Share

Bab 5

"Ini punya kamu?" tanya Pak Satya menatapku penuh selidik. 

"Em, itu ... bukan punya saya, Pak. Pak Satya kan tahu sendiri. Kalo tadi pagi saya berdarah. Eh, maksudnya haid." jawabku gugup. Gimana ngejelasinnya? Duh, tuh orang lancang banget sih. Pake buka tas gue segala lagi. 

"Lalu, ini punya siapa? Tadi saya nggak sengaja lihat kertas ini nyembul dari tas kamu. Karena resletingnya kebuka." ujar Pak Satya melangkah mendekatiku. 

Kok dia bisa baca pikiranku ya? Aneh. Apa ini cuma kebetulan. Karena keteledoranku. 

"Em, itu punya, Maya." jawabku cepat. 

"Apa?!"

"Ssstt!" kubekap mulut Pak Satya. Padangan kami bersitatap sesaat. Ia melotot kaget. "maaf, Pak. Nggak sengaja." kutarik tanganku dari bibir lelaki ini. 

"Jadi, Maya temen kamu itu, hamil?!" 

"Iya, Pak. Tapi tolong jangan bilang ke siapa-siapa. Pak Satya juga diam aja ya, di kampus." tekanku. 

"Bukannya dia belum menikah ya?" tanyanya lagi.

"Belum, Pak. Nah itu, yang bikin saya kasihan sama Maya."

"Terus gimana nasib dia?"

"Saya nggak tahu, Pak. Semoga pacarnya mau tanggung jawab. Awas aja kalo pacarnya Maya nggak mau tanggung jawab. Mau saya penggal kepalanya." kukepalkan tanganku erat. 

"Oh, ya udah. Nih suratnya." Pak Satya mengembalikan kertas itu padaku. Tanpa bertanya lebih rinci lagi. 

Pak Satya melangkah menuju rak buku koleksinya. Sedangkan aku ... aku masih sibuk menata hati. Eh, menata rambut yang basah seusai keramas maksudnya. 

Aku berkutat di depan cermin. Memandangi wajah ini. Menyisir rambut,  lalu memakai make up tipis. Selesai. Tak perlu riasan yang aneh-aneh. Aku sudah terlihat cantik. Dengan setelan celana jeans berwarna biru, kaos lengan panjang bergambar tengkorak. Sedikit metal kali ya. Wkwkwk. 

Aku mendekati Pak Satya yang tengah duduk di sofa. Ingatan tentang kartu debit itu muncul di kepalaku. Oke, aku akan segera mengurusnya. 

"Pak Satya ... bisa tolong anterin aku ke rumah Papa nggak?" celetukku, menghentikan aktifitasnya membaca buku.

"Memangnya ada apa? Apa kamu mau pindah rumah?" balasnya datar. Haduh, sekonyong-konyong bener nih orang. Ngusir apa bertanya? Sad amat. 

"Mau ambil motor, Pak." 

"Oh, ya udah. Ayo, keburu malam nanti." ia menutup lembar  bukunya. Seraya berdiri dan menyambar jaket di gantungan. 

Aku mengekor dari belakang. 

*

"Ayo makan malam dulu." ajak Mama mertua. Saat aku dan Pak Satya menginjak undakan anak tangga paling bawah. 

"Iya, Ma." tanggap Pak Satya. Aku mengangguk dan ikut melenggang ke ruang makan. 

Papa mertua sudah duduk dan menunggu di sana. Mantu macam apa aku? Nama kedua mertuaku saja tidak tahu. Parah beud. 

Aku dan Pak Satya duduk bersisihan. Untuk pertama kalinya aku ikut makan bersama keluarga ini. Ada rasa canggung menggangguku. 

"Gimana kuliahmu, Rin?" Papa mertua buka suara. Kukira dia angkuh, ternyata tidak. Seulas senyum khas terbit dari bibirnya. 

"Baik kok, Pa." balasku tersenyum manis.

"Pak, Bu, saya besok mau pulang kampung. Bu Indah sama Pak Martin kan mau umroh." ujar Bibik di sela acara makan kami. Oh, jadi mereka mau umroh. Kalo, Bibik pulang kampung. Lalu aku ... di rumah berdua dengan Pak Satya dong? Wah-wah bahaya ini.

"Iya, Bik. Tapi pulangnya setelah kami berangkat ya," timpal Mama, sambil menyuapkan nasi ke mulutnya. 

"Iya, Bu. Saya ke belakang dulu." pamit Bibik. Lantas ia pergi ke arah kamarnya.

"Satya, kamu jagain Rindu ya, kalo kami pergi." ucap Mama mengerling nakal. 

"Ngapain jagain dia? Udah gede juga." cebik Pak Satya. Sebelum ia meneguk air di gelasnya. Aku mendelik tajam.

"Jangan gitu, Sat. Dia istri kamu sekarang. Sudah sewajibnya menjaga istri." Papa berkata. Sungguh, hanggat suasana makan malam seperti ini, sudah lama aku rindukan. Semejak Mama meninggal dan Papa menikah lagi. Ah, semua membuat hatiku tersayat. Jika mengingat itu. 

"Iya, Pa." dengan berat Pak Satya berucap. Aku yakin, dia terpaksa mengiyakan.

Seusai makan malam kami. Aku dan lelaki kanebo kering ini pamit untuk pergi ke rumahku.

*

Langit yang indah malam ini. Gugusan bintang bertaburan di atas sana, udara dingin menyapa bersama lalu lalang kendaraan yang ramai memenuhi jalan raya. Hanya lagu Nissa Sabyan yang mengalun merdu menjadi penengah di keheningan kami berdua di dalam mobil. Sesekali Pak Satya terlihat ikut bernyanyi meski lirih terdengar sambil fokus menyetir. 

'Kerjain ah,' batinku berkata. Entahlah, jiwa usilku lagi ingin mencuat. 

Dengan cepat, jemariku mengganti musik pada dasboard mobil. Tentu Pak Satya melihatku heran. 

"Kenapa diganti musiknya?" tanyanya. 

Aku belum menjawab. Lantas memutar lagu Alan Walker berjudul faded dengan bas tinggi memenuhi rongga mobil ini. 

Baru tanganku mengangkat ke atas untuk ikut larut dalam lantunan musik. Tangan Pak Satya mematikan audio ini. Menyebalkan. 

"Kok dimatiin sih?" tanyaku mencebik. 

"Harusnya aku tuh yang tanya sama kamu. Kenapa musik menentramkan hati malah kamu matiin. Pake diganti musik DJ luar negeri segala lagi." racaunya tanpa melihatku. 

"Suka-suka gue lah," balasku cuek. 

"Oh, aku tahu. Kuping kamu panas 'kan? Denger lagu religi." ia tersenyum kecil. 

"Sembarangan, lo kira gue setan apa?" tanggapku memalingkan wajah. 

"Gitu aja ngambek." ia semakin melebarkan senyuman. Oh, jangan biarkan hatiku meleleh. Tunggu-tunggu, tadi doi ngomongnya aku, kamu, loh. Kayak ada rasa gimana gitu. Biasanya 'kan selalu pake kata SAYA kok tadi enggak. Biarin deh, biar lebih akrab. 

"Enggak, siapa yang ngambek?" ini nih, saat mulut dan hati tidak bisa bekerja sama. Hati menyuruh diam. Sedangkan mulut menanggapi semaunnya.

Pak Satya tak menjawab. Seketika, dalam mobil ini mendadak senyap. Hingga aku dan ia sampai di rumah mewah bernuansa putih dan gold mendominasi. 

Ia membunyikan klakson. Semenit kemudian pintu pagar terbuka. Tentu yang membuka pembantuku di rumah ini. Ya kali, kebuka sendiri. 

Pak Satya memarkirkan mobilnya di luar pagar. Aku dan dia berjalan beriringan untuk masuk menuju rumah. 

"Eh, Non Rindu ke sini." sambut wanita bernama Bik Marni ART di rumah ini. 

"Iya, Bik." jawabku saat melintasi beliau. Dan segera kutarik tangan Pak Satya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Doi, manut saja. 

"Pa! Papa!" aku berteriak. Tak ada satupun penghuni rumah ini yang menyahut. "Bang Sat, lo tunggu sini ya, gue mau ke kamar ngambil kunci motor." pintaku pada Pak Satya. Ia duduk di sofa ruang tamu. Sedangkan aku melenggang menuju kamarku yang letaknya di lantai atas. 

Kupercepat langkahku agar lekas sampai kamar yang kurindukan. Merebahkan tubuh ini sejenak di kasur. Nyaman sekali hingga membuatku malas beranjak. 

Mata ini terus memandangi ke seluruh penjuru ruangan. Kucari kontak motor yang biasanya tergelak di atas nakas. Namun, benda kecil itu tak kunjung kutemukan. Semua lemari sudah kuobrak-abrik. Tak kunjung menemukan benda itu. 

Pikiranku tertuju pada Tante Sarah, Ibu tiriku. Gegas aku keluar dari kamar dan mencari sosok wanita menyebalkan itu.

"Tan! Tante! Kak! Kak Mira!" beberapa kali aku memanggil. Tak ada sahutan juga. Aku teringat Pak Satya, tadi dia 'kan duduk di ruang tamu. Kok sekarang nggak ada. 

Mataku celingukan mencari lelaki bergelar suami itu. Di mana dia? 

Sayup-sayup terdengar orang berbincang dari taman samping. Aku mendekat dan mengendap di balik kaca gorden. Menguping pembicaraan yang barusan terdengar. Ternyata di sana Pak Satya tengah bersitatap dengan Kak Mira. 

"Mir, kamu masih mencintai aku 'kan?" tanya Pak Satya sambil memegang kedua bahu Kak Mira. Padangan mereka beradu, saling menatap penuh rasa. Mungkin mereka Rindu. Atau entahlah, aku tak mampu menyebutnya.

"Sat, lupain semuanya. Kamu sekarang Adik iparku. Aku akan berusaha menghapus semua kisah kita." lirih Kak Mira. Air bening berlolosan membasahi kedua pipinya. 

"Nggak bisa, Mir. lima tahun kita menjalin hubungan. Itu nggak sebentar, dan aku ... aku masih sangat mencintai kamu." tekan lelaki itu penuh penghayatan. Telinga ini terus menyimak dengan baik.

"Lalu, bagaimana dengan Rindu? Dia istri kamu sekarang. Stop Sat, biarkan semua berlalu. Belajarlah untuk mencintai adikku. Jangan kecewakan dia." cetus Kak Mira. Terlihat jelas isak tangisnya semakin menjadi. 

"Nggak, Mir. Sampe kapan pun cuma kamu yang ada di hati aku. Aku nggak akan pernah bisa mencintai Rindu. Hatiku hanya milikmu selamanya." ucapan Pak Satya sukses memporak-porandakan hatiku. Hatiku terasa tergores dengan belati tajam. Bahkan mungkin akan menancap lebih dalam. 

Pak Satya merengkuh Kak Mira dalam dekapannya. Tangan kekarnya mengelus jilbab berwarna pink yang Kak Mira kenakan. 

'Semua salahku. Aku hanya jadi pengahalang untuk kebahagiaan mereka. Apakah salah? Jika mulai ada setitik rasa pada hati ini. Ah, semua terasa sakit menghujam relung hati. Mereka sangat serasi. Kak Mira Dokter dan Pak Satya Dosen. Sedangkan aku ... aku hanya remahan ciki sisa lebaran. Udah remuk mlempem lagi. Sebegitu tragisnyakah kisah rumah tanggaku.' batinku, sakit. 

"Mir, aku belum menyentuh Rindu. Kamu percaya ya, sama aku. Aku akan berjuang untuk cinta kita." kembali Pak Satya berucap. 

Kak Mira mendongak menatap lamat Pak Satya. Kedua nentra itu bertemu, berkobar saling bertaut penuh harap. 

"Cukup, Sat. Tinggalkan aku. Mungkin setelah ini kita tidak akan bertemu lagi." pungkas Kak Mira. Ia menarik dirinya menjauh dan membelakangi Pak Satya. 

Tiba-tiba saja ada yang menyeretku menjauh dari kaca tempatku menguping tadi. Hingga melipir di dekat tembok pembatas taman dan ruang keluarga. 

Bersambung.... 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status