Share

Bab 2. Salah Paham

Malam hari, Arinda memasuki kamar khusus pelayan yang di berikan untuknya. Sesaat senyum cerahnya berganti menjadi rasa lelah dan juga perasaan sesak. 

Siang tadi masih mengingat bagaimana dia yang menjatuhkan tubuhnya ke lantai rumah sakit setelah mendengar kabar dari dokter yang mengatakan kondisi ayahnya. Dia memeluk lututnya, menenggelamkan kepalanya di sana, menangis terisak.

"Arin, kamu yang kuat, ya? Ayah kamu pasti akan baik-baik saja," ucap Reta, sahabat Arinda itu berjongkok dan memeluknya. 

"Ayah koma, Reta. Usahanya juga bangkrut akibat kebakaran itu, bagaimana ... bagaimana aku bisa membayar biaya pengobatannya?" Terisak Arinda bertanya, air matanya bercucuran di pipinya yang putih. 

"Sabar, Arin, Sabar. Ini cobaan, kamu adalah wanita kuat yang pernah aku temui. Semuanya akan baik-baik saja, ayahmu akan bangun. Sebaiknya kamu ikut aku, ayo!" Reta menarik tangannya, sambil beranjak bangkit. 

"Kemana?" Suara paraunya terdengar, dia menatap sahabatnya sendu. 

"Kita cari pekerjaan, pasti ada. Asalkan kamu niat," ujar Reta, Arinda terdiam. 

"Sekarang? Ayahku bagaimana?" 

Reta tersenyum, lalu menepuk pundak sahabatnya itu tulus. 

"Saatnya kamu bangkit, Arin. Ayah kamu biar perawat yang menjaga. Ingat, uang pengobatan itu cuma bertahan satu minggu. Kamu harus mencari uang, agar perawatan Ayahmu tetap berjalan. Kamu mau Ayahmu sembuh, bukan?" Arinda mengangguk, menyeka air matanya. 

"Mau," jawabnya lirih. 

Reta tersenyum lagi. 

"Kita cari Siskander, dia akan memberimu beberapa poster lowongan pekerjaan." Reta berkata, menarik tangan Arinda dari depan pintu ruangan inap. Arinda sempat menoleh sebentar, matanya kembali berembun, mengingat kejadian miris yang baru menimpanya dan juga orang tuanya. 

"Aku akan bekerja, Ayah. Agar Ayah cepat bangun. Arin akan mengorbankan kuliah Arin, menghentikannya sebentar. Setelah Ayah bangun dan memiliki pekerjaan, barulah Arin akan kuliah lagi," batinnya menahan sakit. 

Tapi tak ada pilihan lagi, Arinda harus kuat. 

Bukankah selama ini ayahnya adalah pahlawan baginya? 

Sebuah usapan dia lakukan untuk menyeka air mata. Dia menguatkan hatinya, sambil bergumam. "Aku pasti bisa, demi Ayah!"

Satu senyuman terbit di wajahnya. "Terima kasih, Tuhan. Kau sudah mengirimkan seorang sahabat yang baik seperti Reta. Demi membuatnya senang, aku akan bekerja dengan baik di sini."

***

Deondra tengah duduk dengan angkuhnya di kursi mewah meja makan. Namun, walaupun menampilkan wajah angkuh, tak bisa di pungkiri bahwa Deondra memperhatikan sosok pelayan yang tengah menata sarapan pagi yang masih mengepul asap diatasnya. 

Selama sebulan ini, Arinda seakan berhasil mencuri perhatiannya setelah Deondra melihat photo dirinya. Deondra yang tak ingin jatuh cinta lagi, berusaha untuk menepis rasa itu dari dalam hatinya. Deondra tak pernah menyukai wanita, karena biasanya wanita yang tergila-gila padanya. 

Tapi selama empat tahun ini dia menutup diri dari para wanita, karena tak ingin mengulang kembali kejadian yang menimpanya di masa lalu. Saat sang kekasih yang amat di cintainya mulai menampakan wujud aslinya. Berusaha mengambil alih semua kekayaan milik keluarganya dan berakibat fatal dengan wafatnya kedua orang tua Deondra yang terjebak kecelakaan yang di sengaja oleh wanita yang amat di sayanginya itu. Dari kejadian itulah, terkadang wajah angkuh Deondra terlihat. Dia membenci semua wanita hanya karena satu orang. 

"Maaf Tuan, makanannya mulai dingin." Arinda berkata pelan, menyadarkan Deondra dari lamunan. 

Deondra sempat tersentak kecil, dia menatap Arinda yang sudah stay di dekatnya, bersiap mengambilkan menu makan pagi yang ia minta. 

Wajah cantik berbentuk lonjong Arinda yang tampak segar membuatnya terkesima. Pelayan wanita paling muda yang ada di rumahnya itu telah berhasil membuat jantungnya seakan berdebar. Bahkan sikap profesional yang di tunjukkan Arinda sebulan ini cukup membuatnya dapat di nilai sebagai gadis yang baik. Padahal usianya masih muda. 

Dia memang bukan wanita sembarangan! 

"Ambilkan aku steak dengan kentang grill." Deondra mengalihkan pandangan, menepis semua hal yang dirasakannya. 

Dia harus tetap mempertahankan sikap angkuh dan sombongnya. 

"Baik, Tuan." 

Arinda sudah meraih penjepit saat Alrix sampai ke dapur. Bibirnya tersenyum tipis, saat melihat Tuannya yang seakan benar-benar ingin melupakan kesalahan wanita yang pernah menghancurkan hidupnya itu. Terbukti dari perintahnya satu bulan yang lalu, untuk menerima wanita-wanita muda yang melamar pekerjaan padanya. Tapi kesalnya, Alrix masih selalu melihat keangkuhan dari Tuan Mudanya itu. Entah apa yang bisa mengubahnya, yang pasti Alrix berdoa itu akan segera terjadi. 

"Silakan di nikmati, Tuan." Arinda berkata sopan, menundukkan kepalanya sambil mundur ke sudut dapur. 

Deondra diam tak selera menjawab, padahal sebenarnya ada sesuatu yang mulai salah di hatinya. Sudut matanya yang melihat Alrix masih berdiri di dekatnya, membuat satu alis tebalnya terangkat.  

"Alrix!" Panggilan Deondra membuatnya terkesiap, langsung menunduk sopan. 

"Iya, Tuan Muda?" 

"Kemarilah, lebih dekat padaku." Perintah Tuan Muda dengan nada angkuhnya. 

Mendengar itu, Alrik langsung bergerak tiga langkah tanpa bicara. 

"Kamu menyukainya?" tanya Deondra datar, membuat Alrix tersentak. 

"Maaf Tuan Muda. Siapa maksud Anda?" tanya Alrix sopan tapi Deondra justru mendengus pendek. 

"Pelayan muda itu, kau menyukainya, bukan? Kenapa kau menatapnya selama itu?" Alrix diam, membiarkan Deondra berceloteh sambil mengunyah steak miliknya. 

"Jawab aku, Alrix! Kau menyukainya?" sentak Deondra membuat Alrix tersenyum tipis. 

Posisi Arinda yang sedikit jauh dari meja makan membuatnya mendengar samar pertanyaan Tuan Mudanya itu. Tapi Arinda tak mengerti maksudnya, entah apa dan menyukai siapa, yang pasti ikut campur urusan majikannya adalah hal utama yang dilarang di rumah ini. Membuatnya memilih diam dan menundukkan kepalanya dalam. 

"Tidak, Tuan Muda. Mana mungkin saya berani menyukai gadis yang bahkan tidak saya ketahui asal usulnya. Saya menatapnya tadi karena teringat bahwa hari ini adalah hari pertama gajinya keluar semenjak dia bekerja," ujarnya lugas membuat Deondra terdiam. 

"Kalau kamu menyukainya, nikahi saja dia. Agar aku punya alasan untuk tak melabuhkan hatiku padanya. Kau bisa menikahinya, Alrix. Aku tidak yakin akan perasaanku padanya, karena dia adalah gadis pertama yang kutemui setelah menjauh dari wanita-wanita lain di luar sana." Ucapan Deondra yang sedikit ketus dan angkuh itu membuat senyum tipis tertarik di wajah Alrix. 

"Jika saya menikahinya, mungkin Anda akan menghancurkan hidup saya, Tuan Muda. Saya dapat melihat, bahwa Anda mengagumi Arinda di balik wajah angkuh anda itu. Tapi anehnya, kenapa selera Anda sekarang jauh sekali?" batin Alrix berbicara, menatap Deondra yang sudah bangkit dari duduknya. 

"Bayarlah gajinya, Alrix. Sekalian berikan bonus untuknya sebagai pelayan baru yang berhasil melewati semua peraturan. Hari ini weekend, aku hanya akan menghabiskan waktu di kamarku. Kamu bisa menyusulku setelah mengurusnya." 

Alrix mengangguk, membiarkan Deondra yang melangkah pergi. Sesaat sebelum menaiki tangga, Deondra sempat berbalik, melihat Arinda yang sudah mendekat dan meraih piring yang baru dipakainya. 

"Apa yang membuatnya berhasil membuatku tertarik? Apakah mungkin gayanya yang elegan dan juga senyuman miliknya yang lebar itu?" Deondra bergumam malas, mempertahankan pribadinya yang tak tersentuh. 

Hingga matanya menatap Arinda yang sudah menggenggam tangan Alrix. Matanya menyipit, saat Alrix justru menyentuh balik tangan Arinda dan tersenyum padanya. 

Entah apa yang merasuki hati dan rongga dadanya, Deondra merasakan gemuruh hebat saat menyaksikan pemandangan yang tak jauh dari hadapannya itu. Tangannya tanpa sadar mengepal, disertai giginya yang gemeretak. Dengan langkah marah Deondra berbalik, lalu menaiki tangga dengan melangkahi tiga anak tangganya sekaligus. 

"Tidak suka katanya? Lalu kenapa dia balas memegang tangan Arinda dan tersenyum semanis itu padanya? Cih, sepertinya sekretaris pribadiku sendiri adalah orang selanjutnya yang akan menghancurkan hidupku!" geramnya lalu membuka pintu kamarnya keras dan menutupnya dengan hempasan. 

"Ini hal gila! Tidak, aku tidak bisa membiarkannya membuat hatiku bercampur aduk. Dia cuma pelayan, tidak pantas untukku yang merupakan seorang hartawan, lelaki sejuta pesona yang di dambakan oleh para wanita." Deondra berdecih kesal, duduk di ranjangnya. 

"Arindaa! Kenapa sosokmu selalu membuatku merasa di hantui? Apa yang kau lakukan padaku hingga aku merasakan jatuh cinta bahkan sejak pertama kali melihat photomu? Sadarlah Deondra, dia hanya pelayan rumahmu!" 

Deondra berteriak lantang hingga kamarnya berdengung, untung saja kamarnya dilengkapi peredam suara. Hingga kejadian apapun dan sekuat apapun suara dari dalam, tak akan terdengar sampai keluar kamarnya. 

Deondra menjatuhkan tubuhnya ke ranjang, bayangan Arinda yang berpegangan tangan dengan sekretatisnya itu terbayang di langit-langit kamar, membuatnya gusar sendiri. 

Dengan sekali sentak, tubuhnya yang berbaring kini sudah duduk. Deondra menarik napasnya dalam, berpikir cepat. 

Cara apa yang harus dia lakukan untuk memiliki Arinda tanpa ada seorangpun yang tahu? Itulah yang sedang dia pikirkan, wajah Arinda yang cantik dengan tubuh tinggi semampainya adalah salah satu kriteria wanita yang di sukai oleh Deondra.

"Sial, dia tidak cantik bodoh! Dirimu terlalu sempurna untuk gadis sepertinya!" maki Deondra pada dirinya sendiri. 

Deondra merasakan bahwa ini bukan dirinya, kemana hilangnya semua sikap cuek dan angkuhnya selama ini? 

***

"Terima kasih Tuan Alrix, akhirnya saya bisa menerima gaji saya." Arinda berkata dengan wajah berbinar, dia meraih amplop cokelat yang di sodorkan Alrix. 

"Itu adalah hakmu, Arinda. Tidak perlu berterima kasih untuk sesuatu yang memang seharusnya kamu terima." 

Arinda tersenyum, lalu tanpa sadar tangannya menggenggam tangan Alrix yang sudah banyak membantunya. 

Alrix tersentak, menatap tangan Arinda yang memegang tangannya, lalu kembali menatap Arinda yang tampak ingin mengatakan sesuatu. 

Dia tersenyum, menatap Arinda lembut. 

"Ada yang kamu butuhkan lagi?"

Alrix meraih tangan Arinda dengan tangan kanannya, sekilas mereka seperti tengah berpegangan tangan. Padahal Alrix hanya berusaha mengurangi kuatnya genggaman tangan Arinda yang meremas tangan kirinya.

Untunglah suasana dapur tengah sepi saat ini, hanya ada seseorang pelayan yang tengah membereskan dapur. 

"Saya ingin pergi keluar hari ini, Tuan. Saya ingin membayar utang dan biaya rumah sakit Ayah saya yang sudah tertunggak sebulan ini. Boleh saya pergi?" tanya Arinda penuh harap. 

Alrix tersenyum lagi, lalu mengangguk. 

"Pergilah, jangan pulang sebelum larut malam, atau kamu akan mendapatkan sangsi." Arinda tersenyum, mengangguk paham sambil melepas genggamannya. 

"Baik Tuan, terima kasih sudah mengizinkan saya."

Alrix hanya mengangguk pelan. 

"Oh iya, kalau boleh saya tahu. Ayahmu sakit apa, Arinda?" tanya Alrix lagi membuat wajah Arinda langsung berubah sendu. 

"Ayah saya kecelakaan hampir dua bulan lalu. Ibu saya dinyatakan meninggal di tempat, sementara ayah saya di nyatakan koma. Sampai saat ini belum ada perubahan apapun padanya. Hal itulah yang membuat saya harus menghentikan kuliah saya sementara dan menjadi pelayan di rumah ini," jelasnya dengan mata berkaca-kaca. 

Kejadian itu seakan tak akan pernah menjadi biasa dalam sejarah hidupnya. 

Alrix tersentak, sedikit prihatin. "Jadi Ayahmu koma selama ini? Dan itulah yang kamu tahan di dalam hatimu satu bulan ini?" Arinda mengangguk lemah. 

Alrix tersenyum simpatik, kasihan pada gadis malang di hadapannya. "Pulanglah, kunjungi ayahmu. Satu bulan ini ayahmu pasti merindukan suaramu. Aku akan mengatakannya pada penjaga gerbang, tapi jangan lupa pulang sebelum larut. Ini  adalah waktu terlama yang kuberikan padamu karena bertepatan dengan weekend." 

"Terima kasih, Tuan. Saya berjanji akan pulang tepat waktu, terima kasih." Alrix tersenyum. 

"Kamu tahu apa yang akan terjadi kalau kamu terlambat, Arinda. Jadi pergunakanlah waktumu sebaik mungkin dan segera kembali." Alrix berkata, lalu beranjak pergi dari sana. 

Arinda mengangguk, meremas amplop tebal hasil keringatnya. 

"Ayah, tunggu Arin. Arin akan datang dan membayar semua biaya rumah sakit Ayah ...."

Bersambung! 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Miracle_Ji
Narasi eank dibaca, semangat kakkk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status