Yang pertama kali Lyra rasakan saat baru pertama kali masuk kamar yang luasnya bisa tiga kali lipat dari kamar rumahnya di kampung itu adalah ... kehangatan. Entahlah, wangi maskulin khas lelaki. Aromanya begitu menenangkan. Beda dari aroma kamar milik Alfa, abangnya.
Meski abangnya juga wangi, tapi aromanya tidak semenenangkan ini. Lyra merasa nyaman.Lyra mendekat ke sebuah sofa putih di sudut kamar. Dekat dengan kaca besar yang memperlihatkan lanskap kota Jakarta dari atas sini. Luar biasa indah jika dipandang malam hari seperti sekarang.
Sebuah tempat tidur king size dengan duvert cover berwarna putih yang terbentang rapi. Sangat empuk, hingga Lyra merasa tenggelam saat berbaring di atasnya. Aroma woody kembali menusuk indera penciumannya. Lyra beringsut masuk ke dalam duvert cover. Ia benar-benar merasa nyaman dengan aroma ini. Sama seperti aroma tubuh Reksa.
Lyra menarik selimut menutupi tubuh. Matanya terpejam. Begit"Pagi, Mbak," sapa Lyra mendekati seorang wanita muda yang menjaga kasir restoran di mana ia dan Reksa kini sedang sarapan.Tadi ia pamit ke toilet sebentar dan mampir ke meja kasir ketika melihat ada pesawat telepon di sana."Pagi, Mbak. Ada yang bisa dibantu?" tanya petugas kassa ramah."Boleh nggak, Mbak, saya pinjam teleponnya sebentar?"tanya Lyra menunjuk pesawat telepon."Oh iya, boleh, Mbak. Silahkan.""Wah, terima kasih, ya, Mbak."Lyra segera meraih gagang telepon dan menekan nomor ponsel Alfa. Sembari sesekali melirik meja di mana Reksa berada.Terdengar suara sambungan dari sana dan tak lama suara Alfa terdengar."Halo. Siapa nih?"Ih, galak banget, nih, orang. Dasar! pantas kalau jomlo akut."Abang, ini gue Lyra.""Ebuset bocah semprul! Di mana lu?! Ya ampun, nih anak bener-bener dah! Kabur nggak bilang-bilang. Lu bikin mama kejer tau
Pak Herdy?"Lyra agak sedikit kaget. Manajer sekaligus lelaki pilihan mamanya kini berdiri di hadapannya dengan gaya yang sangat menyebalkan.Kenapa dia ada di sini? Sedang apa?"Merasa hebat, ya, sudah membuat orang rumah cemas?" suara berat Herdy terdengar seperti membelah bumi.Lyra melirik sekilas mata dingin itu yang entah menyiratkan apa."Maksudnya apa, ya, Pak?" tanya Lyra menaikkan sebelah alisnya."Ada tiga kesalahan yang kamu buat. Pertama, kabur dari rumah saat malam hari. Kedua, menginap di tempat lelaki asing. Ketiga, tidak masuk kerja."Lyra terbeliak mendengarkan ucapan bosnya yang dirasa sangat berlebihan. Dan gadis itu sama sekali tidak mengerti mengapa manusia di hadapannya itu begitu sangat kepo dengan urusannya sekarang.Apa tadi? Menginap di tempat lelaki asing? Bagaimana ia bisa tahu itu?"Bapak Manajer yang terhormat, Anda sama sekali tidak tahu apa-apa. Jadi, lebih baik
Dua minggu setelah kejadian Lyra menginap di apartemen Reksa, wanita itu belum sama sekali melihat batang hidung pria itu.Lyra juga tenggelam dalam pekerjaannya yang dirasa semakin membuat pusing kepala. Apalagi dengan ulah Herdy. Sejak ultimatum pertunangan itu, makin intens saja pria itu mengganggu hidup Lyra. Kerap Lyra diberi tugas yang sama sekali bukan jobdesc-nya.Ada saja perintah yang bagi Lyra tidak masuk akal. Bukannya empati, Lyra malah semakin kesal. Memang, sih, tampang Herdy tidak buruk. Ia memiliki postur tubuh yang nyaris sama seperti Alfa. Memiliki garis rahang yang tegas dengan dagu jirus dan berbelah. Pupil mata berwarna coklat terang yang lagi lagi sama dengan yang dimiliki Alfa. Tapi Lyra sudah terlanjur mematri dalam hati jika tipikal pria seperti Herdy harus dijauhi."Selamat siang semua."Suara Herdy memecahkan konsentrasi para staf yang ada di ruangan ini. Hampir semua mata tertuju ke arahnya tak terkecuali Lyra.&n
Lyra bangkit dari tidurnya dengan malas saat mendengar pintu kamarnya diketuk. Ia membuka pintu kamarnya sedikit. Matanya memicing melihat Alfa berdiri sambil cengar cengir. Lyra sudah hafal tabiat abangnya kalau ingin sesuatu darinya."Apa?" tanya Lyra langsung.Alfa menganggaruk kepalanya yang tak gatal. Lyra memutar bola matanya ke atas."Cepetan kalo nggak gue tutup lagi nih. Ngantuk tau!""Bentar dong, Dek." Alfa buru-buru menahan pintu kamar Lyra saat gadis itu akan menutup pintu kamarnya lagi."Ya, udah cepetan bilang.""Temeni abang makan malam, yuk.""Ogah!" Lyra langsung menutup pintu kamarnya. Tapi Alfa lagi-lagi menahannya."Ayolah Dek, bantu abang. Ini makan malam penting. Abang baru dapat proyek besar. Dan abang mengundang klien abang makan malam. Nggak mungkin
Syilla yang tidak biasa dengan suasana canggung langsung bersuara."Jadi, apa kalian berdua pacaran?"Sontak pertanyaan Syilla membuat Lyra dan Alfa saling pandang. Dan Reksa menatap Syilla tidak percaya. Bagaimana mungkin wanita itu langsung menanyakan hal seperti itu? Walaupun sebenarnya dari tadi Reksa menahan penasaran ada hubungan apa antara Lyra dan Alfa."Tidak, kami berdua kakak adik."Jawaban Alfa membuat Reksa sedikit terkejut. Benarkah?"Alfa kamu tidak pernah cerita soal ini."Syilla menatap Alfa. Sesungguhnya perasaan wanita itu sedikit terganggu karena pertemuannya dengan Alfa kembali."Belum sempat, kamu lebih dulu pergi dariku waktu itu."Ehem! Mereka berdua berbicara seolah tak ada orang lain lagi di sekeliling mereka."Mungkin bernostalgianya nanti, ya
"Oke, sekarang kita mau ke mana?" tanya Reksa menatap Lyra sekilas.Apa lelaki yang sudah duduk di belakang kemudinya itu perlu diketok palu dulu biar sadar? Tujuan makan malam untuk membicarakan soal kerjasamanya dengan perusahaan tempat Alfa bekerja malah berujung dengan lamaran konyolnya. Dan sekarang, ia bertanya 'kita mau ke mana' setelah ia meminta Alfa untuk mengantarkan adiknya pulang? Memang ia pikir rumah tempat Lyra pulang ada berapa banyak?"Pulang." Jujur Lyra agak malas menjawab."Ini masih sore, Nona. Kita jalan sebentar, ya."Kali ini Lyra ingin berseru: 'Aku mau pulang aja Reksa, aku tidak mau menanggung rjsiko dengan tingkah konyolmu lagi.'Tapi jelas itu tidak mungkin keluar dari mulutnya.Reksa melajukan mobil perlahan. Malam minggu seperti ini banyak komunitas yang berkumpul di sepanjang pinggiran jalan, atau di depan ruko-ruko yang tutup pada malam hari.
"Reksa,dia itu...."Semburat merah dadu menghiasi wajah Lyra seketika. Ia berdoa semoga malam ini bisa tidur dengan nyaman. Tanpa gangguan, tanpa khayalan kurang ajarnya yang masih saja terus menggoda.***Seseorang menabrak kasar lengan Lyra. Hampir saja wanita itu terjengkang karena tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya. Namun, tangan itu segera meraihnya. Dan menggapit di antara kedua lengannya yang kokoh.Lyra mengerjap beberapa kali. Berupaya mengembalikan kosentrasinya yang hilang beberapa saat lalu.Wajah Herdy yang terlampau dekat membuatnya gagal fokus. Hidung si tukang marah-marah itu sempurna, begitu juga bagian wajah lainnya. Alis tebalnya menaungi sepasang netra cokelat yang menatapnya tajam.Lyra segera beringsut dan menarik diri dari rengkuhan Herdy."Maaf, Pak," ucapnya pelan."Tidak apa-apa
Hai, teman-teman yuk ramaikan lapak ini. Aku tunggu komen dan review bintang limanya ya, Gaes.Happy Reading!___________________Alfa baru usia sepuluh tahun saat Papa Irfan membawanya ke sebuah rumah yang memiliki halaman cukup luas . Papa Irfan bilang, ia akan tinggal di sini bersama mama dan adiknya, Lyra. Alfa sangat senang keluarga barunya memperlakukannya dengan sangat baik. Di saat orang lain mengambil anak-anak yang masih balita di panti, Papa Irfan malah memilihnya untuk diambil sebagai anak angkat.Alfa terpaksa berada di panti karena ia tidak memiliki siapa pun lagi. Ayah dan ibunya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Ia pernah dipertemukan dengan seorang wanita cantik yang ia tahu sebagai walinya. Namun, wanita itu tidak mau menerimanya. Dan ia pun berakhir di panti asuhan beberapa bulan sebelum Papa Irfan membawanya ke rumah baru. Sungguh, ia tidak akan pernah lupa wajah cantik itu