Share

6 Permintaan Mantan Calon Mertua

Yara mematung di depan pintu apartemen Adam. Adam sudah memberikannya kartu akses agar ia bisa masuk, sementara Adam sedang menjemput tantenya di bandara.

"Duh, nggak apa-apa nih gue masuk sendiri? Ntar kalo ada yang ilang, gue lagi yang kena."

Memilih mengabaikan kebimbangannya, Yara masuk ke dalam apartemen Adam yang selama ini belum pernah dipijaknya. Ia mengangguk-angguk mengerti setelah mengedarkan pandangannya ke sekeliling apartemen yang memiliki dua kamar tidur itu.

Sedikit banyak ia mempelajari tentang psikologi desain, dan dari desain interior apartemen Adam, Yara bisa sedikit menggarisbawahi sifat Adam yang masih terlihat sangat jelas. Dingin.

Dengan dominasi warna hitam dan mengambil desain minimalis, apartemen itu jadi benar-benar terasa dingin. Tidak ada hiasan atau ornamen yang menghias apartemen itu, seakan apartemen itu hanya digunakan untuk tidur, bukan untuk ditinggali.

Yara menjatuhkan diri di atas sofa, kemudian menyelonjorkan kakinya sambil menyesap ice vanilla latte yang tadi dibelinya sebelum ia naik ke unit Adam.

Tiba-tiba Yara terkekeh saat mengingat bagaimana ia meminta izin kepada kedua orang tuanya dan bagaimana ia akan membuat Adam membayar apa yang diperbuatnya.

***

Flashback on

"Boleh ya, Ma, Pa?" tanya Yara saat makan malam pada kedua orang tuanya.

"Apaan sih, Dek? Aneh banget alasan kamu." Rhea tidak begitu saja menerima alasan anaknya menginap di tempat orang.

Orang tua mana yang bisa percaya kalau anaknya meminta izin menginap di unit apartemen mantan pacarnya karena tante dari mantannya datang dari luar pulau dan meminta ditemani selama di Jakarta.

"Salahin Om Ranu tuh. Masa aku mesti dapetin proyek ini atau aku bakal dikirim ngerjain resort yang di Papua. Mama papa mau aku ke Papua? Padahal aku belum lama balik dari Manado."

"Bukan gitu, Ra. Alasan kamu agak-agak nggak masuk akal. Terus lagi, ini mantanmu yang mana yang berani nyuruh-nyuruh kamu?" tanya Naren dengan tatapan yang serius. Ia tahu pergaulan anak muda zaman sekarang. Tentu saja ia tidak ingin kecolongan.

Yara mengerucutkan bibirnya. Setelah mengungkapkan siapa nama mantan yang bernani memerintahnya itu, ia pasti akan jadi bulan-bulanan orang tua dan kedua kakaknya. "Adam."

"Adam?" Naren dan Rhea sama-sama terpekik saat sebuah nama itu keluar dari bibir cantik anak mereka.

"Mantan kamu waktu SMA? Mantan pacar pertama kamu?" tanya Naren tidak percaya.

"Iya, Pa. Percaya deh, Pa. Adamnya nggak bakal ada di apartemen. Cuma ada aku sama tantenya yang dari Pontianak. Aku paling nemenin Tante Desi jalan-jalan doang selama di Jakarta. Begitu Adam balik dari luar kota, aku langsung pulang."

Melihat orang tuanya yang masih terlihat ragu, Yara kembali mencoba meyakinkan mereka. "Papa sama mama boleh video call kapan pun. Aku pasti langsung angkat, biar papa mama nggak mikir yang macem-macem. Nanti aku kasih alamat apartemen Adam, kalau papa mama mau sidak tiba-tiba."

"Tunggu, papa sama mama perlu diskusi dulu." Naren kemudian merengkuh pinggang Rhea dengan mesra dan masuk ke dalam kamar, meninggalkan Yara yang mencebik kesal melihat kemesraan orang tuanya.

Beberapa saat kemudian kedua orang tuanya keluar dari kamar. Papanya yang kini angkat bicara untuk putri bungsunya yang paling ceria namun sering bikin onar itu.

"Ok, papa sama mama ngizinin. Tapi ... kalau dalam waktu lima menit kamu nggak ngangkat video call dari papa atau mama, lihat aja apa akibatnya."

"Siap, Tuan."

"Belum kelar, Dek. Syarat yang lain, ajak Adam ke sini buat ngomong sama papa."

"Lah, kan Adam ke luar kota, Pa."

"Setelahnya nggak apa-apa. Papa kangen juga main catur sama dia."

"Pa, Adam kan udah punya calon istri. Nggak enak lah kalo aku minta dia ke sini."

"Ya kenapa? Papa kan nggak minta dia nikahin kamu. Papa cuma mau ngobrol aja sama dia."

Yara mengacak rambutnya dengan frustasi. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa kalau Tuan Narendra sudah berkehendak.

"Ya udah, nanti aku ajak Adam ke sini."

"Yakin Dek kamu bisa ngajak dia ke sini?" tanya Rhea tidak yakin.

"Kujebak kalo perlu," jawabnya sebelum berlalu menaiki anak tangga.

Flashback off

***

Adam menyeret koper milik tantenya memasuki apartemen tanpa memencet bel terlebih dulu. Langkahnya terhenti saat melihat pemandangan di depannya yang membuatnya benar-benar ternganga.

Yara dengan cueknya tertidur di atas sofa, tanpa sadar kalau saat ini pemilik apartemen dan tamunya tengah memandangnya.

"Astaga anak ini. Aku bangunin Yara dulu, Tante."

"Nggak usah, Dam." Desi memberikan kode untuk memelankan suara mereka. "Biarin, capek mungkin."

Adam menggeleng-geleng tidak percaya melihat Yara yang masih juga memejamkan mata, padahal jelas suara koper yang digeretnya seharusnya bisa membangunkan orang tidur. "Aku bawa kopernya ke kamar dulu, Tante. Tante nginep di kamarku nggak apa-apa kan? Biar Yara nanti tidur di kamar tamu."

Desi mengibas-ngibaskan tangannya. "Senyamannya kamu aja."

Tidak menuruti tantenya, setelah Adam mengantar tantenya ke dalam kamar dan memintanya untuk istirahat, Adam langsung beranjak ke dekat sofa dan menggoyang-goyangkan lengan Yara. "Yara. Bangun."

"Ngg ...." Yara menggeram pelan, tetap memejamkan mata seakan ada sekarung pasir yang membebani kelopak matanya.

"Ra. Tante Desi udah sampe."

Akhirnya kata-kata Adam itu mampu membuat Yara mengerjap pelan.

"Dam," panggilnya tanpa merasa bersalah.

"Bisa-bisanya malah ngebo di apartemen orang," sindir Adam.

Yara terkekeh. "Sorry." Yara mengedarkan pandangan ke sekeliling, namun tidak menemukan keberadaan orang lain selain Adam. "Tante Desi mana?"

"Di kamar, lagi istirahat. Aku berangkat abis ini." Adam lalu mengangsurkan sebuah kartu pada Yara.

"Apaan?" Yara menatap bingung pada kartu di tangan Adam.

"Kartu kredit. Buat Tante Desi. Nggak mungkin dong, Tante Desi yang bayarin semuanya kalo kalian makan atau belanja, nggak mungkin juga kalo kamu yang bayarin."

Yara berdecak pelan. "Kalo cuma nraktir makan buat dua hari aku juga sanggup, Dam. Ya kecuali Tante Desi mau beli tas branded, baru aku mikir-mikir."

"Udah lah, pegang aja. Aku nggak mau berutang budi."

Mengalah, Yara mengambil kartu dari tangan Adam.

"Eh, udah bangun?" Suara seorang wanita yang baru saja keluar dari kamar membuat Yara langsung berdiri sigap.

"Siang, Tante. Maaf aku ketiduran tadi, abisnya sepi banget. Tante apa kabar, sehat?"

Desi tersenyum ramah. "Sehat. Kamu gimana? Udah lama banget nggak ketemu. Kamu masih inget sama tante?"

"Inget dong, Tante." Yara mendekat dan memeluk wanita di depannya itu.

Selama perjalanan dari bandara, Adam sudah menceritakan semuanya kepada tantenya, tentang siapa yang akan menemaninya dan bagaimana hubungannya dengan Yara.

"Tante seneng kalian masih bisa sahabatan meskipun udah putus."

Yara tersenyum getir. Andai wanita paruh baya itu tahu bagaimana hubungan sebenarnya antara Adam dan dirinya.

"Tante, aku berangkat dulu ya. Maaf ya tante, aku nggak bisa nemenin."

"Nggak apa-apa. Tante kan memang ada perlu ke sini. Kamu jangan merasa terbebeni, udah, sana kalau mau pergi."

Adam mengangguk, lalu mencium punggung tangan tantenya. "Kalo butuh apa-apa bilang ke Yara aja, Tan."

"Iya, udah sana."

Yara yang melihat Adam berbalik, langsung meminta izin kepada Desi untuk mengantar Adam sampai ke depan pintu. Adam hanya bisa mengernyit bingung mendapati keinginan Yara.

"Dam," bisik Yara.

"Apaan?"

"Aku mau ngomong."

"Ya udah ngomong lah."

"Hmm ... abis kamu balik dari luar kota, papa mau ketemu sama kamu."

"Hah?" Mata Adam membulat sempurna. "Ngapain?"

Yara mengedikkan bahu lalu kembali masuk ke dalam apartemen, meninggalkan Adam yang kebingungan dengan permintaan papa Yara, sosok yang sangat diseganinya sejak dulu. Lelaki yang dulu digadang-gadangnya sebagai calon mertuanya, sebelum hubungannya dengan Yara berakhir.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Neee I
Step by step ya Yara
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status