Sudah lebih dari lima menit Yara terdiam di depan pintu berwarna coklat tua. Berbagai polah sudah dilewatinya, mulai dari menggaruk rambutnya yang tidak gatal, menggigiti bibirnya sendiri, sampai mondar-mandir tidak jelas di depan unit apartemen itu.
Dengan helaan napas berat, akhirnya Yara memberanikan diri untuk mengetuk pintu di depannya. Sekali lagi ia mengetuknya, berharap seseorang segera membukakan pintu untuknya.
"Iya?" Tampak Adam melongokkan kepalanya dari celah pintu yang sepertinya sengaja ditahannya agar tidak terbuka sepenuhnya.
"Malam, Dam." Yara tersenyum ramah seperti tanpa ada masa lalu menyakitkan di antara mereka.
"Ngapain kamu ke apartemenku?" tanya Adam dingin.
"Aku perlu ngomong tentang proyek rumahmu, Dam."
"Oooh, kamu udah dapet kabarnya dari Pak Ranu? So? Katanya kamu mau berpesta semalaman kalau aku cancel proyek ini."
Yara menelan ludahnya dengan susah payah. Bolehkah ia mengumpat di depan muka laki-laki ini?
"Ternyata ... keadaannya agak di luar ekspektasiku. Please, Dam. Ngomong bentar sama aku ya."
"Ck!" Adam berdecak kesal. "Kita bicara di coffee shop bawah, nggak etis kalo kita berduaan di apartemen. Bentar, aku ambil hp sama dompet."
Adam kembali masuk ke unit apartemennya dengan sebelumnya menutup pintu. Tangan Yara memukul-mukul udara saking kesalnya dengan kelakuan Adam.
"Ayo."
Yara mengekori ke mana Adam melangkah, sambil menyusun kata-kata yang akan diucapkannya untuk membuat Adam mengurungkan niatnya.
"Kamu pesen apa?" tanya Adam saat mereka akan memesan di counter coffee shop apartemen itu.
"Biasa, Dam." Yara menampar mulutnya sendiri saat sadar kalau ia mengucapkan apa yang seharusnya tidak terucap. "Maksudku, Vanilla Latte, less ice."
Adam menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak hanya Yara yang jengah dengan kelakuan Adam, pun sebenarnya Adam juga begitu.
"Kamu duduk aja dulu."
Yara menurut, memilih duduk di kursi yang ada di dekat jendela agar dia bisa mengalihkan pandangannya kalau-kalau negosiasinya tidak berjalan lancar.
Sesaat kemudian, Adam menarik kursi yang ada di depan Yara. Lelaki itu duduk lalu bersedekap, seakan menunggu Yara berbicara.
"Jadi gini, Dam--"
Belum juga Yara memulai trik negosiasinya, seorang pegawai coffee shop datang membawakan pesanan Adam dan Yara.
Yara menyesap Vanila Latte yang ada di depannya untuk mengurangi kegugupannya.
"Jadi gini, Dam. Hmm ... bisa nggak aku yang ngerjain desain interior rumahmu? Aku janji bakal bikin sebagus mungkin, sesuai yang kamu mau. Sebelumnya, aku sering banget kok nggarap desain interior resort, hotel, rumah pejabat, rumah artis, jadi kamu nggak perlu ragu sama kemampuanku."
Adam menarik satu sudut bibirnya, tersenyum meremehkan. "Aku bisa nyari desainer interior yang selevel kamu, bahkan yang levelnya jauh di atas kamu."
"Aku janji bakal ngerjainnya sepenuh hatiku, anggep aja sebagai kado pernikahan buat mantan."
"Justru dengan kamu ngomong gitu, aku makin takut."
Yara tiba-tiba menjadi panik karena ucapan Adam. "Eh, nggak, maksudku, kan setiap pekerjaan harus dilakukan dengan sepenuh hati. Aku jamin kali ini aku bakal ngasih yang terbaik, Dam."
"Kenapa, Ra?"
"Hah?"
"Iya, kenapa tiba-tiba kamu nurunin harga dirimu kayak gini. Tadi siang jelas-jelas kamu bilang akan berpesta kalo aku cancel proyek ini, sekarang kamu malah mohon-mohon buat aku ngasih proyek rumahku - yang nggak seberapa nilainya, ke kamu."
Ucapan Adam membuat harga diri Yara terluka. Tapi ia bisa apa?
"Aku belum ada sebulan balik ke Jakarta, Dam. Aku beberapa bulan lalu dapet proyek resort di Manado. Dan kali ini bosku nyuruh aku ngerjain rumahmu, atau aku bakal dikirim buat proyek resort di Papua." Akhirnya Yara memilih terus terang, siapa tahu Adam masih mengasihaninya.
Siapa sangka, cerita Yara yang penuh dengan kejujuran dan harapan itu justru membuat Adam terbahak-bahak.
"Kirain kamu kekurangan uang atau apa," ledek Adam.
"Hey! Aku anak Narendra Rafardhan Candra, kalo kamu lupa. Kalau pun aku nggak kerja, aku nggak bakal kekurangan uang," tukas Yara dengan sombongnya.
"Ya udah kalo gitu, suruh papamu ngomong ke bosmu, lagian papamu nggak mungkin rela kan anaknya pergi ke Papua berbulan-bulan buat ngerjain resort di sana?"
"Masalahnya ...." Yara memainkan bulir embun di gelasnya. " Aku kerja sama omku, adiknya mamaku. Dan orang tuaku nggak bakal ikut-ikutan sama masalah kerjaan, karena itu perjanjian di antara orang tuaku dan omku. Om Ranu nggak akan ragu ngirim aku ke kutub utara, apalagi ini cuma Papua. Ya, Dam? Please. Kamu tau kan sekarang gimana peliknya kehidupanku."
Adam kembali terbahak. Ia sampai memegang perutnya yang terasa kaku karena terlalu banyak tertawa.
"Adaaam." Yara mengeluarkan ekspresi memelasnya. Dulu, ekspresinya ini selalu berhasil membuat Adam memenuhi permintaannya.
Adam terkesiap beberapa detik lalu satu jarinya mendorong kening Yara. "Nggak mempan. Kamu pikir kamu siapa, kamu pikir dengan memelas gitu aku bakal nurutin maumu?"
"Kamu nggak kasihan sama aku, Dam? Kamu udah punya calon istri. Sebagian besar temen-temen kita udah nikah. Aku? Pacar aja belum ada, Dam. Karena apa coba?"
"Karena kamu terlalu sering bikin resort di pulau lain?" tebak Adam.
"Bukan. Karena kutukan kamu." Yara menatap Adam dengan tatapan penuh kekesalan.
Ucapan Yara sukses membuat Adam mengernyitkan keningnya. "Kutukan apa?"
"Ck! Kamu nggak inget kamu dulu nyumpahin aku waktu kita putus?"
"Hah?" Adam semakin bingung dengan ucapan random yang keluar dari bibir tipis Yara. "Nyumpahin apa sih?"
"Udah lah, nggak usah dibahas. Mungkin memang nasibku begini. Jadi, kamu beneran nggak mau kalo aku yang ngerjain rumahmu? Aku kasih garansi 50% uang kembali deh. Kalau kamu nggak suka desainnya, aku bakal balikin 50% biayanya. Gimana?"
"Keren juga kantormu, bisa ngasih garansi begitu."
Yara terbahak. "Bukan kantorku lah yang ngasih. Om Ranu nggak sebaik itu. Dari aku garansinya, tenang aja. Aku yang bakal ganti biayanya, asal kamu nggak ngomong ke Om Ranu."
"Aku nggak bisa mutusin sekarang," Adam menggeleng-gelengkan kepalanya.
Yara hampir menangis melihat kepala Adam yang bergerak ke kanan dan ke kiri. Biasanya ia tidak pernah keberatan pergi ke mana pun untuk mengerjakan desain interior resort, hotel, atau apa pun itu. Tapi kali ini rasanya berbeda. Entah kenapa, ia rasanya masih terlalu lelah untuk bepergian. Kerinduannya dengan keluarganya masih belum tuntas.
"Ok. Papua, I'm coming," ucap Yara lirih.
***
"Yara, Yara," panggil Nana dengan hebohnya.
Nana yang baru selesai meeting dengan klien siang itu, langsung berhambur ke meja Yara dan menarik-narik tangan Yara.
"Apa sih? Ribut banget."
"Temenin gue ke mall dong. Mau ke apotek, vitamin E gue abis." Nana melirik ke arah Ranu yang ternyata ada di dekat mereka. "Boleh kan, Pak Ranu, saya izin keluar sebelum waktu istirahat? Kurang sepuluh menit lagi, Pak."
"Iya. Kerjaan udah beres kan?"
"Udah, Bos."
"Yuk, ada yang mau gue beli juga di apotek." Nada suara Yara naik beberapa oktaf saat menyadari omnya masih belum kembali ke ruangannya.
'Nana, tanya ke gue, mau beli apa,' bisik Yara pada Nana.
Meskipun bingung dengan permintaan Yara, Nana akhirnya tetap mengikuti maunya. "Mau beli apa emangnya?"
"Mau beli pil kina, kan bentar lagi gue berangkat ke Papua," teriak Yara agar omnya mendengar ucapannya. "Gue rasa ya, sebentar lagi, ART di rumah gue bakal lupa kalo gue majikannya deh. Bisa-bisa pas gue mau masuk rumah diusir, karena dipikir orang lain, saking nggak pernahnya gue ada di rumah."
Ranu mengulum senyumnya mendengar ocehan keponakannya yang selalu membuat harinya lebih berwarna. Ia memilih masuk ke dalam ruang kerjanya sebelum mengirim pesan pada Yara.
Om Ranu: Mantanmu yang sekaligus klien kita itu minta ketemu kamu, nanti malam, di tempat yang semalam katanya.
Om Ranu: Om nggak tau dia mau deal atau nggak. Kamu dateng aja lah pokoknya. Terserah, mau menyambung tali kasih atau mau deal proyek.
Om Ranu: Tapi buat jaga-jaga, ya tetep beli aja pil kinanya.
Bersambung ....
“Kenapa kita nggak ke Flores? Kenapa kita ke Garachico? Itu di mana?” Bahkan Yara sama sekali belum tahu di daerah mana Garachico berada. Maklum, ia lebih khatam daerah Indonesia karena menurutnya Indonesia memiliki keindahan yang tiada duanya. “Spanyol.” “Visaku?” “Kita udah di pesawat, Ra. Masih perlu kamu nanyain visa? Ya jelas udah kuurus.” Yara menggigit lidahnya, terdiam malu karena ucapan Adam. Iya, mereka sudah berada di pesawat, berarti semua berkasnya sudah beres. Kenapa ia sebodoh itu mempertanyakan hal yang tidak perlu? “Gimana caranya kamu ngurus visaku? Passport-ku kan kusimpen di lemari, kamu tau dari mana?” Adam mengeluarkan sesuatu dari tas selempang yang dipakainya, kemudian menunjukkan semuanya kepada Yara. “Udah? Aman. Kamu nggak bakal dideportasi.” “Tapi gimana caranya?” tanya Yara keheranan. “Mau tau aja.” Adam menarik hidung Yara agar istrinya itu bisa tenang. Ia memang diam-diam mengurus semua be
“Papa, Mama, ati-ati ya, inget umur,” pinta Yara yang menatap kedua orang tuanya dengan bimbang.Pagi itu, Yara dan Adam mengantar orang tua Yara lebih dulu ke stasiun kereta sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju bandara dengan diantar sopir keluarga Yara.“Maksudnya apa ngingetin Papa sama Mama tentang umur?” tanya Naren (sok) galak.“Jangan naik kendaraan aneh-aneh, jangan memacu adrenaline berlebihan, dan yang paling penting … tolong jangan bikinin aku adek. Aku mau jadi anak bungsu seumur hidup. Lagian malu kan sama Kak Arla yang lagi isi, kalo Mama nyusul isi juga.”“Astaga! Anak ini!” Rhea menggeleng-gelengkan kepala mendengar celotehan Yara. Ia dan suaminya memang akan melakukan perjalanan yang sedikit ekstrim. Napak tilas. Bukan sembarang napak tilas, mereka akan pergi ke tempat-tempat yang dulu pernah dikunjungi Rhea ketika kabur dari Naren saat mereka masih berstatus tunangan. Mulai d
“Pelan, Dam,” lirih Yara saat Adam menyesap ceruk lehernya dengan keras. “Maaf.” Nyatanya Adam hanya mengalihkan area penjelajahannya setelah meninggalkan jejak kemerahan yang mungkin akan berubah menjadi kebiruan di ceruk leher sebelah kanan. Adam berusaha tidak menyakiti Yara, tapi ia kesulitan mengontrol hasratnya. “Cantik banget,” pujinya sambil berbisik. Yara tidak mampu merespon. Setiap kali kulit mereka bersentuhan, seperti ada gelenyar asing yang menguasai tubuhnya. Terlebih seperti sekarang, saat Adam menyapukan indra peraba dan perasa ke seluruh permukaan tubuhnya. “Dam,” desah Yara sekali lagi, entah bermaksud meminta Adam berhenti atau melanjutkan, otaknya sedang tidak benar-benar bekerja. Adam kembali ke atas, menatap wajah Yara sebelum kembali melumat bibir istrinya yang setengah terbuka karena menahan desahan. “May I?” Yara mengangguk. “Pelan-pelan.” Adam mengangguk mengiakan, walau tidak tahu batas pelan yang dimaksud Y
Yara tergagap saat merasakan sesuatu membelit perutnya. Tapi begitu menatap ke arah perutnya dan melihat kalau benda yang membelit perutnya adalah tangan seseorang, barulah ia menyadari keberadaan Adam, sekaligus menyadari kalau kini ia tidak tidur sendiri lagi. Perlahan, Yara memindahkan tangan Adam dari atas perutnya. Ia ingin buang air kecil karena itu terbangun di tengah tidur nyenyaknya. Ah iya, dia belum melihat kado dari teman-temannya. Jadilah sambil berjalan ke kamar mandi, Yara menenteng kotak di dekat televisi. Setelah menyelesaikan hajatnya, ia masih berdiri di depan cermin sambil berpikir kalau ia akan mengganti piyamanya dengan kado tersebut. Bukankah tadi Adam juga memintanya untuk berganti dengan isi kado itu. "Ya ampun capek banget sih," gerutu Yara sambil mencari ujung yang digunakan untuk membuka kerdus. Matanya yang semula masih sayu karena mengantuk, seketika membuka lebar saat melihat kain berenda tipis di dalam kotak.
“Makanya lain kali kalo ngomong dipiir dulu ya, Dam,” ucap Yara sambil tetap berusaha mempertahankan senyumnya di atas pelaminan. “Hah?” “Dulu kamu nyumpahin aku apa? Kamu nyumpahin aku supaya nggak langgeng setiap punya pacar, kamu nyumpahin aku supaya nggak bisa nikah sebelum ngelihat kamu di pelaminan. Sekarang malah kita di atas pelaminan bareng. Kemakan omongan sendiri kan?” “I did the right thing,” jawab Adam sambil mengusap punggung tangan Yara yang melingkari lengannya. “Ck! Right thing apanya?” Yara berdecak. “Coba dari awal jadi orang yang sabar, kan aku nggak mesti ngalamin pacaran berkali-kali.” “Nggak apa-apa, yang penting ending-nya sama aku.” “Kata Papa, it’s the beginning, Adam, bukan ending.” “Ya … beginning buat kita hidup berumah tangga. Tapi kan juga ending dari horrible romance kamu, horrible romance-ku juga sih.” “Sejak kapan belajar ngegombal, Pak?” Adam belum sempat menjawab karena antrea
“Ini kamar pengantinnya?” tanya Rian dengan berbisik karena ada kakak dan kakak ipar Yara di kamar yang digunakan untuk Yara bersiap sebelum acara akad nikah berlangsung. “Nggak, di sini cuma buat ganti baju sama make up aja sih,” jawab Yara yang duduk di depan cermin, menunggu dijemput ke tempat acara. “Santai sih, Ra. Anggep aja kayak dipanggil guru BK.” Yara mendongak dan menatap Rian dengan kesal. Bisa-bisanya akad nikah dianalogikan dengan menghadap guru BK. “Yan, jangan kirim foto ke grup anak-anak kelas sepuluh!” pinta Yara ketika Rian mengarahkan kamera ponsel ke arahnya. “Kenapa? Karena ada Adam di grup? Takut Adam makin nggak konsen ya?” Yara menggeleng pelan. “Takut diketawain sama anak-anak.” “Risiko, dapet jodoh temen sekelas, ya mau gimana. Ntar gue catetin deh siapa yang ngetawain, nggak gue kasih souvenir dari sini,” sombong Rian yang mendapat tugas menjadi penerima tamu sekaligus mengarahkan tamu-tamu VIP ke area