Share

Prom Night

“Ngapain sih?” Garin penasaran melihat kakaknya seolah mencari sesuatu, mereka sedang ada di tempat parkir dan Danisha seperti tak mau beranjak dari sana.

“Ayo pergi, tapi nanti berhenti di depan gerbang sekolah ya?”

Garin menaikkan sebelah alisnya, “Ngapain berhenti di depan gerbang? ngehalangin jalan tau”

“Ada seseorang yang ku tunggu”

“Siapa?”

“Muridmu”

“Buat apa?”

“Mau tahu saja urusan orang”

Garin menghela napas dan melajukan mobilnya dan baru beberapa meter berjalan sang kakak buru-buru memintanya berhenti, Garin menginjak rem tiba-tiba dan itu membuat Garin marah.

“Kamu gila ya!! kenapa suruh berhenti mendadak?!”

“Sssttt…” Danisha tak peduli dan malah meminta adiknya untuk diam, “HEI!!” Teriak Danisha dari dalam mobil.

Garin memperhatikan ada seorang gadis yang berjalan terburu-buru, Garin mencoba memincingkan matanya dan mengetahui jika itu adalah Lili Hariyadi salah satu murid di kelasnya.

“NONA, APA KAU TAK MAU MENYAPA WALI KELASMU!!” Teriak Danisha dari dalam mobil, Lili tak menoleh bahkan dia berlari seolah sangat ketakutan.

“Bodoh!! sebenarnya kamu kenapa sih?” Teriak Garin lalu menarik tubuh kakaknya agar kembali duduk dikursinya.

Danisha menoleh pada Garin dan menunjukkan wajah senangnya, “Aku suka gadis itu, dia sangat imut” Oceh Danisha.

Garin mengerutkan dahinya, “Kenapa, apa kamu kenal dia?"

“Tentu, untuk sekarang mungkin belum, tapi siapa tahu di masa depan kelak aku akan berteman dekat dengannya”

“Kamu benar-benar sinting, bicaramu semakin aneh, apa berkeliling dunia membuat otakmu bergoncang?”

Danisha tak menjawab, dia hanya tersenyum, lalu menyenderkan kepalanya pada kursi mobil, sedang Garin dia terus melajukan mobilnya, tanpa bertanya apa-apa lagi, kakaknya memang aneh, bahkan Garin tak mengerti apa yang sedang coba di lakukan oleh kakaknya.

                                                            ***

Lili buru-buru masuk ke dalam taksi dan menutup wajahnya dengan tas selempang yang di bawanya, dia sangat malu, saking malunya wajah Lili sampai kelihatan begitu merah seperti kepiting rebus.

“Sudah mau jalan, non?” Tanya pak Bakri, supir taksi langganannya.

“Jalan aja pak”

“Non, kenapa?” Pak Bakri sepertinya penasaran pada tingkah Lili yang tak seperti biasanya,“Wajah Non merah banget”

Lili tersentak dan memegang wajahnya sendiri, buru-buru diambilnya kaca kecil di dalam tasnya, lalu melihat dengan seksama wajah manisnya yang memang memerah sekarang, “Ahh, gimana nih”

“Ada apa sih, non?” Tanya pak Bakri cemas.

“Pak bisa antarkan saya kesuatu tempat nggak?” Tanya Lili mengalihkan pembicaraan.

“kemana, non?”

“Toko buku, bentar aja kok?”

“Mau cari buku, non?”

“Nggak pak, mau ketemu temen aja, nanti pak Bakri tunggu diluar aja, aku nggak lama kok”

Pria paruh baya itu mengangguk, memang sebelum menjadi supir taksi, pak Bakri adalah supir pribadi papa Lili, tapi karena tuan rumahnya sekarang lebih banyak berada di luar negeri, pak Bakri memutuskan berhenti dan menjadi supir taksi, walau pun beliau selalu setia mengantar jemput anak dari mantan majikannya tersebut .

Sesampainya di toko buku, Lili turun dari mobil dan meminta pak Bakri menunggu sebentar, “Pak, tunggu bentar ya?”

“Siap non” pak Bakri menjawab sambil mengacungkan jempolnya.

Lili berjalan pelan melewati beberapa rak buku dan mencoba mencari seseorang yang lama tak di temuinya, seseorang yang dulunya dengan sabar dan perhatian selalu mendengarkan keluh kesah Lili, bahkan orang tersebut tidak pernah absen mengisi hari-hari Lili yang kosong setelah di tinggal mamanya berpulang.

“Maaf, di mana saya bisa menemui pemilik toko buku ini, ya?” Tanya Lili dengan sopan pada ibu-ibu penjaga kasir.

“Oh, Mas Artha?” Lili mengangguk, untungkah jika si ibu ini langsung ngeh dengan pertanyaannya, “Mas Artha lagi keluar kota nak, mungkin besok baru pulang”

Lili kecewa dengan jawaban yang di terimanya, orang itulah satu-satunya yang bisa membantu sekalian memberikan solusi untuk Lili sekarang, “Nggak apa-apa bu, tapi nanti kalau masnya ada, tolong bilang kalau Lili nyariin, ya?”

“Kok nggak telepon aja, nak?” Lili langsung kikuk, dia tak mungkin mengatakan jika dia tak punya nomor telepon Artha.

“Nggak apa-apa bu, kalau begitu saya permisi” Ibu itu terlihat kebingungan, tapi beberapa saat kemudian ekpresinya berubah dan kembali tersenyum sopan pada Lili.

Lili kecewa, orang yang di carinya tidak ada di tempat, Lili bingung harus cerita pada siapa, masa iya cerita pada pak Bakri? pikirnya, dengan langkah gontai Lili kembali masuk ke dalam taksi menyenderkan kepalanya dikursi penumpang.

“Kenapa, Non? sudah ketemu yang di cari?” Lili menggeleng pelan, “Nggak apa-apa, besok-besok kembali lagi, nanti bapak yang antar ya? nggak usah sedih”

Lili tersenyum mendengar Pak Bakri menghiburnya, coba saja papanya juga sama perhatiannya seperti laki-laki tua di depannya ini, mungkin Lili tak akan merasa kesepian seperti sekarang.

“Pak?”

“Iya, non?”

“Bapak dulu pernah suka sama orang nggak?” Akhirnya Lili memberanikan diri bertanya pada supir taksi langganannya itu, usia pak Bakri jauh lebih tua darinya, siapa tahu saja pengalaman beliau juga sudah banyak tentang percintaan.

“Pernah lah non, tapi cuma sekali saja.”

“Sama istri bapak?”

Pria paruh baya itu mengangguk pelan, lalu melanjutkan lagi ceritanya, “Dulu awalnya nggak di setujui non, cuma bapak nggak nyerah gitu aja, bapak apelin terus itu istri bapak yang waktu itu masih jadi pacar, bapaknya dulu serem non, apalagi kalau bapak kesana nggak bawa apa-apa”

Lili tersenyum mendengar cerita pak Bakri, cerita itu lumayan umum bagi Lili, tapi tak apalah untuk membunuh kebosanan dan kegalauan Lili sekarang, toh pak Bakri juga dengan senang hati bercerita padanya.

“Terus gimana?”

“Ya awalnya sih di tolak non, cuma lama-lama mertua bapak luluh juga”

“Pasti berat ya pak? pertamanya ditolak gitu, terus bapak nggak putus asa gitu?”

“Ya, yang namanya usaha non, masa' belum dijalani udah menyerah, sekali-dua kali ditolak ya biasa lah”

Lili terdiam, pak Bakri memperhatikan gadis itu dari balik kaca mobil, “Kenapa, non juga lagi pengen pacaran?”

Wajah Lili langsung memerah, selama ini dia memang tidak pernah tertarik dengan laki-laki manapun.

“Ehm…gimana ya pak? saya juga bingung, kalau di bilang suka iya, tapi kalau di bilang nggak suka, iya juga?"

Pak Bakri menaikkan sebelah alisnya, “Jadi berapa perbandingannya, non? Antara suka sama nggak sukanya?”

Lili berpikir sejenak, “Mungkin 70 - 30 pak”

“Kalau gitu ya, berarti non suka dong sama orang itu”

Lili berpikir lagi, “Mungkin”

“Emang dia siapa sih, non?"

Pertanyaan pak Bakri tak bisa langsung di jawab oleh Lili, dia tentu malu jika harus berkata kalau dia naksir gurunya sendiri, “Bukan siapa-siapa pak, nanti saya cerita lagi deh, kalau sekarang jangan pak, malu” Pak Bakri pun terkekeh mendengar jawaban apa adanya dari Lili.

                                                         ***

Danisha masih setia berada di apartemen milik Garin, padahal sang empunya sudah berkali-kali mengusirnya, tapi bukan Danisha namanya jika dia menyerah begitu saja.

“Ini sudah sehari, Sha. bukannya kamu janji akan keluar setelah sehari?”

“Biarkan aku mengambil napas dulu, kamu tahu kan kalau tadi aku capek habis muterin tempat kerjamu?”

“Siapa suruh? bukannya kamu yang ngotot ikut?”

Danisha tak memperdulikan ucapan adiknya, pikirannya masih berputar-putar pada gadis yang di temuinya tadi, gadis itu terlihat sangat malu, membuat Danisha ingin terus meledek adiknya tentang itu.

“Kamu punya banyak fans di sekolah itu?"

“Kenapa memangnya” Jawab Garin cuek.

“Dari sebegitu banyaknya perempuan, tidak adakah yang membuatmu tertarik?”

“Nggak” Garin menjawab singkat, lalu meminum air dari kulkas dan duduk di sofa ruang tamu, dan menyalakan tv di sana.

“Jawabanmu sangat singkat, coba di ingat-ingat lagi, bahkan sikapmu yang biasanya cuek berubah jadi hangat di depan anak-anak manja itu”

Garin lagi-lagi mengacuhkan kakaknya dan malah sibuk dengan remote tv.

“Bagaimana dengan Lili Hariyadi? gadis imut berambut pendek?”

Garin tersedak air yang baru saja diminumnya, dia melihat kakaknya dengan tatapan seram, sedang Danisha hanya menggangkat kedua bahunya sambil tersenyum ke arahnya.

“Aku penasaran, dari mana kamu tahu dia?”

“Aku memperhatikan dia, dia tidak berkedip sedikitpun waktu kamu mengajar tadi”

“Siapa?"

“Si Lili itu , duhh…si idiot ini, masa' dari tadi aku mengoceh kamu sama sekali nggak ngerti?”

“Masak'?” Garin pura-pura tak peduli.

“Tanya sendiri ke orangnya, sepertinya dia sudah lama menyukaimu”

Garin menerawang lagi tentang kebersamaannya beberapa waktu terakhir bersama gadis itu, mereka memang sudah agak sedikit akrab, tapi mana mungkin jika Lili Hariyadi menyukainya?

“Males ahh..dia itu masih SMA,  bukan tipeku”

Danisha memukul kepala adiknya, “Jangan sok iyes deh!! gadis seperti itu mau kamu lepaskan begitu saja, sekarang mungkin belum kelihatan, tapi beberapa tahun lagi, dia pasti akan berubah menjadi gadis cantik yang nggak bakal bisa kamu tolak”

Garin memegangi kepalanya yang terasa sakit, “Iya kalau dia tumbuh cantik, kalau gendut dan jelek?”

Danisha menyilangkan tangannya tepat di hadapan Garin, “Taruhan denganku 100 juta, kalau gadis itu akan berubah jadi lebih cantik dariku sekarang.”

“Bodoh!! memang kamu punya uang 100 juta? Lihat, bajumu saja compang-camping begitu, mirip gembel"

“Kamu tahu apa, hah? jangan meremehkan kakakmu ini!! keberuntunganku 100 kali lebih banyak daripada punyamu!!"

Garin hanya terkekeh sebentar, memikirkan itu membuatnya mau tak mau kembali mengingat Lili, masa' iya Lili menyukainya? padahal selama ini dia tak pernah menangkap sinyal apapun tentang gadis itu, biarpun begitu Garin juga tak menolak pendapat kakaknya, siapa yang tahu apa yang akan terjadi dimasa depan?

                                                               ***

Hari Menjelang kelulusan …

Lili baru saja menerima penguguman jika semua murid di kelasnya lulus, tentu Lili dan lainnya sangat senang terlebih gadis itu lulus dengan predikat penerima nilai tertinggi di sekolah.

“Selamat” Lili melihat sejenak tangan besar yang terulur ke arahnya, lalu matanya menelusuri tangan kekar itu dan berakhir ke wajah si pemilik tangan tersebut, gurunya semakin tampan dari waktu ke waktu dan Lili sadar akan hal itu.

“Makasih pak” Lili  menyambut uluran tangan gurunya, hangat..tangan itu sangat hangat, membuat hati Lili tenang meski hanya sesaat saja.

“Kamu ikut ke acara prom kan nanti?"

Lili tersenyum, “Iya pak, acaranya di aula sekolah, acara sederhana aja, kepala sekolah nggak mau bikin acara aneh-aneh”

Laki-laki itu mengangguk, “Lalu, saya dengar dari guru lain, kelas kita kebagian membuat desain panggungnya?”

“Akbar ketua desainnya, dia yang nanti siapkan semua”

Entah kenapa beberapa bulan berselang Lili seperti menjaga jarak dari Garin, itu semua mematahkan pernyataan Danisha beberapa bulan yang lalu, Garin memang agak kecewa tapi jika diingat lagi tak ada gunanya jika Lili benar menyukainya sekalipun, Garin akan pergi keluar negeri yang artinya dia tidak akan bisa bertemu dengan Lili lagi.

“LILI!! SINI!!” Teriakan Mia membuat keduanya menoleh.

“Pak, saya mau ke sana dulu”

“Oh..ok”

Lili tersenyum, lalu menundukkan sedikit kepalanya, sikapnya memang agak kalem sekarang, Garin sendiri takjub akan perubahan Lili yang bisa di bilang mendadak, walau begitu terselip rasa kecewa di hatinya, karena sekarang mereka tak lagi sedekat dulu, Lili selalu menjaga jarak, itu membuat hubungan keduanya menjadi canggung.

“Li, kamu habis ngobrol apa sama pak guru? serius amat” Lili hanya menggeleng, lalu merangkul sahabatnya itu.

“Kita ke kelas yuk, Akbar kayaknya udah nunggu tuh.”

“Ayo!!” Teriak Mia antusias.

                                                              ***

Lili menulis beberapa susunan acara prom yang akan di selenggarakan minggu depan, besok adalah tugas kelasnya untuk menghias panggung sekreatif mungkin dan Lili sudah bersiap-siap untuk itu, bahkan sudah dari jauh-jauh hari dia dan kawan-kawannya merencanakan semuanya.

“Kamu nggak capek apa ngetik terus dari tadi?” Suara Sarah yang datang dengan membawa minuman mengagetkan Lili, kini Lili sudah agak bisa menerima ibu tirinya tersebut, walaupun masih sangat canggung.

“Ini buat tugas besok”

Sarah tersenyum puas, beberapa bulan yang lalu sebelum ujian kelulusan Lili terlihat tak bersemangat, entah apa yang terjadi padanya, tapi saat itu Lili sempat tak napsu makan dan itu membuat Sarah sedikit khawatir.

“Tante bawakan susu, semoga kerjaan kamu cepet selesai ya”

Lili hanya tersenyum simpul, Sarah lalu keluar dari kamar Lili dan menutup kembali pintunya, sedang Lili terus saja melihat susu tersebut lalu menghela napas pelan dan melanjutkan pekerjaannya.

Saat pagi menjelang Lili sudah bersiap-siap berangkat kesekolah yang akan ditinggalkan olehnya, ya Lili akan segera lulus, meninggalkan predikatnya sebagai anak SMA dan siap menghadapi dunia baru di bangku kuliah nantinya.

Lili melihat gedung sekolahnya yang selema 3 tahun terakhir di tempatinya untuk belajar, memang sangat susah baginya untuk pergi setelah selama ini banyak sekali kenangan yang di buatnya bersama teman-temannya di sana, terlebih cinta pertama Lili juga berasal dari sana, biarpun Lili tahu cinta itu tak akan bersambut.

Siang ini Lili dan kawan sekelasnya sibuk mendekor ulang panggung untuk pesta kelulusan, semunya bekerja keras, tak ada guru yang memberi arahan apalagi profesioanal yang dibayar, semua dikerjakan mereka sendiri.

“Li, bisa bantu aku sebentar?” Akbar memanggil Lili yang sepertinya menganggur, teman sekelas Lili itu memintanya untuk membawa spanduk.

“Ini mau di taruh di mana memang?”

“Ahh, serahkan pada bapak-bapak yang disana, spanduk itu akan kita pasang di atas, nggak apa-apa kan kalau kamu yang pergi? nggak berat juga kok, yang lain pada sibuk ngambil bahan yang baru datang”

Lili mengangguk dan mengambil beberapa gulungan spanduk, berat juga memang, tapi Lili tak peduli dengan hal itu, semua sedang sibuk dan dia tak mau hanya berpangku tangan melihat yang lain bekerja dengan sangat keras.

“Pak!! pak!! ini spanduknya!!” Teriak Lili dari bawah, laki-laki paruh baya yang ada di atas lantas mengulurkan tangannya dan Lili harus sedikit berjinjit karena jarak mereka lumayan jauh.

Baru saja Lili selesai menyerahkan spanduk itu ketika tiba-tiba matanya seperti kemasukan benda aneh, Lili terus-terusan mengucek matanya kasar, rasanya perih dan panas, Lili menebak itu adalah serpihan debu atau sesuatu lain yang terbang dan tak sengaja masuk ke matanya.

“Kamu nggak apa-apa?” Lili terkejut ketika seseorang mencekal tangannya yang sedari tadi tak berhenti mengucek matanya.

“Jangan di kucek, kemari” Lili hanya menurut lalu memejamkan sebelah matanya yang tak terkena debu, sedang pria yang tak di ketahui Lili itu meniup-niup mata Lili perlahan sampai Lili merasa jika matanya sudah tidak seperti ada yang mengganjal.

“Sudah baikan?

“Makasih” Lili  lalu membuka matanya perlahan, ajaibnya matanya sudah membaik dan Lili pun mulai membuka matanya yang tadi terpejam.

Sedikit demi sedikit tampak wajah tampan yang sangat familiar di mata Lili, wajah orang itu terlihat sangat dekat, sampai Lili bisa merasakan hangatnya napas pria itu.

Lili membelalakan matanya ketika menyadari jika Garinlah orang yang tadi membantunya, Lili salah tingkah dan wajahnya memerah seketika, Garin sendiri yang masih berada begitu dekat dengannya meras ikut-ikutan salah tingkah juga, keduanya terlihat canggung dan Garin merasa jika sekarang pipinya juga ikut memanas.

“Ehmm, bagus kalau kamu sudah nggak apa-apa" Katanya, lalu beranjak pergi dari hadapan Lili.

Lili hanya bisa memejamkan matanya sekali lagi, sambil merutuki dirinya sendiri, perasaan yang sudah susah payah di kuburnya kembali tumbuh, bahkan Lili sendiri merasa jantungnya kembali berdetak, ya sekarang Lili merasa jika dia sudah bisa mengakui perasaanya sendiri, tapi bagaimana dengan Garin, apakah dia juga menyukai Lili? atau hanya menganggap Lili sebagai murid biasanya saja? akhirnya Lili lagi-lagi hanya bisa menyaksikan punggung pria itu dari belakang, tanpa mampu mengatakan apapun.

                                                             ***

Malam prom tiba, Lili berdandan di bantu Sarah yang sudah menyiapkan semuanya, tadinya Lili sempat menolak, tapi akhirnya dia luluh ketika melihat wanita itu begitu antusias dan bersemangat mempersiapkan semuanya.

“Jangan menor-menor ya tante?” Pinta Lili, Sarah hanya mengangguk lalu kembali membubuhkan bedak di wajah cantik putri tirinya.

“Kamu mau pakai yang mana?” Sarah menenteng 2 gaun yang sama-sama cantik, satuya berwarana hitam dan satunya berwarna maroon.

“Aku pilih yang hitam aja tante, lebih sopan.” Sarah tersenyum, apapun yang di pakai Lili hari ini, pastinya semua akan membuat wajahnya makin terlihat cantik.

Lili melihat bayangannya di cermin besar di kamar Sarah, tampak tubuh mungilnya yang terbungkus gaun hitam berlengan pendek yang sangat pas di pakainya, Sarah juga sengaja mengatur rambut Lili senatural mungkin, tak lupa Sarah memakaikan anting kecil untuk melengkapi penampilan Lili hari ini.

“Ini, bawa clucth tante, tante belum pernah pakai sama sekali setelah membelinya” Lili lalu menerima barang tersebut dan membalas kebaikan Sarah dengan senyum simpulnya.

Sarah terharu, baru kali ini Lili tak menolak kebaikannya. mungkin Sarah memang sedikit berlebihan saat ini, melihat Lili sama saja dengan melihat putri kandungnya sendiri, Sarah senang dan gugup saat menghadiri wisuda Lili beberapa hari yang lalu dan sekarang Sarah juga yang mendandaninya untuk acara prom.

Lili masuk kedalam mobil, Sarah mengantarkannya keluar sampai teras depan rumah mereka, sebelum mobil melaju Lili menyempatkan membuka kaca belakangnya tampak di sana Sarah yang tersenyum gembira .

Have fun, Lili” Lili mengangguk, mungkin jika tidak ada Sarah Lili akan sendirian dirumah, tak akan ada yang mengantarkan apalagi mendandaninya, entahlah yang pasti Lili sedikit bersyukur dengan adanya wanita itu dalam kehidupannya.

Lili menutup jendela mobil dan mendapati ibu tirinya masih terpaku di depan rumah mereka, Lili sendiri tak tahu harus berkata apa, di dalam hati dia sudah menerima Sarah, tapi di sisi lain dia masih kecewa pada wanita itu, entahlah, menurut Lili perasaan itu tak dapat di jelaskannya secara pasti.

“Non, cantik banget hari ini”

“Ahh, pak Bakri nih bisa aja kalau gombal” Lili nyengir, baginya dipuji oleh pak Bakri saja sudah membuat hatinya senang.

“Ahh, emang beneran cantik kok non"

“Bapak juga ganteng.”

“Non ini, udah keriputan terus ubanan gini masa' dibilang ganteng non?"

Lili tertawa dan Bakri tersipu, “Pak, nanti jemput Lili jam 12 ya? soalnya Lili selesai acara harus bantu-bantu beres-beres yang lain juga”

“Sip non, telepon aja mah, bapak langsung otw"

Disepanjang perjalanan Lili tak berhenti memikirkan seseorang, benarkah jika setelah lulus sekolah hubungan mereka akan berakhir, mungkin saja? tak ada alasan lagi bagi keduanya untuk bertemu, toh Lili juga sudah memutuskan untuk menjaga jarak, hatinya sudah hampir menerima kemungkinan itu, tapi kejadian kemarin membuat perasaan Lili kembali bimbang, bisakah dia merelakan laki-laki itu pergi? ataukah Lili harus mengutarakan perasaannya sebelum semua terlambat ?

“Non, sudah sampai”

Suara pak Bakri menyadarkan Lili dari lamunan sesaatnya, Lili lantas turun dari mobil dan menutup pintunya, kakinya menuntunnya untuk melangkah ke depan dengan pasti, walaupun high heels yang di pakainya membuatnya sedikit tak nyaman.

                                                              ***

Acara demi acara berjalan lancar dan Lili serta yang lainnya tampak sangat menikmati acara tersebut, apalagi saat-saat mendebarkan penguguman Queen and King yang akan di sematkan pada orang tercantik dan tertampan malam ini dan siapa sangka Lili dan Garinlah pemenangnya, padahal Garin bukan lagi seorang murid dan sebaliknya dia adalah seorang guru, tapi semua orang setuju jika Garinlah laki-laki paling tampan yang hadir malam itu.

“Kamu cantik malam ini”  Puji Garin, sekarang keduanya tengah berada di luar gedung memandang kembang api yang di nyalakan untuk memeriahkan suasana.

“Bapak juga ganteng” Lili berusaha menormalkan detak jantungnya, siapa sangka setelah acara penobatan Garin mengajaknya keluar.

“Setelah ini kamu mau meneruskan kemana?"

Lili memandang Garin sesaat lalu menghela napasnya, “Belum kepikiran pak, mungkin di luar negeri, bisa juga di dalam negeri”

“Bagus kalau kamu masih punya angan-angan yang tinggi”

Lili memandang lagi pria yang tengah duduk di sampingnya, pria yang entah setelah ini bisa ditemuinya lagi atau tidak.

“Bapak sendiri, mau sampai kapan mengajar di sini?"

Garin terdiam sesaat, matanya masih asyik memandang meriahnya ledakan kembang api diatas langit “Saya juga, mungkin akan ke luar negeri”

Lili sedikit kecewa, mungkinkah hari ini hari terakhirnya bertemu dengan gurunya?

"Kenapa, pak? bapak nggak akan mengajar lagi disekolah ini?"

“Yah..Karena, nggak ada alasan lagi untuk saya berlama-lama di sini”

Jawaban tersebut membuat Lili terkejut, mungkinkah jika dia salah satu alasan Garin bertahan di tempat ini?

“Padahal sekolah ini lumayan juga.”

Garin terkikik, lalu mengusap rambutnya dan saat Garin menurunkan tangannya tak sengaja tangannya itu bersentuhan dengan jemari Lili yang sedari tadi berada di sana, Garin memandang tangannya yang telah menyentuh jemari indah itu, lalu matanya menatap ke arah Lili yang masih memandang ke depan.

Garin mengenggam jemari Lili dengan lembut, sedang Lili hanya bisa mematung sambil melihat ekpresi wajah Garin yang sulit untuk di artikan, perlahan Garin mendekatkan wajahnya dan Lili spontan memejamkan matanya, Garin mendaratkan kecupan lembut di bibir ranum Lili, memang hanya sekilas tapi itu saja mampu membuat tubuh Lili menegang karena malu.

“Itu hadiah perpisahan” Ungkap Garin.

Lili mengigit bibirnya, lalu menundukkan kepalanya, “Bergabunglah dengan teman-teman kamu” Kata Garin lalu beranjak dari tempat duduknya.

“Bapak mau kemana?”

“Pulang”

“Apa suatu saat kita bisa bertemu lagi?”

Maybe?”

Lili tak dapat melupakan kejadian yang membuat jantungnya tak berhenti berdetak sampai sekarang, Lili tak tahu pasti apa yang di rasakan Garin padanya. tapi hal itu sedikitnya sudah tersirat dari sorot matanya malam ini, Lili menghela napasnya, berharap suatu saat dia dapat bertemu lagi dengan laki-laki itu, laki-laki yang sudah menjadi ciuman pertamannya, laki-laki yang membuatnya tak berhenti berharap dan laki-laki yang selama setahun terakhir membuat hari-harinya lebih berwarna.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status