Share

Tengsin

Hari ini, Reksa makan siang di kantin perusahaaan yang terletak di samping gedung kantor. Entahlah, ada suatu dorongan tertentu yang membawanya ke mari. 

Tadinya, ia akan makan siang di luar. Namun, berhubung jam makan siang hampir habis, ia pun memutuskan pergi ke tempat yang lebih dekat saja. 

Dan seperti dugaannya, menu di kantin juga lumayan enak. Ia memilih duduk sendiri di salah satu bangku kantin. Menikmati makan siangnya dengan santai. Hingga sebuah desisan terdengar.

"Pstt... Pstt..."

Reksa menghentikan kegiatan makannya, mencari dari mana asal bunyi yang sangat mengganggunya itu. Ternyata itu berasal dari belakang meja makannya. 

Lyra pelakunya. Gadis itu ada di sini. Reksa menggerakkan dagunya seolah bertanya ada apa. 

Gadis itu kemudian berjalan menunduk, memindahkan piring makannya ke meja Reksa, lalu duduk di hadapan laki-laki itu. 

"Hai," sapa Lyra lantas duduk tanpa segan sedikit pun. Reksa tersenyum. 

"Kamu makan di sini juga?" tanya Reksa.

"Iya, aku telat bangun tadi pagi. Jadi, nggak sempat masak sendiri."

Seketika Reksa mengingat ucapan Herdy, tentang Lyra yang gemar membawa masakannya ke kantor. 

Reksa mengangguk lantas melanjutkan kegiatan makannya. 

"Kamu tadi pagi nggak ngasih tau Pak Herdy 'kan?" tanya Lyra ingin tahu. Mata bulatnya berkilat.

"Soal?"

"Malam itu."

Reksa menggeleng. Dilihatnya Lyra bernapas lega. Walaupun itu hal yang tidak baik, mulutnya tidak sebocor itu. 

"Thanks."

Lyra merasakan sesuatu yang aneh sedari tadi. Entah mengapa, ia merasa hampir semua mata di kantin memperhatikannya. 

"Pstt." Lagi Lyra berdesis. Tubuhnya ia condongkan ke depan mendekati Reksa. 

"Apa?" tanya Reksa lagi, urung menyuapkan nasi ke mulutnya. Dan ikut mencondongkan badannya. 

"Kenapa aku merasa semua orang di sini melihatku, ya? Apa ada yang aneh dariku?" tanya dia heran.

Reksa menyadari itu, tetapi pura-pura tidak tahu. Matanya mengamati gadis di depannya. Memicing, lalu menggeleng. 

"Mungkin karena kamu cantik," jawabnya. Itu bukan gombal.

"Jangan meledekku." Lyra memajukan bibirnya lucu.

"Seriously." 

Reksa kembali ke posisi duduk semula. 

Lyra mengedikkan bahu, mencoba tak ambil pusing. Peduli amat. Ia lalu melanjutkan makannya.

"Siang, Pak GM, Bapak makan siang di sini juga ya?" 

Lyra melirik ke asal suara itu. Tepat berada di sampingnya, seorang lelaki berpakaian rapi menyapa ke arahnya. Oh, bukan padanya. Lebih tepatnya pada orang yang tengah duduk di hadapannya. 

Lyra menoleh. Dilihatnya Reksa yang tersenyum ke arah lelaki itu. "Iya, Pak. Mari makan." Reksa menyahut. 

Uhuk! 

Sontak itu membuat Lyra terbatuk.

Melihat itu, Reksa segera mengambil minumnya, menyerahkan pada wanita itu. Namun, Lyra menolaknya. Ia mengambil air minumnya sendiri. 

Dengan susah payah Lyra mendorong makanannya yang tiba-tiba menyangkut di tenggorokan

"Are you okay?" tanya Reksa. 

Perubahan air muka Lyra sangat jelas terlihat. Wanita itu hanya menganggukkan kepala dengan muka yang agak sedikit memerah. 

Aneh, mendadak Lyra tidak seceriwis tadi. Tentu saja. Perasaannya kini sudah tidak keruan adanya. Karena ternyata orang yang sedari tadi ia ajak bicara, adalah GM di perusahaan ini. 

Ketololan apa yang ia buat? Bisa-bisanya ia bersikap seperti itu pada pimpinan perusahaan. 

Ia menggerutu dalam hati. Bahkan malam itu, ia bercerita begitu banyak pada lelaki itu. Harusnya ia tahu, kalau lelaki itu adalah Maha Bos. Oh God! 

"Baik, Nona."

Lyra mendongak cepat. Mukanya yang tampak menegang,  membuat Reksa geli. 

"Saya sudah selesai makan, kamu segera habiskan makananmu, karena sebentar lagi bel masuk bunyi. Saya duluan, ya," kata Reksa kalem, pamit.

Yang diajak bicara hanya diam, menampakan muka tak enaknya. Reksa pun beranjak meninggalkan Lyra yang masih syok seorang diri. 

Begitu Reksa hilang dari pandangan, ia menepuk jidatnya sendiri. 

"Mampus gue," runtuknya kesal. 

Pantas saja semua yang ada di sini melihatnya dengan tatapan aneh. Jelas itu karena keberadaan GM itu. 

Dan Lyra? Dia malah sok akrab dengan lelaki itu. Harusnya ia bertanya dulu. Kenalan pun tidak ia lakukan. 

Seandainya saja malam itu, ia bertanya nama lelaki itu. Mungkin saja ia tidak akan bertingkah sebodoh ini. Karena siapa yang tak tahu nama Reksa Abimana? Biar pun Lyra terbilang baru di perusahan ini, ia cukup tahu nama GM-nya itu. Walaupun belum pernah melihatnya juga.

*** 

Berulang kali dia memukul kepalanya sendiri. Sudah bodoh, ceroboh lagi. Terus saja dia mengumpati diri sendiri. Dan perbuatannya itu tanpa sadar mengundang tatapan orang-orang yang ada di kantin. 

"Mbak, kamu baik-baik aja 'kan?" tegur seseorang yang kebetulan melewati mejanya. 

"Eh? Saya baik-baik aja kok." Karena malu, Lyra buru-buru beranjak. Dia meninggalkan piringnya begitu saja, lalu berjalan cepat keluar kantin. 

"Seharusnya tadi gue nggak makan sendirian di kantin. Mita pasti tahu wajah GM itu," gumam Lyra. Dia melipir ke taman di samping gedung. Nggak langsung kembali menuju kantor. Di sana, dia duduk di salah satu bangku panjang. Dia menikmati kopi dingin yang tadi sempat dia beli. Biasanya kalau habis istirahat siang, bawaannya mengantuk. Sementara kerjaannya sudah menumpuk. 

Lyra menghela napas panjang. Sebenarnya Lyra lelah dengan rutinitas di sini. Meskipun dulu dia mengambil ilmu ekonomi, tapi ia sadar passionnya buka di situ. Terlebih sekarang dia menjadi seorang staf akuntansi. Ya, ampun, otaknya serasa diperas. Ia tidak yakin akan sanggup bertahan lama di sini.

"Kamu ngapain di sini?" 

Lyra celingukan. Kesendiriannya diganggu seseorang. Dan itu cukup membuat dirinya terkejut saat tahu yang menegurnya itu Herdy. Lyra kontan berdiri, matanya otomatis melihat jam di pergelangan tangannya.  Masih kurang sepuluh menitan lagi sebelum masuk kerja.

"Lagi ngopi, Pak. Bapak mau?" tanya dia mengangkat botol kopinya. 

"Tidak, makasih. Lebih baik kamu masuk. Sebentar lagi jam kerja." 

"Masih sepuluh menitan lagi, Pak. Kepala saya masih berasap, nih." 

Herdy menatapnya tajam, membuat nyali wanita itu menciut. 

"Kamu..., Ya sudahlah, terserah. Awas saja kalau telat masuk," ucap Herdy sebelum meninggalkan Lyra. 

Lyra mengembuskan napas lega. Akhirnya, manajer paling menyebalkan di dunia pergi juga. Pikirannya lantas kembali mengingat GM itu. Dia  berharap tidak akan bertemu kembali dengan lelaki itu bagaimana pun situasinya nanti. 

Kemudian, dia berdiri, dan melangkah masuk ke dalam gedung. Teman- temannya pasti sudah masuk ke kantor dan berkutat lagi dengan setumpuk kerjaan. Sebelum menaiki lift, dia melihat Ayu, wanita yang selalu stand by di bagian depan.

Sumpah ya, seandainya Lyra boleh usul, dia ingin bertukar saja dengan resepsionis itu. Kerjaannya cuma menebar senyum, dan membantu orang-orang yang datang ke kantor untuk bertemu dengan para atasan. Kalau hanya seperti itu tanpa otak cerdas pun bisa. Daripada berkutat dengan angka-angka jutaan yang bukan miliknya. Apa lagi kalau kurang angka nol satu saja, akibatnya bisa fatal. Bodohnya, ia dulu menerima tawaran mutasi ke pusat. Coba dia tetap di Sunter, mungkin dia akan duduk manis di gudang, tanpa ada tekanan dari manajer kampret itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status