Share

BAB TUJUH ~ I Got you 

BAB TUJUH ~ I Got you 

       

"Akhirnya kau kembali," seruan Keira terdengar begitu Alessia memasuki ruang tamu. Lalu, seluruh pandangan tertuju padanya. 

Alessia hanya mengulas senyum tanpa mengatakan apa-apa. Semua ini terjadi sangat tiba-tiba hingga Alessia belum dapat mencerna dengan baik. Pagi yang buruk. 

Arabella mengambil satu langkah maju. Mengulurkan tangan ke depan—menyentil kening Alessia. "Kau berhasil, Ale. Kau sukses membuat kami kalang kabut mencarimu!" geramnya. 

Alessia meringis kesakitan. Mata birunya menatap jengkel Arabella dengan kening berkerut. "Aku baru pulang dan kau sudah menyiksaku?" ia mengusap-usap keningnya. "Babe, segala hal tidak semudah yang terpikirkan." 

"Memangnya apa yang kami pikirkan?" sahutan Velove membuat Alessia memutar bola matanya. 

"Kita semua tahu cara menjaga diri sendiri. Kalian tidak ingat? Sudah sejak kecil, apa itu masih membuat kalian meragukanku?" 

"Kami meragukan mereka. Bukan dirimu." timpal Arabella serius. 

Anggukan malas lengkap dengan embusan napas lelah memenuhi wajahnya. Alessia tahu, sangat tahu kekhawatiran mereka dari banyaknya pengalaman Arabella. Tapi tetap saja, Alessia tidak suka diragukan seperti ini. "See? Kalian bisa melihatnya sendiri, aku masih baik-baik saja." katanya berniat pergi tapi pertanyaan Velove setelahnya menghentikanya. 

"Kalau begitu jelaskan. Darimana saja kau semalaman? Apa kau sendirian? Dan juga...." pandangan menilai tampak jelas begitu Velove meneliti gaun yang dipakai Alessia. "Pakaianmu?" tanyanya dengan sebelah alis terangkat. 

Velove menyilangkan kedua tangan ke depan. Mengamatinya lekat-lekat hingga membuat Alessia tidak nyaman. 

"Apalagi setelah melacakmu, kami menemukan lokasimu masih di sekitar kelab tapi kami tidak dapat menemukanmu." tambah Keira. 

Alessia terdiam sejenak, tatapan Velove sekaligus penjelasan Keira benar-benar mengintimidasinya. Membuatnya resah di tempat. Ugh, oh ... Alessia harus memulai dari mana? 

Butuh beberapa detik sebelum Alessia menjawab. "Pertama, aku menyewa kamar. Kedua, ya, aku sendirian. Ketiga, aku meminta Merry untuk membelikanku pakaian baru. Gaunku terkena bir semalam." bohongnya. 

Keheningan merebak di antara mereka begitu tiga pasang mata di sana menyipitkan mata, menatapnya curiga. 

"Ale...." panggil Velove. 

"Aku serius. Lihatlah, tidak ada yang berbeda dariku, bukan?" 

Alessia hanya asal mengatakan ini. Sebenarnya ia sendiri tidak yakin dengan apa yang sempat dikatakannya apalagi ketika dia pergi pagi ini tanpa sempat bercermin. Ditambah lagi dia tidak mengingat apa pun yang terjadi kemarin, Alessia merasa was-was juga kalau-kalau ada sesuatu yang membuatnya terlihat berbeda. 

Karenanya Alessia memilih pergi—melewati mereka begitu saja tanpa memedulikan tatapan tajam Velove. 

Helaan napas lega mengangkat sedikit beban di pundak Alessia begitu beberapa saat setelahnya mereka kembali berlalu ke ruang tengah, menikmati waktu santai mereka di depan televisi. Diam-diam Alessia menggumam syukur dalam hati. Karena kalau mereka tahu yang sebenarnya terjadi bukan suatu rahasia mereka akan membuat perhitungan dan namanya akan terangkat ke permukaan. Alessia sebisa mungkin menghindari segala yang terburuk dari yang terbaik mengingat peliknya kehidupannya. 

Alessia membuka lemari pendingin, meraih sebotol air mineral lalu menenggaknya hingga setengah. 

Sungguh ... Velove lebih menakutkan dari sosok ibunya. Ketegasanya kerap kali membuat Alessia kesulitan. Alessia menyukai kebebasan begitu pun Arabella, namun sayangnya Velove sedari dulu tidak pernah mengizinkan mereka bergaul secara bebas meski mereka tinggal di kota besar yang penuh dengan kebebasan. 

"Ale...." panggilan Arabella membuat Alessia melonjak di tempat. 

"Kau mengejutkanku, Ara!" protesnya. 

Hening. Arabella diam saja sambil memperhatikannya dengan tatapan menilai—keseriusan sangat terpancar jelas dari garis wajahnya. Membuat Alessia mengernyitkan dahinya. "Apa yang kau lihat?" 

"Pakaianmu." 

Alessia mengangkat satu alisnya, tersenyum santai. "Ada yang salah dengan pakaianku?" tanyanya seraya kembali menenggak isi botolnya. 

"Bukan," Arabella menatapnya serius. "Maksudku, parfum yang menempel di tubuhmu. Milik siapa?" 

Seketika Alessia tersedak minumannya. Ia terbatuk, menepuki dadanya sendiri sambil berusaha menghindari tatapan Arabella. Sialan! Bagaimana dia tahu?  

Arabella mendengus, melipat tangannya ke depan. "Kau mengenalku berapa tahun? Satu? Atau, mungkin ... dua?" 

"Mana mungkin. Kita bahkan nyaris bersama sepanjang hidup." selanya yang kemudian Alessia merutuki jawaban cepatnya begitu melihat tatapan sinis Arabella yang tertuju padanya. 

"Lalu kenapa kau berbohong? Membohongi kami?"

Alessia mengulum bibir, tampak gelisah. "Sebenarnya apa yang kau bicarakan, Ara? Aku tidak mengerti." elaknya. 

Kecemasan menenggelamkan Alessia. Dari nada suara Arabella ia yakin perempuan itu pasti tahu. Seharusnya—seharusnya tidak begini, kan? Bagaimana dia akan memulai? 

"Kau tidak sebodoh itu, Ale. Aku kerap bergonta-ganti pria. Wewangian dari tubuhmu jelas sudah menjawab semuanya. Kau mengerti sekarang?"

Yeah, Alessia melupakan satu hal. Ketika terbangun, pria gila itu memeluknya, sudah di pastikan wangi tubuhnya menempel pada Alessia. Sialnya lagi, Alessia tidak mandi, hanya mengganti pakaiannya lalu pergi. Jelas Arabella menodongnya, meminta penjelasan. 

Alessia bersandar pada pintu lemari pendingin sementara tangannya sibuk memainkan tutup botolnya. Kalau sudah kepalang basah seperti ini, dia sudah tidak bisa mengelak lagi. Hingga beberapa lama setelahnya barulah ia menjawab. 

"Ya. Aku berbohong pada kalian." Alessia membenarkan kecurigaan Arabella. "Aku tidak tahu, bahkan untuk mengingatnya saja aku tidak bisa. Lalu, apa yang harus kukatakan?" 

Satu alis Arabella naik. "Kau tidak mengingatnya?" 

Alessia menggeleng lemah dengan wajah tertunduk. Andai dia mengingat pastilah ia tidak akan secemas ini. Begitu dia bangun, dia sudah ada dalam pelukan Alby, melingsek ke dadanya dengan hanya mengenakan dalaman saja. Ia bahkan tidak ingat apa yang terjadi pada gaunnya. 

Kemudian Arabella menarik napas tajam, menatap Alessia lama. "Kau...." 

Alessia mengangkat wajah begitu ucapan Arabella menggantung di udara. Terdengar ragu-ragu lengkap dengan tatapan beragam di matanya. Antara penasaran dan mencoba mengerti. 

"Lupakan. Kita sudah sama dewasanya. Kami tidak akan ikut campur mengenai kehidupan pribadimu, tapi kau tetap harus ingat untuk tidak sembarang menaruh kepercayaan. Mengerti?" 

Seulas senyum memghiasi wajah Alessia—ia mengangkat sebelah tangan hormat lalu menjawab, "aye-aye kapten." 

Arabella hanya menggeleng pelan, balas mengulas senyum pengertian layaknya seorang ibu yang memergoki putrinya mencuri sepotong kue. Dia baru saja berniat pergi sebelum panggilan Alessia membuatnya berhenti. 

"I believe in you, Ara." 

"Don't trust anyone in this world, Ale."

Jangan percaya siapa pun, huh? Alessia tahu kiasan itu tapi tetap saja, saat ini apa yang bisa dia lakukan selain bersikap tenang dan seolah tidak terjadi apa-apa padanya? Jawabannya tidak ada. 

Waktu dengan cepat berlalu. Alessia dan yang lain masih bersantai ria di depan televisi. Siaran berita masih memenuhi mereka, kegiatan membosankan Velove dan Keira yang sampai saat ini sering Alessia keluhkan. Mereka itu perempuan, bisakah mereka membaca majalah fashion atau minimal menonton drama? Tapi pilihan mereka masih tetap berita. 

Jemari Alessia tengah membolak-balikan lembaran majalah fashion di tangannya. Ia berselonjor ria di sofa panjang ruang tamu sambil sesekali menyesap susu hangat buatan Arabella begitu dia selesai mandi. Tatapannya tampak santai, namun tidak dengan matanya. 

Manik birunya menatap liar lembaran demi lembaran yang ia buka—meneliti, menghitung secara spontan dalam kepala, menerawang penuh pertimbangan. Tabungannya mulai menipis, tapi melihat berbagai tas dan sepatu baru membuatnya tidak bisa tinggal diam. 

Alessia itu ratunya berburu barang terbaru. Dia akan membeli semahal apa pun barang tersebut meski dia tidak tahu akan ia gunakan ke mana, sebagai apa. Yang terpenting baginya adalah barang itu lucu, bermerk dan pastinya unik. 

"Lupakan bulan ini, Ale. Kau sudah miskin sekarang." Alessia mencebik mendengar suara sirat ejekan Keira terdengar di belakangnya. Perempuan itu baru saja mengambil minum dari dapur dengan sedikit mengintip ke arahnya. "Lagipula tasmu sudah banyak," katanya mengingatkan. 

"Lebih dari banyak," Arabella mengangguk setuju. "Tabungannya menipis dan dia bahkan menolak Stevano. Sombong sekali, bukan?" tambah Arabella dari ujung sofa, menatap Alessia remeh sambil merapikan cat kukunya. 

"Kau harus berhemat, Ale. Setidaknya, sebelum kau mendapat pekerjaan baru." ucap Velove mengingatkan. Sebelah tangannya meraih gelas susu Alessia lalu meminumnya sejenak. Kalau sudah memasuki ceramah begini, mereka bisa tiba-tiba menjadi sekutu, memojokkan dirinya seakan dia anak kecil yang bebal. 

Alessia mengendik acuh, masih setia memperhatikan gambar-gambar dari lembaran majalahnya. "Aku sudah berhemat lebih dari dua minggu, Vee. Setidak-tidaknya, aku perlu membeli satu bulan ini." rengeknya. 

"Untuk apa? Chanel merah, Zara hitam dan YSL navymu saja belum kau pakai. Gunakan saja itu dulu." 

"Itu sudah kupajang di rak," Alessia mencebik, bibirnya mengerucut sebal. 

Gelengan tidak habis pikir mereka memenuhi ruangan. "Kau tidak punya pilihan, Ale." kata Velove sebelum kembali mengalihkan perhatiannya pada layar televisi. 

Tak berapa lama Alessia menutup majalahnya. Ia pindah ke samping Arabella, meminta untuk di pakaikan kutek yang di balas cebikan malasnya, tapi Arabella tetap meraih jemari Alessia dan mulai memolesnya. "Well, mengapa paman tidak memberi kita pekerjaan?" Suara Alessia sempat mendapat lirikan Velove. "Setidaknya aku tidak menganggur hingga miskin seperti sekarang."

"Kau tidak ingat? Musuh masih berusaha mencari kita, Ale. Kita tidak ada yang tahu kekuatan macam apa yang dia bangun setelah kita menghancurkannya. Jangan berpikir sempit. Ayah hanya sedang menyetabilkan keadaan, bukan memblacklist kita." Keira menyahut tanpa mengalihkan pandangannya, tampak serius mendengarkan berita sementara dia sibuk berkutat dengan ponselnya. 

Velove mengangguk membenarkan. "Yang dikatakan Keira benar. Beberapa bandit kelompok itu masih merajalela. Mereka bisa dengan mudah mendapatkan kita jika masih aktif dalam agensi apalagi terakhir kali wajah kita hampir ketahuan." 

Kekehan geli Arabella mengudara. Ia menutup tutup cat kukunya begitu selesai dengan kuku-kuku Alessia. "Setidaknya aku masih dapat menghasilkan uang." katanya bangga. 

Memang di antara mereka Arabella-lah yang sudah berhasil mendirikan butiknya sendiri. Tidak sepenuhnya, karena orangtuanya masih membantu menopangnya. Namun, tetap saja Arabella masih mampu menghasilkan uang meski mereka diliburkan sementara. 

Sedangkan Alessia hanya mendengus tanpa menanggapi. Sebelah alisnya naik begitu Keira meletakkan ponselnya ke atas meja—memperlihatkan beberapa titik merah dalam sebuah grafis putus-putus yang memenuhi layar. 

"Siapa?" pertanyaan Velove mewakilkan rasa penasaran yang lain. 

Keira menarik layar, memperbesar tampilan hingga beberapa wajah asing memenuhi layar lengkap dengan data diri. "Tikus-tikus Lau." 

Arabella menyipitkan mata, menatapnya bertanya. "Lau? Untuk apa kau melacak pak tua itu?" 

Keira mengendik, menggeser layar ponselnya yang memperlihatkan pergerakan dari titik warna merah itu bergeser posisi, berhenti beberapa kilometer dari tempat mereka. Kening Alessia makin berkerut dalam. 

"Apa dia—" 

"Ya. Dia memantaumu. Bahkan grafik menunjukkan sudah dari lama dia mengirim orang untuk mengikutimu." sela Keira membenarkan. 

Alessia merapatkan bibir. Untuk apa? Pertanyaan itu hanya tertelan di benaknya. Ia masih bertanya-tanya, apa yang sebenarnya pria tua itu lakukan hingga sejauh ini. Alessia tidak tahu harus menanggapi bagaimana, karena sejujurnya dia malas berurusan lagi dengannya. Ia menarik napas tajam, mengembuskan napasnya perlahan tanpa berkomentar. 

"Ale...." panggil Velove. 

"Tidak, Vee. Kau mengenalku dengan baik." 

"Tapi, Ale...." 

"Sekali pun kau menanyakan hal sama berpuluh kali, keputusanku masih sama." 

***

Cling... 

Sebuah notif pop-up muncul dari layar ponsel Alessia, memberitahukan pesan masuk baru. Alessia yang masih setengah sadar meraba kasurnya, mencari-cari ponselnya tapi tidak menemukannya di mana pun. Jemarinya masih menelusur, meraba bawah bantal dan begitu dia mendapat benda pipih itu Alessia membukanya. 

Silau. Matanya menyipit kala sinar ponselnya menyala, menyinari sebagian wajahnya yang tidak tertutup selimut. 

Nomor baru. Alessia baru saja berniat mengabaikannya sebelum kemudian sebuah pesan baru kembali masuk. Sekarang berupa file gambar. Merasa penasaran Alessia pun mulai membukanya dan didetik berikutnya ia melotot, kesadaran penuh menyentaknya dari awang-awang begitu melihat apa yang terpampang dari layar ponselnya. 

Tidak mungkin... 

Bagaimana bisa ada foto dirinya bersama dengan seorang pria dan yang lebih mengejutkannya adalah sosok pria yang tertidur disampingnya itu adalah Albyazka Stevano. 

Astaga ... Ini gila! 

Nyaris, hampir saja Alessia membanting ponselnya ketika sebuah panggilan masuk lebih dulu membuatnya berhenti. 

"Aku akan membunuhmu, Stevano!" sembur Alessia tanpa sapaan bahkan tanpa basa-basi begitu panggilan terhubung. 

Jauh di ujung sana tawa menyebalkan Alby terdengar jelas, berdengung di telinganya. Sialan! Mengapa sejak awal tidak pernah ada kata damai untuk mereka? Sesuatu yang berkaitan dengan Alby seakan membuat Alessia terus menerus kesal, entah itu sikap, tawa atau bahkan tingkah menyebalkan pria itu. Ingin rasanya Alessia memukul kepala pria itu dengan high heelsnya. Menyebalkan! 

"Calm down, Darling. Rileks...." Alby memberi jeda yang Alessia yakini pria itu pasti tengah tersenyum mengejeknya. "Aku hanya mengabadikan moment tak terlupakan untukku, atau mungkin ... Untukmu juga,"

"Apa kau sedang tidur sambil berjalan? Aku sudah lupa. Bahkan tidak mengingatnya sama sekali." gerutunya jengkel. 

"Benarkah? Sayang sekali, mengapa hanya aku yang mengingatnya? Padahal—" 

"Stop, it! Katakan apa maumu. Setelah itu musnahkan gambar sialan itu." Alessia menyela tidak sabaran. Kesabarannya sudah di ujung tanduk. 

"Aku mana mungkin memusnahkannya begitu saja? Terlebih, itu perintahmu."

"Lalu apa maumu, Bedebah!" geram Alessia kepalang kesal. 

Tawa menyebalkan itu Alby lagi-lagi memenuhi telinga Alessia. Suara pria itu terdengar geli, tampak menikmati permainan yang ia buat. "Mudah saja. Jadilah sekertarisku, aku janji akan memusnahkannya." 

"Tidak mau!" 

"Alright ... Dua jam." Alby memberi jeda, nada suaranya berat—tampak menantikan. "Aku penasaran bagaimana respon dari teman-temanmu melihat foto kita. Menurutmu, mereka akan melakukan apa?" tanyanya dengan suara ditarik-tarik. 

Sialan! 

"Bedebah! Lupakan saja, tetaplah di sana!!" 

Segera, setelah Alessia memutuskan panggilan sepihaknya ia bergegas bersiap lengkap dengan serentetan umpatan yang masih di tujukan untuk Alby. 

Sementara itu... 

Alby mengulas seringai menyebalkannya, menatap foto dirinya juga Alessia semalam dengan tatapan penuh kemenangan. 

"I got you, Darling." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status