Kusapu pandangan mata ke seluruh penjuru kamar. Nampak Pak Satya tengah duduk di atas ranjang dengan laptopnya. Sambil memerhatikan aku.
Waduh, berarti dia lihat dong. Pas aku menggeliat manja sambil menguap lebar. Untung nggak ileran. Bisa malu banget aku.
Ia tak menegurku atau bertanya. Bodo amatlah aku juga tak perduli. Lantas aku bangkit dan melenggang ke kamar mandi. Untuk menyegarkan badan.
"Itu apa di celanamu?" celetuk Pak Satya, membuat langkahku terhenti. Aku sedikit bingung. Apa maksudnya?
Gegas aku menengok celanaku dibagian belakang. Piyama berwarna putih ini sudah ternodai. Huh, bersemulah mukaku karena malu.
Tamu bulanan datang tanpa diundang. Dan parahnya, aku tidak bawa pembalut saat pindah ke rumah ini. Sial, benar-benar sial.
Kuteguk saliva berulang kali, harus ngomong apa aku sama Pak Satya."Em, Bang Sat, boleh minta tolong nggak?" tanyaku sambil membalikan badan dan berjalan mundur ke kamar mandi.
"Apa?" hanya itu balasnya. Dasar cuek!
"Tolong beliin, pembalut ya," aku tersenyum manis. Ya, agar dia mau membelikan barang itu.
"Apa?! Heh, Rindu. Saya ini cowok ya, masak harus beliin kamu pembalut. Malu-maluin aja." ketusnya sambil memandangku entah.
"Oke, nggak pa-pa kalo nggak mau. Biar darah haid saya membanjiri kamar ini." ucapku dengan memutar bola mata malas.
Seketika Pak Satya nampak berpikir. Sejurus kemudian, ia melangkah menuju lemari tanpa sepatah kata pun.
'Ngapain dia ngambil masker?' batinku bertanya-tanya.
"Heh, Bang Sat. Saya ini lagi M bukan kena corona ya, masak iya, harus disumpel pake masker. Parah lu Bang. Jahat bener jadi orang." cecarku dari dalam kamar mandi. Dengan kepala mendongak di daun pintu.
Ia diam.
Lalu memakai masker yang barusan diambilnya dari lemari. What? Aku salah sangka ternyata. Kukira dia menyuruhku menyumpal biar nggak banjir. Ternyata ... tau ah, entah mau apa dia.
"Kamu tunggu, saya mau beliin tuh barang buat kamu." ujarnya lalu melangkah pergi. Seraya menyambar dompet yang tergelak di atas nakas.
Aku berpikir sambil garuk-garuk kepala. Ah, iya, mungkin Bang Sat. Menyamar pakai masker untuk beli roti oles selai strawberry biar nggak malu. Tertawa sendiri aku di ruangan ini.
*
Jam dinding menunjukan pukul 09.00 tepat. Itu artinya Pak Satya Sudah 15 menit yang lalu berangkat membeli benda itu.
'Lama amat sih, keburu meluber ini.' batinku kesal. Sudah pegel juga berdiri di tempat yang sama. Bodoh! Kenapa nggak duduk coba? Lantas aku duduk di atas kloset untuk meredakan kaki yang terasa kesemutan.
Derap langkah terdengar mendekat.
"Rin," panggil lelaki itu. Aku berdiri dan menepi di balik daun pintu yang setengah terbuka.
Ia datang membawa satu kantong plastik. Bisa ditebak isinya, Sesuai permintaanku. Menerawang dari dalam sana, benda berwarna pink itu.
"Nih," ucapnya, sembari mengangsurkan kantong kresek itu padaku.
Lekas aku mengambilnya.
"Makasih Bang Sat, baik bener." balasku lembut. Bernafas lega aku. Kukira dia nggak mau beliin. Ternyata, eh ternyata. Ya, gitu deh.
"Hem ...." sahut Pak Satya berhadem ria. Ia, berjalan ke arah ranjang.
"Bang Satya, bisa ambilin handuk sama baju gantiku nggak?" pintaku lagi. Semakin entah pola pikirku sekarang. Kenapa juga aku bisa lupa nggak bawa benda-benda keperluan seusai mandi.
Pak Satya mendengkus. Setelahnya, mengambil handuk yang tertenteng di gastok samping lemari.
"Nih," dilemparnya haduk berwarna biru itu tepat ke wajahku. "kalo baju kamu, ambil sendiri. Ya kali, saya ngambilin dalemannya juga." lanjutnya dengan pundak bergidik.
"Tapi, nanti saya, gimana kalo ganti baju?" tanyaku datar.
"Udah, kamu ganti baju aja di sini. Saya akan keluar." pungkasnya datar. Seperkian detik kemudian Pak Satya berlalu membawa laptopnya keluar dari kamar.
"Da, da, Bang Sat. Makasih ya," pekikku dari dalam kamar mandi. Pak Satya tak merespon hingga punggungnya menghilang dari balik pintu.
Kututup pintu kamar mandi rapat. Dan mulai membuka kantong plastik yang baru saja diberikan sama Pak Satya.
Tak kusangka, selain ia membeli pembalut untukku. Ia juga membeli sebotol minuman ini.
Tepok jidat dah aku dibuatnya. Bahkan, sebelumnya aku tak pernah minum, minuman yang beginian. Peka juga dia, rupanya.
Dua botol minuman khusus untuk wanita haid. Ia belikan untukku. Waw, so sweet. Senyum-senyum sendiri aku dalam kamar mandi ini. Ternyata Pak Satya, nggak seburuk yang kukira. Meski pendiam. Tapi, ia perhatian. Pantas saja Kak Mira selalu bangga mempunyai pacar seperti Pak Satya.Ah, lagi-lagi hatiku kembali mencelos. Mengingat hubungan mereka. Harusnya Kak Mira yang menjadi istri Pak Satya bukan aku. Haruskah aku berpisah? Atau ... entahlah. Semua akan kupikirkan nanti. Lagian, baru kemarin kami menikah. Apa kata tetangga di sini. Kalo aku dan Pak Satya bercerai dalam yang waktu singkat.
Tak ingin larut dalam pikiran yang memusingkan. Segera kujalankan ritual mandiku. Perut juga sudah terasa keroncongan.
*
Kini aku telah bersiap untuk pergi bertemu dengan Maya dan Milea. Mereka berdua sudah aku beritahu lewat chat pribadi.
Saat aku menapakkan kaki di ruang tengah. Nampaklah Pak Satya dan mamanya tengah asik mengobrol.
"Mau kemana Rin?" tegur ibunya Pak Satya.
"Aku mau pergi sama temenku, Tan." balasku seraya mendekati mereka berdua.
"Kamu nggak sarapan dulu? Jangan panggil Tante, panggil aja Mama. Sama kayak Satya." cecar wanita berhijab itu tersenyum simpul.
"Em, nggak Ma, Rindu sarapan di luar aja." sekilas, Pak Satya melirikku dengan ekor matanya.
"Satya, anterin Rindu gih," pinta wanita yang kini menjadi mertuaku itu.
Pak Satya menarik nafas gusar dan mendelik tajam.
"Nggak usah, Ma. Rindu berangkat sendiri aja. Kalo boleh, Rindu mau pinjem mobilnya Bang Sat. 'kan Rindu ke sini kemarin nggak bawa mobil." pungkasku cepat. Gue yakin, si Satya nggak akan mau nganterin. Gue juga males satu mobil sama dia. Apa kata dunia? Kalo sampe lihat gue jalan sama pacar Kakaknya sendiri. Bisa-bisa dicap pelakor aku.
"Apa? Bang Sat!?" mata Mama mertua membola sempurna. Ya ampun. Kenapa pake manggil Bang Sat segala sih. Dikira 'kan aku ngehina anaknya.
"Em, maksud Rindu. Bang Satya Ma, atau Abang Sat. Gitu ...." jelasku pada Mama. Sedangkan Pak Satya diam layaknya patung.
"Ooo." hanya itu balas Mama.
"Boleh nggak nih, aku pinjem mobilnya." ucapku pada Pak Satya.
"Iya, pake aja. Kuncinya di meja sana." Pak Satya menunjuk ke arah meja dekat lemari jam.
"Oke, makasih ya, aku berangkat dulu." lekas aku mengambil kontak mobil di sebrang sana.
"Eh, Rindu. Kamu nggak salim dulu sama suamimu." kata Mama, menghentikan langkahku. Aku mengeryitkan dahi. Apakah seribet ini punya suami. Pake salim segala lagi. Buang-buang waktu.
"Nggak usah, Ma. Mungkin Rindu buru-buru. Udah pergi aja." titah Pak Satya padaku. Bagus, paham sekali dia.
"Hati-hati Rin," sahut Mama sedikit berteriak.
"Oke, Ma ...." kupercepat langkahku menuju garasi yang letaknya di samping teras.
*
Jalanan sedikit macet. Hingga 30 menit aku baru sampai di kafe tempat janjianku dengan Maya dan Milea.
Terlihat dari kejauhan Maya dan Milea tengah duduk di bagian depan kafe yang tempatnya memang terbuka.
Cepat kuparkirkan mobil ini dan menyusul mereka berdua. Sekalian bikin perhitungan dengan kado sialan itu.
"Hay, pengantin baru. Kok baru datang. Kesiangan ya, bangunnya." ejek Milea. Lalu mereka terbahak dengan kedatanganku.
"Heh, kamvret! Gila ya, kalian. Kasih kado memalukan." umpatku kesal. Kemudian kudaratkan bokong ini di kursi.
"Gimana-gimana? Waw 'kan tadi malam?" sahut Maya cengengesan.
"Au ah, udah ah, jangan bahas itu. Bikin mood gue ancur aja." cebikku memandang Maya dan Milea sinis. "gue laper nih, pesenin makanan gih,"
"Iya, iya, lu nggak di kasih makan ya, sama Mama mertua?" tanya Maya tersenyum miring.
"Siapa coba? Yang mau kasih makan menantu nggak ada akhlak kaya si Rindu, hahaha." timpal Milea. Sejurus kemudian. Tawa dua orang ini menggelegar di seluruh penjuru kafe. Hingga para pengunjung memandang heran.
"Heh! Mulut mercon! Kalian bisa diam nggak?! Atau mau, gue jitak pala lu satu-satu? Dasar mulut lemes!" aku mendengkus kasar. Sungguh, berkawan dengan mereka kadang bikin keruh suasana hati. Makin naik pitam saja aku dibuatnya.
"Milea, Rindu, Maya," panggil seseorang. Membuat kami bertiga serentak menoleh ke sumber suara.
Bersambung....
Malam Pertama Dengan DosenPart 16"Mira!" Sekarang ganti Pak Satya yang berteriak hingga telinga ini berdengung.Gegas kami berdua berlari menghampiri Kak Mira yang tengah terkulai dengan luka lebam di beberapa bagian tubuhnya. Lebih miris lagi,Kak Mira tak sadarkan diri dengan tubuh setengah telanjang."Kamu kenapa, Mir?! Bangun ...!""Kak, bangun, Kak!"Teriakan kami berdua tak membuahkan hasil. Kak Mira masih terpejam rapat. Kuraih jaket yang sudah terlempar jauh dari posisi Kak Mira. Lalu menutupi tubuhnya menggunakan jaket itu.Pikiran buruk hinggap di kepalaku. Apa Kak Mira korban pemerkos**n?Bicara apa kau Rindu! Jangan aneh-aneh! Batinku bermonolog merutuki diri sendiri."Mir, apa yang terjadi?!" Berulang kali lelaki yang tengah memangku Kak Mira ini mengguncang pundak kakak tiriku. Gurat wajahnya amat terlihat sedih dan cemas."Kita bawa Kak Mira ke rumah sakit sekara
MALAM PERTAMA DENGAN DOSENPART 15Mataku membola, Kak Mira yang tadi duduk di kursi sebelah kemudi sudah tak ada di tempatnya lagi."Kak! Kak Mira!" teriakku nyaring, tak ada jawaban sedikit pun. Kulihat ponsel Kak Mira yang tergelak di atas kursi.Kugapai benda pipih itu dan lantas menyalakan senter.Sebenarnya aku agak ngeri berada di tempat ini sendirian. Di sini sangat sepi, tak ada pemukiman warga, yang ada hanya tanah lapang juga pabrik bekas pembuatan bumbu petis khas daerah sini. Seram juga alasan kenapa pabrik itu bisa non aktif, dulu ada insiden pegawainya tercebur dalam wajan panas yang berisi bumbu petis. Dengar-dengar, pegawai itu tewas dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Semua kulitnya melepuh, itulah yang kudengar dari warga sekitar rumahku juga di media sosial. Karena memang beritanya dulu sangat viral.Bergidik sendiri kedua pundakku merasakan hawa dingin yang menerpa wajah. Lagi pula, Kak Mi
Malam Pertama Dengan DosenBab 14Benar dugaanku, kalau suara itu berasal dari tante Sarah. Memangnya siapa lagi yang gemar mengomel seperti itu, selain dia."Aku mau nginep di rumah ini." kataku santai. Kulintasi wanita ini begitu saja."Apa? Nginep?!" pekiknya heboh. "Mira, kamu ngapain ngajak dia nginep di rumah ini. Nyusahin aja!" tambahnya terdengar memekak di telinga, meski aku sudah memasuki ruang tamu."Ma, inikan rumah Rindu, dia berhak dong tidur di sini." sanggah Kak Mira setengah berteriak.Sembari mengayunkan langkah menuju kamar, tak hentinya dua wanita berstatus Ibu dan anak itu saling adu kata demi kata. Terserah mereka mau apa? Aku tetap fokus melangkah hingga sudah sampai undakkan anak tangga di bagian tengah.Baru teringat soal Papa. Rumah ini sepi, mungkin Papa belum pulang. Pikirku.Karena memang sangat biasa sekali begitu, dari dulu Papa selalu pulang malam. Hingga akhirny
MALAM PERTAMA DENGAN DOSEN Bab 13"Maaf, maaf, nggak sengaja!" Cepat kutarik diri ke belakang agar menjauh dari Pak Satya. Secepat kilat, ia yang tadi membungkuk pun langsung berdiri tegap. Dengan wajah pias dan salah tingkah. Jelaslah, dia salah tingkah. Karena tadi bibirnya dan bibirku tak sengaja bersalaman. Eh, bersentuhan maksudnya. Ini bukan karena sengaja, melainkan sebuah tragedi yang membuat aku akan tersudut dan akan menjadi tersangka lagi."Pasti kamu sengaja 'kan?" tuduhnya dengan mata elang menyorot tajam."Enggak. Pak Satya sih, yang bikin aku kaget." sanggahku tak terima."Iya, iya, saya tahu kok." seulas senyum manis ia sunggingkan. Tak kusangka, jika ia akan semudah itu membiarkan insident tadi berlalu. Jangan-jangan dia juga mulai ada sesuatu nih sama aku. "Rindu, pulang yuk, udah malam." ajaknya lalu melangkahkan kaki menuju mobil."Tungguin!" Kakiku terasa berat untuk beranjak. Mungkin karena masih terpuk
Gadis kecil itu menghambur memelukku. Namanya Arin. Kakinya memang bermasalah sejak kecelakaan satu bulan lalu."Kak Rindu, Kakak ke mana aja?" Arin menarik dirinya perlahan mundur. Lalu mendongak mentapku."Kak Rindu sibuk," jawabku sambil mengulum senyum."Dia siapa, Kak?" gadis kecil berkaos putih lusuh ini mengangkat dagunya ke arah Pak Satya."Oh, dia temen Kakak, kenalin ya, namanya Satya," kulirik Pak Satya sesaat. Lelaki berwajah teduh itu juga menyunggingkan senyum."Arin, yuk kita makan sama-sama. Tadi Kakak beli nasi bungkus." titahku. Lantas mengajak ia duduk. Diikuti yang lainnya juga. Termasuk Pak Satya."Nggak Kak, Arin pulang aja, nanti Ibu nyariin. Ini udah mau malam, Kak.""Iya, Kak. Kami juga pulang aja ya, kalau boleh nasinya kita bawa pulang aja." anak-anak yang lain menyahut. Sekilas kulirik mentari yang hampir tenggelam di ujung sana. Benar saja, sebentar lagi akan gelap. Lembayu
"Rindu ... kamu bicara apa?""Apa anda kurang jelas dengan yang saya bicarakan?""Saya tidak akan menceraikan kamu dalam waktu sesingkat ini.""Apa jika waktunya sudah seperkian bulan anda akan menceraikan saya? Atau, anda ingin saya semakin dalam mencintai anda. Saya tahu, tak seharusnya saya seperti ini. Tapi saya bukan lah orang yang piawai berbohong. Jika iya, iya, jika tidak ya, tidak. Lebih baik anda buat keputusan sekarang. Jangan biarkan saya lebih tersakiti dengan kedekatan anda dengan Kak Mira." lega hati ini bisa mengatakan sejujurnya."Biarkan waktu yang menjawab semuanya, Rindu," balasnya singkat. Sambil fokus mengemudikan kendaraan roda empat ini.Aku tidak malu, mengatakan cinta terlebih dulu pada seorang lelaki. Bagiku malu itu adalah mengambil hak orang lain. Sedangkan Pak Satya, ia adalah hakku yang halal untukku.Aku juga tidak mengambilnya dari Kak Mira. Semua berjalan atas sekenario Tuhan. Kita seba