Share

Berharap Kembali

10 tahun kemudian …

Pagi sudah menyongsong ketika Lili terbangun dari tidurnya, tidur yang di rasanya sangat panjang, saking panjangnya, Lili bahkan bermimpi berbagai hal yang sulit diterima oleh akalnya.

Lili beranjak dari kasur empuknya menuju kamar mandi, lalu mencuci muka dan menggosok giginya, rambut panjangnya menutupi sebelah mata indahnya, ya sekarang usianya 27 tahun, tepatnya 10 tahun setelah kelulusannya dan tentu banyak yang berubah, tubuhnya meninggi dan langsing, kulitnya putih dengan sedikit aksen kecoklatan khas orang indonesia, bibirnya penuh, bukan hanya itu dadanya juga tumbuh tak terkendali, itu sebabnya Lili sering memakai kaos oblong saat masih kuliah.

“Iya pa, aku tahu. bukan itu kan, pokoknya kemarin aku sudah susah payah mengosongkan jadwal” Lili tak berhenti mengoceh pagi-pagi, papanya lagi-lagi mengatur perjodohan sesuka hatinya, alasannya karena Lili sudah sangat cukup umur untuk menikah.

Pagi ini Lili kembali kerutinitas awalny setelah berlibur beberapa minggu keluar negeri, sama seperti wanita seumurannya Lili sangat suka bekerja dan jalan-jalan, semua hal itu membuatnya lupa akan masalah percintaan dan kawan-kawannya. ya, Lili tak pernah berpacaran, percaya atau tidak seusai tamat sekolah Lili lebih gila belajar, mendapatkan penghargaan disana-sini tapi semua itu tak ada artinya sama sekali baginya, laki-laki yang mengantri untuknya pun sangat banyak, tapi semua ditolak oleh Lili, akhirnya karena tak tahan putrinya tak kunjung menikah ayah Lili mengambil keputusan untuk menjodohkan putrinya dengan anak rekan-rekan bisnisnya.

“Sarapan Li?” Sarah tengah menyiapkan sarapan untuknya dan Lili, ibu tiri Lili itu tengah hamil tua.

“Tante lihat berkas yang aku taruh sembarang semalam, nggak?"

Wanita cantik dengan perut besar itu mendengus kesal, entah sudah berapa kali dia memberi tahu Lili jika harus meletakkan benda penting di tempat seharusnya “Ada di kamar tante, untung semalem tante bangun pas kamu pulang"

“Tengah malam gitu? Nggak bisa tidur lagi?"

“Hmm, dekat-dekat lahiran, malah sering insomnia”

“Mau di temani periksa?"

Sarah mengelus puncak kepala Lili yang asyik memakan sarapan paginya, hubungan mereka membaik setahun terakhir karena suatu alasan, di tambah lagi sekarang Sarah tengah mengandung dan itu menambah kegembiraan Lili.

“Nggak usah, kamu kan sibuk kerja, biar tante berangkat sendiri nanti"

“Nggak apa-apa tante, sebagai calon kakak yang baik, emang sudah kewajiban aku untuk menemani tante selama papa nggak ada”

“Benarkah? kamu memang calon kakak yang baik”

Lili meringis dia tak lagi menaruh jarak pada Sarah, bahkan hubungan mereka sudah seperti anak dan ibu kandung, bedanya Lili masih belum mau memanggil Sarah dengan sebutan mama atau sejenisnya.

Seorang enterpreuner muda tengah membuat bangga akhir-akhir ini, dengan terobosan barunya yang gemilang di bidang perindustrian, Garindra Stevenson laki-laki berusia 37 tahun, sukses mengantarkan namanya keranah internasional….”

Lili mendengar dengan seksama berita pagi di televisi yangakhir-akhir ini memang membahas orang yang sama, bahkan Lili sedikit agak bosan mendengar nama yang entah kapan seperti pernah di dengarnya.

“Orang ini akhir-akhir ini happening banget, di kantor pun banyak yang membahas dia" Gerutu Lili yang masih sibuk dengan sandwich buatan Sarah.

Sarah yang memang tak mengerti tentang pekerjaan dikantor hanya manggut-manggut saja, “Tapi dia ganteng lho, Li. tante beberapa kali lihat di tv”

Lili menggangkat bahunya, tanda bahwa dia memang tak peduli, ya selama ini Lili hanya mencuri dengar tanpa mau tahu rupa orang tersebut, buang-buang waktu pikirnya, toh bisa di bilang laki-laki itu adalah rivalnya dalam dunia bisnis.

“Ganteng nggak jadi jaminan kalau dia berkualitas tante, mungkin perusahaan tempat dia kerja cuma melebih-lebihkan saja, buat mendomprak pamor mereka"

“Emang iya? terus yang di lakukan papa kamu itu juga termasuk?”

Lili terbatuk sesaat setelah mendengar pertanyaan Sarah, papa Lili memang pandai dalam memanfaatkan media, dia bahkan sering masuk majalah bisnis sebagai cover utamanya  dan tajuknya selalu ‘Pengusahab sukses dengan gaya metropolitan yang menolak untuk tua’

“Yahh, tante tanya sendiri keorangnya, aku sama papa kan beda”

“Iya, ohh..tante lupa papa kamu sering telepon menanyakan soal kamu ke tante”

“Ohh ya? terus papa ngomong sesuatu tentang perjodohan nggak akhir-akhir ini?”

Sarah menggeleng, suaminya memang akhir-akhir ini tak lagi menyinggung masalah perjodohan putri mereka, “Nggak sih, tante cuma di peseni buat bujuk kamu untuk pertemuan sama seseorang malam minggu depan”

Lili mendengus kesal, entah sudah berapa banyak laki-laki yang di temuinya beberapa tahun terakhir, papanya seperti tidak pernah bosan menjodohkan Lili, biarpun dia tahu kalau hasilnya 100 persen pasti gagal.

“Nggak ada salahnya juga di coba, Li. siapa tahu kali ini berhasil”

                                                                ***

Mengetik berkas memang sudah menjadi kebiasaan Lili yang tak terbantahkan, menemani bos nya meeting, sampai memastikan jadwal bosnya tak berantakan pun juga sudah menjadi hal yang biasa dilakukannya, walaupun bosnya tak lain adalah om nya sendiri, tapi Lili tetap profesioanal, Lili tak pernah menyalahgunakan keistimewaan yang di berikan padanya, karena Lili ingin memulai karirnya dari bawah dan menikmati prosesnya sebaik mungkin.

“Iya pak?” Lili menganggkat telepon dari ruangan bosnya, yang hanya berjarak beberapa meter dari ruangannya.

Om mau kamu menemui klien kita, siang ini”

Lili mengerutkan dahinya, “Klien yang mana ya, pak?”

Anaknya om Prabu”

Lagi-lagi dua orang laki-laki sedarah itu sangat kompak, padahal Lili belum mengiyakan untuk pertemuan apapun, benar saja tiba-tiba Lili diminta kembali bertemu laki-laki yang sama sekali tak dikenalnya.

“Liat nanti ya om, udah Lili tutup nih teleponnya, kerjaan Lili masih banyak" Lili menggaruk kasar rambutnya yang sudah tertata rapih, om dan papanya sama saja, selalu memaksanya untuk melakukan pertemuan dengan laki-laki asing.

Lili menyenderkan kepalanya pada bangku di kafetaria kantornya, dia putus asa, putus asa dengan keinginan kedua laki-laki yang terus saja memaksanya menikah. padahal Lili hanya ingin sendirian sampai beberapa tahun lagi, mungkin mereka sangka menikah adalah salah satu hal mudah, tapi bagi Lili tidak, menikah dengan orang yang tepat, yang mencintai dan dicintainya adalah impiannya sejak kecil.

“Jadi kamu nggak bakal pergi?" Tanya salah satu teman kerja Lili.

“Tau ah, gelap!” Jawab Lili frustasi, sekarang jam makan siang dan Lili sengaja menghindari omnya, bahkan ponselnya pun di tinggalnya di laci meja kerjanya.

“Nanti Pak Wiwid marah lho, Li.”

“Bodo amat ah!!” Lagi-lagi Lili tak peduli.

“Emang kamu maunya sama yang kayak gimana, sih?”

Lili berpikir keras untuk hal itu, di usianya yang sudah 27 tahun pun, Lili masih belum paham betul laki-laki macam apa yang ingin di nikahinya kelak .

“Pokoknya kalau aku liat dia itu, cuma sekedar liat aja, kayak ada yang jedag-jedug gitu di sini.” Katanya sambil menunjuk dadanya sendiri.

“Ya suruh aja dia pegang bagian itu, nanti juga jedag-jedug tuh.” Kata temannya di iringi gelak tawa, Lili hanya menggeleng sambil meminum es kopi yang tadi di pesan olehnya.

Triiing …Triiinggg

Ponsel Lili berbunyi tepat ketika dia baru saja duduk di mejanya, awalnya Lili mengabaikan suara berisik dari benda persegi panjang berwarna hitam itu, tapi lama-lama Lili risih juga, dengan kasar di bukanya laci meja kerjanya, lalu di dapatinya nama ‘Mia’ di sana. Lili sempat menernyitkan dahinya, karena sahabat SMA nya itu tak pernah sekalipun menelepon sejak di persunting bule asal Finlandia beberapa tahun lalu .

“Apa?” Sungut Lili.

“Duhh, galaknya. udah liat tipi belum?” Suara Mia dari seberang sana.

“Buat apa liat tipi, ini lagi di kantor. lagian tumben telepon, biaya telepon luar negeri mahal lho, nanti suami-bulemu marah lagi”

Ahh, kalau udah cinta mati sih, ngapain aja di bolehin.” Canda Mia, lalu terkikik setelahnya.

Apaan sih? kalau cuma mau haha-hihi mending matiin aja deh teleponnya, lagi banyak kerjaan nih”

Dasar!! kamu beneran belum nonton tv?”

Lili hampir kehabisan kesabaran, “Ehh, ibu. udah berapa kali di bilangin ini lagi di kantor, nggak ada tv”

Kalau gitu buka i*,deh. Search Garindra Stevenson”

Lili mendengus kesal, seharian ini yang di dengarnya hanya nama laki-laki itu, “Kamu mau bilang kalau dia ganteng, mempesona, mapan, kaya, apalah-apalah gitu?"

Aduhh, otak sih boleh encer, tapi kamu lemot banget ya. udahlah pokoknya search aja, kalau udah nanti ku telepon lagi.”

Tuttt … tuttt..

Lili agak terperangah dengan tingkah laku sahabat lamanya ini, sikapnya berubah jadi agak arogan semenjak di nikahi laki-laki asing dan apa juga maksudnya, memerintah Lili agar membuka media sosial laki-laki yang tak di kenalnya?

Lili masih setia mengetik beberapa lembar kontrak yang harus di serahkan ke klien hari ini juga, sialnya dia juga sekalian harus menemui laki-laki pilihan papanya yang rencananya akan menemuinya lagi sabtu malam nanti dengan catatan-jika semua berjalan lancar-, walau pun Lili tahu hasilnya pasti gagal total.

“Ini surat kontraknya, om”

Lili baru saja masuk ke ruangan atasan sekaligus saudara dari papanya tersebut, pria berusia 30an akhir itu hanya melihat sekilas saja.

“Ok, bawa itu ke klien kita.” Katanya singkat.

Lili hanya menurut lalu meninggalkan ruangan, menenteng map yang akan diserahkannya pada klien yang kata om nya adalah anak om prabu atau siapalah, yang pasti Lili masa bodoh dengan hal itu.

Di sebuah cafe tengah duduk pria seumuran Lili dengan pakaian amat sangat rapi, rambutnya pun di tata begitu klimis, sehingga menjadikannya laki-laki yang terlihat sangat perfeksionis, matanya tak berhenti mencari-cari sosok gadis yang akan di temuinya hari ini, atasannya sudah memberinya mandat khusus untuk menandatangani kontrak sekaligus berkenalan dengan gadis yang membawa surat berharga tersebut.

Wajah pria itu akhirnya berubah sumringah saat didapati seorang wanita cantik duduk didepannya, wanita tersebut sama sekali tak memandangnya hanya duduk dan mengeluarkan sebuah kertas yang terbungkus map, kesan pertama yang didapat laki-laki itu adalah kata ‘formal’, ya Lili berpakaian sangat formal, karena memang masih menyangkut urusan kantor.

“Baru datang?” Sapa laki-laki itu basa-basi.

“Iya, pak” Jawab Lili singkat, lalu meletakkan surat kontrak yang terbungkus amplop berwarna coklat.

“Nggak usah buru-buru, pesan aja makan dulu.”

Sepertinya laki-laki di depan Lili ini takjub dengan penampakan di depannya, gadis yang begitu cantik ini akan menjadi calon istrinya? mungkin itu yang ada di benak laki-laki ini.

“Maaf, bisa di tanda tangani sekarang..pak?” Usul Lili buru-buru, bukan apa-apa dia ingin segera pergi dari tempat ini.

Pria itu dengan kikuk mengambil bolpoin di depannya dan menandatangani beberapa lembar surat kontrak yang Lili sodorkan.

“Makasih pak, kalau bagitu saya pamit” Lili buru-buru beranjak dan langsung pergi setelah memberi sedikit hormat .

Lili mengomel sendirian di tempat parkir menuju mobilnya, bagaimana bisa papanya menjodohkan dia dengan laki-laki kacamata kuda culun seperti itu ?

Dengan kesal Lili meraih ponselnya lalu menelepon nomor ayahya yang di ketahuinya masih ada di Bangkok, Thailand.

“Hallo, papa nih gila apa masa' aku mau di jodohin sama laki-laki mata kuda begitu?!” Lili meledak saat itu juga, mungkin yang di pikirkan papanya adalah Lili lebih menyukai laki-laki biasa saja dan memilihkan laki-laki manapun yang mau di pertemukan dengannya.

Lili tak menunggu mendengar jawaban dari papanya dan langsung menutup telepon begitu saja, kemudian dia melemparkan ponselnya ke kursi di sebelahnya dan saat itu juga Lili langsung ingat pada sahabatnya Mia.

                                                             ***

“Kamu baru pulang?” tanya Sarah, saat melihat putrinya pulang dari kantor.

Berantakan, keadaan Lili saat ini sangat berantakan, begitu pula dengan perasaannya.

“Tante, aku lagi badmood. jangan tunggu aku buat makan bareng, kalau lapar tante makan duluan aja ya?” Ucap Lili

Sarah kebingungan melihat sikap Lili yang tak biasanya, tapi wanita yang tengah hamil besar itu membiarkan saja Lili masuk ke dalam kamarnya, mungkin ini masalah di kantor begitu pikirnya.

“Sial!! orang-orang ini maunya apa sih!!”

Lili hampir saja menangis, bukan karena perjodohan, tapi karena papanya sudah kelewat batas dalam mengujinya, memangnya kenapa kalau tak kunjung menikah, memangnya dia sudah sebegitu tua atau sebegitu jeleknya sampai harus dipaksa-paksa begitu?

Lili melemparkan tubuhnya ke ranjang empuk di kamarnya, lalu meraih lagi ponsel yang sedari tadi ingin di banting olehnya, dengan penasaran Lili lantas membuka aplikasi salah satu media sosial yang lumayan sering di gunakannya dan mencari nama ‘ Garindra Stevenson’ di papan pencarian.

Dengan hati berdebar-debar Lili membuka profil seseorang yang bergambar anjing di sana, Lili mencoba meng-’klik’ profil tersebut, di sana terlihat hanya beberapa gambar pemandangan dan anjing tadi, Lili terus meng-scroll ponselnya ke bawah dan matanya terbelalak sempurna melihat laki-laki yang berpose menampilkan senyuman khasnya.

Lili segera bangkit dari tidurnya, lalu memperbesar tampilan gambar di ponselnya, orang ini? bukannya itu mantan gurunya?

Kaget? tentu Lili kaget, jari-jarinya bergetar, begitupun dengan tubuhnya, Mia? ini kah yang ingin dikatakan sahabatnya padanya?

Lili berusaha menghubungi Mia dari ponselnya, sahabatnya itu harus menjelaskan apa yang sebenarnya yang terjadi.

“Haloo!!” Sapa Lili buru-buru.

“Kenapa? sudah lihat kah?”

“Bego!! kenapa nggak bilang awal-awal sih!!” Teriak Lili dari balik ponselnya.

Kamu nya yang sok nggak suka, kan?”

Terus gimana dong sekarang!! aku mesti gimana!!" Lili mulai panik, antara senang dan takut, Mia mengerti bahkan sangat mengerti jika reaksi Lili saat ini sampai begitu.

Tenang. tarik napas..keluarkan, tarik napas..keluarkan.” Lili menuruti perintah temannya tersebut dan metode itu pun berhasil, sekarang dia sudah agak tenang.

“sudah” Ucap Lili lagi, mencoba menetralkan napasnya.

Oke..terus sekarang kamu mau lanjut atau mundur?”

Lili tak mengerti dengan ucapan pertanyaan sahabatnya “Maksudnya?”

Aduhh..mau lanjutin yang waktu itu apa nggak?”

Ma..ma..mau” Jawab Lili terbata-bata.

Mia susah payah menahan tawanya, saat mendengar sahabatnya itu berbicara dengan tergagap-gagap, “Oke, kalau gitu follow i* nya, terus DM deh”

“Hah? nggak ada cari lain emang, cara yang lebih berkelas gitu?" Protes Lili

Kalau gitu, googling aja, cari tahu asal-usulnya, cari tahu dia udah nikah apa belum, udah punya pacar apa belum.”

Oke.”

Lili menutup begitu saja teleponnya, lalu beranjak dengan tergesa-gesa ke meja kerjanya, menyalakan komputer dan mencari tahu apupun tentang mantan gurunya itu.

“Garindra Stevenson? bukannya Stevenson itu nama depan ya? jadi selama ini aku dan yang lain salah panggil dong?"

Lili menginggat-ingat lagi, memang saat dulu pin yang tertempel di baju gurunya bertuliskan ‘G.Stevenson’, tapi Lili tak pernah tahu apa itu kepanjangan ‘G’ dan sialnya dia terbawa wakil kepala sekolahnya saat memperkenalkan guru baru itu di depan kelas, wakil kepala sekolah memang terkenal suka memanggil orang dengan nama sembarang, mungkin karena wajah pria itu sedikit bule, itu yang menyebabkan wakil kepala sekolah memanggil dengan sebutan ‘Steve’ bukan nama asli dari mantan gurunya.

Lili mencari tahu semua informasi yang berhubungan dengan laki-laki tampan itu, di sana tertulis jika nama ibunya adalah ‘Elissa Margout Stevenson’ Lili mencoba mengingat lagi nama yang sepertinya tak asing ditelinganya, tapi Lili masih tak bisa mengingat itu, sampai akhirnya sebuah kenangan 10 tahun yang lalu tiba-tiba berkelebat di pikirannya.

“Oma Lisa!!”  Lili berteriak sendiria lalu terdiam sesaat. jika benar, selama ini pria yang di cintainya sejak dulu itu berada di dekatnya dan Lili tak sadar akan hal itu.

“Tante, aku kerumah oma ya?” Lili memakai jaketnya dengan buru-buru, ada hal penting yang harus ditanyakannya pada omanya.

“Ngapain, ini kan udah malam?”

“S.O.S tante” Lili mengecup pipi Sarah kilat, lalu keluar rumah dan menuju garasi untuk mengambil mobilnya.

Lili mempercepat laju mobilnya agar lebih cepat pula sampai di tempat tujuan, omanya memang sakit beberapa tahun terakhir, kakinya bahkan sudah tak dapat berjalan lagi akibat serangan stroke yang tiba-tiba.

Begitu sampai di depan rumah sang oma, Lili langsung memarkirkan mobilnya di garasi besar tersebut, lalu mengetuk pintunya kasar dan beberapa lama kemudian, tantenya, adik dari ibunya membukakan pintu untuknya, Lili menyalami tantenya secepat kilat, lalu berlari menuju kamar omanya yang tidak terkunci.

“Omaaaa!!” Teriak Lili.

Sang oma yang akan beranjak tidur kaget dan tanpa banyak kata Lili langsung menghambur ke arah omanya  dan menciumi pipi wanita renta itu.

“Ada apa?” Tanya oma Gita gelagapan.

“Oma, aku sayaaang oma” Rayu Lili.

“Kamu sebenarnya kenapa sih?”

“Oma..oma masih ada kontak oma Lisa nggak?” Tanya Lili langsung pada pokok pertanyaan.

Oma Gita menaikkan sebelah alis nya, “Buat apa memangnya?"

Lili kebingungan memikirkan alasannya, dia terlalu malu mengatakan jika dia naksir salah satu putranya dan minta di jodohkan.

“Aaaa, anu..oma” Lili benar-benar blank  dan sama sekali tak terpikirkan harus menjawab apa.

“Kenapa?”

“Ahh..oma, itu loh..masa' oma nggak ingat sih? alasan oma 10 tahun yang lalu ngajak aku ke sana”

“Apa sih?"

Lili tak tahan lagi, omanya memang sudah terlau tua untuk di ajak main tebak-tebakan, “PER-JO-DO-HAN, omaaa”

Oma Gita mengerti, lalu tersenyum, “Maksudnya kamu mau oma jodohkan sama salah satu anaknya gitu?”

Lili mengangguk penuh semangat dan omanya tak berhenti tertawa, “Sebelumnya tanyain dulu, anaknya itu udah nikah belum?”

Oma Gita berpikir lagi, dia bahkan sudah 2 tahun terakhir tak bertemu sahabat lamanya itu, “Tapi oma nggak tahu kabar dia sekarang gimana, terakhir oma ketemu 2 tahun lalu”

“Yang pasti orangnya masih ada kan oma?"

“Bentar oma telepon anaknya dulu ya?" Ucap oma Gita, lalu mengambil ponsel yang terletak dinakas sebelah tempat tidurnya.

Lili mengangguk lagi dan mendengarkan Omanya mengobrol dengan salah satu anak dari Oma Lisa, obrolan keduanya singkat dan omanya hanya mangut-mangut saja saat berbicara ditelepon, membuat Lili makin penasaran.

“Apa katanya oma?"

“Katanya nanti di tanyain kalau orangnya bangun”

“Apanya yang di tanyain, oma?”

“Ya anaknya udah nikah atau belum”

Lili kecewa mendengar jawaban dari omanya yang terkesan mengantung, “Besoklah kita atur waktu, nanti kita omongin lagi sama oma Lisa" Usul oma Gita lagi.

“Masa' aku mesti ikut sih oma, malu dong, kesannya aku yang ngebet banget”

“Memang kamu yang ngebet kan?” Oma Gita tertawa, sedang Lili tak bisa menahan rasa malunya.

                                                                ***

Besok paginya Lili menerima pesan singkat dari oma nya, siang ini rencananya oma akan pergi ke kediaman Oma Lisa, hati Lili berdebar-debar, ingin segera mengetahui hasilnya.

“Nggak sarapan, Li?" Tanya Sarah yang sudah duduk dikursi meja makan.

Lili menggeleng seadanya lalu meminum susu yang sudah di siapkan di meja makan, “Aku mau langsung berangkat aja, tante"

Diperjalanan Lili terus behubungan dengan Mia lewat aplikasi media sosial mereka, Lili sendiri memilih naik taksi online hari ini untuk menuju kantornya .

‘Hari ini aku stalk akun i* nya guru killer, kayaknya dia lagi di singapore deh, lagi jalan keJakarta’

Lili tak lagi membalas pesan itu, kini dirinya hanya perlu menyiapkan mentalnya untuk kembali berhadapan dengan cinta pertamanya, masa bodoh jika kelak dia ditolak, yang penting Lili sudah berusaha untuk tidak lagi merelakan pria tampan itu pergi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status