Share

Bab 3

Aku menggeliat untuk meregangkan otot-ototku sambil menguap. Nih, badan rasanya sakit semua. Mungkin karena tidur di sofa. Jadi nggak bisa bergerak bebas. Semua gara-gara Pak Satya. Terpaksa 'kan, harus tidur di sini. 

Kusapu pandangan mata ke seluruh penjuru kamar. Nampak Pak Satya tengah duduk di atas ranjang dengan laptopnya. Sambil memerhatikan aku. 

Waduh, berarti dia lihat dong. Pas aku menggeliat manja sambil menguap lebar. Untung nggak ileran. Bisa malu banget aku.

Ia tak menegurku atau bertanya. Bodo amatlah aku juga tak perduli. Lantas aku bangkit dan melenggang ke kamar mandi. Untuk menyegarkan badan. 

"Itu apa di celanamu?" celetuk Pak Satya, membuat langkahku terhenti. Aku sedikit bingung. Apa maksudnya?

Gegas aku menengok celanaku dibagian belakang. Piyama berwarna putih ini sudah ternodai. Huh, bersemulah mukaku karena malu. 

Tamu bulanan datang tanpa diundang. Dan parahnya, aku tidak bawa pembalut saat pindah ke rumah ini. Sial, benar-benar sial. 

Kuteguk saliva berulang kali, harus ngomong apa aku sama Pak Satya. 

"Em, Bang Sat, boleh minta tolong nggak?" tanyaku sambil membalikan badan dan berjalan mundur ke kamar mandi. 

"Apa?" hanya itu balasnya. Dasar cuek!

"Tolong beliin, pembalut ya," aku tersenyum manis. Ya, agar dia mau membelikan barang itu. 

"Apa?! Heh, Rindu. Saya ini cowok ya, masak harus beliin kamu pembalut. Malu-maluin aja." ketusnya sambil memandangku entah. 

"Oke, nggak pa-pa kalo nggak mau. Biar darah haid saya membanjiri kamar ini." ucapku dengan memutar bola mata malas. 

Seketika Pak Satya nampak berpikir. Sejurus kemudian, ia melangkah menuju lemari tanpa sepatah kata pun. 

'Ngapain dia ngambil masker?' batinku bertanya-tanya. 

"Heh, Bang Sat. Saya ini lagi M bukan kena corona ya, masak iya, harus disumpel pake masker. Parah lu Bang. Jahat bener jadi orang." cecarku dari dalam kamar mandi. Dengan kepala mendongak di daun pintu. 

Ia diam. 

Lalu memakai masker yang barusan diambilnya dari lemari. What? Aku salah sangka ternyata. Kukira dia menyuruhku menyumpal biar nggak banjir. Ternyata ... tau ah, entah mau apa dia. 

"Kamu tunggu, saya mau beliin tuh barang buat kamu." ujarnya lalu melangkah pergi. Seraya menyambar dompet yang tergelak di atas nakas. 

Aku berpikir sambil garuk-garuk kepala. Ah, iya, mungkin Bang Sat. Menyamar pakai masker untuk beli roti oles selai strawberry biar nggak malu. Tertawa sendiri aku di ruangan ini. 

*

Jam dinding menunjukan pukul 09.00 tepat. Itu artinya Pak Satya Sudah 15 menit yang lalu berangkat membeli benda itu. 

'Lama amat sih, keburu meluber ini.' batinku kesal. Sudah pegel juga berdiri di tempat yang sama. Bodoh! Kenapa nggak duduk coba? Lantas aku duduk di atas kloset untuk meredakan kaki yang terasa kesemutan.

Derap langkah terdengar mendekat. 

"Rin," panggil lelaki itu. Aku berdiri dan menepi di balik daun pintu yang setengah terbuka. 

Ia datang membawa satu kantong plastik. Bisa ditebak isinya,  Sesuai permintaanku. Menerawang dari dalam sana, benda berwarna pink itu. 

"Nih," ucapnya, sembari mengangsurkan kantong kresek itu padaku. 

Lekas aku mengambilnya. 

"Makasih Bang Sat, baik bener." balasku lembut. Bernafas lega aku. Kukira dia nggak mau beliin. Ternyata, eh ternyata. Ya, gitu deh. 

"Hem ...." sahut Pak Satya berhadem ria. Ia, berjalan ke arah ranjang. 

"Bang Satya, bisa ambilin handuk sama baju gantiku nggak?" pintaku lagi. Semakin entah pola pikirku sekarang. Kenapa juga aku bisa lupa nggak bawa benda-benda keperluan seusai mandi. 

Pak Satya mendengkus. Setelahnya, mengambil handuk yang tertenteng di gastok samping lemari. 

"Nih," dilemparnya haduk berwarna biru itu tepat ke wajahku. "kalo baju kamu, ambil sendiri. Ya kali, saya ngambilin dalemannya juga." lanjutnya dengan pundak bergidik. 

"Tapi, nanti saya, gimana kalo ganti baju?" tanyaku datar. 

"Udah, kamu ganti baju aja di sini. Saya akan keluar." pungkasnya datar. Seperkian detik kemudian Pak Satya berlalu membawa laptopnya keluar dari kamar. 

"Da, da, Bang Sat. Makasih ya," pekikku dari dalam kamar mandi. Pak Satya tak merespon hingga punggungnya menghilang dari balik pintu.

Kututup pintu kamar mandi rapat. Dan mulai membuka kantong plastik yang baru saja diberikan sama Pak Satya. 

Tak kusangka, selain ia membeli pembalut untukku. Ia juga membeli sebotol minuman ini. 

Tepok jidat dah aku dibuatnya. Bahkan, sebelumnya aku tak pernah minum, minuman yang beginian. Peka juga dia, rupanya. 

Dua botol minuman khusus untuk wanita haid. Ia belikan untukku. Waw, so sweet. Senyum-senyum sendiri aku dalam kamar mandi ini. Ternyata Pak Satya, nggak seburuk yang kukira. Meski pendiam. Tapi, ia perhatian. Pantas saja Kak Mira selalu bangga mempunyai pacar seperti Pak Satya. 

Ah, lagi-lagi hatiku kembali mencelos. Mengingat hubungan mereka. Harusnya Kak Mira yang menjadi istri Pak Satya bukan aku. Haruskah aku berpisah? Atau ... entahlah. Semua akan kupikirkan nanti. Lagian, baru kemarin kami menikah. Apa kata tetangga di sini. Kalo aku dan Pak Satya bercerai dalam yang waktu singkat. 

Tak ingin larut dalam pikiran yang memusingkan. Segera kujalankan ritual mandiku. Perut juga sudah terasa keroncongan. 

*

Kini aku telah bersiap untuk pergi bertemu dengan Maya dan Milea. Mereka berdua sudah aku beritahu lewat chat pribadi. 

Saat aku menapakkan kaki di ruang tengah. Nampaklah Pak  Satya dan mamanya tengah asik mengobrol. 

"Mau kemana Rin?" tegur ibunya Pak Satya. 

"Aku mau pergi sama temenku, Tan." balasku seraya mendekati mereka berdua. 

"Kamu nggak sarapan dulu? Jangan panggil Tante, panggil aja Mama. Sama kayak Satya." cecar wanita berhijab itu tersenyum simpul. 

"Em, nggak Ma, Rindu sarapan di luar aja." sekilas, Pak Satya melirikku dengan ekor matanya. 

"Satya, anterin Rindu gih," pinta wanita yang kini menjadi mertuaku itu. 

Pak Satya menarik nafas gusar dan mendelik tajam. 

"Nggak usah, Ma. Rindu berangkat sendiri aja. Kalo boleh, Rindu mau pinjem mobilnya Bang Sat. 'kan Rindu ke sini kemarin nggak bawa mobil." pungkasku cepat. Gue yakin, si Satya nggak akan mau nganterin. Gue juga males satu mobil sama dia. Apa kata dunia? Kalo sampe lihat gue jalan sama pacar Kakaknya sendiri. Bisa-bisa dicap pelakor aku.

"Apa? Bang Sat!?" mata Mama mertua membola sempurna. Ya ampun. Kenapa pake manggil Bang Sat segala sih. Dikira 'kan aku ngehina anaknya. 

"Em, maksud Rindu. Bang Satya Ma, atau Abang Sat. Gitu ...." jelasku pada Mama. Sedangkan Pak Satya diam layaknya patung. 

"Ooo." hanya itu balas Mama.

"Boleh nggak nih, aku pinjem mobilnya." ucapku pada Pak Satya. 

"Iya, pake aja. Kuncinya di meja sana." Pak Satya menunjuk ke arah meja dekat lemari jam. 

"Oke, makasih ya, aku berangkat dulu." lekas aku mengambil kontak mobil di sebrang sana. 

"Eh, Rindu. Kamu nggak salim dulu sama suamimu." kata Mama, menghentikan langkahku. Aku mengeryitkan dahi. Apakah seribet ini punya suami. Pake salim segala lagi. Buang-buang waktu. 

"Nggak usah, Ma. Mungkin Rindu buru-buru. Udah pergi aja." titah Pak Satya padaku. Bagus, paham sekali dia. 

"Hati-hati Rin," sahut Mama sedikit berteriak.

"Oke, Ma ...." kupercepat langkahku menuju garasi yang letaknya di samping teras. 

*

Jalanan sedikit macet. Hingga 30 menit aku baru sampai di kafe tempat janjianku dengan Maya dan Milea. 

Terlihat dari kejauhan Maya dan Milea tengah duduk di bagian depan kafe yang tempatnya memang terbuka. 

Cepat kuparkirkan mobil ini dan menyusul mereka berdua. Sekalian bikin perhitungan dengan kado sialan itu. 

"Hay, pengantin baru. Kok baru datang. Kesiangan ya, bangunnya." ejek Milea. Lalu mereka terbahak dengan kedatanganku. 

"Heh, kamvret! Gila ya, kalian. Kasih kado memalukan." umpatku kesal. Kemudian kudaratkan bokong ini di kursi. 

"Gimana-gimana? Waw 'kan tadi malam?" sahut Maya cengengesan. 

"Au ah, udah ah, jangan bahas itu. Bikin mood gue ancur aja." cebikku memandang Maya dan Milea sinis. "gue laper nih, pesenin makanan gih," 

"Iya, iya, lu nggak di kasih makan ya, sama Mama mertua?" tanya Maya tersenyum miring. 

"Siapa coba? Yang mau kasih makan menantu nggak ada akhlak kaya si Rindu, hahaha." timpal Milea. Sejurus kemudian. Tawa dua orang ini menggelegar di seluruh penjuru kafe. Hingga para pengunjung memandang heran.

"Heh! Mulut mercon! Kalian bisa diam nggak?! Atau mau, gue jitak pala lu satu-satu? Dasar mulut lemes!" aku mendengkus kasar. Sungguh, berkawan dengan mereka kadang bikin keruh suasana hati. Makin naik pitam saja aku dibuatnya. 

"Milea, Rindu, Maya," panggil seseorang. Membuat kami bertiga serentak menoleh ke sumber suara. 

Bersambung....

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yanti D
Lumayan dapat tiga bab buat neenin tidur, hehe
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status