Share

Bab 4

Ternyata yang memanggil lelaki itu, Rudi. pacarnya si Maya. 

"Sayangku, Bang Rud. Akhirnya nyampe juga." sambut Maya tersenyum lebar. 

"Lo suruh dia ke sini?" kompak aku dan Milea bertanya pada Maya. 

"Iya heheh." sahut Maya nyengir kuda. Haduh, ngapain sih, si Maya pake nyuruh Bang Rudnya ke sini. Makin eneg aja. 

"Hay Maya sayang. How are you?" tanya Rudi pada Maya. Lalu mendaratkan bokongnya di kursi. Tentu sebelah Maya. Ya kali, sebelah gue. 

"I'm fine honey." balas Maya lembut. 

"Hueeeek!" serentak aku dan Milea sama-sama berekspresi muntah. 

"Gaya banget lo, Rud. Pake bahasa Inggris segala." celetukku. 

"Biar gaul aja, Rin. Maklum ojol kayak aku 'kan juga harus pintar bahasa Inggris. Siapa tahu ntar dapet penumpang bule." jelas Rudi percaya diri.

"Aw, Baby honey. Aku bangga padamu." sahut Maya sambil menyenderkan kepala di bahu Rudi. 

"Bule apaan Rud? Bulepotan kali wkwkwk!" ejekku. Tangan Maya mencubit jemariku. "sakit May!" 

"Udah-udah, perut lo tadi 'kan laper. Kita pesen makanan yuk." pungkas Milea, lalu mengangkat tangan. "Mbak sini!" panggilnya pada pelayan berbaju khas kafe ini. 

Pelayan pun datang lalu menyerahkan buku menu pada Milea.

"Kalian mau pesen apa guys?" tanya Milea sambil fokus menatap buku menu.

"Udahlah samain aja semua. Ntar gue yang bayar." kataku sombong. Maklumlah aku 'kan anak orang kaya. 

"Serius lo, Rin? Roman-romannya lu habis menang togel ya?" sahut Maya menyelidik.

"Enak aja, enggak lah. Lo kayak nggak tahu gue aja May. Gue 'kan tajir hahah." aku tertawa lepas. "doain aja lah biar gue menang judi. Ntar kalo menang. Gue traktir kalian di mall deh. Sepuasnya belanja apa aja. Gue yang bayar." 

"Oh, oke, Rin siap." balas Maya dengan jari telunjuk dan jempol membentuk huruf O. 

"Pesen burgernya empat ya, Mbak. Minumnya lemon tea aja." kata Milea pada pelayan. Lalu mengembalikan buku menu itu. 

*

Entah berapa lama menunggu, akhirnya pesanan datang juga. 

"Akhirnya datang juga makanannya." kataku, bersiap mengambil sendok di atas meja. 

"Bang Rud, sayang. Maya suapin ya?" cecar Maya, hendak menyuapi Bang Rudnya. 

"Boleh ...." balas Rudi. Kemudian mulutnya menganga. Mangap maksudnya. 

"Haduh, kita jadi obat nyamuk deh. Ya 'kan Mil." aku memutar bola mata malas. 

"Iya, Rin. Apa lah daya nasib zomblo sepertiku." ucap Milea memanyunkan bibirnya. 

"Udahlah, gue doain lo berjodoh dengan Pak Tarjo ya,"

"Uhuuuk!" Milea terbatuk mendengar ucapanku. "wah, temen apaan lu, Rin? Pake ngedoain gue berjodoh sama Pak Tarjo. Ogah! Nggak sudi gue. Mendingan jadi zomblo seumur hidup dari pada nikah sama dia." ketus Milea panjang lebar. Sambil bergidik. 

"Awas tuh doa jadi kenyataan. Nikah aja sana sama Pak Tarjo dia 'kan duda. Belum ada anak lagi. Hahaha." godaku lagi pada Milea. 

"Iya, Mil. Mayan 'kan? belum ada anak." sahut Maya. Si Milea semakin terlihat muntap. 

"Duda, duda sih, tapi lihat dong. Udah umur setengah abad. Masak iya gue doyan sama aki-aki." sungut Milea dengan wajah merah padam. 

Akhirnya semua makanan pindah ke lambung kami masing-masing. Aku beranjak dari tempat duduk dan melenggang ke kasir untuk membayar, tentunya. 

"Totalnya semua berapa Mbak?" tanyaku pada penjaga kasir. 

"Semua 350 ribu, Mbak." jawab Mbak itu. 

"Bisa pake kartu debit 'kan?" 

"Bisa Mbak." 

Lantas kukeluarkan benda pipih itu dari dompetku. Maklum lagi nggak bawa uang cash. 

"Nih, Mbak." kuangsurkan kartu itu padanya. Beberapa detik kemudian ia mengotak-atik mesin electronik itu. 

"Kartunya nggak bisa, Mbak." tungkasnya. Mengembalikan kartu itu padaku. 

"Ya, udah. Coba yang ini Mbak." kuberikan lagi dua kartu debit yang tersisa di dompetku. 

Beberapa saat menunggu. 

"Semua nggak bisa, Mbak. Mungkin kartunya terblokir." jelas Mbak berseragam biru itu. 

"Masak keblokir sih, Mbak?!" aku kesal dengan keadaan ini. Malunya aku, udah sombong bilang ntraktir mereka. Eh, malah kagak bisa kartunya. 

"Lama amat sih, Rin. Bayar gitu aja." ucap Milea berjalan menyusulku. "kenapa muka lo? kayak ikan lohan manyun terus."

"Kartu debit gue nggak bisa digunain. Mungkin diblokir sama Nyokap gue." 

"Aduh, kasihan banget lo ya, hahah. Terus yang bayar makanan kita siapa? Kalo kartu lo nggak bisa?" ledek Milea dengan gaya kecentilannya. 

"Ya, lo lah. Yang bayar. Gue juga lagi nggak bawa uang cash." sungutku dengan alis bertaut. 

"Apa? Gue? Oke, gue bayarin kali ini. Minggir lo!" Milea menyingkirkan tanganku dari meja kasir. "berapa Mbak totalnya?" lanjutnya bertanya sambil membuka dompet. 

"350 ribu, Mbak." jawab wanita berbaju biru itu sambil menunjukkan sepotong kertas. 

"Nih, gue bayar." cebik Milea. Matanya mendelik ke arahku. 

Kumalingkan wajah lalu beranjak meninggalkan Milea, hendak menyusul Maya. 

Dari kejauhan terlihat orang-orang berkerumun di sebrang sana. 'ada apa ya?' batinku bertanya. 

"Mil, ada apa tuh? Orang-orang pada berkerumun." pekikku pada Milea. Ia telah selesai membayar makanan tadi. 

"Iya,  Rin. Ada apa ya?" 

"Lah, kalo gue tahu. Ngapain gue nanya sama lo Maimunah!" 

"heheh, iya, ya."

"Udah, kita ke sana yuk," ajakku. 

Aku dan Milea berlari ke arah orang-orang itu. 

Ternyata Maya tengah pingsan. Kepalanya di pangku sama si Rudi. 

"Maya kenapa, Rud?" tanyaku panik. Sambil berlutut di sisi Maya. 

"Nggak tahu, Rin. Tiba-tiba dia pingsan." jawab Rudi sembari memegangi pipi Maya. 

"Ya udah, kita bawa Maya ke klinik terdekat. Gue takut dia kenapa-napa." ujarku. Milea dan Rudi kompak mengangguk. "pake mobil gue aja." seruku sambil membantu Rudi mengangkat Maya. Sedangkan Milea tengah membukakan pintu mobil lebih dulu. 

*

15 menit dari kafe. Kami berempat sampai di klinik terdekat dari kafe itu. Maya masih diperiksa di dalam ruangan. Sedangkan aku, Milea, dan Rudi menunggu di luar. 

Dokter bernama Fany keluar dari ruangan. Sontak kami bertiga mendekatinnya. 

"Keadaan Maya baik-baik aja 'kan Dok?" tanya si Rudi gelisah. Aku dan Milea diam menyimak. Tentu dengan perasaan was-was juga. 

"Apakah wanita di dalam sudah menikah?" tanya Dokter itu. 

"Belum, Dok. Saya pacarnya." terang Rudi. 

"Dia hamil." jelas Dokter singkat.

"APA?!" kami bertiga melongo bersama. 

Serentak mata elangku dan Milea menatap Rudi tajam. 

Pintu bercat putih itu terbuka lebar. Maya keluar sambil memegangi pelipisnya. Lekas aku dan Milea memapah Maya cepat. 

Dokter itu geleng-geleng kepala melihat tingkah kami. Ya, mungkin dia kaget. Pasalnya Maya belum menikah. Tapi sudah hamil duluan. Aku saja juga tak percaya, tapi ini nyata. 

"Saya akan kasih vitamin buat calon Ibu." kata Dokter. Kedua tangannya menelusup di saku bajunya. Kemudian masuk ke dalan ruangan. 

"Mil, lo tebus gih, vitaminnya. Gue akan bawa Maya ke mobil." intruksiku pada Milea. Ia mengangguk cepat seraya mengekori langkah Bu Dokter. 

Aku dan Rudi membawa Maya ke mobil. Ia duduk di kursi belakang. Bersisian dengan lelaki tampang pas-pasan itu. 

Tak lama menunggu, akhirnya Milea datang menyusul. Ia duduk di sebelahku. 

"Rud, Maya, hamil anak lo 'kan?" tanya Milea pada Rudi. Aku mulai menjalankan mobil ini meninggalkan parkiran klinik.

"Nggak tahu, kali aja Maya punya selingkuhan." celetuk Rudi datar. Sontak aku dan Milea sama-sama menghunuskan nafas kasar. 

"Apa lo bilang? Jangan ngawur ya, mulut lo. Pake nuduh Maya selingkuh lagi. Lo mau gue pites? Hah!" pekikku. Mataku mendelik mengawasi Rudi dari kaca sepion. Mukanya datar. Tanpa ada sesal atau apa pun.

"Ini anak lo lah, lo lupa? Lo bilang ini cara biar orang tua aku setuju 'kan?" Maya buka suara. 

"Astaga! Maya, lo tu kenapa gini sih, nggak ada cara lain apa? Nggak harus ngelakuin hal bodoh begini!" kesalku pada Maya. Aku benar-benar tak menyangka. Jika Maya bisa berbuat senekat ini. Aku tahu, hubungannya dengan Rudi memang tidak disetujui oleh kedua orang tua Maya. 

"Iya, May, dosa lo." Milea menimpali dengan gaya bicaranya yang khas. 

"Ya, mau gimana lagi? Semua udah terjadi. Pokoknya Bang Rud harus tanggung jawab." elak Maya, sambil bersandar di dada krempeng Rudi. 

"Setdah, nih anak. Lo tuh udah dibutain sama cinta ya? Sampe-sampe nekat begini. Orang tua tidak merestui dedek bayi jadi solusi. Bener-bener parah lu May," sanggahku. Semakin melesakan kecepatan mobil membelah jalanan kota. 

"Wah, lo dapet kata-kata bijak dari mana Rin?" mulut polos Milea kembali bertanya. 

"Dari akun efbenya Mimi, May. Ciuuz deh." 

"Oh, Mimi siapa sih? Kayaknya ngetrend banget." 

"Baru ngtrend akhir-akhir ini, Mil.  Karya dia bagus-bagus. Suer deh." kuacungkan jariku membentuk huruf V. 

"Kalian malah bahas orang lain. Nggak mikirin perasaan aku, apa?" protes wanita yang duduk di kursi belakang. 

"Ya, elah, May. Enak lo bikin sendiri, susah kita disuruh ikut nanggung. Pikirin aja, noh. Sama bapaknya si jabang bayi." cebikku. 

"Udah, diem kalian semua." sungut Maya tak terima. 

"Gue anter kalian kemana nih?" tanyaku pada ketiga makhluk yang numpang di mobilku. Eh, mobil Pak Satya tepatnya. 

"Anterin, gue ke kafe, Rin. Mau ngambil mobil soalnya." sahut Milea. 

"Aku juga, mau ngambil motor." si Rudi menimpali. 

Aku tak menjawab. Namun, tetap saja kuantar mereka kembali ke kafe. 

*

"Rin, gimana dong?" tanya Maya, saat ia turun di parkiran kafe. 

"Apanya yang gimana?" aku bertanya balik. 

"Soal ini," Maya menunjuk perut datarnya. 

"Suruh, Rudi tanggung jawab lah, minta restu baik-baik sama orang tua lu."

"E-elah, gampang banget lu ngomong. Papa sama Mama gue, tuh. Benci banget sama Bang Rudi." tepis Maya. 

"Serah lu deh, May. Tadi lo minta solusi. Udah gue kasih tahu malah nyolot kek kodok. Udah ah, gue mau cabut." kututup kaca mobil. Entah, apa lagi gerutu Maya dan Milea di parkiran sana. Kembali kujalankan mobil berwarna hitam ini menuju jalan pulang. Udah kelamaan juga minjemnya. Dari pagi sampe matahari udah bergeser ke ufuk barat. 

*

Mataku menyipit. Melihat seonggok amplop di atas tempat duduk bekas Milea. Saat sudah sampai di garasi mobil rumahnya Pak Satya. 

Kubaca seksama. Ini bukan amplop duit. Ya elah, duit mulu dipikiran gue. Ternyata ini surat hasil tes kehamilan milik Maya. Pasti Milea lupa kasih ke Maya deh nih. Kebiasaan tuh anak. Suka lupaan. Sama kayak gue. 

Lantas, kumasukan amplop tersebut ke dalam tas slempang yang sering kubawa kemana pun aku pergi.

Lanjut, aku melenggang masuk ke dalam rumah. Sepi. Tak ada orang. Entah pada kemana penghuni rumah ini. 

*

Ternyata Pak Satya tengah berada di kamar sambil menonton televisi. Kali ini dia tak memakai kaca matanya. 

"Permisi Pak," ucapku, sambil berjalan ke arah lemari untuk mengambil handuk. 

"Dari mana aja? Baru pulang." tanyanya menatapku biasa saja. 

"Em, habis jalan-jalan. Btw, mobil Bapak enak banget. Nggak bikin nyusruk." kuemban senyum palsu. Ya, biar dia nggak marah. "udah ya, inces Rindu mau mandi dulu." pamitku. Kulemparkan tasku ke atas ranjang. Tak menunggu jawaban darinya. Cepat aku pergi membersihkan diri dari daki yang seharian menempel. 

*

Seusai mandi. Kedua netraku membelalak. Pak Satya tengah memegang amplop hasil tes kehamilan milik Maya. 

Bersambung.... 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status