Share

Bab 2

Brugh!

Aku jatuh menindihnya, hingga kami berdua terjerembab. Untung jatuhnya di dada bidangnya, coba kalau di lantai, pasti sakit. 

Sedetik.

Dua detik.

Tiga detik. 

Kenapa mataku tak bisa berhenti menatapnya sih. Jarak wajah kami hanya sejengkal saja. Lamat aku memerhatikan dengan rinci setiap inci dari wajah Pak Satya. Di balik kaca bening itu, ada manik hitam yang indah dan membuatku terhayut akan buaian binarnya. 

"Mau berapa lama kamu di dada saya?" celetuknya. Lantas aku bangkit dan mencari kotak yang entah jatuh di mana. 

Isi dari kotak itu sudah berserakan di lantai. 

 Sial, aku kalah cepat lagi dari Pak Satya. Ia mengambil bungkus kecil beserta secarik kertas yang menempel di bungkus tersebut. 

Lekas aku menunduk malu. Malu semalu-malunya. Semua gara-gara Milea sama Maya! Nasib apa aku, punya teman yang kelakuannya bobrok kayak mereka. 

"Selamat menempuh hidup baru, Rindu. Kami berdua sengaja beli kado sepesial ini buat kamu. Biar makin waw malam pertamanya. Jangan lupa di pake ya ... kasih tahu juga sama  Pak Satya, pake yang bergerigi, agar kuat menanjaknya. salam sayang dari Milea dan Maya, sahabat terbaik kamu." dengan lantang Pak Satya membaca surat tersebut. Kemudian tertawa renyah. 

Mampus! Mungkin kini wajahku memerah bak kepiting rebus. Apa-apaan si Milea sama Maya pake nulis surat begitu segala. Bikin malu aku saja. Dasar teman nggak punya hati. Aku yakin, mungkin sekarang mereka berdua tengah tertawa membicarakan nasibku sekarang. 

"Oh, ini yang kamu maksud barang cewek?" ucap Pak Satya membolak-balik bungkus kecil itu. Aku diam tak berkutik. Semakin geram aku dengan Maya dan Milea. Siapa yang tak naik pitam? Mereka memberiku kado, yang aku sendiri malu untuk menyebutnya. Sekotak tissu sulap dan benda jika dibuka mirip balon tersebut mereka hadiahkan untukku. 

Ck! Dasar! Bergidik ngeri aku membayangkan balon berduri itu. 

"Memangnya kamu pernah pake ini?" tanyanya lagi. Ia menenteng benda itu tepat di depan wajahku. 

Nafasku memburu, menahan gemuruh di dada. Andai saja dua cecongek itu ada di sini. Sudah aku bejek-bejek mereka hingga penyet tak berbentuk. 

"Udahlah, terserah lo deh! Mau mengapakan benda itu.  Yang jelas, tanya aja tuh, sama si Milea dan Maya. Ngapain mereka kasih kado itu. Aku capek!" sungutku. Aku benar-benar dibuat malu dengan benda tadi. Segera kuberanjak naik ke ranjang. Dan menata posisi berbaring yang pas. 

"Rin, kok marah sih?" ucap lelaki itu lembut. Aku enggan berbicara dengannya. Kembali kutarik selimut tebal dan membungkusnya ke seluruh tubuhku.

"Beresin tuh kotak sama amplopnya! Gue mau tidur. Oya, besok kalo udah selesai ngitungnya jangan lupa uangnya kasih ke gue semua." decihku dari balik selimut. 

Hanya terdengar kasak-kusuk ia membereskan amplop-amplop tersebut. Mau dia ngitung kek, mau dia robekin semua kek. Bodo amat. Hatiku benar-benar muntap dibuatnya. 

Kupejamkan mata ini rapat-rapat untuk menyelam ke alam mimpi. Baguslah, dia nggak meminta haknya. Memang seharusnya begitu 'kan? 

Baru saja mata ini terpejam. Kurasa ranjang ini bergerak. Lekas, kusibak selimut yang menutupi wajahku. 

"Ngapain lo tidur sama gue?!" tegurku melihat Pak Satya tengah menata posisi untuk rebahan.

"Lah, ini 'kan kamar saya. Suka-suka saya lah mau tidur di mana aja. Kalo kamu keberatan. Sana tidur di lantai atau di sofa." balasnya lempeng. Setdah, berani juga dia. Benar juga, perkataannya. Ini kamar dia, juga rumah dia. Sedangkan aku ... di sini, aku cuma numpang sekarang. Masa iya, aku harus tidur di sofa. Tapi, kalo tidur seranjang dengannya. Takut jiwa kelelakiannya brontak, bisa gawat itu. Mending cari aman deh, dari pada bunting dadakan. 'kan serem. 

"Mendingan gue tidur di sofa deh, ketimbang tidur sama lo." ujarku ketus. Lantas menyambar bantal dan membawanya ke sofa. 

"Terserah," 

Kurebahkan bobot ini di sofa. Miris sekali hidupku, di rumah jadi anak tiri. Di sini sama kayak anak tiri juga. Hidup macam apa ini, Tuhan?! Apa ini sebuah kutukan untukku? Karena jadi anak yang selalu membangkang. 

"Jangan lupa matiin lampunya." pintanya padaku. Wah, benar-benar nih orang ngajak gelud. Terpaksa dengan berat hati. Aku kembali berdiri dan melenggang menuju saklar lampu. 

"Puas lo!" pekikku padanya. Ia tak menanggapai. Kini hanya remang cahaya dari lampu temaram di sisi ranjang yang menerangi kamar ini. 

Lelah yang hinggap di sekujur badan membuat mata ini terasa berat. Setelahnya, aku merasa gelap dan tak bisa melihat apa-apa lagi. Iya lah, gelap. 'kan merem. 

*

Samar bayangan tengah mengotak-atik bagian tubuhku. Apa ini mimpi? Apa lagi mataku belum melebar sempurna. Sedang apa sosok itu? Apa jangan-jangan dia hantu? Hih! Serem! 

"Aaaaa!" aku menjerit. Reflek kaget, kutendang sosok itu hingga tersungkur ke lantai. Entah kena area yang mana, hingga membuatnya tergelak di lantai dan tak bergerak lagi. 

Kusibak selimut yang menutup tubuhku. Dan berlari ke arah saklar lampu, lalu menyalakannya. 

Pak Satya tengah terkulai di atas lantai. Apa jangan-jangan dia qo'it ya? Waduh nggak-nggak, jangan sampe dia mati beneran. Bisa di sangka perempuan bahu laweyan aku. Karena suami mati saat malam pertama.

Eh, tunggu! Kualihkan padangan mataku ke arah sofa. Ya ampun! Ternyata Pak Satya tadi tengah memakaikan aku selimut. Duh, kok jadi begini sih. Aku kira dia mau macam-macam. 

Aku duduk berlulut sambil menggoyang-goyangkan lengan Pak Satya. 

"Bang! Bang Sat, bangun dong! Jangan becanda ih," tak ada pergerakan darinya. Aku mengecek nadi pada pergelangan tangannya.

Masih berdenyut. 

"Bang Sat, jangan gini dong! Cupu amat sih, masak ke tendang gitu aja pingsan." ujarku, sambil mengoyak pundaknya. Lagi. 

Ia tak kunjung merespon. Nih, orang pingsan beneran. Apa cuma pura-pura sih?

"Gue, hitung sampe tiga nih, kalo lo nggak bangun bakal gue siram pake air." kataku, mendelik tajam.

"Satu ...."

"Dua ...."

"Tiga ...."

"Fix, nggak mau bangun juga, gue siram beneran." aku melenggang ke kamar mandi yang letaknya menyatu dengan kamar. 

Baru beberapa langkah darinya, aku menoleh. Pak Satya masih di posisi yang sama.

 Beneran pingsan ternyata. 

Aku membalikan badan dan medekatinya kembali.  Kuurungkan niatku untuk mengambil air. Kasihan juga dia, kalo beneran pingsan.

Kupindai seluruh wajahnya, "waw, sungguh wajah yang damai tenang dan ... membuat hatiku tersentil." gumamku. 

Bahkan, serasa ada terpaan denyut yang mengacaukan keteguhan hatiku sebagai zomblo berkelas. 

Itu, dulu. Sekarang tentu tidak. Eh, eh, stop Rin. Kenapa kamu jadi ngebucin sih. Ingat! Cowok lempeng kayak Pak Satya ini bukan kriteria kamu. Cowok kriteria kamu 'kan Masberto maskulin dan bertato. Stop ah, ngelawaknya. Kasihan noh, si Bang Sat sedang tak berdaya. 

Untung aja gue bukan tante-tante genit. Yang pintar memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Dalam posisi begini, pasti si Bang Sat udah di culik noh sama pembaca, eh maksudnya sama tante-tante. 

Apa aku kasih nafas buatan aja kali ya, biar dia bangun. Atau aku panggil Mama papanya Bang Sat aja, biar bisa bantu. 

Jangan Rin, dikira kenapa lagi, dia bisa pingsan begini. Sungguh, aku bingung mesti gimana.  

Kasih nafas buatan. Kagak. Kasih nafas buatan. Kagak. Alah, kasih aja lah, semoga dia cepat bangun. 

Setelah beberapa saat membuat keputusan. Akhirnya ....

Kudekatkan wajahku ke wajahnya Bang Sat, jujur aku gugup. Mendingan aku merem aja deh. Biar nggak canggung. 

Perlahan, kumonyongkan bibir ini bersiap untuk meniup. 

"Mau ngapain? Hah!" celetuknya, aku berjingkat kaget serta menjauh. Sialan ternyata cuma pura-pura dia. "dasar mesum!" ejeknya tertawa lepas. Lalu bangkit dan duduk. 

"Wah, lo ngerjain gue ternyata. Awas aja lo, bakal gue bales." sungutku kesal. Lantas, aku kembali membanting tubuh ini di sofa. 

"Nggak usah malu deh, tadi aku denger ada yang tersentil hatinya." ejeknya lagi. Semoga hanya guyonan belaka. 

Kututup kupingku rapat-rapat. Dan kembali memejam. 

Entahlah, seterusnya aku tak tahu dia melakukan aktivitas apa lagi.

Mau dia ngapain juga bodo amat. Udah terlanjur gedek banget nih hati.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mama Lana
wkwkwk seru thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status