Gistara, Gian dan Singgih sedang berada di kebun milik keluarga mereka yang berada tak jauh dari rumahnya. Kebun dengan seratus meter persegi itu di tanami berbagai sayuran, seperti kangkung, bayam dan sawi.
Sayuran itu tidak dijual. Ayah Gistara sengaja menanam itu untuk kebutuhan keluarganya. Tak jarang orang ingin membeli sayuran yang di tanam Singgih tapi pria paruh baya itu tidak mengizinkan, beliau justru memberikan dengan percuma sayuran itu kepada orang yang membutuhkan.
Gistara duduk di karpet yang di gelar di bawah pohon rambutan menyaksikan ayah dan adiknya mengambil sawi. Dia merindukan suasana seperti ini, suasana asri khas pedesaan.
“Teteh!” Panggil Novi berjalan menuju putrinya dengan bawaan di tangannya.
Senyum Gistara terbit. “Ayah, Adek sini buruan, Bunda bawa makanan!” teriak Allisya saat melihat tempat makan yang dibawa Novi.
“Iya ini bentar lagi selesai!”
Gian dan Singgih berjalan menu
Sagara mengetuk pintu rumah Gistara. Dia memenuhi janjinya kepada Novi kalau dia akan menginap di kediaman keluarganya satu minggu yang lalu."Bang Gara!" panggil Gian membuat pria itu menoleh.Senyum Sagara terbit melihat Gian yang berjalan kearahnya. "Ayah sama bunda mana Yan?" tanyanya saat Gian sudah berada dihadapannya.Gian mencium punggung tangan Sagara. "Ayah sama bunda lagi ke rumah pak RT Bang. Anaknya pak RT mau nikah jadi bantu-bantu gitu deh." Jawabnya.Gian mempersilahkan Sagara untuk masuk. Anak laki-laki itu segera pergi ke dapur, membuatkan minum untuk Sagara. Sagara memperhatikan rumah itu yang tampak sederhana, sepi dan nyaman membuatnya betah."Ke rumah Nenek kamu jam berapa Yan?" tanya Sagara saat anak laki-laki itu sudah kembali dengan membawakan minuman untuknya."Siang kayaknya Bang. Jam tigaan. Mungkin hehe." Sagara tersenyum mendengar jawaban dari Gian."Abang mau istirahat dulu gak?" tanya Gian memperhatikan
Singgih keluar terlebih dulu diikuti oleh yang lainnya. Nenek dan Kakek Gistara keluar menyambut mereka dengan senang. Keduanya nampak masih sehat meskipun umurnya tidak lagi muda.Kelimanya memberikan salam kepada nenek dan kakek. Sepasang suami istri itu mempersilahkan mereka masuk. Sagara memperhatikan bangunan sederhana tapi nampak luas dan bersih milik keluarga orang tua Singgih."Ini siapa anak ganteng?" tanya eyang putri - panggilan dari seluruh cucunya. Memperhatikan Sagara dari kepala sampai ujung kaki."Ini Sagara Eyang Uti. Kepala sekolahnya Gita," sahut Singgih.Eyang putri hanya mengangguk. Jadi ini pria yang diberitahu oleh anaknya kalau dia akan membawa calon mantunya ke acara keluarga. Rapi, khas pria kaya pikirnya."Calon cucu Eyang ini mah," celetuk Eyang kakung, yang sukses mambuat Singgih, Novi dan Eyang putri tertawa.Gistara terdiam memperhatikan Sagara. Dia ingin melihat reaksi pria itu. Tapi pria itu hanya tersenyum m
"Anak ibu sama Akang ganteng ya.” Bunga mengambil Riyo dari gendongan Sagara saat pria itu akan duduk di tempat yang tersedia.Setelah memanggang daging selesai, Gian membawa dagingnya ke gazebo. Disana ternyata sudah siap daun pisang yang di jajar memanjang dengan nasi diatasnya. Sagara sempat ragu ingin bergabung tapi suara Singgih membatalkan niatnya.“Ini makan yang banyak.” Singgih memberikan beberapa potong daging ke nasi Sagara.“Terimakasih Om.”Semuanya mulai memakan dengan khidmat. Sagara sesekali tersenyum mendengar obrolan yang berbeda antara ibu-ibu dan bapak-bapak. Pria itu jadi kangen momen seperti ini. Setelah kakeknya yang dari papahnya meninggal, mereka tidak pernah mengadakan acara seperti ini.Jangan tanya kenapa dari pihak mamahnya tidak mengadakan acara seperti ini. Keluarga dari mamahnya terlalu tegang, sehingga tidak ada acara seperti ini. Bahkan antar keluarga mereka seperti bermusuhan.
Besok Gian dan teman-temannya berencana pergi ke Curug. Tetapi Singgih dan Novi tidak memberi izin kepadanya karena jalan menuju curug itu terlalu terjal sehingga sepasang suami-istri itu khawatir terjadi sesuatu kepada putra semata wayang mereka.Gian merebahkan tubuhnya di karpet. Laki-laki itu merajuk karena tidak diberi izin oleh kedua orangtuanya. Novi hanya diam, tidak memperdulikan putranya yang merajuk.Gistara tertawa puas melihat wajah adiknya yang memelas. Adiknya itu pasti akan terus membujuk bundanya sampai wanita paruh baya itu mengizinkannya.Novi menghela nafasnya. “Jauh Dek, terjal jalannya. Bunda tu khawatir kamu kenapa-kenapa.” Ucapnya.Gian menggelengkan kepalanya. Dia merasa bundanya terlalu khawatir. Padahal teman-temannya selalu dapat izin jika ingin pergi kesuatu tempat.“Teman-teman Gian aja pasti diizinin sama orangtua mereka,” gumamnya.“Gian mau tukeran orangtua aja sama mereka? Yauda
Sedikit mengandung konten DewasaYang belum cukup umur silahkan di skip***Sagara mengikis jarak diantara mereka. Fokusnya hanya pada benda berwarna pink milik Gistara yang lembut. Kalian jangan lupa kalau dia pernah menyentuh bibir itu. Dia penasaran bagaimana rasanya saat bibirnya dan bibir gadis itu bertemu.Sagara mengecup bibir Gistara dengan lembut. Gadis itu terdiam sesaat. Detik berikutnya Gistara membalas dengan ragu kecupan yang diberikan oleh Sagara. Tangan Sagara menekan pinggang Gistara untuk lebih merapat kepadanya.Sagara membawa tubuh Gistara kedalam air membuat gadis itu memekik merasakan dinginnya air. Kedua tangan Gistara melingkar di leher Sagara, sedangkan kedua kakinya melingkar di pinggang pria itu.Sagara membuka t-shirt yang digunakan oleh Gistara menyisakan bra berwarna cream. Tangan Sagara turun membuka jeans gadis itu. Setelahnya dia meninggalkan boxernya.Gistara memejamkan matanya saat Sagara meraup bibi
Sagara dan Gistara terduduk di salah satu warung pinggir jalan yang menjual bubur ayam. Setelah berlari mengelilingi kampung dimana dia tinggal. Sagara dan Gistara berhenti di salah satu warung langganan keluarga Gistara.Novi, bundanya itu sering membeli sarapan di warung itu jika beliau malas membuat sarapan. Sehingga pemilik warung itu kenal dengan keluarga Gistara.“Bapak mau apa?” tanya Gistara.“Ada apa aja?”“Bubur ayam doang,” jawab Gistara polos.Sagara terkekeh mendengar jawaban Gistara. Dia benar-benar gemas dengan tingkah gadis di sampingnya itu. Rasanya dia ingin mencubit pipi chubby gadis itu.“Kalau adanya bubur ayam doang kenapa nanya sih, hmm.” Sagara mengusap puncak kepala Gistara dengan gemas. Dia tidak peduli dengan jantungnya yang berdetak dengan cepat. Yang terpenting dia bisa menyentuh sedikit gadis itu.Sagara tidak tahu kalau bukan jantung dia saja yang berdetak
Gistara membangunkan adik laki-lakinya itu dengan sabar. Ini hari pertama Gian masuk sekolah menengah atas, setelah satu bulan libur semester genap. Gian berhasil lulus di Baramantas’ School dengan nilai yang memuaskan.“Dek bangun, Teteh udah buatin sarapan. Buruan mandi, kalau mau bareng Teteh, bangun sekarang.” Gistara menarik tangan Gian supaya adiknya duduk. Memaksa kedua mata adiknya untuk terbuka lebar dengan tangannya.“Teteh ganggu aja.” Gian cemberut menatap tetehnya yang duduk di pinggir kasurnya.“Gian bauuu!!”Gistara menatap horror adiknya yang sudah masuk kamar mandi. Adiknya itu tanpa merasa bersalah kentut, setelah itu dia lari ke dalam kamar mandi.“Teh, aku yang bawa motornya ya.” Gian muncul dari pintu keluar dengan tas di punggungnya dan helm ditangan kanannya. Laki-laki itu sudah siap dengan pakaian sekolahnya.“Enggak, kamu belum punya SIM Dek.” Gistara
Gistara berjalan menuju ruang guru dengan lesu. Semalam dia tidak bisa tidur karena pembicaraannya dengan Sagara dan kejadian mereka kemarin. Pria itu sukses membuat waktu tidurnya terganggu. Gistara bahkan masih terbayang skinship yang mereka lakukan.Sepanjang jalan semua mata tertuju kepadanya. Banyak siswa-siswa yang menyapanya dan mengucapkan selamat. Gistara yang bingung hanya tersenyum dan mengucapkan terimakasih. Tak sedikit pula siswa-siswa yang mengambil fotonya.“Selamat Bu Gita.” Ucapan Leon yang tiba-tiba ketika dia memasuki ruangan guru membuatnya mengernyitkan keningnya.“Selamat kenapa Pak?” tanyanya bingung meletakkan tasnya di atas mejanya.Leon menggelengkan kepalanya, kemudian membuka akun instagramnya, memperlihatkan akun resmi Baramantas’ School yang berisi tentang fotonya dan Sagara. Di foto itu nampak Sagara yang sedang memegang kepalanya.“Ibu harus liat ini, ini Ibu ‘kan?” ta