Share

Tak Peduli

Lili berjalan dengan menenteng tas selempanganya di pinggir jalan, tengah menunggu taksi yang akan menjemputnya di depan sekolahnya, hari ini Lili kesal karena sama sekali tak di perhatikan oleh wali kelanya pasca kejadian di bioskop kemarin.

Lili menghela napasnya panjang saat taksi langganan yang di tunggunya tak datang juga, di terik panas begini Lili ingin sekali pulang kerumah lalu meminum jus jeruk di dalam kulkas satu kotak sekaligus.

Tin!! Tin!!

Lili berjingkat saat sebuah klakson berbunyi nyaring tepat di belakangnya dan saat di buka ternyata Garin lah yang ada di dalamnya.

“Kamu nggak pulang?” Tanya Garin dari balik kemudi mobilnya.

Lili melongos lalu kembali melihat ke depan.

“Kamu mau pulang bareng saya?” Lagi-lagi Lili tak menjawab.

“Yasudah kalau begitu, saya hitung sampai tiga, Satu..Dua-”

Tanpa pikir panjang Lili langsung membuka pintu mobil tersebut tepat sebelum hitungan ketiga, lalu duduk manis, memasang seatbelt dan memeluk tasnya erat-erat, Garin yang menyaksikan pemandangan tersebut tak mampu menahan tawanya.

“Kemarin kamu kenapa pergi gitu aja?” Tanya Garin tanpa mengalihkan pandangannya dari balik kemudinya.

“Saya capek pak” Lili menjawab singkat.

“Kamu marah?”

Lili melongo, bagaiman bisa guru cueknya tahu hanya dengan sekali lihat saja dan matilah Lili, jantungnya tak berhenti berdetak saat laki-laki itu melihat kearahnya.

“Kamu marah karena saja ngejek porsi makan kamu yang kayak kuli?”

Hahh?? Lili mendadak menunjukkan ekpresi kagetnya yang langsung membuat Garin lagi-lagi tertawa.

“Bapak ahh!! ngapain juga ngikutin orang yang lagi kelaparan”

Lili cemberut dan itu membuat Garin tak kuat menahan tawanya, perutnya sampai sakit, “Pak, bapak harus konsen nyetirnya dong!! jangan ketawa terus!!” Bentak Lili, entah sejak kapan mereka berdua jadi akrab, Garin bahkan tak merasa jika Lili adalah anak yang menyebalkan seperti awal-awal mereka bertemu.

“Saya turun di sini saja pak” Lili meminta Garin untuk berhenti tepat di sebuah gapura perumahan mewah yang di ketahui Garin adalah tempat tinggal orang-orang berada.

“Kamu tinggal di sini?”

Lili kebingungan mencari alasan, dia tak mau jika Steve mengecap dia sebagai anak orang kaya yang manja nantinya, biarlah Garin tahu jika dia adalah anak yang biasa saja.

“Nggak pak, ini rumah teman saya, hari ini saya menginap, ehmm..anu masih keluarga juga sih”

Garin menggangkat sebelah alisnya, kenapa gadis ini tak terus terang saja, pikirnya, “Ok, kalau begitu kamu saya tinggal di sini” Katanya lalu memutar balik mobilnya dan berbalik arah menuju jalan raya, sedang Lili bernapas lega karena kebohongannya tak ketahuan.

                                                                ***

Sesampainya di apartemennya Garin mencium bau aneh seperti bau gosong, dengan langkah cepat Garin menuju kearah bau tersebut dan mendapati seorang wanita tengah terbatuk-batuk sambil menyiram wajan dengan air dari keran.

What are you doing?!” Teriak Garin lalu merebut wajan yang sudah gosong tersebut dari wanita tadi.

You’re home? cepet banget, ini baru jam berapa?”

“Kenapa kemari? bukannya datang ke tempat orang yang lebih tua?”

Wanita tersebut merebahkan tubuhnya di sofa  begitu saja, tangannya terlentang seolah tempat itu adalah miliknya sepenuhnya, “Aku malas bertemu dengan tante-tante rempong itu”

Garin menghela napasnya, lalu mencuci wajan tadi dengan air mengalir, “Kamu nggak tahu cara memasak, kenapa nekat mememang wajan, untung aku datang tepat waktu”

Wanita itu terkikik, lalu melepaskan tanktop nya hingga hanya meninggalkan bra hitam di sana, “Kamu lama sekali, aku sudah kelaparan” Katanya lalu berjalan mendekati Garin.

“Kamu mau apa?!” Teriak Garin, laki-laki itu berjalan mundur menghindari wanita tadi.

“Aku kangen kamu”

“Sudah gila, hah?!”

Garin terus berjalan mundur kebelakang hingga tubunhya membentur pinggiran meja makan, sedang wanita cantik tersebut terus berjalan maju dan sesekali mengedipkan matanya ke arah Garin, membuat Garin ingin muntah di buatnya.

Wanita itu lantas mengalungkan tangannya di leher Garin dan memanyunkan bibirnya seolah minta di cium oleh laki -laki tersebut, Garin memalingkan wajahnya dan terus memberontak.

Wanita itu melihat wajah Garin yang aneh saat ini, karena tak tahan menawan tawa dia akhirnya melepaskan tangannya dari leher Garin, membuat laki-laki itu bernapas lega pada akhirnya.

“Hahahahaha!! lihatlah wajah bodohmu” Wanita tersebut tertawa tebahak-bahak melihat ekpresi Garin yang begitu lucu di matanya.

“Dasar sinting!!” Garin lantas berlalu dan memungut tanktop wanita yang setengah telanjang di depannya, lalu melempar tanktop tersebut tepat di muka wanita itu, “Kenakan pakaianmu lagi, dasar bodoh!! dan jangan coba-coba lakukan itu di depan laki-laki asing!!”

“Ahh, adikku sudah besar ternyata, kakak sangat mencintaimu, kamu tumbuh menjadi laki-laki tampan yang-”

Garin menoyor kepala kakaknya yang sangat pintar berbicara, “Tutup mulutmu, pergi sana! temui ibu dan cepat pergi dari negara ini”Kali ini Garin mengatakannya dengan nada dingin.

“Baiklah, aku akan bertemu dengan ‘Fairly god Parent’ mu itu. tapi ijinkan aku menginap di sini semalam saja, hmm?”

Garin tentu tak bisa menolak kakak perempuannya tersebut, mereka lahir dari rahim yang sama dan hanya berbeda setahun saja, biarpun kepribadian keduanya sangat bertolak belakang, tentu Garin sangat menyayangi kakaknya yang mungkin bisa dibilang agak sedikit sinting.

“Baiklah, tapi tidurlah di luar dan ingat, jangan berani-berani lagi menyentuh dapurku!”

“Okie dokie”

Singkatnya kakak Garin yang bernama Danisha ini adalah seorang traveller yang mempunyai obsesi menggelilingi seluruh penjuru dunia ini, usianya hanya terpaut setahun dari Garin, yang artinya saat ini Danisha masih 25 tahun dan dia sudah berhasil pergi kehampir separuh negara di dunia ini. mulai dari Eropa, Amerika dan seluruh benua Asia sudah di jelajahinya, tentu dengan kegemarannya tersebut membuatnya jarang berada di rumah, bahkan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir Danisha sama sekali tak pulang atau sekedar berkomunikasi dengan keluarganya, dunianya adalah miliknya sendiri dan saat dia melakukan hobby-nya dia bagaikan tinggal sendirian di bumi ini.

“Aku dapat sponsor baru yang mau membayar seluruh biaya jalan-jalanku ke benua Australia nanti”

Danisha tak berhenti menceritakan semua kegiatannya selama 5 tahun terakhir, sayangya Garin sama sekali tak tertarik dan tak mengindahkan cerita kakaknya yang sangat panjang tersebut.

“Ibu mencoba menghubungimu, tapi kenapa kamu nggak pernah merespon?”

“Biaya telepon keluar negeri sangat mahal, lagipula aku nggak ada waktu untuk mendengar ceramahnya”

Garin memandang kakaknya yang asyik makan dengan tatapan serius, bahkan kakaknya tak lagi sama seperti terakhir kali mereka bertemu, kulitnya berubah kecoklatan, rambutnya di cat warna-warni, bajunya berantakan, terlihat sangat norak di mata Garin.

“Setidaknya cobalah memperbaiki penampilanmu yang berantakan ini” perintah Garin sambil menunjuk kakaknya dengan sendok yang di pegangnya.

“Memangnya apa yang salah dari penampilanku?” Protes Danisha.

“Kamu seperti gembel, ikut ke salon denganku besok”

Danisha hanya menggangkat kedua bahunya, lalu kembali makan dengan lahapnya, porsi makannya sama dengan seseorang yang di kenal oleh Garin, iya muridnya kalau di lihat dari dekat memang sangat mirip dengan kakaknya, bedanya Lili lebih manis dan rapi, tak seperti wanita di depannya yang menurut tebakan Garin mungkin juga sangat jarang mandi.

                                                          

                                                              ***

Danisha mengelilingi sekolah tempat adiknya mengajar, dia melihat para murid yang sudah berada dalam kelas dan belajar dengan sungguh-sungguh, tak seperti dirinya dulu yang lebih memilih merokok dengan teman-teman laki-lakinya di belakang sekolah.

Danisha berhenti seketika saat melewati kelas dengan sang adik sebegai gurunya, dia melihat secara seksama cara sang adik mengajar, sangat berbeda dengan sikapnya yang dingin seperti balok es saat di rumah, Danisha bahkan terkejut ketika melihat sesekali Garin melontarkan candaan-candaan di tengah-tengah pelajarannya dan itu di sambut gelak tawa oleh para muridnya.

“Sejak kapan dia jadi murah senyum seperti itu?” Gumam Danisha sendirian.

Saat melihat kearah murid-murid adiknya yang sangat antusias mata Danisha tak sengaja tertuju pada seorang gadis yang sedari tadi menurutnya selalu memandang adiknya dengan tatapan aneh, terkadang gadis itu bahkan tersenyum sendiri dan pandangannya sekalipun tak pernah lepas dari Garin sedetikpun.

“Sedang apa di sini?”

Pertanyaan Garin yang sudah selesai mengajar membuat perhatian Danisha teralihkan dan seketika itu juga Danisha mencari kemana perginya gadis tadi tanpa memperdulikan adiknya yang kebingungan melihat tingkahnya.

“Kamu cari apa?” Tanya Garin lagi.

“Minggir sana!!” Perintah Danisha, lalu dia pun masuk kedalam kelas yang masih ramai setelah jam pelajaran pertama usai.

Garin menarik lengan kakaknya keluar kelas, “Dasar bodoh!! Jam pelajaran belum selesai, jangan masuk kedalam!!”

Garin menarik tubuh kakak perempuannya keluar, wanita itu menurut saja, paling tidak wajah gadis tadi sudah terkunci diingatnya dan Danisha sudah merencanakan sesuatu yang akan dilakukannya saat waktu istrirahat nanti.

Jam istirahat di manfaatkan Lili untuk makan sebanyak yang dia mampu, dari tadi dia kelaparan karena lagi-lagi tak mau sarapan di rumah. Saat melawati koridor Lili terhenyak ketika tiba-tiba ada tangan yang menariknya menuju ke dalam kelas sebelah yang sedang sepi.

“Anda siapa?” Lili kebingungan melihat wanita cantik yang baru saja di menarik tangannya.

“Kamu nggak tahu aku ini siapa?" Perempuan tersebut justru balik bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri, “Lihat baik-baik aku ini mirip siapa?”

Lili mundur ketika wanita itu mendekatkan wajahnya ke arahnya, “Saya nggak tahu” Katanya gugup.

Danisha menepuk kepalanyan sendiri, gadis di depannya sungguh bodoh, pikirnya, “Gurumu, si tampan yang kaku?”

Lili berpikir sejenak lantas dia sadar jika wanita di depannya ini mirip wali kelasnya, “Ahh, pak Steve?”

Danisha menggangkat sebelah alisnya, “Steve?”

“Ohh, bukankah?” Lili bertanya balik.

Danisha lantas tak mengindahkan bagaimana cara para muridnya memanggil adiknya, dia sekarang punya satu pertanyaan yang lebih penting, “Kamu..kamu menyukai adikku kan?”

Dada Lili terasa berdetak keras saat wanita di depannya melontarkan pertanyaan yang tak pernah di duga olehnya, “Maksud anda?"

“Kamu menyukainya kan?”

Lili tak dapat menyembunyikan perasaan malunya saat wanita di depannya terus mendesak Lili dengan pertanyaan-pertanyaan yang pribadi baginya.

“Saya..nggak..anu” Lili yang terbata-bata membuat Danisha semakin yakin jika tebakannya benar 100 persen.

“Sudahlah, nggak ngaku pun aku langsung tahu, memang susah menolak pesona adikku yang sudah seperti cassanova”

Lili terkejut Cassanova katanya, bukannya sebutan itu adalah untuk orang yang punya banyak perempuan di sisinya?

“Ok, teruslah berjuang, semoga si balok es itu bisa runtuh hatinya” Danisha akan pergi sebelum tangannya di tarik oleh Lili.

“Ahh, anu..itu, tolong jangan bilang sama pak Steve, saya mohon”

Danisha tersenyum miring, “Tentu, ini adalah rahasia antar wanita” Katanya, lalu keluar meninggalkan Lili yang masih mematung di tempatnya berdiri.

Lili bersembunyi di balik pintu saat bel pulang sekolah berbunyi, bukan karena takut, tapi dia malu jika harus bertemu dengan perempuan yang mengaku sebagai kakak dari wali kelasnya.

“Ngapain sih?” Mia menepuk pundak Lili dari belakang dan itu sukses membuat lili berjingkat karena kaget, sampai rasanya jantungnya seperti mau copot.

“Apaan sih, hus..hus sana!!” Lili  mengusir Mia agar pergi sambil mendorong tubuh sahabatnya tersebut menjauh darinya.

“Dasar aneh!!” Gerutu Mia, lalu meninggalkan Lili yang masih bersembunyi di balik pintu kelasnya.

Danisha masih penasaran dengan gadis imut yang di tebaknya menyukai adiknya, ya Danisha memang sejak dulu sudah menginginkan seorang adik perempuan, alasannya karena dia adalah perempuan satu-satunya dalam keluarganya, kedua saudaranya laki-laki, itu sebabnya Danisha lebih cenderung tomboy, di tambah mendiang sang ayah sering mengajaknya ke tempat kerja yang notabene semua teman kerjanya adalah laki-laki.

“Ngapain sih ?.” Steve penasaran melihat kakaknya seolah mencari sesuatu , mereka sedang ada di tempat parkir dan Danisha seperti tak mau beranjak dari sana.

“Ayo pergi , tapi nanti berhenti di depan gerbang sekolah ya ?.”

Steve menaikkan sebelah alisnya , “Ngapain berhenti di depan gerbang ? ngehalangin jalan tau !!.”

“Ada seseorang yang ku tunggu .”

“Siapa ?.”

“Muridmu.”

“Buat apa ?.”

“Mau tahu saja urusan orang.”

Steve menghela napas dan melajukan mobilnya , dan baru beberapa meter berjalan sang kakak buru-buru memintanya berhenti , Steve menginjak rem tiba-tiba , dan itu membuat Steve marah.

“Kamu gila ya !! kenapa suruh berhenti mendadak ?!.”

“Sssttt …” Danisha tak peduli dan malah meminta adiknya untuk diam , “HEI!!.” Teriaknya dari dalam mobil.

Steve memperhatikan ada seorang gadis yang berjalan terburu-buru , Steve mencoba memincingkan matanya dan mengetahui jika itu adalah Lili Hariyadi salah satu murid di kelasnya.

“NONA , APA KAU TAK MAU MENYAPA WALI KELASMU!!.” Teriak Danisha dari dalam mobil , Lili tak menoleh bahkan dia berlari seolah sangat ketakutan.

“Bodoh !! sebenarnya kamu kenapa sih ?.”

Danisha menoleh pada Steve dan menunjukkan wajah senangnya , “Aku suka gadis itu , dia sangat imut.”

Steve mengerutkan dahinya , “Kenapa , apa kamu kenal dia ?.”

“Tentu . untuk sekarang mungkin belum , tapi siapa tahu di masa depan kelak aku akan berteman dekat dengannya.”

“Kamu benar-benar sinting . bicaramu semakin aneh , apa berkeliling dunia membuat otakmu bergoncang ?!.”

Danisha tak menjawab , dia hanya tersenyum , lalu menyenderkan kepalanya pada kursi mobil , sedang Steve dia terus melajukan mobilnya , tanpa bertanya apa-apa lagi , kakaknya memang aneh , bahkan Steve tak mengerti apa yang sedang coba di lakukan oleh kakaknya.

                                ***

Lili buru-buru masuk ke dalam taksi dan menutup wajahnya dengan tas selempang yang di bawanya , dia sangat malu , saking malunya wajah Lili sampai kelihatan begitu merah seperti kepiting rebus.

“Sudah mau jalan , non ?.” Tanya pak Bakri , supir taksi langganannya.

“Jalan aja pak.”

“Non , kenapa ?.” Pak Bakri sepertinya penasaran pada tingkah Lili yang tak seperti biasanya , “Wajah Non merah banget.”

Lili tersentak dan memegang wajahnya sendiri , buru-buru diambilnya kaca kecil di dalam tasnya , lalu melihat dengan seksama wajah manisnya yang memang memerah sekarang , “Ahh , gimana nih !!.”

“Ada apa sih , non ?.”

“Pak bisa antarkan saya kesuatu tempat nggak ?.”

“kemana , non ?.”

“Toko buku , bentar aja kok ?.”

“Mau cari buku , non ?.”

“Nggak pak , mau ketemu temen aja , nanti pak Bakri tunggu diluar aja , aku nggak lama kok.”

Pria paruh baya itu mengangguk , memang sebelum menjadi supir taksi , pak Bakri adalah supir pribadi papa Lili , tapi karena tuan rumahnya sekarang lebih banyak berada di luar negeri , pak Bakri memutuskan berhenti dan menjadi supir taksi , walau pun beliau selalu setia mengantar jemput anak dari mantan majikannya tersebut .

Sesampainya di toko buku , Lili turun dari mobil dan meminta pak Bakri menunggu sebentar , “Pak , tunggu bentar ya ?.”

“Siap non.” pak Bakri menjawab sambil mengacungkan jempolnya.

Lili berjalan pelan melewati beberapa rak buku dan mencoba mencari seseorang yang lama tak di temuinya , seseorang yang dulunya dengan sabar dan perhatian selalu mendengarkan keluh kesah Lili , bahkan orang tersebut tidak pernah absen mengisi hari-hari Lili yang kosong setelah di tinggal mamanya berpulang.

“Maaf , di mana saya bisa menemui pemilik toko buku ini , ya ?.” Tanya Lili dengan sopan pada ibu-ibu penjaga kasir.

“Oh , Mas Artha ?.” Lili mengangguk , untungkah jika si ibu ini langsung ngeh dengan pertanyaannya.  “Mas Artha lagi keluar kota nak , mungkin besok baru pulang.”

Lili kecewa dengan jawaban yang di terimanya , orang itulah satu-satunya yang bisa membantu sekalian memberikan solusi untuk Lili sekarang , “Nggak apa-apa bu , tapi nanti kalau masnya ada , tolong bilang kalau Lili nyariin , ya ?.”

“Kok nggak telepon aja , nak ?.” Lili langsung kikuk , dia tak mungkin mengatakan jika dia tak punya nomor telepon Artha .

 “Nggak apa-apa bu , kalau begitu saya permisi.” Ibu itu terlihat kebingungan , tapi beberapa saat kemudian ekpresinya berubah , dan kembali tersenyum sopan pada Lili.

Lili kecewa , orang yang di carinya tidak ada di tempat , Lili bingung harus cerita pada siapa , masa iya cerita pada pak Bakri ? pikirnya . dengan langkah gontai Lili kembali masuk ke dalam taksi menyenderkan kepalanya dikursi penumpang.

“Kenapa , Non ? sudah ketemu yang di cari ?.” Lili menggeleng pelan , “Nggak apa-apa , besok-besok kembali lagi , nanti bapak yang antar ya ? nggak usah sedih.”

Lili tersenyum mendengar Pak Bakri menghiburnya , coba saja papanya juga sama perhatiannya seperti laki-laki tua di depannya ini , mungkin Lili tak akan merasa kesepian seperti sekarang.

“Pak ?.”

“Iya , non ?.”

“Bapak dulu pernah suka sama orang nggak ?.” Akhirnya Lili memberanikan diri bertanya pada supir taksi langganannya itu , usia pak Bakri jauh lebih tua darinya , siapa tahu saja pengalaman beliau juga sudah banyak tentang percintaan.

“Pernah lah non , tapi cuma sekali saja.”

“Sama istri bapak ?.”

Pria paruh baya itu mengangguk pelan , lalu melanjutkan lagi ceritanya . “Dulu awalnya nggak di setujui non , cuma bapak nggak nyerah gitu aja , bapak apelin terus itu istri bapak yang waktu itu masih jadi pacar , bapaknya dulu serem non , apalagi kalau bapak kesana nggak bawa apa-apa .”

Lili tersenyum mendengar cerita pak Bakri , cerita itu lumayan umum bagi Lili , tapi tak apalah untuk membunuh kebosanan dan kegalauan Lili sekarang , toh pak Bakri juga dengan senang hati bercerita padanya.

“Terus gimana ?.”

“Ya awalnya sih di tolak non , cuma lama-lama mertua bapak luluh juga.”

“Pasti berat ya pak ? pertamanya ditolak gitu , terus bapak nggak putus asa gitu ?.”

“Ya , yang namanya usaha non , masak belum dijalani udah menyerah , sekali-dua kali ditolak ya biasa lah.”

Lili terdiam , pak Bakri memperhatikan gadis itu dari balik kaca mobil . “Kenapa , non juga lagi pengen pacaran ?.”

Wajah Lili langsung memerah , selama ini dia memang tidak pernah tertarik dengan laki-laki manapun .

“Ehm … gimana ya pak ? saya juga bingung , kalau di bilang suka iya . tapi kalau di bilang nggak suka , iya juga?.”

Pak Bakri menaikkan sebelah alisnya , “Jadi berapa perbandingannya , non? Antara suka sama nggak sukanya?.”

Lili berpikir sejenak , “Mungkin 70 - 30 pak.”

“Kalau gitu ya , berarti non suka dong sama orang itu.”

Lili berpikir lagi , “Mungkin ?”.

“Emang dia siapa sih , non ?”.

Pertanyaan pak Bakri tak bisa langsung di jawab oleh Lili , dia tentu malu jika harus berkata kalau dia naksir gurunya sendiri , “Bukan siapa-siapa pak , nanti saya cerita lagi deh , kalau sekarang jangan pak , malu.” Pak Bakri pun terkekeh mendengar jawaban apa adanya dari Lili.

                                   ***

Danisha masih setia berada di apartemen milik Steve , padahal sang empunya sudah berkali-kali mengusirnya , tapi bukan Danisha namanya jika dia menyerah begitu saja.

“Ini sudah sehari , Sha . bukannya kamu janji akan keluar setelah sehari ?.”

“Biarkan aku mengambil napas dulu , kamu tahu kan kalau tadi aku capek habis muterin tempat kerjamu ?.”

“Siapa suruh ? bukannya kamu yang ngotot ikut ?.”

Danisha tak memperdulikan ucapan adiknya , pikirannya masih berputar-putar pada gadis yang di temuinya tadi , gadis itu terlihat sangat malu , membuat Danisha ingin terus meledek adiknya tentang itu.

“Kamu punya banyak fans di sekolah itu ?.”

“Kenapa ?.”

“Dari sebegitu banyaknya perempuan , tidak adakah yang membuatmu tertarik ?.”

“Nggak.” Steve menjawab singkat , lalu meminum air dari kulkas , dan duduk di sofa ruang tamu , dan menyalakan tv di sana.

“Jawabanmu sangat singkat , coba di ingat-ingat lagi , bahkan sikapmu yang biasanya cuek berubah jadi hangat di depan anak-anak manja itu.”

Steve lagi-lagi mengacuhkan kakaknya dan malah sibuk dengan remote tv.

“Bagaimana dengan Lili Hariyadi ? gadis imut berambut pendek ?.”

Steve tersedak air yang baru saja di minumnya , dia melihat kakaknya dengan tatapan seram , sedang Danisha hanya menggangkat kedua bahunya sambil tersenyum ke arah Steve.

“Aku penasaran , dari mana kamu tahu dia ?.”

“Aku memperhatikan dia , dia tidak berkedip sedikitpun waktu kamu mengajar tadi.”

“Siapa ?.”

“Si Lili itu  , duhh … si idiot ini , masak dari tadi aku mengoceh kamu sama sekali nggak ngerti ?.”

“Masak ?.” Steve pura-pura tak peduli.

“Tanya sendiri ke orangnya . sepertinya dia sudah lama menyukaimu.”

Steve menerawang lagi tentang kebersamaannya beberapa waktu terakhir bersama gadis itu , mereka memang sudah agak sedikit akrab , tapi mana mungkin jika Lili Hariyadi menyukainya ?

“Males ahh .. dia itu masih SMA ,  bukan tipeku.”

Danisha memukul kepala adiknya , “Jangan sok iyes deh !! . gadis seperti itu mau kamu lepaskan begitu saja , sekarang mungkin belum kelihatan , tapi beberapa tahun lagi , dia pasti akan berubah menjadi gadis cantik yang nggak bakal bisa kamu tolak.”

Steve memegangi kepalanya yang terasa sakit , “Iya kalau dia tumbuh cantik , kalau gendut dan jelek ?.”

Danisha menyilangkan tangannya tepat di hadapan Steve , “Taruhan denganku 100 juta , kalau gadis itu akan berubah jadi lebih cantik dariku sekarang.”

“Bodoh !! memang kalau kamu kalau kamu punya uang 100 juta? Lihat bajumu saja compang-camping begitu , mirip gembel ”.

“Kamu tahu apa , hah ? jangan meremehkan kakakmu ini !! keberuntunganku 100 kali lebih daripada punyamu !!.”

Steve hanya terkekeh sebentar , memikirkan itu membuatnya mau tak mau kembali mengingat Lili , masak iya Lili menyukainya ? padahal selama ini dia tak pernah menangkap sinyal apapun tentang gadis itu , biarpun begitu Steve juga tak menolak pendapat kakaknya , siapa yang tahu apa yang akan terjadi dimasa depan ?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status