Share

Bab 3. Luka Berakhir Noda (21+)

"Semua biaya pengobatan Ayah Nona satu bulan terakhir sudah lunas, bahkan biaya rumah sakitnya juga sudah dibayar dari uang yang Nona berikan untuk sebulan ke depan." 

Arinda menerima tanda pembayaran dari suster bagian administrasi, lalu segera menandatanganinya dan menyerahkannya kembali. 

"Terima kasih untuk keringanannya dua bulan ini, Suster. Bulan depan saya akan datang lagi untuk membayar biaya pengobatan selanjutnya." Suster itu tersenyum. 

"Baik, Nona. Akan saya tunggu kedatangan Nona. Untuk Ayah anda, kami akan menjaganya dengan baik. Semangat bekerjanya ya, Nona." Arinda tersenyum. 

Suster itu memang tahu apa yang dialami oleh Arinda dua bulan lalu. Saat seorang gadis kecil dengan wajah gugup dan pucatnya turun dari ambulans yang diisi oleh seorang wanita tak bernyawa. Sedangkan dari ambulan yang satu lagi, seorang lelaki yang merupakan ayahnya dibawa turun dengan kondisi yang amat mengenaskan. Hanya Arinda yang baik-baik saja, mungkin dia tidak terlibat dalam kecelakaan itu. 

"Saya tadi sudah melihat Ayah saya, Suster. Saya pamit pulang dulu, ya?" 

"Silakan, Nona." 

Arinda menghela napasnya pelan. Dia menoleh kebelakang, menatap tangga yang baru di turuninya tadi sesaat sebelum membayar biaya administrasi. Arinda tidak bisa berlama-lama, dia juga ada urusan lain. Bergegas dia pergi dari sana, lalu menyetop taksi yang lewat. 

Uang gaji yang diterimanya masih ada, cukuplah untuk biaya makannya seminggu. Tapi tidak, uang itu di simpannya untuk berjaga-jaga, siapa tahu ada hal mendesak yang akan terjadi. Rasanya, dia masih tak percaya, ada ya gaji pelayan sebanyak itu?

Hampir mendekati gaji pegawai resmi. Bahkan baiknya, uang makan dan beberapa keperluan juga ditanggung, baik sekali majikannya. 

Arinda merasa bangga akan hal ini. Karena selama ini, tak pernah dia bekerja apalagi menghasilkan uang sendiri. Ayahnya melarang, ibunya pun sama. Arinda di jadiakan bak putri di kediamannya, amat di sayangi dan di manjakan. Tak boleh pergi kemanapun, kuliah diantar sopir, semua kebutuhan dan keinginannya di penuhi. Hal itu yang membuatnya tumbuh menjadi gadis santun dan juga elegan. Hasil pemberian kedua orang tuanya tak pernah dia sia-siakan, Arinda berhasil tumbuh menjadi gadis baik dan kebanggaan keluarga karena prestasinya. 

"Aku akan mengunjungi Makam Ibu, rindu ini terasa semakin dalam setiap harinya." Arinda bergumam lirih, matanya bahkan berkaca-kaca. 

Kenapa semuanya harus terjadi? Kenapa ada seorang pengkhianat di dalam usaha Ayah dan karier ibunya? Bukankah mereka orang baik? Kenapa masih ada yang dengki? 

***

"Tuan Muda-"

Alrix tak melanjutkan ucapannya saat Deondra menatapnya horor, masih kesal pada sekretarisnya yang dianggapnya telah berkhianat. 

"Ambilkan aku alkohol dan berhentilah bicara padaku!" 

Alrix menatapnya, lalu mengangguk. Segera dia menekan tombol di lemari buku, hingga rak itu berputar dan berganti menjadi rak yang penuh dengan alkohol. 

Ini adalah keseharian dari Deondra jika Tuan mudanya itu sedang kesal atau dilema. Empat tahun Tuan mudanya itu mengasingkan diri, menjauh dari orang-orang, dari keluarga dan satu hal lagi, dari semua wanita yang menggilainya. Rasa kecewa dan sakit hati akibat ulah sang mantan kekasih yang berencana menghancurkan keluarganya amat berakibat buruk dalam kehidupannya. 

Dulu, Deondra sempat membenci wanita, bahkan sempat bersumpah tak ingin jatuh cinta lagi. Tapi, kedatangan Arinda dengan segala sikap sopan dan gaya manisnya, seakan berhasil mengaduk-aduk isi hatinya. Senyuman lebar Arinda yang dia lihat di photo, seakan selalu membekas dalam hatinya, terbayang-bayang setiap hari selama sebulan ini. 

"Apa mungkin aku mencintainya? Cih tidak mungkin! Jika benar, kenapa secepat ini?" Deondra bergumam malas, menatap televisi di hadapannya yang sedang menyiarkan berita. 

Tangannya meraih botol alkohol yang di berikan oleh Alrix, lalu meneguknya cepat. 

"Pulanglah," usirnya datar, tak menatap Alrix yang tengah mengerutkan kening. 

"Maaf, Tuan Muda?" 

Deondra berdecak, dia meneguk lagi isi botolnya. "Pulanglah, Alrix. Aku ingin sendiri." 

Tak menjawab, Alrix justru mendudukkan dirinya di samping kiri Deondra. 

"Ini akhir pekan, Tuan Muda. Saya biasa menemani Anda di rumah selama dua hari ke depan." 

"Tapi aku tak ingin melihatmu hari ini. Pulanglah Alrix, sebelum aku bangkit dan mengusirmu!" 

Dingin suara Deondra terdengar, bayangan Alrix dan Arinda yang saling berpegangan tadi kembali terlintas di kepalanya. Membuatnya semakin kesal. 

"Apakah ini soal Arinda, Tuan?" 

Alrix yang bertanya membuat Deondra menggeram marah. Entah apa yang terjadi pada hati dan pikirannya. Yang pasti, dia tak suka saat Alrix menyebut namanya. 

"Siapa dia?" Deondra menatap Alrix sekilas, dengan tatapan malas dan juga entahlah. 

Alrix tersenyum, menatap Deondra yang tengah galau. Menunjukkan sekali bahwa Deondra tengah bertengkar dengan hatinya untuk tak lagi jatuh cinta. 

"Jika Anda mengizinkan, saya akan mencari tahu tentang siapa dia dan dari keluarga mana. Apakah Tuan ingin mengenalnya lebih jauh? Sepertinya dia gadis baik dan cukup berkelas," ucap Alrix menawarkan. 

"Tidak perlu, kau lupa bahwa aku pernah bersumpah untuk tak ingin jatuh cinta?" Gemeretak rahangnya berkata, seakan tak ingin mengatakannya tapi itu yang keluar. 

"Baiklah." Alrix diam, menemani Deondra yang kembali bersikap acuh, menatap layar televisi sambil meneguk alkoholnya. 

***

Arinda memasuki rumah saat matahari sudah hilang. Berjalan menuju kamarnya dengan wajah yang terlihat ceria. Dia sudah membayar biaya pengobatan ayahnya dan juga sudah mengunjungi ibunya. Perasaan senang dan terharu pada dirinya sendiri, tak bisa lagi dia tutupi. 

"Arinda." Langkahnya terhenti, berbalik kearah suara yang memanggilnya. 

"Tuan Muda," ucapnya sopan, terperangah sambil menunduk sopan. 

Deondra menatapnya lama. Tubuh tinggi semampai dengan rambut yang terurai jatuh, menambah kesan menawan dari Arinda. Apalagi dengan menggunakan celana panjang satin hitam, baju lengan pendek merah muda dan juga jubah putih yang menutupi tubuhnya hingga kebawah lutut. 

Deondra menelan ludahnya kasar, tapi berusaha untuk terlihat berwibawa. 

"Bantu aku membersihkan botol kaca yang pecah di kamarku. Alrix pulang sore tadi dan para pelayan ada di kamar mereka," katanya datar, masih menatap kepala Arinda yang menunduk. 

"Baik Tuan, biar saya yang membawanya," ujar Arinda sambil maju mendekat. 

Diraihnya uluran serokan sampah yang sudah sempat di ambil Deondra. Lalu mengikuti Tuan mudanya menuju kamar. Dia sering memasukinya, bersama ketua pelayan untuk mengambil pakaian kotor dan juga sekedar membereskan beberapa barang. 

Seusai mengangkut kaca yang berserakan. Arinda yang akan berjalan keluar sempat tersentak saat melihat darah yang mengalir dari jari-jari kaki Deondra yang berdiri tak jauh darinya. 

Darah itu menetes ke lantai pualam putih, menambah rasa terkejut Arinda. Apalagi saat tahu darah itu mengering. 

"Tuan Muda, kaki Anda berdarah." Arinda mendekat, berjongkok di hadapan Deondra yang sudah tak dapat menahan debaran jantungnya. 

Saat ini dia tengah berdiri di sisi ranjang, memperhatikan gerakan Arinda yang tengah membereskan serpihan botol kaca alkohol miliknya yang sengaja dia lemparkan karena kesal. Bayangan Arinda dan Alrix yang berpegangan tangan tadi kembali menghantuinya, apalagi sekarang Arinda seakan bertekuk lutut di bawahnya. 

"Memang semua wanita tunduk di bawah kakiku," gumamnya sambil tersenyum miring. 

"Saya bantu obati ya, Tuan? Ini bisa infeksi," ujar Arinda sopan, mendongak menatapnya. 

Wajahnya yang terlihat ceria dan bersinar, justru membuat batin Deondra bergejolak. Ada sesuatu rasa yang bangkit di dalam dirinya, tak bisa di tahan. Dan hal itu membuat Deondra menunduk, lalu meraih bahu Arinda agar bangkit. 

Tubuh Arinda memberi signal, seakan tahu bahwa dia sedang ada dalam bahaya.

"Tuan-" Remasan Deondra yang semakin menguat di bahunya membuatnya panik, apalagi saat Deondra mengunci tatapannya dengan sebuah senyuman miring. 

"Lebih baik kau mengobati luka yang lebih parah dari kakiku, Arinda. Karena dirimu, aku hampir menjadi gila!" 

Arinda berteriak ketika Deondra melemparnya keatas ranjang. Lalu tanpa aba-aba Deondra sudah menindihnya yang berusaha bangkit. Tak memberi kesempatan, Deondra justru membuka kasar jubah putih miliknya. 

"Tuan, jangan! Saya mohon!" Ratap Arinda sambil berusaha memberontak.

Tapi Deondra sudah gelap mata, penolakan Arinda justru membuatnya semakin bersemangat. Dia menyakini, penolakan ini ada kaitannya dengan hubungan Arinda dan Alrix. Bahkan tanpa sadar, sifat angkuhnya terbang sejenak saat ini. 

"Kau membuatku merasakan jatuh cinta lagi, Arinda. Kini, akan kusalurkan cinta itu padamu!" gumam Deondra, lalu mulai membenamkan bibirnya ke bibir manis Arinda dan memulai semuanya. 

Tak peduli bagaimana Arinda yang menolak, berteriak dan menangis. Deondra tetap melakukannya dengan gerakan lembut saat tahu bahwa gadis di bawahnya masih polos dan juga suci. Setelah melakukan apa yang diinginkan oleh tubuhnya, Deondra mengakhiri ulahnya tepat jam sebelas malam. Membiarkan Arinda bangkit dari sisinya yang terjaga, masih menatap wanita di sampingnya dengan perasaan bahagia yang teramat sangat. Dia sudah memiliki Arinda tanpa ada orang lain yang mengetahuinya.

"Aku tahu ini salah, tapi aku tak bisa menahan diriku tadi. Dan lagi, siapa yang menyuruhmu bertekuk lutut di bawah kakiku, kamu 'kan terlihat seperti gadis-gadis di luar sana." Deondra bergumam, menatap wajah Arinda yang sembab. 

Bersambung! 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status