, sedari tadi hanya dijadikan sebagai pajangan, tanpa tersentuh sama sekali Setelah Bintang memberi peringatan tegas padanya hari itu, malamnya, Astro langsung bertolak kembali ke Jakarta. Mengurus beberapa pekerjaannya yang sempat tertunda. Namun, pekerjaan yang ada, tidak kunjung dapat ia selesaikan, karena pikirannya telah terbagi-bagi. Ditambah, akhir-akhir ini Zevan kerap menghubunginya untuk meminta bertemu. Baik itu melalui telepon, maupun hanya sekedar mengirim chat untuknya. Astro menduga kalau ini berkaitan dengan masalah kejelasan hubungannya dengan Zetta. Astro juga tidak mengerti, harus seperti apa ia bersikap dengan wanita yang pernah dicintainya dahulu kala. Semua rasa yang selalu menggebu ketika memikirkan Zetta, sekarang seolah tidak bernyawa. Tidak ada lagi kerinduan maupun hasrat untuk ingin bert
Setelah memasuki kamarnya, Aya merangkak pelan menuju ranjang. Kemudian menjatuhkan dirinya dengan lembut di atas sana, bertelungkup. Menghirup dalam-dalam aroma tempat tidur kesayangannya, yang memang sudah jarang ia tempati ketika sudah mulai bekerja di Metro. “Puas-puasin.” Yasa ikut menghempaskan tubuhnya di atas ranjang, di sisi istrinya. “Sebentar lagi, gak bakal bisa tengkurap.” Aya yang awalnya tidak mengerti dengan maksud ucapan dari sang suami, akhirnya terkekeh geli. Membayangkan perutnya yang membola dan tidak bisa lagi bertelungkup. Sebuah kenikmatan yang belum tentu bisa dialami setiap perempuan. Aya cukup beruntung, karena tidak perlu menunggu lama, untuk mendapatkan sebuah anugrah yang tidak ternilai harganya. Kalau mendengar cerita sang bunga, dahulu kala, Sinar harus menunggu selama satu tahun, barulah bisa mendapatkan Asa. “Tapi, perutku kok belum gede-gede ya? kan udah 2 bulan.” Aya membalik tubuhnya, bertelentang. Tangannya mengusap pelan
Zetta terdiam merasa bersalah, terpojok dengan semua ucapan dan tuduhan yang dilempar oleh Astro kepadanya. Jadi, karena itukah selama ini Astro menghindarinya? Mereka memang kerap bertengkar saat itu. Tapi menurut Zetta, hal itu tidak cukup kuat digunakan sebagai alasan untuk tidak melanjutkan pernikahan mereka. Seharusnya, semua bisa dibicarakan lagi baik-baik, dari hati ke hati. Tidak langsung mengambil keputusan secara sepihak seperti saat ini. “Kalian masih bisa memperbaiki hubungan yang ada.” Melati berujar dengan tangan yang tersampir di atas paha Zevan, sedikit merematnya karena gelisah. Meskipun konteksnya berbeda, tapi Melati bisa mengerti perasaan putrinya saat ini. Ditinggal sang kekasih ketika sudah merencanakan sebuah pernikahan, itu tidaklah mudah. Apalagi, hubungan yang terjalin sudah masuk hitungan tahun. Melati juga pernah merasakannya, dahulu kala. Dan, ia tidak ingin Zetta mengalami hal yang sama dengan dirinya. Apapun yang terjadi, putri
Tubuh Aya menggeliat kecil, kemudian meregan dengan puas. Sementara, bulu mata lentik itu terbuka dengan perlahan. Kamar yang ditempatinya masih tampak gelap, namun Aya tidak merasakan ada tangan yang mendekap erat tubuhnya seperti biasa. Hanya ada sehelai selimut yang membalut tubuh yang tidak memakai sehelai benangpun. Aya membalik tubuh dengan helaan. Mendapati satu sisi ranjang yang ditempatinya ternyata kosong. Tubuhnya bangkit terduduk terlebih dahulu kemudian menyalakan lampu tidur yang berada di nakas. Melihat samar pada jam dinding yang menunjukkan hampir pukul 1 dini hari. Pergi ke mana suaminya di dini hari seperti ini? Kedua kaki telanjang akhirnya turun dari ranjang. Memakai sendal boneka rumahan berwarna orange. Memungut kimono tidur yang tergeletak di lantai, kemudian memakainya untuk menutupi tubuh yang masih polos. Aya memutuskan keluar dari kamar dalam diam. Tidak memanggil nama sang suami sama sekali. Maniknya mengedar pada ruang ap
Paginya, giliran Yasa yang terbangun tanpa merasakan tubuh sang istri di pelukannya. Tanpa harus menunggu lagi, ia menyinkap selimut dengan cepat, lalu bangkit dari tempat tidur. Berjalan menuju kamar mandi dalam keadaan yang masih polos. Mendapati kekosongan di dalam sana, Yasa mengambil celana pendek yang tergeletak di lantai dan memakainya. Pergi keluar dan menemukan sang istri tengah duduk bersila di depan televisi, dengan semangkuk sereal di tangannya. “Sudah mandi, Ay?” Kenapa harus pertanyaan itu yang pertama kali ditanyakan oleh suaminya? Hidung Ayapun mengernyit dengan dengusan tajam. Menoleh pada sang suami yang sudah menjatuhkan tubuhnya di samping Aya. Bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek, yang ia yakini tanpa memakai apapun lagi di dalamnya. “Kenapa gak mandi dulu, malah ke sini, pake dempet-dempet. Bau tauuk! Jauh sana! Entar aku muntah.” Yasa menyerah dengan hormon kehamilan Aya yang menuntutnya agar selalu mandi. Tapi,
Setelah berbicara dengan cepat untuk mengintrogasi Nando di luar warung. Aya kembali masuk, melirik pada Zetta sekilas lalu merasa iba. Ia kemudian duduk di samping Yasa yang sudah menunggunya dengan dua piring nasi pecel yang sudah tersaji di meja.“Pacarnya bang Nando?” tanya Yasa melihat kebelakang sebentar melalui pundaknya. “Itu cewek yang waktu itu kan ya?”“Bentar …” Aya menelan makananya sejenak. “Kamu, gak pernah ketemu sama anaknya Om Zevan? Mantan asisten opa Abraham?”Yasa menggeleng kecil dua kali. “Cuma tahu namanya, kalau ketemu kayaknya gak pernah. Kenapa?”“Ya, itu! anaknya om Zevan, yang lagi sama bang Nando.”“Zetta?”Aya menjawab dengan gumaman, sembari mengangguk, karena mulutnya yang menggembung penuh. Tidak dipungkiri kalau ada rasa sedih bercampur iba ketika mengingat Zetta. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk menja