Share

5 Negosiasi Tahap Kedua

Yara kembali berdiri di depan pintu apartemen Adam, dengan sangat terpaksa.

"Sial! Kemaren lupa minta nomor hpnya Adam. Si Om Ranu sengaja banget lagi, nggak mau ngasih nomor hpnya Adam." Yara mengacak rambutnya dengan frustasi. Entah setelah ini, apakah stok malunya masih ada.

Masih seperti malam sebelumnya, Yara menghela napas berkali-kali, baru memberanikan diri untuk mengetuk pintu.

Adam muncul tidak lama kemudian, dengan tatapan heran. "Kenapa nggak nunggu di coffee shop bawah aja, Ra?"

"Aku nggak punya nomer hpmu kan. Om Ranu nggak mau ngasih."

Hampir saja Adam terbahak, saat melihat ekspresi Yara dan bagaimana penampilan perempuan itu. Adam hampir yakin, kalau wanita di depannya itu baru saja mengacak rambutnya sendiri. Karena tidak mungkin seorang Yara Karina Candra membiarkan angin mengacak rambutnya, apalagi orang lain.

"Tunggu di bawah aja, kamu pesen yang kamu nau, nanti aku nyusul. Aku mau telepon calon istriku dulu."

Tanpa disangka Yara, hatinya terasa panas. Bukan karena ia cemburu, ia hanya (lagi-lagi) tidak terima Adam menjalani kehidupan cintanya dengan bahagia. "Jangan lama-lama, Dam. Nanti Tuan Naren dan Nyonya Rhea ngomel kalo aku pulang kemaleman. Kalo mereka udah emosi, bisa-bisa aku disuruh ikut ronda sama satpam komplek sekalian."

Seuntai senyum terbit di bibir Adam. Tentu saja ia ingat sosok kedua orang tua Yara. Ia juga ingat bagaimana ia dulu selalu meminta izin kepada kedua orang tua Yara saat akan mengajak Yara pergi.

"Iya, bawel! Udah sana!" Adam menutup pintu apartemennya, tidak peduli Yara masih berdiri di depannya.

Yara balik badan, berjalan gontai menuju coffee shop tempat mereka telah dan akan bertemu.

"Vanilla latte, dua ya, Mbak. Satunya less ice, satunya normal. Sama ... onion ring satu deh." Usai menyebutkan pesanannya, Yara menuju kursi yang ia tempati malam sebelumnya, hanya agar memudahkan Adam menemukannya.

Dua gelas vanilla latte dan sepiring onion ring telah tersaji di hadapannya, tapi orang yang ditunggunya belum muncul juga. Ia mengerucutkan bibirnya, kesal karena Adam terlalu lama menelepon calon istrinya.

"Sorry, Ra. Keasikan ngobrol tadi."

"Ck!" Sepertinya segala ekspresi kesal yang dipunya Yara telah dikeluarkannya malam itu, mulai dari mengerucutkan bibir, berdecak, menghela napas, hingga memutar kedua bola matanya dengan malas. "Ok, terserah deh. Aku nggak peduli juga. Aku cuma mau minta kepastian, kamu jadi minta aku ngerjain desain interior rumahmu atau nggak?"

Adam diam, tampak berpikir.

Tiba-tiba saja Yara ingin melindungi harga dirinya yang sebelumnya sudah diinjak-injak mantan pacarnya itu. "Udah lah, Dam. Aku nggak maksa kamu lagi. Kalo aku dalam posisimu, pasti aku bakal ngelakuin hal yang sama. It's ok. Cuma Papua doang, masih di Indonesia. Kalo papa mamaku kangen, palingan mereka yang bakal ke sana, sekalian honeymoon ke Rajaampat."

"Beneran nih?"

Yara mengangguk. "Aku cuma butuh kepastian, karena aku mesti booking tiket pesawat dan packing. Tiga hari lagi aku berangkat. Bahkan aku udah beli pil kina." Yara menyesap vanila latte di depannya hingga tandas, ingin segera mengakhiri pertemuan itu.

Adam menggeleng-gelengkan kepalanya. Apa yang dipikirkan Yara sampai harus prepare pil kina? Memangnya dia akan bangun resort di pulau terpencil yang tidak ada apotek?

"Oke, Ra. Aku akan make jasa kamu, tapi dengan satu syarat. Hmm ... sebenernya bukan syarat, aku mau minta tolong. Dan kalo kamu mau ngelakuinnya, besok aku bakal langsung ngomong ke Pak Ranu."

"Apa?" tanya Yara bingung.

"Kamu masih inget tanteku yang tinggal di Pontianak kan?"

Yara mencoba mengorek ingatan masa lalunya. Meskipun saat itu mereka masih SMA, tapi baik Yara maupun Adam sama sekali tidak menutupi hubungan mereka, bahkan mereka tanpa ragu saling memperkenalkan ke kekeluarga besar masing-masing.

"Yang di Pontianak? Tante Desi?"

"Iya. Kamu masih inget? Dia mau ke Jakarta weekend ini, tinggal tiga hari di sini. Tapi orang tuaku kan lagi umroh, jadinya nggak ada yang nemenin Tante Desi."

"Trus?" Yara semakin bingung dengan arah pembicaraan Adam.

"Kamu temenin Tante Desi di Jakarta."

"Kenapa aku?" Pertanyaan polos terlempar begitu saja dari mulut Yara. "Kan kamu punya calon istri. Aneh bukannya kalo justru aku yang nemenin keluargamu di sini?"

"Calon istriku ...." Adam menghentikan ucapannya, seolah sedang menilik kata-kata yang tepat. "Dia ... lagi sibuk juga, nggak bisa nemenin Tante Desi."

"Ya kalo gitu kamu aja yang nemenin tantemu."

"Besok aku keluar kota, aku cuma bisa nemenin Tante Desi pas hari terakhirnya di sini."

Yara melipat tangannya di atas dada. Sebenarnya tawaran, syarat, permintaan tolong - atau apa pun itu namanya - yang diajukan Adam sama sekali tidak membuatnya merugi. Ia hanya perlu menghabiskan weekend-nya dengan Tante Desi yang sudah dikenalnya, dan kalau ingatannya tidak salah, wanita itu dulu sangat baik padanya.

Tapi, rasanya ada yang mengganjal. Hubungannya dengan Adam sudah tidak seperti dulu. Yara sudah memutuskan kontak dengan Adam bertahun-tahun. Pun begitu dengan Adam yang tidak pernah menghubunginya, bahkan tidak pernah hadir dalam reuni kelas mereka atau tergabung dalam w******p group kelas mereka. Kalau sekarang mereka harus bertemu lagi dan berinteraksi, itu murni karena urusan pekerjaan.

"Kamu mau ngenalin aku sebagai apa, Dam?"

"Sahabat."

"Uhuk! Uhuk!" Yara tiba-tiba tersedak onion ring yang baru saja memasuki tenggorokannya.

Adam melihat gelas kosong yang ada di hadapan Yara, lalu mengangsurkan gelas berisi vanila latte miliknya yang masih tersisa setengah.

Tanpa ragu, Yara meminumnya. Tenggorokannya serasa terbakar, dan tidak mungkin ia mengabaikannya atas nama harga dirinya.

"Aku bisa bilang ke tante, kalau memang kita nggak cocok buat pacaran, dan akhirnya kita memutuskan bersahabat."

Yara tersenyum nanar, sahabat macam apa yang selama ini tidak pernah berkomunikasi, sahabat macam apa yang melemparkan kutukan ke sahabatnya.

"Aku cuma nggak tega sama Tante Desi, kalo nggak ada yang nemenin di sini. Apalagi kamu kan tau kalo tanteku itu nggak gampang deket sama orang. Dan seingetku, dulu Tante Desi bisa deket sama kamu. Entah apa yang dilihat tanteku di kamu, padahal biasanya dia singit banget sama orang lain."

Yara mencibir ucapan Adam. Haruskah dia mengingatkan Adam, bagaimana dulu Adam mengejarnya?

Seorang Adam Haikal Hanggara, yang sekalinya tersenyum bisa membuat gaduh seisi kelas saking jarangnya ia tersenyum. Si kanebo kering, julukan yang melekat dari teman-temannya karena sosoknya yang selalu menyendiri dan seakan-akan menghitung jumlah setiap kata yang keluar dari mulutnya. Tolong jelaskan kepada Yara, apa yang dulu dilihat Adam dari Yara, yang bisa membuat laki-laki itu jungkir balik mengejarnya!

"Cuma itu? Aku cuma perlu nemenin Tante Desi kalau dia keluar, jalan-jalan, atau pergi ke mana gitu kan?"

Adam mengernyitkan kening, mungkin apa yang diucapkannya kurang jelas bagi Yara. "Kamu harus nemenin Tante Desi, Yara! Nemenin di apartemenku. Tadinya beliau mau nginep di rumah keluargaku, tapi kayaknya terlalu luas, dan tante nggak bakal nyaman kalo kesepian.

"Jadi, kamu mesti tinggal tiga hari di apartemenku, anggep aja jadi asisten pribadi Tante Desi."

"What!"

Apa Adam lupa kalau Yara adalah anak bungsu yang paling dimanjakan di keluarga Candra?

Bersambung ....

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Neee I
wkwkwk...... Terima gak ya
goodnovel comment avatar
Budi Gunawan Saragih
bagus ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status