Yara kembali berdiri di depan pintu apartemen Adam, dengan sangat terpaksa.
"Sial! Kemaren lupa minta nomor hpnya Adam. Si Om Ranu sengaja banget lagi, nggak mau ngasih nomor hpnya Adam." Yara mengacak rambutnya dengan frustasi. Entah setelah ini, apakah stok malunya masih ada.
Masih seperti malam sebelumnya, Yara menghela napas berkali-kali, baru memberanikan diri untuk mengetuk pintu.
Adam muncul tidak lama kemudian, dengan tatapan heran. "Kenapa nggak nunggu di coffee shop bawah aja, Ra?"
"Aku nggak punya nomer hpmu kan. Om Ranu nggak mau ngasih."
Hampir saja Adam terbahak, saat melihat ekspresi Yara dan bagaimana penampilan perempuan itu. Adam hampir yakin, kalau wanita di depannya itu baru saja mengacak rambutnya sendiri. Karena tidak mungkin seorang Yara Karina Candra membiarkan angin mengacak rambutnya, apalagi orang lain.
"Tunggu di bawah aja, kamu pesen yang kamu nau, nanti aku nyusul. Aku mau telepon calon istriku dulu."
Tanpa disangka Yara, hatinya terasa panas. Bukan karena ia cemburu, ia hanya (lagi-lagi) tidak terima Adam menjalani kehidupan cintanya dengan bahagia. "Jangan lama-lama, Dam. Nanti Tuan Naren dan Nyonya Rhea ngomel kalo aku pulang kemaleman. Kalo mereka udah emosi, bisa-bisa aku disuruh ikut ronda sama satpam komplek sekalian."
Seuntai senyum terbit di bibir Adam. Tentu saja ia ingat sosok kedua orang tua Yara. Ia juga ingat bagaimana ia dulu selalu meminta izin kepada kedua orang tua Yara saat akan mengajak Yara pergi.
"Iya, bawel! Udah sana!" Adam menutup pintu apartemennya, tidak peduli Yara masih berdiri di depannya.
Yara balik badan, berjalan gontai menuju coffee shop tempat mereka telah dan akan bertemu.
"Vanilla latte, dua ya, Mbak. Satunya less ice, satunya normal. Sama ... onion ring satu deh." Usai menyebutkan pesanannya, Yara menuju kursi yang ia tempati malam sebelumnya, hanya agar memudahkan Adam menemukannya.
Dua gelas vanilla latte dan sepiring onion ring telah tersaji di hadapannya, tapi orang yang ditunggunya belum muncul juga. Ia mengerucutkan bibirnya, kesal karena Adam terlalu lama menelepon calon istrinya.
"Sorry, Ra. Keasikan ngobrol tadi."
"Ck!" Sepertinya segala ekspresi kesal yang dipunya Yara telah dikeluarkannya malam itu, mulai dari mengerucutkan bibir, berdecak, menghela napas, hingga memutar kedua bola matanya dengan malas. "Ok, terserah deh. Aku nggak peduli juga. Aku cuma mau minta kepastian, kamu jadi minta aku ngerjain desain interior rumahmu atau nggak?"
Adam diam, tampak berpikir.
Tiba-tiba saja Yara ingin melindungi harga dirinya yang sebelumnya sudah diinjak-injak mantan pacarnya itu. "Udah lah, Dam. Aku nggak maksa kamu lagi. Kalo aku dalam posisimu, pasti aku bakal ngelakuin hal yang sama. It's ok. Cuma Papua doang, masih di Indonesia. Kalo papa mamaku kangen, palingan mereka yang bakal ke sana, sekalian honeymoon ke Rajaampat."
"Beneran nih?"
Yara mengangguk. "Aku cuma butuh kepastian, karena aku mesti booking tiket pesawat dan packing. Tiga hari lagi aku berangkat. Bahkan aku udah beli pil kina." Yara menyesap vanila latte di depannya hingga tandas, ingin segera mengakhiri pertemuan itu.
Adam menggeleng-gelengkan kepalanya. Apa yang dipikirkan Yara sampai harus prepare pil kina? Memangnya dia akan bangun resort di pulau terpencil yang tidak ada apotek?
"Oke, Ra. Aku akan make jasa kamu, tapi dengan satu syarat. Hmm ... sebenernya bukan syarat, aku mau minta tolong. Dan kalo kamu mau ngelakuinnya, besok aku bakal langsung ngomong ke Pak Ranu."
"Apa?" tanya Yara bingung.
"Kamu masih inget tanteku yang tinggal di Pontianak kan?"
Yara mencoba mengorek ingatan masa lalunya. Meskipun saat itu mereka masih SMA, tapi baik Yara maupun Adam sama sekali tidak menutupi hubungan mereka, bahkan mereka tanpa ragu saling memperkenalkan ke kekeluarga besar masing-masing.
"Yang di Pontianak? Tante Desi?"
"Iya. Kamu masih inget? Dia mau ke Jakarta weekend ini, tinggal tiga hari di sini. Tapi orang tuaku kan lagi umroh, jadinya nggak ada yang nemenin Tante Desi."
"Trus?" Yara semakin bingung dengan arah pembicaraan Adam.
"Kamu temenin Tante Desi di Jakarta."
"Kenapa aku?" Pertanyaan polos terlempar begitu saja dari mulut Yara. "Kan kamu punya calon istri. Aneh bukannya kalo justru aku yang nemenin keluargamu di sini?"
"Calon istriku ...." Adam menghentikan ucapannya, seolah sedang menilik kata-kata yang tepat. "Dia ... lagi sibuk juga, nggak bisa nemenin Tante Desi."
"Ya kalo gitu kamu aja yang nemenin tantemu."
"Besok aku keluar kota, aku cuma bisa nemenin Tante Desi pas hari terakhirnya di sini."
Yara melipat tangannya di atas dada. Sebenarnya tawaran, syarat, permintaan tolong - atau apa pun itu namanya - yang diajukan Adam sama sekali tidak membuatnya merugi. Ia hanya perlu menghabiskan weekend-nya dengan Tante Desi yang sudah dikenalnya, dan kalau ingatannya tidak salah, wanita itu dulu sangat baik padanya.
Tapi, rasanya ada yang mengganjal. Hubungannya dengan Adam sudah tidak seperti dulu. Yara sudah memutuskan kontak dengan Adam bertahun-tahun. Pun begitu dengan Adam yang tidak pernah menghubunginya, bahkan tidak pernah hadir dalam reuni kelas mereka atau tergabung dalam w******p group kelas mereka. Kalau sekarang mereka harus bertemu lagi dan berinteraksi, itu murni karena urusan pekerjaan.
"Kamu mau ngenalin aku sebagai apa, Dam?"
"Sahabat."
"Uhuk! Uhuk!" Yara tiba-tiba tersedak onion ring yang baru saja memasuki tenggorokannya.
Adam melihat gelas kosong yang ada di hadapan Yara, lalu mengangsurkan gelas berisi vanila latte miliknya yang masih tersisa setengah.
Tanpa ragu, Yara meminumnya. Tenggorokannya serasa terbakar, dan tidak mungkin ia mengabaikannya atas nama harga dirinya.
"Aku bisa bilang ke tante, kalau memang kita nggak cocok buat pacaran, dan akhirnya kita memutuskan bersahabat."
Yara tersenyum nanar, sahabat macam apa yang selama ini tidak pernah berkomunikasi, sahabat macam apa yang melemparkan kutukan ke sahabatnya.
"Aku cuma nggak tega sama Tante Desi, kalo nggak ada yang nemenin di sini. Apalagi kamu kan tau kalo tanteku itu nggak gampang deket sama orang. Dan seingetku, dulu Tante Desi bisa deket sama kamu. Entah apa yang dilihat tanteku di kamu, padahal biasanya dia singit banget sama orang lain."
Yara mencibir ucapan Adam. Haruskah dia mengingatkan Adam, bagaimana dulu Adam mengejarnya?
Seorang Adam Haikal Hanggara, yang sekalinya tersenyum bisa membuat gaduh seisi kelas saking jarangnya ia tersenyum. Si kanebo kering, julukan yang melekat dari teman-temannya karena sosoknya yang selalu menyendiri dan seakan-akan menghitung jumlah setiap kata yang keluar dari mulutnya. Tolong jelaskan kepada Yara, apa yang dulu dilihat Adam dari Yara, yang bisa membuat laki-laki itu jungkir balik mengejarnya!
"Cuma itu? Aku cuma perlu nemenin Tante Desi kalau dia keluar, jalan-jalan, atau pergi ke mana gitu kan?"
Adam mengernyitkan kening, mungkin apa yang diucapkannya kurang jelas bagi Yara. "Kamu harus nemenin Tante Desi, Yara! Nemenin di apartemenku. Tadinya beliau mau nginep di rumah keluargaku, tapi kayaknya terlalu luas, dan tante nggak bakal nyaman kalo kesepian.
"Jadi, kamu mesti tinggal tiga hari di apartemenku, anggep aja jadi asisten pribadi Tante Desi."
"What!"
Apa Adam lupa kalau Yara adalah anak bungsu yang paling dimanjakan di keluarga Candra?
Bersambung ....
Yara mematung di depan pintu apartemen Adam. Adam sudah memberikannya kartu akses agar ia bisa masuk, sementara Adam sedang menjemput tantenya di bandara. "Duh, nggak apa-apa nih gue masuk sendiri? Ntar kalo ada yang ilang, gue lagi yang kena." Memilih mengabaikan kebimbangannya, Yara masuk ke dalam apartemen Adam yang selama ini belum pernah dipijaknya. Ia mengangguk-angguk mengerti setelah mengedarkan pandangannya ke sekeliling apartemen yang memiliki dua kamar tidur itu. Sedikit banyak ia mempelajari tentang psikologi desain, dan dari desain interior apartemen Adam, Yara bisa sedikit menggarisbawahi sifat Adam yang masih terlihat sangat jelas. Dingin. Dengan dominasi warna hitam dan mengambil desain minimalis, apartemen itu jadi benar-benar terasa dingin. Tidak ada hiasan atau ornamen yang menghias apartemen itu, seakan apartemen itu hanya digunakan untuk tidur, bukan untuk ditinggali. Yara menjatuhkan diri di atas sofa, kemudian menyelonjo
"Yara, malam ini makan di luar aja ya, di kulkasnya Adam nggak ada stok makanan sama sekali," keluh Desi setelah melakukan screening singkat di dapur apartemen Adam. Mendengar gerutuan wanita paruh baya itu, Yara yang semula berada di depan TV beranjak menuju dapur untuk berbicara lebih dekat. "Boleh, Tante mau makan malem apa? Atau Tante mau jalan-jalan ke mana gitu?" "Makan nasi goreng kambing kebun sirih kayaknya enak deh, Ra." "Mau delivery atau makan di sana, Tante?" Setelah menimbang sesaat, Desi memutuskan untuk makan di tempat, karena menurutnya justru serunya di situ. "Beneran nggak apa-apa makan di pinggir jalan, Tante?" "Nggak apa-apa lah. Kenapa? Kamu nggak biasa ya?" tanya Desi yang jadi curiga, karena seingat dia, Adam dulu pernah bercerita kalau keluarga Yara jauh lebih kaya daripada keluarga Adam, bahkan beberapa kali membuat Adam rendah diri. Tanpa disangka Desi, Yara justru terbahak mendengar pertanya
"Tapi tante nggak keberatan kalo kamu mau ngerebut Adam lagi." Tiga pasang mata di ruangan itu langsung menatap Desi dengan tatapan tidak percaya dan penuh tanya. "Tante kok ngomongnya gitu? Nggak mau aku, Tante. Kayak nggak ada cowok lain aja." Desi terbahak melihat reaksi Yara dan kedua orang tuanya. "Iya, nggak kok, tante cuma bercanda. Kamu pasti dapet yang lebih baik dari Adam. Walaupun dulu tante mikirnya kalian bakal beneran sampe nikah, cocok soalnya." Yara mendengkus pelan. 'Cocok dari mananya?' "Des, nginep sini aja ya?" tawar Rhea. Ia masih ingin banyak mengobrol dengan temannya itu. Jadi tidak rela rasanya membiarkan Desi kembali ke apartemen Adam, meskipun Yara ikut menemani. "Hah? Nggak ngerepotin, Rhe?" "Nggak lah, kayak sama siapa aja. Nanti barang-barang kamu biar diambilin Yara." "Iya, Tante. Nanti Yara ambilin barang Tante, nunggu Kak Ervin dulu, biar nanti Kak Ervin yang nganterin ke apartemen Adam."
"Bu, ada tamu di depan," ucap salah satu ART di rumah itu kepada sang nyonya rumah. "Siapa, Bi?" tanya Rhea bingung, pasalnya memang dia tidak memiliki janji temu dengan siapa pun. "Saya lupa namanya, Bu, tapi kayaknya dulu sering ke sini, temennya Mbak Yara." "Oooh, Adam kayaknya." Bukan Rhea yang menjawab, melainkan Desi yang sedang duduk di samping Rhea. "Adam tadi pagi ngabarin aku, katanya kerjaannya udah beres, jadi bisa pulang lebih cepet." "Tolong suruh masuk, Bi." Rhea langsung memerintahkan ART-nya kembali ke depan. "Abis itu tolong panggilin Yara di kamarnya ya, Bi." "Aku langsung ke depan aja, Rhe. Kasihan nanti Adam ngerasa canggung." Desi langsung beranjak menuju ruang tamu demi menemui keponakannya. "Ya udah, aku ke dapur dulu, minta bibi buat nyiapin minum sama cemilan." Tidak berselang lama, Rhea menyusul sahabatnya menuju ruang tamu. Seorang pemuda yang dulu sering menyambangi rumahnya kini datang lagi, meski
"Ra, panggil papamu di teras samping, udah hampir siap ini makan malemnya." Padahal Yara baru saja menginjakkan kakinya di anak tangga paling bawah, tapi mamanya sudah memerintahnya. Nasib anak bungsu, bukan hanya orang tuanya, kedua kakaknya juga sangat luwes ketika memerintahnya melakukan sesuatu. "Paaa ... Papaaa ...," teriak Yara di ruang keluarga. Masih ada jarak lebih dari sepuluh meter untuk sampai di teras samping, tapi teriakan Yara yang memekakkan telingan itu sudah terlebih dulu didengar papanya. "Kamu pasti bersyukur Dam karena nggak jadi sama yang macem Yara gitu," ucap Naren sambil menjalankan bentengnya untuk menembus pertahanan yang dibangun Adam. Adam hanya tersenyum tidak enak mendengar celotehan lelaki paruh baya di depannya. "Tapi kan itu yang membuat Yara menarik, Om. Kepolosannya dan keceriaannya." "Tapi pacarnya nggak ada yang betah tuh sama dia." "Belum nemu jodohnya aja, Om." "Bantu doain, Dam. Jangan d
Aileen turun dari kamarnya yang berada di lantai dua, ia hanya ingin mengambil strawberry untuk menemaninya menonton series China yang sedang diikutinya. Tapi langkahnya terhenti saat mendapati adiknya melamun di stool bar dengan penerangan yang remang. "Gimana Dek rasanya makan malam sama mantan?" "Kak Aileen ngapain jam segini turun?" "Dih, ngalihin pembicaraan, bukannya jawab pertanyaan kakak." Yara mendesah pelan. "Agak aneh sih Kak rasanya, familiar sekaligus asing." Setelah mengambil sebuah wadah yang berisi strawberry dari dalam kulkas, Aileen memutuskan untuk mengobrol sebentar dengan adiknya yang terlihat lebih gloomy daripada biasanya. "Kamu masih suka sama Adam?" Yara menggeleng cepat. "Terus? Kenapa ngelamun jam segini? Ini udah hampir jam sepuluh." Aileen melihat jam dinding yang menempel di dinding dapur. Mamanya lah yang punya ide menempatkan jam dinding di dapur, katanya untuk memantau tingkat kematangan
Yara mulai melajukan mobilnya membelah jalanan ibu kota menuju apartemen Adam. Mamanya duduk di sampingnya dengan gelisah, memikirkan keadaan sahabatnya yang dikabarkan terkena kanker. Semula Yara bingung harus bagaimana membuat mamanya untuk tidak ikut mengantar Tante Desi. Karena itu, akhirnya Yara menelepon Tante Desi dan bercerita kalau mamanya ingin ikut. Pada akhirnya wanita yang jauh-jauh terbang dari Pontianak ke Jakarta demi berobat itu membiarkan Rhea--sahabatnya--untuk ikut menemaninya. "Ma ..., jangan cemas gitu, nanti mama bikin Tante Desi cemas juga." "Mama deg-degan." "Kita kan juga nggak tau keadaan Tante Desi yang sebenernya gimana, Ma." Mendengarkan ucapan anak bungsunya yang tiba-tiba bisa menjadi bijak di saat tertentu itu, membuat Rhea mencoba mengatur napasnya untuk menenangkan diri. "Orang seumuran mama papa ini, bisa tiba-tiba aja kena penyakit aneh-aneh, Ra. Kayak papamu kapan itu yang darah tinggi. Mama kadang takut k
Yara berjalan bersisian dengan Adam sejak dari parkir mobil menuju ruang periksa, mengekori mamanya dan Tante Desi yang berjalan di depan. "Kamu marah sama aku?" tanya Adam dengan suara yang tidak terlalu keras karena sadar mereka sedang berada di rumah sakit. "Nggak!" jawab Yara sinis. "Trus kenapa tadi ngomongnya gitu?" "Gitu gimana?" "Ya nyolot gitu." "Aku nggak suka ya kamu sok-sokan nge-judgesiapa yang cocok buatku." "Aku cuma ngomong pendapat pribadiku, ya maaf kalo kamu tersinggung." "Emang dari dulu tu kamu nggak pernah mikir perasaan orang, Dam." Yara melangkah lebih cepat, menyusul kedua wanita paruh baya yang berjalan beberapa langkah di depan mereka. "Kenapa sih dia? Lagi PMS?" Adam hanya bisa menggeleng pasrah dengan kelakuan Yara yang masih kekanakan. Apakah salah kalau ia mencoba menyampaikan pendapat pribadinya? Hanya pendapat. Toh kalo pada akhirnya Yara berkenalan dengan anak Tan