Aku jatuh menindihnya, hingga kami berdua terjerembab. Untung jatuhnya di dada bidangnya, coba kalau di lantai, pasti sakit.
Sedetik.
Dua detik.
Tiga detik.
Kenapa mataku tak bisa berhenti menatapnya sih. Jarak wajah kami hanya sejengkal saja. Lamat aku memerhatikan dengan rinci setiap inci dari wajah Pak Satya. Di balik kaca bening itu, ada manik hitam yang indah dan membuatku terhayut akan buaian binarnya.
"Mau berapa lama kamu di dada saya?" celetuknya. Lantas aku bangkit dan mencari kotak yang entah jatuh di mana.
Isi dari kotak itu sudah berserakan di lantai.
Sial, aku kalah cepat lagi dari Pak Satya. Ia mengambil bungkus kecil beserta secarik kertas yang menempel di bungkus tersebut.
Lekas aku menunduk malu. Malu semalu-malunya. Semua gara-gara Milea sama Maya! Nasib apa aku, punya teman yang kelakuannya bobrok kayak mereka.
"Selamat menempuh hidup baru, Rindu. Kami berdua sengaja beli kado sepesial ini buat kamu. Biar makin waw malam pertamanya. Jangan lupa di pake ya ... kasih tahu juga sama Pak Satya, pake yang bergerigi, agar kuat menanjaknya. salam sayang dari Milea dan Maya, sahabat terbaik kamu." dengan lantang Pak Satya membaca surat tersebut. Kemudian tertawa renyah.
Mampus! Mungkin kini wajahku memerah bak kepiting rebus. Apa-apaan si Milea sama Maya pake nulis surat begitu segala. Bikin malu aku saja. Dasar teman nggak punya hati. Aku yakin, mungkin sekarang mereka berdua tengah tertawa membicarakan nasibku sekarang.
"Oh, ini yang kamu maksud barang cewek?" ucap Pak Satya membolak-balik bungkus kecil itu. Aku diam tak berkutik. Semakin geram aku dengan Maya dan Milea. Siapa yang tak naik pitam? Mereka memberiku kado, yang aku sendiri malu untuk menyebutnya. Sekotak tissu sulap dan benda jika dibuka mirip balon tersebut mereka hadiahkan untukku.
Ck! Dasar! Bergidik ngeri aku membayangkan balon berduri itu.
"Memangnya kamu pernah pake ini?" tanyanya lagi. Ia menenteng benda itu tepat di depan wajahku.
Nafasku memburu, menahan gemuruh di dada. Andai saja dua cecongek itu ada di sini. Sudah aku bejek-bejek mereka hingga penyet tak berbentuk.
"Udahlah, terserah lo deh! Mau mengapakan benda itu. Yang jelas, tanya aja tuh, sama si Milea dan Maya. Ngapain mereka kasih kado itu. Aku capek!" sungutku. Aku benar-benar dibuat malu dengan benda tadi. Segera kuberanjak naik ke ranjang. Dan menata posisi berbaring yang pas.
"Rin, kok marah sih?" ucap lelaki itu lembut. Aku enggan berbicara dengannya. Kembali kutarik selimut tebal dan membungkusnya ke seluruh tubuhku.
"Beresin tuh kotak sama amplopnya! Gue mau tidur. Oya, besok kalo udah selesai ngitungnya jangan lupa uangnya kasih ke gue semua." decihku dari balik selimut.
Hanya terdengar kasak-kusuk ia membereskan amplop-amplop tersebut. Mau dia ngitung kek, mau dia robekin semua kek. Bodo amat. Hatiku benar-benar muntap dibuatnya.
Kupejamkan mata ini rapat-rapat untuk menyelam ke alam mimpi. Baguslah, dia nggak meminta haknya. Memang seharusnya begitu 'kan?
Baru saja mata ini terpejam. Kurasa ranjang ini bergerak. Lekas, kusibak selimut yang menutupi wajahku.
"Ngapain lo tidur sama gue?!" tegurku melihat Pak Satya tengah menata posisi untuk rebahan.
"Lah, ini 'kan kamar saya. Suka-suka saya lah mau tidur di mana aja. Kalo kamu keberatan. Sana tidur di lantai atau di sofa." balasnya lempeng. Setdah, berani juga dia. Benar juga, perkataannya. Ini kamar dia, juga rumah dia. Sedangkan aku ... di sini, aku cuma numpang sekarang. Masa iya, aku harus tidur di sofa. Tapi, kalo tidur seranjang dengannya. Takut jiwa kelelakiannya brontak, bisa gawat itu. Mending cari aman deh, dari pada bunting dadakan. 'kan serem.
"Mendingan gue tidur di sofa deh, ketimbang tidur sama lo." ujarku ketus. Lantas menyambar bantal dan membawanya ke sofa.
"Terserah,"
Kurebahkan bobot ini di sofa. Miris sekali hidupku, di rumah jadi anak tiri. Di sini sama kayak anak tiri juga. Hidup macam apa ini, Tuhan?! Apa ini sebuah kutukan untukku? Karena jadi anak yang selalu membangkang.
"Jangan lupa matiin lampunya." pintanya padaku. Wah, benar-benar nih orang ngajak gelud. Terpaksa dengan berat hati. Aku kembali berdiri dan melenggang menuju saklar lampu.
"Puas lo!" pekikku padanya. Ia tak menanggapai. Kini hanya remang cahaya dari lampu temaram di sisi ranjang yang menerangi kamar ini.
Lelah yang hinggap di sekujur badan membuat mata ini terasa berat. Setelahnya, aku merasa gelap dan tak bisa melihat apa-apa lagi. Iya lah, gelap. 'kan merem.
*
Samar bayangan tengah mengotak-atik bagian tubuhku. Apa ini mimpi? Apa lagi mataku belum melebar sempurna. Sedang apa sosok itu? Apa jangan-jangan dia hantu? Hih! Serem!
"Aaaaa!" aku menjerit. Reflek kaget, kutendang sosok itu hingga tersungkur ke lantai. Entah kena area yang mana, hingga membuatnya tergelak di lantai dan tak bergerak lagi.Kusibak selimut yang menutup tubuhku. Dan berlari ke arah saklar lampu, lalu menyalakannya.
Pak Satya tengah terkulai di atas lantai. Apa jangan-jangan dia qo'it ya? Waduh nggak-nggak, jangan sampe dia mati beneran. Bisa di sangka perempuan bahu laweyan aku. Karena suami mati saat malam pertama.
Eh, tunggu! Kualihkan padangan mataku ke arah sofa. Ya ampun! Ternyata Pak Satya tadi tengah memakaikan aku selimut. Duh, kok jadi begini sih. Aku kira dia mau macam-macam.
Aku duduk berlulut sambil menggoyang-goyangkan lengan Pak Satya.
"Bang! Bang Sat, bangun dong! Jangan becanda ih," tak ada pergerakan darinya. Aku mengecek nadi pada pergelangan tangannya.
Masih berdenyut.
"Bang Sat, jangan gini dong! Cupu amat sih, masak ke tendang gitu aja pingsan." ujarku, sambil mengoyak pundaknya. Lagi.
Ia tak kunjung merespon. Nih, orang pingsan beneran. Apa cuma pura-pura sih?
"Gue, hitung sampe tiga nih, kalo lo nggak bangun bakal gue siram pake air." kataku, mendelik tajam.
"Satu ...."
"Dua ...."
"Tiga ...."
"Fix, nggak mau bangun juga, gue siram beneran." aku melenggang ke kamar mandi yang letaknya menyatu dengan kamar.
Baru beberapa langkah darinya, aku menoleh. Pak Satya masih di posisi yang sama.
Beneran pingsan ternyata.
Aku membalikan badan dan medekatinya kembali. Kuurungkan niatku untuk mengambil air. Kasihan juga dia, kalo beneran pingsan.
Kupindai seluruh wajahnya, "waw, sungguh wajah yang damai tenang dan ... membuat hatiku tersentil." gumamku.
Bahkan, serasa ada terpaan denyut yang mengacaukan keteguhan hatiku sebagai zomblo berkelas.
Itu, dulu. Sekarang tentu tidak. Eh, eh, stop Rin. Kenapa kamu jadi ngebucin sih. Ingat! Cowok lempeng kayak Pak Satya ini bukan kriteria kamu. Cowok kriteria kamu 'kan Masberto maskulin dan bertato. Stop ah, ngelawaknya. Kasihan noh, si Bang Sat sedang tak berdaya.
Untung aja gue bukan tante-tante genit. Yang pintar memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Dalam posisi begini, pasti si Bang Sat udah di culik noh sama pembaca, eh maksudnya sama tante-tante.
Apa aku kasih nafas buatan aja kali ya, biar dia bangun. Atau aku panggil Mama papanya Bang Sat aja, biar bisa bantu.
Jangan Rin, dikira kenapa lagi, dia bisa pingsan begini. Sungguh, aku bingung mesti gimana.
Kasih nafas buatan. Kagak. Kasih nafas buatan. Kagak. Alah, kasih aja lah, semoga dia cepat bangun.
Setelah beberapa saat membuat keputusan. Akhirnya ....
Kudekatkan wajahku ke wajahnya Bang Sat, jujur aku gugup. Mendingan aku merem aja deh. Biar nggak canggung.
Perlahan, kumonyongkan bibir ini bersiap untuk meniup.
"Mau ngapain? Hah!" celetuknya, aku berjingkat kaget serta menjauh. Sialan ternyata cuma pura-pura dia. "dasar mesum!" ejeknya tertawa lepas. Lalu bangkit dan duduk.
"Wah, lo ngerjain gue ternyata. Awas aja lo, bakal gue bales." sungutku kesal. Lantas, aku kembali membanting tubuh ini di sofa.
"Nggak usah malu deh, tadi aku denger ada yang tersentil hatinya." ejeknya lagi. Semoga hanya guyonan belaka.
Kututup kupingku rapat-rapat. Dan kembali memejam.
Entahlah, seterusnya aku tak tahu dia melakukan aktivitas apa lagi.
Mau dia ngapain juga bodo amat. Udah terlanjur gedek banget nih hati.
Malam Pertama Dengan DosenPart 16"Mira!" Sekarang ganti Pak Satya yang berteriak hingga telinga ini berdengung.Gegas kami berdua berlari menghampiri Kak Mira yang tengah terkulai dengan luka lebam di beberapa bagian tubuhnya. Lebih miris lagi,Kak Mira tak sadarkan diri dengan tubuh setengah telanjang."Kamu kenapa, Mir?! Bangun ...!""Kak, bangun, Kak!"Teriakan kami berdua tak membuahkan hasil. Kak Mira masih terpejam rapat. Kuraih jaket yang sudah terlempar jauh dari posisi Kak Mira. Lalu menutupi tubuhnya menggunakan jaket itu.Pikiran buruk hinggap di kepalaku. Apa Kak Mira korban pemerkos**n?Bicara apa kau Rindu! Jangan aneh-aneh! Batinku bermonolog merutuki diri sendiri."Mir, apa yang terjadi?!" Berulang kali lelaki yang tengah memangku Kak Mira ini mengguncang pundak kakak tiriku. Gurat wajahnya amat terlihat sedih dan cemas."Kita bawa Kak Mira ke rumah sakit sekara
MALAM PERTAMA DENGAN DOSENPART 15Mataku membola, Kak Mira yang tadi duduk di kursi sebelah kemudi sudah tak ada di tempatnya lagi."Kak! Kak Mira!" teriakku nyaring, tak ada jawaban sedikit pun. Kulihat ponsel Kak Mira yang tergelak di atas kursi.Kugapai benda pipih itu dan lantas menyalakan senter.Sebenarnya aku agak ngeri berada di tempat ini sendirian. Di sini sangat sepi, tak ada pemukiman warga, yang ada hanya tanah lapang juga pabrik bekas pembuatan bumbu petis khas daerah sini. Seram juga alasan kenapa pabrik itu bisa non aktif, dulu ada insiden pegawainya tercebur dalam wajan panas yang berisi bumbu petis. Dengar-dengar, pegawai itu tewas dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Semua kulitnya melepuh, itulah yang kudengar dari warga sekitar rumahku juga di media sosial. Karena memang beritanya dulu sangat viral.Bergidik sendiri kedua pundakku merasakan hawa dingin yang menerpa wajah. Lagi pula, Kak Mi
Malam Pertama Dengan DosenBab 14Benar dugaanku, kalau suara itu berasal dari tante Sarah. Memangnya siapa lagi yang gemar mengomel seperti itu, selain dia."Aku mau nginep di rumah ini." kataku santai. Kulintasi wanita ini begitu saja."Apa? Nginep?!" pekiknya heboh. "Mira, kamu ngapain ngajak dia nginep di rumah ini. Nyusahin aja!" tambahnya terdengar memekak di telinga, meski aku sudah memasuki ruang tamu."Ma, inikan rumah Rindu, dia berhak dong tidur di sini." sanggah Kak Mira setengah berteriak.Sembari mengayunkan langkah menuju kamar, tak hentinya dua wanita berstatus Ibu dan anak itu saling adu kata demi kata. Terserah mereka mau apa? Aku tetap fokus melangkah hingga sudah sampai undakkan anak tangga di bagian tengah.Baru teringat soal Papa. Rumah ini sepi, mungkin Papa belum pulang. Pikirku.Karena memang sangat biasa sekali begitu, dari dulu Papa selalu pulang malam. Hingga akhirny
MALAM PERTAMA DENGAN DOSEN Bab 13"Maaf, maaf, nggak sengaja!" Cepat kutarik diri ke belakang agar menjauh dari Pak Satya. Secepat kilat, ia yang tadi membungkuk pun langsung berdiri tegap. Dengan wajah pias dan salah tingkah. Jelaslah, dia salah tingkah. Karena tadi bibirnya dan bibirku tak sengaja bersalaman. Eh, bersentuhan maksudnya. Ini bukan karena sengaja, melainkan sebuah tragedi yang membuat aku akan tersudut dan akan menjadi tersangka lagi."Pasti kamu sengaja 'kan?" tuduhnya dengan mata elang menyorot tajam."Enggak. Pak Satya sih, yang bikin aku kaget." sanggahku tak terima."Iya, iya, saya tahu kok." seulas senyum manis ia sunggingkan. Tak kusangka, jika ia akan semudah itu membiarkan insident tadi berlalu. Jangan-jangan dia juga mulai ada sesuatu nih sama aku. "Rindu, pulang yuk, udah malam." ajaknya lalu melangkahkan kaki menuju mobil."Tungguin!" Kakiku terasa berat untuk beranjak. Mungkin karena masih terpuk
Gadis kecil itu menghambur memelukku. Namanya Arin. Kakinya memang bermasalah sejak kecelakaan satu bulan lalu."Kak Rindu, Kakak ke mana aja?" Arin menarik dirinya perlahan mundur. Lalu mendongak mentapku."Kak Rindu sibuk," jawabku sambil mengulum senyum."Dia siapa, Kak?" gadis kecil berkaos putih lusuh ini mengangkat dagunya ke arah Pak Satya."Oh, dia temen Kakak, kenalin ya, namanya Satya," kulirik Pak Satya sesaat. Lelaki berwajah teduh itu juga menyunggingkan senyum."Arin, yuk kita makan sama-sama. Tadi Kakak beli nasi bungkus." titahku. Lantas mengajak ia duduk. Diikuti yang lainnya juga. Termasuk Pak Satya."Nggak Kak, Arin pulang aja, nanti Ibu nyariin. Ini udah mau malam, Kak.""Iya, Kak. Kami juga pulang aja ya, kalau boleh nasinya kita bawa pulang aja." anak-anak yang lain menyahut. Sekilas kulirik mentari yang hampir tenggelam di ujung sana. Benar saja, sebentar lagi akan gelap. Lembayu
"Rindu ... kamu bicara apa?""Apa anda kurang jelas dengan yang saya bicarakan?""Saya tidak akan menceraikan kamu dalam waktu sesingkat ini.""Apa jika waktunya sudah seperkian bulan anda akan menceraikan saya? Atau, anda ingin saya semakin dalam mencintai anda. Saya tahu, tak seharusnya saya seperti ini. Tapi saya bukan lah orang yang piawai berbohong. Jika iya, iya, jika tidak ya, tidak. Lebih baik anda buat keputusan sekarang. Jangan biarkan saya lebih tersakiti dengan kedekatan anda dengan Kak Mira." lega hati ini bisa mengatakan sejujurnya."Biarkan waktu yang menjawab semuanya, Rindu," balasnya singkat. Sambil fokus mengemudikan kendaraan roda empat ini.Aku tidak malu, mengatakan cinta terlebih dulu pada seorang lelaki. Bagiku malu itu adalah mengambil hak orang lain. Sedangkan Pak Satya, ia adalah hakku yang halal untukku.Aku juga tidak mengambilnya dari Kak Mira. Semua berjalan atas sekenario Tuhan. Kita seba