"Semua biaya pengobatan Ayah Nona satu bulan terakhir sudah lunas, bahkan biaya rumah sakitnya juga sudah dibayar dari uang yang Nona berikan untuk sebulan ke depan."
Arinda menerima tanda pembayaran dari suster bagian administrasi, lalu segera menandatanganinya dan menyerahkannya kembali.
"Terima kasih untuk keringanannya dua bulan ini, Suster. Bulan depan saya akan datang lagi untuk membayar biaya pengobatan selanjutnya." Suster itu tersenyum.
"Baik, Nona. Akan saya tunggu kedatangan Nona. Untuk Ayah anda, kami akan menjaganya dengan baik. Semangat bekerjanya ya, Nona." Arinda tersenyum.
Suster itu memang tahu apa yang dialami oleh Arinda dua bulan lalu. Saat seorang gadis kecil dengan wajah gugup dan pucatnya turun dari ambulans yang diisi oleh seorang wanita tak bernyawa. Sedangkan dari ambulan yang satu lagi, seorang lelaki yang merupakan ayahnya dibawa turun dengan kondisi yang amat mengenaskan. Hanya Arinda yang baik-baik saja, mungkin dia tidak terlibat dalam kecelakaan itu.
"Saya tadi sudah melihat Ayah saya, Suster. Saya pamit pulang dulu, ya?"
"Silakan, Nona."
Arinda menghela napasnya pelan. Dia menoleh kebelakang, menatap tangga yang baru di turuninya tadi sesaat sebelum membayar biaya administrasi. Arinda tidak bisa berlama-lama, dia juga ada urusan lain. Bergegas dia pergi dari sana, lalu menyetop taksi yang lewat.
Uang gaji yang diterimanya masih ada, cukuplah untuk biaya makannya seminggu. Tapi tidak, uang itu di simpannya untuk berjaga-jaga, siapa tahu ada hal mendesak yang akan terjadi. Rasanya, dia masih tak percaya, ada ya gaji pelayan sebanyak itu?
Hampir mendekati gaji pegawai resmi. Bahkan baiknya, uang makan dan beberapa keperluan juga ditanggung, baik sekali majikannya.
Arinda merasa bangga akan hal ini. Karena selama ini, tak pernah dia bekerja apalagi menghasilkan uang sendiri. Ayahnya melarang, ibunya pun sama. Arinda di jadiakan bak putri di kediamannya, amat di sayangi dan di manjakan. Tak boleh pergi kemanapun, kuliah diantar sopir, semua kebutuhan dan keinginannya di penuhi. Hal itu yang membuatnya tumbuh menjadi gadis santun dan juga elegan. Hasil pemberian kedua orang tuanya tak pernah dia sia-siakan, Arinda berhasil tumbuh menjadi gadis baik dan kebanggaan keluarga karena prestasinya.
"Aku akan mengunjungi Makam Ibu, rindu ini terasa semakin dalam setiap harinya." Arinda bergumam lirih, matanya bahkan berkaca-kaca.
Kenapa semuanya harus terjadi? Kenapa ada seorang pengkhianat di dalam usaha Ayah dan karier ibunya? Bukankah mereka orang baik? Kenapa masih ada yang dengki?
***
"Tuan Muda-"
Alrix tak melanjutkan ucapannya saat Deondra menatapnya horor, masih kesal pada sekretarisnya yang dianggapnya telah berkhianat.
"Ambilkan aku alkohol dan berhentilah bicara padaku!"
Alrix menatapnya, lalu mengangguk. Segera dia menekan tombol di lemari buku, hingga rak itu berputar dan berganti menjadi rak yang penuh dengan alkohol.
Ini adalah keseharian dari Deondra jika Tuan mudanya itu sedang kesal atau dilema. Empat tahun Tuan mudanya itu mengasingkan diri, menjauh dari orang-orang, dari keluarga dan satu hal lagi, dari semua wanita yang menggilainya. Rasa kecewa dan sakit hati akibat ulah sang mantan kekasih yang berencana menghancurkan keluarganya amat berakibat buruk dalam kehidupannya.
Dulu, Deondra sempat membenci wanita, bahkan sempat bersumpah tak ingin jatuh cinta lagi. Tapi, kedatangan Arinda dengan segala sikap sopan dan gaya manisnya, seakan berhasil mengaduk-aduk isi hatinya. Senyuman lebar Arinda yang dia lihat di photo, seakan selalu membekas dalam hatinya, terbayang-bayang setiap hari selama sebulan ini.
"Apa mungkin aku mencintainya? Cih tidak mungkin! Jika benar, kenapa secepat ini?" Deondra bergumam malas, menatap televisi di hadapannya yang sedang menyiarkan berita.
Tangannya meraih botol alkohol yang di berikan oleh Alrix, lalu meneguknya cepat.
"Pulanglah," usirnya datar, tak menatap Alrix yang tengah mengerutkan kening.
"Maaf, Tuan Muda?"
Deondra berdecak, dia meneguk lagi isi botolnya. "Pulanglah, Alrix. Aku ingin sendiri."
Tak menjawab, Alrix justru mendudukkan dirinya di samping kiri Deondra.
"Ini akhir pekan, Tuan Muda. Saya biasa menemani Anda di rumah selama dua hari ke depan."
"Tapi aku tak ingin melihatmu hari ini. Pulanglah Alrix, sebelum aku bangkit dan mengusirmu!"
Dingin suara Deondra terdengar, bayangan Alrix dan Arinda yang saling berpegangan tadi kembali terlintas di kepalanya. Membuatnya semakin kesal.
"Apakah ini soal Arinda, Tuan?"
Alrix yang bertanya membuat Deondra menggeram marah. Entah apa yang terjadi pada hati dan pikirannya. Yang pasti, dia tak suka saat Alrix menyebut namanya.
"Siapa dia?" Deondra menatap Alrix sekilas, dengan tatapan malas dan juga entahlah.
Alrix tersenyum, menatap Deondra yang tengah galau. Menunjukkan sekali bahwa Deondra tengah bertengkar dengan hatinya untuk tak lagi jatuh cinta.
"Jika Anda mengizinkan, saya akan mencari tahu tentang siapa dia dan dari keluarga mana. Apakah Tuan ingin mengenalnya lebih jauh? Sepertinya dia gadis baik dan cukup berkelas," ucap Alrix menawarkan.
"Tidak perlu, kau lupa bahwa aku pernah bersumpah untuk tak ingin jatuh cinta?" Gemeretak rahangnya berkata, seakan tak ingin mengatakannya tapi itu yang keluar.
"Baiklah." Alrix diam, menemani Deondra yang kembali bersikap acuh, menatap layar televisi sambil meneguk alkoholnya.
***
Arinda memasuki rumah saat matahari sudah hilang. Berjalan menuju kamarnya dengan wajah yang terlihat ceria. Dia sudah membayar biaya pengobatan ayahnya dan juga sudah mengunjungi ibunya. Perasaan senang dan terharu pada dirinya sendiri, tak bisa lagi dia tutupi.
"Arinda." Langkahnya terhenti, berbalik kearah suara yang memanggilnya.
"Tuan Muda," ucapnya sopan, terperangah sambil menunduk sopan.
Deondra menatapnya lama. Tubuh tinggi semampai dengan rambut yang terurai jatuh, menambah kesan menawan dari Arinda. Apalagi dengan menggunakan celana panjang satin hitam, baju lengan pendek merah muda dan juga jubah putih yang menutupi tubuhnya hingga kebawah lutut.
Deondra menelan ludahnya kasar, tapi berusaha untuk terlihat berwibawa.
"Bantu aku membersihkan botol kaca yang pecah di kamarku. Alrix pulang sore tadi dan para pelayan ada di kamar mereka," katanya datar, masih menatap kepala Arinda yang menunduk.
"Baik Tuan, biar saya yang membawanya," ujar Arinda sambil maju mendekat.
Diraihnya uluran serokan sampah yang sudah sempat di ambil Deondra. Lalu mengikuti Tuan mudanya menuju kamar. Dia sering memasukinya, bersama ketua pelayan untuk mengambil pakaian kotor dan juga sekedar membereskan beberapa barang.
Seusai mengangkut kaca yang berserakan. Arinda yang akan berjalan keluar sempat tersentak saat melihat darah yang mengalir dari jari-jari kaki Deondra yang berdiri tak jauh darinya.
Darah itu menetes ke lantai pualam putih, menambah rasa terkejut Arinda. Apalagi saat tahu darah itu mengering.
"Tuan Muda, kaki Anda berdarah." Arinda mendekat, berjongkok di hadapan Deondra yang sudah tak dapat menahan debaran jantungnya.
Saat ini dia tengah berdiri di sisi ranjang, memperhatikan gerakan Arinda yang tengah membereskan serpihan botol kaca alkohol miliknya yang sengaja dia lemparkan karena kesal. Bayangan Arinda dan Alrix yang berpegangan tangan tadi kembali menghantuinya, apalagi sekarang Arinda seakan bertekuk lutut di bawahnya.
"Memang semua wanita tunduk di bawah kakiku," gumamnya sambil tersenyum miring.
"Saya bantu obati ya, Tuan? Ini bisa infeksi," ujar Arinda sopan, mendongak menatapnya.
Wajahnya yang terlihat ceria dan bersinar, justru membuat batin Deondra bergejolak. Ada sesuatu rasa yang bangkit di dalam dirinya, tak bisa di tahan. Dan hal itu membuat Deondra menunduk, lalu meraih bahu Arinda agar bangkit.
Tubuh Arinda memberi signal, seakan tahu bahwa dia sedang ada dalam bahaya.
"Tuan-" Remasan Deondra yang semakin menguat di bahunya membuatnya panik, apalagi saat Deondra mengunci tatapannya dengan sebuah senyuman miring.
"Lebih baik kau mengobati luka yang lebih parah dari kakiku, Arinda. Karena dirimu, aku hampir menjadi gila!"
Arinda berteriak ketika Deondra melemparnya keatas ranjang. Lalu tanpa aba-aba Deondra sudah menindihnya yang berusaha bangkit. Tak memberi kesempatan, Deondra justru membuka kasar jubah putih miliknya.
"Tuan, jangan! Saya mohon!" Ratap Arinda sambil berusaha memberontak.
Tapi Deondra sudah gelap mata, penolakan Arinda justru membuatnya semakin bersemangat. Dia menyakini, penolakan ini ada kaitannya dengan hubungan Arinda dan Alrix. Bahkan tanpa sadar, sifat angkuhnya terbang sejenak saat ini.
"Kau membuatku merasakan jatuh cinta lagi, Arinda. Kini, akan kusalurkan cinta itu padamu!" gumam Deondra, lalu mulai membenamkan bibirnya ke bibir manis Arinda dan memulai semuanya.
Tak peduli bagaimana Arinda yang menolak, berteriak dan menangis. Deondra tetap melakukannya dengan gerakan lembut saat tahu bahwa gadis di bawahnya masih polos dan juga suci. Setelah melakukan apa yang diinginkan oleh tubuhnya, Deondra mengakhiri ulahnya tepat jam sebelas malam. Membiarkan Arinda bangkit dari sisinya yang terjaga, masih menatap wanita di sampingnya dengan perasaan bahagia yang teramat sangat. Dia sudah memiliki Arinda tanpa ada orang lain yang mengetahuinya.
"Aku tahu ini salah, tapi aku tak bisa menahan diriku tadi. Dan lagi, siapa yang menyuruhmu bertekuk lutut di bawah kakiku, kamu 'kan terlihat seperti gadis-gadis di luar sana." Deondra bergumam, menatap wajah Arinda yang sembab.
Bersambung!
Dengan menahan semua rasa sakit dan air mata. Arinda mengenakan pakaian dan jubahnya, lalu segera meninggalkan kamar itu. Sampai di kamarnya, dia menjatuhkan tubuhnya di lantai kamar, menangis tersedu."Ayah, Bunda .... Arin sudah mengecewakan kalian ... Arin sudah kotor," ujarnya dengan suara serak, suaranya habis saat dia berusaha berontak ketika sang majikan melampiaskan hasrat padanya.Sesenggukan dengan perasaan yang menyayat di dalam hatinya. Arinda bahkan tak mampu menggerakkan tangannya untuk mengusap bahu. Tangisnya amat menyedihkan, seakan putus asa dan juga lelah."Apakah ini yang kudapatkan setelah menerima gaji tiga kali lipat itu? Ini tidak ada dalam perjanjian kerja itu 'kan? Tapi kenapa dia lakukan?"Pertanyaan yang tak dia ketahui apa jawabannya keluar, tapi kamarnya membisu takkan mampu ataupun bisa menjawab.Perlahan Arinda bangkit dengan susah payah, lalu
"Kamu tidak bisa melakukan kesalahan sekecil apapun di rumah ini. Karenanya, kamu dipecat!"Bak tersambar petir, tubuh Arinda langsung melemas mendengar ucapan itu. Matanya bahkan sudah berkaca-kaca, dia beringsut mendekati Alrix dengan langkah perlahan. Arinda merasa takut jika harus mendekati Deondra, hingga langkahnya memilih Alrix untuk memohon.Arinda menangkup kan kedua tangannya di depan wajah, memohon."Saya mohon, Tuan Alrix. Jangan pecat saya, saya mohon. Bagaimana saya bisa membiayai pengobatan ayah saya jika saya di pecat?" Sesenggukan Arinda berkata membuat Alrix merasa iba.Deondra yang melihat hal itu, ingin rasanya langsung menonjok wajah Alrix. Entah apa penyebabnya, yang pasti dengan melihat Arinda menangis sudah cukup membuat jiwanya tercabik. Dia mendekati mereka dan menatap Arinda dengan ekspresi angkuh dan sulit di artikan."Semuanya ada pada kekua
"Tidak salah, Tuan. Hanya aneh saja, sekarang pilihan Anda sangat jauh berbeda dari yang dulu, ya?"Deondra menatap wajah Alrix datar, lalu menyunggingkan senyum miring."Dia hanya seorang pelayan, kata siapa dia pilihanku? Yang cocok itu, jika dia menjadi pilihan para petani di perkebunan teh. Aku? Memilih dia? Kamu pasti sudah gila!" Deondra bangkit, tak jadi makan karena sudah kehilangan selera.Alrix tersenyum kecut, tapi kemudian tersenyum tipis. "Jika begitu, saya ada niat untuk mendekatinya. Saya merasa Arinda memiliki daya tarik dan sikap seperti seorang putri kerajaan."Deondra yang mendengarnya hampir berbalik dan mencengkram kerah Alrix yang berjalan di belakangnya. Tapi, itu tak dia lakukan demi menjunjung tinggi harga dirinya."Cih, lakukan saja. Kamu dan dia 'kan sama. Sama-sama pelayanku!" Deondra berkata acuh, padahal tangannya sudah terkepal erat.
Deondra sedang tersenyum sendiri di balkon kamarnya, menatap langit biru yang menampilkan cuaca cerah hari ini. Dia sedang menunggu, menunggu datangnya gadis itu dan menggodanya. Bukankah selama ini itu yang dia dapatkan? Walaupun tak pernah menyentuh para wanita, tapi dirinya selalu di kejar-kejar, membuatnya congkak.Empat tahun lalu dia adalah Deondra yang menyenangkan. Mudah tersenyum dan tertawa bersama dengan para teman dan rekan kerjanya. Dia juga baik hati, penuh perasaan dan juga rendah diri. Hal itulah yang membuat para wanita mengejarnya, memujanya dan mendambakannya. Tapi semua sikap baiknya itu di injak-injak oleh Anne, wanita yang pernah masuk kedalam relung hatinya dan bertahta di sana.Dua tahun dia menjalin hubungan kasih dengan wanita itu. Bahagia dan menghabiskan waktunya dengan ceria. Deondra mencintai Anne sepenuh hati, tak pernah menyangka bahwa gadis itu adalah musuh dalam selimut. Tak pernah Deondra sadari, bahwa
"Apa maksudmu? Kapan aku menyentuhnya?" sentaknya kasar membuat Alrix tak berani lagi untuk melanjutkan ucapannya.Dia menunduk. "Maaf Tuan Muda, saya sudah berkata lancang."Deondra menatapnya, lalu membuang wajahnya dengan tatapan datar. Tapi tak bisa di pungkiri Deondra tengah mendesah sedikit lega, dia amat yakin, pasti Alrix tidak akan tahu apa yang sudah dia perbuat."Aku akan keluar malam ini, siapkan mobil." Deondra berkata, langsung melangkah dengan memasukkan kedua tangannya di saku celana.Alrix berbalik, mengikuti Deondra yang berjalan memasuki kamarnya. Deondra menuju kearah rak, mengambil satu botol alkohol melangkah menuju sofa."Anda mau kemana?" Alrix bertanya, wajahnya terlihat cerah.Selama ini Tuan Mudanya itu selalu mengurung dirinya di kantor ataupun kamarnya. Tak pernah Deondra pergi ke tempat hiburan malam ataupun ber
Seketika seluruh isi Bar yang dimasuki oleh Deondra hening. Padahal tadi musik berdentum memekakkan telinga. Bahkan para bartender dan juga wanita penghibur yang awalnya meliuk-liukkan tubuh seksinya di lantai dansa juga ikut melihat kearah pintu. Tak percaya dengan tatapan mata mereka yang menampilkan sosok Deondra. Pria dewasa yang amat berpengaruh di seluruh kota. Perusahaannya yang besar dan bercabang-cabang, cukup membuat namanya tersohor dan sosoknya amat di kenali di seantero kota.Kabar tentang Deondra yang menjauhkan diri dari hiburan malam, para wanita dan dunia luar cukup besar hingga sampai ke telinga masyarakat yang mengenalinya. Bahkan ada yang menyebarkan berita bahwa Deondra bersumpah untuk tak lagi ingin jatuh cinta. Sikapnya yang berubah 180° itu berhasil membuat orang-orang yang mengaguminya menjadi kecewa. Pasalnya dulu Deondra adalah seumpama malaikat tak bersayap yang rajin menyebarkan kebaikan dan juga tatapan penuh kasih sayangnya pada
Arinda menjatuhkan tubuhnya ke ranjang miliknya setelah menyelesaikan tugas akhir. Diraihnya ponsel yang dia charger di atas meja kecil di sebelah tempat tidur, memeriksanya sebentar. Karena tak ada yang penting, diletakkannya ponsel itu sembarangan lalu menatap langit-langit kamar."Kapan Ayah bangun? Sudah sebulan lebih sejak kejadian itu, tapi tidak ada perubahan sama sekali," ungkapnya sedih, dia menghela napasnya pelan.Termenung sendirian sampai tak sadar air matanya sudah mengalir melewati pelupuk. Seharian ini dia berusaha kuat, berusaha terlihat kuat saat ada pelayan senior yang menyapa dan berbincang dengannya. Arinda masih berusaha memancarkan senyum, menampilkan bahwa dia baik-baik saja. Padahal, seluruh hatinya hancur dan pikirannya sedang bertengkar dengan semua bayangan malam itu yang selalu bergentayangan di kepalanya.Arinda hanya seorang gadis rapuh, manja dan juga mudah merasa hancur. Kasih sayan
"Siapa?" batin Alrix.Tapi Alrix tak berani menanyakannya langsung. Dia tak ingin membuat hati Tuan Mudanya berubah lagi. Saat ini, dia sudah dapat melihat bahwa Deondra mulai tenang, mungkin sebentar lagi akan tertidur."Keluarlah Alrix, aku ingin sendiri." Deondra berkata membuat Alrix akhirnya mengangguk."Baik Tuan, jika anda butuh sesuatu saya ada dibawah," ucapnya."Hmm," sahut Deondra malas.Saat Alrix sudah terdengar menutup pintu, matanya terbuka lagi. Dia menatap pintu itu dengan tatapan mata yang menyiratkan sesuatu. Kesedihan, itulah yang dapat di lihat dari sorot mata itu. Sorot mata yang selama ini selalu dia rahasiakan."Biarlah, aku tetap ingin menjadi seperti ini. Aku ingin menunjukkan padanya, aku tidak selemah dulu."Deondra bangkit dari duduknya, berjalan kearah balkon. Dia berdiri mematung, menatap pijar