"Habis makan siang kok muka lo kusut gitu sih, Lyr?"
Lyra mendongak, Mita rekan kerja di kubikel sebelah melongok. Lyra melirik wanita berponi itu. Mita lumayan lama kerja di sini. Dia pasti tahu perihal GM bertampang bule itu.
"Mit, lo tau tampang GM kita?" tanya Lyra.
"Sure. Siapa sih yang nggak tau si ganteng itu." Matanya Mita berbinar.
"What?" Bukan itu jawaban yang Lyra mau.
"Kenapa? Apa lo ketemu Pak Reksa?"
Lyra tak menjawab, ia memutar-mutar bola mata.
"Sebaiknya lo nggak usah liat, ntar lo jatuh cinta."
'Idih? Hellow? Gue udah liat, dan biasa aja tuh'. Lyra membatin. Yang ada dia malah tengsin setengah mati.
"Selain keren, tampan, macho dan kaya, doi juga masih single," terang Mita lagi. Lyra yakin wanita itu sedang membayangkan sosok pria itu.
Sumpah, Lyra tidak bertanya. Mau single kek, mau double kek. Tidak ada urusan. Dirinya sudah kepalang malu.
"Dia nggak pernah masuk ke sini 'kan?" tanya Lyra. Itu poinnya.
Mita mengetuk-ngetuk dagunya, matanya seperti mengingat sesuatu.
"Kayanya hampir nggak pernah. Eh pernah sih, tapi itu udah lama banget. Lagian bos kayak dia ngapain ke sini? Yang ada tuh Bos Herdi yang nyamperin dia di kursi kebesarannya."
Lyra mantuk-mantuk. Bagus kalau begitu. Setidaknya ia akan lebih waspada, dan hati-hati agar tidak bertemu pemilik mata elang itu.
"Panjang umur. Baru diomongin udah nongol aja," gumam Mita mematung, matanya menuju pintu keluar.
Sesosok berbadan tegap berjalan sambil menyembunyikan sebelah tangannya ke saku celana yang terlihat licin. Sesekali memberi senyum menanggapi sapaan dari orang yang berada di ruangan ini. Untuk seukuran bos, ia itu tipe bos yang ramah. Jauh dari kata arogansi.
"Siang, Pak Reksa."
"Siang, Pak GM."
Deg!
Lyra gusar, tangannya berusaha meraih apapun yang ada di depannya. Matanya pura-pura fokus ke dokumen yang dia ambil sembarang.
Sosok menjulang itu sedang bertegur sapa dengan Dony rekannya. Sejak mengetahui siapa nama di balik senyum manis itu, ingin rasanya Lyra tenggelam saja jika harus melihat laki-laki itu. Kenapa juga lelaki itu harus bertandang ke kantornya? Kata Mita dia 'kan jarang ke kantor.
"Siang, Pak Reksa," suara Mita menyapa.
Lyra sama sekali tidak berniat menyapa bos besar itu seperti yang lain. Masih pura-pura tenggelam dalam kesibukan.
"Ehem!"
Suara dehaman itu... Lyra masih tak peduli.
"Selamat siang, Nona Lyra."
Suara berat yang tadi siang masih terdengar biasa, kini terdengar begitu mengerikan di telinga Lyra. Mau tidak mau Lyra mendongak. Lelaki yang memberinya sandal itu, tengah tersenyum di depan kubikelnya.
"Se-selamat siang, Pak," balas Lyra gugup. 'Jiper banget gue.'
Reksa dengan muka innocent-nya, tampak biasa dan tenang. Seolah kecanggungan yang melanda Lyra diabaikannya begitu saja.
"Bos gila kamu ada?" tanya Reksa membuat mata Lyra melebar.
Bos gila? Lyra merasa akan mendapatkan masalah besar. Dia nyengir bingung.
"Kenapa? Ada yang salah?" Reksa menarik sudut bibirnya.
Lyra menggeleng. "Pak Herdy ada di ruangannya, Pak," jawab Lyra berusaha sedatar mungkin.
"Oke, baiklah. Oh iya, apa sepatumu baik-baik saja?" tanya Reksa lagi.
Oh Tuhan. Masih berlanjut. Lyra memohon dalam hati agar mahluk di depannya ini segera lenyap dari pandangan.
"Baik,Pak."
Reksa mengangguk, lantas beranjak menuju ruangan Herdy.
Saat tubuh itu berhasil masuk di balik pintu ruangan manajernya, Lyra mengembuskan napas lega."Aku berharap dia masih nggak bicara apa pun di sana," gumamnya dalam hati.
"Lyra! What the?!"
Lyra hampir melonjak kaget. Mita tiba-tiba saja memekik dengan mata yang hampir keluar.
"Rupanya lo udah mengenal Pak Reksa?!"
Lyra buru-buru menggeleng.
"Lalu apa yang tadi kalian bicarakan?"
"Gue nggak bicara apa-apa."
"Jangan bohong." Mita memajukan tubuhnya dengan mata memicing.
"Suer." Lyra menunjukkan dua jari membentuk huruf V. Lalu ia kembali ke layar komputer.
Sedang Mita, tidak begitu saja percaya dengan ucapan Lyra. Dia masih saja memandang curiga pada Lyra.
***
Wajah Herdy menegang bercampur bingung dengan apa yang diucapkan atasan sekaligus seniornya saat kuliah dulu. Namun pemilik rahang tegas itu masih saja menampakkan wajah tenangnya, duduk dengan kaki menyilang di sudut sofa ruang kerja Herdy."Aku harap kamu mempersiapkan diri," ucap Reksa sekali lagi.
"Tapi–"
"Satu bulan dari sekarang."
"Aku belum siap, Bang."
"Harus siap." Reksa berjalan mendekati Herdy yang masih saja mematung mendengar keputusannya. Ditepuknya bahu Herdy dengan keras. "Kamu pasti bisa. Aku percaya padamu. Kinerjamu, sepak terjangmu. Semua yang perusahaan ini butuhkan, ada dalam dirimu."
"Bang, aku masih banyak belajar di sini." Herdy masih saja tidak percaya. Jabatan GM itu terlalu berat untuknya.
"Semua sudah aku pikirkan. Jangan kecewakan aku Herdy. Rapat direksi minggu depan mungkin akan membahasnya."
Herdy tercengang. Secepat itu?
"Oke, hanya itu saja." Reksa melangkahkan kaki keluar. Namun, kakinya berhenti saat hendak membuka pintu. Dilihatnya Herdy masih saja menundukkan pandang dengan gusar
"Oh ya!" seru Reksa.
Herdy sontak mendongak.
"Jangan terlalu keras dengan stafmu. Sepertinya ada yang syok karena tuntutanmu. Aku pergi dulu." Reksa tersenyum miring, dan akhirnya ia keluar meninggalkan Herdy yang tambah bingung dengan penuturanya barusan.
Syok? Siapa? Hampir semua stafnya tahu kalau ia tipikal pemimpin yang keras. Otaknya langsung menyangkut kesebuah nama. Lyra, staf baru itu. Apa sikapnya terlalu berlebihan pada wanita itu?
Herdy berdiri dari duduknya. Memutar badan, melihat ke arah luar. Melalui kaca jendela ia bisa melihat situasi para staf yang sibuk di meja kerjanya masing-masing.
Dilihatnya Reksa menghampiri kubikel di mana Lyra berada. Pikirannya semakin yakin kalau yang dimaksud Reksa adalah wanita itu. Wanita yang sering ia suruh lembur, dan kadang sedikit ia marahi.
"Apa ada sesuatu di antara mereka?" tanyanya dalam hati.
Tiba-tiba ada sedikit yang menyentil hatinya, mengusik, dan membuatnya merasa tak nyaman. Entah apa itu. Herdy menghela napas tak mengerti.
Reksa kini tengah berdiri di depan Lyra tersenyum geli, melihat gadis itu salah tingkah.
"Jika ada sesuatu yang kamu belum pahami, kamu bisa tanya ke rekanmu atau bisa tanya ke bosmu langsung, Nona." ucap Reksa pada Lyra.
"I-iya Pak."
"Good, oke. Selamat bekerja."
Reksa kemudian beranjak meninggalkan divisi keuangan. Sembari menerka-nerka apa yang ada di pikiran wanita lucu itu. Padahal, aslinya ia sama sekali tidak ada niat untuk menggoda Lyra. Namun, melihat muka merona wanita itu yang sangat lucu, membuatnya tidak bisa menahan diri.
Ia menggeleng pelan. Memikirkan tingkahnya sendiri.***
"Baik. Kamu atur saja schedule-nya. Tapi kemungkinan saya datang jam lima sore."
Reksa menutup sambungan telepon. Rapat bulanan dengan para manajer perusahaan retail akan diadakan sore. Membahas laporan laba rugi, perencanaan bulanan, dan sebagainya.
Sebenarnya ini agenda yang sangat melelahkan di saat dirinya masih sibuk sebagai general manager di perusahaan multinasional sekarang. Namun, tidak mungkin juga ia melepas tanggung jawabnya dari usaha yang ia rintis dari nol. Biar bagaimana pun, usaha retailnya sudah sangat berkembang pesat. Setiap bulan kemitraan selalu datang. Pasarnya sudah menembus daerah luar pulau.
Dan sebentar lagi, perusahaan propertinya pun akan merealisasikan planning mega proyek yang digadang-gadang mengeluarkan investasi ratusan trilyun.
Reksa akan sangat sibuk, super sibuk. Mau tidak mau, ia harus berlepas diri di perusahanan yang hampir tujuh tahun menaunginya ini.
Dan Herdylah yang ia rekomendasikan untuk menggantikan posisinya sekarang, kepada dewan direksi yang dari kapan tahun tetap ingin mempertahankan Reksa di perusahaan ini.
Betapa tidak? Selama Reksa menjabat, perusahaan ini sangat maju pesat. Bahkan tahun ini perusahaan akan membuka cabang produksi lagi di kota sebelah. Sepak terjang Reksa di dunia bisnis, membuat perusahaan tidak mau melepasnya begitu saja.
Hampir setahun ini, Reksa mengajukan rencana pengunduran diri. Namun, selalu saja gagal dengan berbagai alasan dan pertimbangan. Untuk kali ini, ia akan benar-benar hengkang dari sini dan memilih fokus ke perusahaannya sendiri. Segalanya sudah ia pikirkan masak-masak.
Tubuh Lyra menggeliat di atas tempat tidur. Rasa-rasanya puas sekali ia tidur malam ini. Pelan ia memicingkan mata, mengangkat badan, lalu merenggangkan otot-otot yang terasa pegal."Lyra! Bangun!"Teriakan ciri khas Alfa, abangnya dari dapur terdengar.Lyra langsung menengok jam dinding. Tahu artinya apa jika abangnya sudah berteriak sekeras itu."Gawat."Buru-buru ia turun dari tempat tidur, menyambar handuk, dan masuk kamar mandi. Bisa dipastikan hari ini ia akan terlambat.Lima belas menit kemudian, Lyra sudah bersiap pergi bekerja. Namun sialnya, ia sudah ditinggal Alfa. Ia semakin telat.Lyra buru-buru keluar rumah, bersamaan dengan itu ponselnya berbunyi."Udah bangun belum sih?" Suara Alfa di sana bertanya."Kenapa lu ninggalin gue sih bang ?!" Lyra bergegas menuju jalan besar."Sorry, gue juga telat.""Nggak usah telpon! Bikin kesal aja!"Lyra mematikan po
Pukul setengah enam sore, Herdy keluar dari ruangannya. Kantor tampak lengang. Para karyawan sudah pulang lebih dulu. Ia melihat ke arah meja di mana Lyra berada. Wanita itu masih ada di sana. Ia melangkah mendekatinya. Lyra terlihat sibuk dengan keyboard dan layar komputernya."Apa belum selesai juga?" tanya Herdy. Wanita itu bergeming, tak peduli dengan kehadiran Herdy. Lelaki itu menghela napas."Apa kamu lembur?" tanya Herdy lagi.Lyra menatap sekilas. "Iya, Pak," jawabnya lalu kembali ke layar di hadapannya."Apa perlu bantuan?"Tangan Lyra berhenti mengetik sejenak. Ada apa? Tidak biasanya bos kampret itu menawarkan bantuan."Tidak perlu, Pak.""Kamu tak perlu lembur kalau capek.""Lalu keesokan paginya Bapak akan memarahi saya begitu?"Herdy menelan saliva. Sebegitu horornya ia di mata wanita itu? Tapi kinerja staf satu ini memang jauh dari kata puas menurutnya.
"Satu ciuman mungkin cukup."Lyra terbelalak. Kakinya menegang. Otaknya langsung merespons dengan memerintahkan reaksi pada beberapa bagian tubuhnya, termasuk jantungnya yang kini berdebar.Saraf pendengarannya terlalu sensitif, hingga bagian otaknya yang disebut talamus, sangat cepat menerima sinyal, lalu diteruskan ke amigdala yang mengeluarkan senyawa glutamat, yaitu zat kimia yang digunakan sel saraf untuk mengirim sinyal rasa takut ke sel lain. Refleks mukanya memucat. Lyra merasa terjebak. Sekali singa tetap saja singa."Bagaimana, Nona Lyra?" tanya Reksa mencondongkan badannya ke depan mendekati Lyra."Maaf itu... Anda gila ya, Pak?"Di luar dugaan, Lyra malah membalas pertanyaan bosnya dengan pertanyaan yang membuat Reksa memicingkan mata.Reksa menarik kembali tubuhnya. Menempelkan punggung kesandaran kursi. Senyum jahilnya terukir melihat Lyra yang terus saja menunduk. Dalam keadaan seperti itu pun, Lyra mas
Pertama, Lyra melumuri ikan gurame segar yang sudah dibersihkan dengan bumbu jadi yang tadi ia beli. Lalu, ia akan mendiamkannya beberapa saat agar bumbu itu meresap. Kemudian,ia memisahkan beberapa sayuran secukupnya dan bersiap untuk mencucinya.Melihat kesibukan Lyra di dapur, Reksa berinisiatif ingin membantunya."Apa yang bisa kubantu, Nona?" tanyanya melangkah ke dapur."Bapak bisa me–""Reksa, " potong Reksa cepat."Okeh Rek–" sangat aneh. "Saya tidak biasa, Pak.""Biasakan.""Ini Ba–eh, kamu cuci saja sayuran ini, lalu potong-potong."Lyra menggigit bibir bawahnya. Di pertemuan pertama padahal Lyra dengan mudahnya menyebut 'kamu-kamu' pada lelaki di sampingnya ini. Kenapa sekarang dirasa begitu sulit?"Oke.""Saya akan menanak nasinya dulu." Ia lantas meninggalkan Reksa untuk mencuci beras.*Beberapa menit kemudian.*"Selesai," seru Reksa membuat Lyra menoleh. Sedetik ke
Herdy keluar dari sebuah kafe yang letaknya tak jauh dari apartemen milik Reksa, diikuti seorang wanita di belakangnya."Itu mobil Reksa 'kan?" tanya wanita yang kini sedang berada di samping Herdy.Herdy kontan menoleh, mengikuti arah pandang wanita itu. Iya, itu betul mobil Reksa yang baru keluar dari tower apartemennya."Eh, sama cewek, siapa ya? Pacarnya? Wah, ada kemajuan si bos," celetuk wanita itu lagi. Mata Herdy kembali menajam ke arah mobil Reksa. Wanita yang ada di samping kemudi Reksa itu... Lyra. Refleks tangannya mengepal. Entah kenapa ia tidak suka melihatnya."Habis ngapain ya mereka di sana? Wah, Reksa sekali dapat cewek mainnya langsung ke apartemen." Wanita itu terus berkomentar dan tertawa.Mendengarnya membuat telinga Herdy memanas."Bisa diam nggak kamu, Syilla?!" bentak Herdy. Wanita yang dipanggil Syilla itu segera menghentikan tawanya."Cepat masuk mobil," perintah Herdy. yang lang
Lyra menatap sebuah tas bekal makanan yang kini sudah ia letakkan di atas meja. Menimang-nimang, apa yang sudah ia lakukan? Pagi tadi sebelum berangkat bekerja, ia menyibukkan diri membuat bekal makan siang juga sarapan pagi. Dan kali ini, ada mama yang membantu.Meskipun ia masih terus tidak habis pikir pada dirinya sendiri, tak ayal dirinya sangat menikmati mengingat wajah Reksa saat lelaki tampan itu dengan lahap memakan hasil masakannya.Hingga kini, dua kotak bekal makanan telah saling bertumpuk di meja kerjanya. Satu untuk dirinya, dan satu untuk GM berparas menawan itu.Bunyi interkom di meja kerja Lyra berdering, membangunkan lamunannya. Ia segera meraih gagang telepon."Ya, Pak," jawabnya."Ke ruangan saya sekarang." Herdy di sana memerintah."Baik."Ada apa lagi ini? Apa laporan tadi pagi yang ia serahkan salah? Laporannya kemarin yang mengerjakan GM-nya langsung, mana mungkin salah? Lyra mengetuk pintu r
Malam ini, gara-gara Alfa yang tidak bisa ikut makan malam, mood mama jadi kacau. Sepanjang jalan mengomel tak mau berhenti. Lyra sampai bingung karena mama juga selalu bilang ini acara penting. Mama mau bertemu sahabat lama mama katanya. Awalnya, Lyra pikir cuma makan malam bersama keluarganya saja, ternyata mama juga mengundang temannya.Mereka bertiga sudah berada di meja makan yang bisa menampung delapan orang. Meja itu sudah direservasi terlebih dahulu oleh orang bernama ... tadi mama bilang siapa? Ira kalau tak salah.Wajah mama kembali sumringah, saat tak berapa lama ada seseorang yang menyapanya. Lyra sendiri masih sibuk membuka buku menu bergambar makanan yang kelihatannya lezat-lezat, sambil berpikir bagaimana cara membuat masakan seperti itu? Huh, dasar tukang masak."Lyra bangun. Lihat! siapa yang datang. Tante Ira. Kamu masih ingat 'kan?" tanya mama meraih lengan Lyra. Gadis itu refleks berdiri menyambut kedatangan I
Di dalam kamarnya, Lyra masih tidak habis pikir dengan rencana orang tuanya. Masih bertanya-tanya, kenapa Herdy? Kenapa harus orang yang selalu mengintimidasinya tiap hari itu?Bagaimana mungkin orang sepertinya bisa menjadi suami yang baik bagi Lyra? Tiap harinya saja pasang muka jutek dan horor. Menuntut ini itu. Gimana Lyra kalau jadi istrinya? Habislah ia kena omelan tiap waktu. Apalagi kalo didapatinya kerjaan yang tidak beres.'Lyra ini debunya masih menempel di jariku!''Lyra kamu ini bagaimana? masak aja keasinan!''Hey kamu dengar tidak? anakmu nangis. Bisa urus anak tidak?!'"Tidaaaaaakkkkk...!"Ia redamkan kepala ke dalam bantal. Tak mau teriakannya mengganggu penghuni lain di rumah ini. Sepertinya, hari-hari akan menjadi tambah ruwet gara-gara perjodohan ini.Lyra bangkit dari tempat tidur. Membuka pintu kamar, lalu mengendap-endap keluar rumah. Tak ada sinyal kehidupan di rumah selai