Share

7 Jadi Pelakor?

Penulis: Ans18
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-27 16:01:54

"Yara, malam ini makan di luar aja ya, di kulkasnya Adam nggak ada stok makanan sama sekali," keluh Desi setelah melakukan screening singkat di dapur apartemen Adam.

Mendengar gerutuan wanita paruh baya itu, Yara yang semula berada di depan TV beranjak menuju dapur untuk berbicara lebih dekat. "Boleh, Tante mau makan malem apa? Atau Tante mau jalan-jalan ke mana gitu?"

"Makan nasi goreng kambing kebun sirih kayaknya enak deh, Ra."

"Mau delivery atau makan di sana, Tante?"

Setelah menimbang sesaat, Desi memutuskan untuk makan di tempat, karena menurutnya justru serunya di situ.

"Beneran nggak apa-apa makan di pinggir jalan, Tante?"

"Nggak apa-apa lah. Kenapa? Kamu nggak biasa ya?" tanya Desi yang jadi curiga, karena seingat dia, Adam dulu pernah bercerita kalau keluarga Yara jauh lebih kaya daripada keluarga Adam, bahkan beberapa kali membuat Adam rendah diri.

Tanpa disangka Desi, Yara justru terbahak mendengar pertanyaannya. "Nggak, Tante. Daerah sana mah daerah tongkrongan Yara. Kalo mau, nanti abis dari makan nasi goreng kambing, kita ke Sabang, Tante. Yara tunjukin surga kuliner pinggir jalan."

Yara tidak pernah menyangka kalau wanita di depannya itu masih tetap ramah padanya. Mana yang Adam bilang kalau Tante Desi orangnya susah cocok sama orang lain?

Dering ponsel Yara yang diletakkannya di atas meja ruang tamu cukup memekakkan telinga, hingga ia segera berlari untuk mengangkat panggilan telepon itu. Yara memang sudah memasang ringtone berbeda untuk panggilan dari kedua orang tuanya. Janjinya untuk mengangkat telepon dalam waktu yang sesingkat-singkatnya lah yang menjadi alasan di balik itu.

"Bentar ya, Tante. Yara angkat telepon dari mama dulu ya. Kalo nggak buruan diangkat, bisa-bisa langsung nyamperin ke sini." Yara lantas menyingkir, menuju ruang makan di mana terdapat meja makan dan kursi untuk enam orang.

"Ya, Ma?" Wajah mama dan papanya langsung memenuhi layar ponselnya, dan membuatnya terkekeh karena papanya terlihat sedikit canggung. "Papa apaan sih kaku banget. Biasa juga rapat pake video conference. Giliran video call sama anak kok kaku."

"Kan papamu template mukanya gitu kalo waktu kerja, biar disegani sama orang-orang."

Yara kembali terbahak. "Masa sih, Ma? Duh, pada nggak tau aja sebucin apa papaku di rumah."

"Ck! Bagus ya, berani ghibahin di depan orangnya," rutuk Naren.

"Kalo di depan orangnya namanya bukah ghibah, Pa. Itu namanya kritik dan masukan." Ah, baru sebentar, Yara sudah merasa kangen dengan kedua orang tuanya.

Dua bulan ia berada di Manado, pulang hanya sesekali, dan tega sekali omnya ingin memintanya ke Papua. Karena itu lah, segala upaya dilakukan Yara untuk tetap berada di dekat keluarganya, termasuk menuruti kemauan Adam.

"Beneran nggak ada Adam di sana?" tanya Naren yang tidak mudah percaya.

"Nggak ada, Pa." Yara lantas mengarahkan ponselnya mengitari ruangan. "Tuh, nggak ada kan, cuma ada aku sama Tante Desi."

"Dek." Rhea terlihat melirik ke arah suaminya, baru setelah mendapat sebuah anggukan, Rhea kembali menatap layar. "Dek, mama boleh ngomong sama tantenya Adam nggak? Bukan mama nggak percaya sama kamu, cuma pengen nitipin kamu aja."

"Hah? Kok tiba-tiba sih, Ma? Kenapa nggak bilang dari kemaren, jadi aku bisa ngomong dulu ke Tante Desi."

"Ya udah, ya udah, kalo kamu ngerasa nggak enak."

Meskipun dengan mengerucutkan bibir, tetap saja Yara melangkah menuju dapur di mana terlihat seorang wanita paruh baya sedang menyeduh teh.

"Tante," panggil Yara. Demi menghormati wanita di hadapannya itu, Yara menutup kamera dan speaker ponselnya. "Tante, kalo mamaku mau ngobrol sama tante boleh nggak, Tante?"

Desi tampak sedikit terkejut, namun sedetik kemudian raut terkejutnya berubah menjadi senyuman. "Boleh dong, Tante yang harusnya izin dulu ke orang tua kamu. Sini, mana?"

"Ma, ini Tante Desi mau ngomong." Yara kemudian mengarahkan ponselnya ke arah Desi.

Sedetik, dua detik, lima detik, masih belum ada yang berbicara, baik mamanya maupun wanita yang mematung di depannya.

Yara kembali mengarahkan wajahnya ke kamera, "Ma!"

Bukan hanya Yara, Naren pun menatap istrinya dengan bingung.

"Tante Desi?" Yara memanggil Desi yang masih membeku di tempat.

"Desi?" Suara pekikan mamanya membuat Yara menjauhkan ponselnya.

"Mama kok teriak-teriak sih?" Yara bersungut kesal sambil mengusap telinganya.

"Rhea?" Desi ikut teriak setelah mendengar teriakan dari wanita yang hanya terlihat wajahnya dari layar ponsel.

"Astaga, Desi!"

"Mama kenal sama Tante Desi?"

***

Baru beberapa jam sebelumnya Yara berpamitan untuk menginap di apartemen Adam, dan kini Yara sudah kembali berada di ruang keluarga rumahnya sendiri, sambil memperhatikan dua wanita paruh baya melepas rindu dan membicarakan masa kuliah mereka.

"Jadi mama sama Tante Desi temen kuliah?"

Keduanya mengangguk antusias.

"Pantesan ya, Rhe. Dari awal dulu aku ketemu sama Yara, aku tu udah suka sama dia. Nggak tau, rasanya seneng aja kalo ngobrol sama anakmu," puji Desi yang membuat Yara cengengesan.

"Emang kapan kamu kenal sama Yara? Bukan barusan? Kata Yara kamu tinggal di Pontianak."

"Dulu kan Adam pernah bawa Yara ke acara keluarga buat dikenalin, udah lama aku kenal, dari mereka SMA. Sayang aja nggak lanjut hubungan mereka. Tapi salut loh aku, mereka masih bisa sahabatan meskipun udah putus."

"Sahabatan?" Rhea menatap Yara, sementara Yara balik menatap mamanya seakan mengirimkan pesan agar mamanya menutupi hubungannya yang sebenarnya dengan Adam.

Tapi tampaknya Yara harus belajar lagi untuk urusan telepati ini, karena mamanya sama sekali tidak menangkap pesan yang dikirimnya dalam diam.

"Sahabatan apa? Orang Adam itu mantannya dia yang paling dibenci. Katanya gara-gara Adam ngutuk dia pas putus, sampe sekarang dia nggak pernah dapet pacar yang serius."

"Mamaaa!"

Desi menatap Yara bingung, apa yang diceritakan Adam dengan apa yang baru saja didengarnya jelas jauh berbeda. Tapi ia tidak terlalu memedulikannya, yang penting ia bisa bertemu sahabatnya yang sudah lama lost contact.

"Nggak apa-apa, Ra. Nanti kamu pasti dapet yang terbaik. Daripada sama keponakan tante yang lempeng gitu. Eh, tapi kalo kamu benci sama Adam, kok kamu mau bantuin dia nemenin tante di sini?"

"Kan aku kangen sama Tante Desi," kilahnya. Tidak mungkin kan Yara mengatakan kalau itu semua demi proyek interior rumah Adam.

"Manis banget mulutmu, Dek," ledek Naren yang tiba-tiba saja muncul dari balik ruang kerjanya.

"Percuma juga mulut manisku, Pa. Nggak ada juga yang mau sama aku."

"Mau papa jodohin? Papa punya banyak calon kalo kamu mau."

"Ntar ya, Pa. Aku pikir-pikir dulu."

"Jangan sampe aja kamu naksir Adam lagi, udah punya calon istri dia. Awas aja kamu jadi pelakor!" ancam Naren.

"Nggak akan ya, Pa. Enak aja."

"Tapi tante nggak keberatan kalo kamu mau ngerebut Adam lagi."

Tiga pasang mata di ruangan itu langsung menatap Desi dengan tatapan tidak percaya dan penuh tanya.

Bersambung,

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Destri Yanti
ko seru sih...
goodnovel comment avatar
Neee I
wkwkwkw.... malah disuruh jadi pelakor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • My Horrible Romance   200 Glorious in Adversity

    “Kenapa kita nggak ke Flores? Kenapa kita ke Garachico? Itu di mana?” Bahkan Yara sama sekali belum tahu di daerah mana Garachico berada. Maklum, ia lebih khatam daerah Indonesia karena menurutnya Indonesia memiliki keindahan yang tiada duanya. “Spanyol.” “Visaku?” “Kita udah di pesawat, Ra. Masih perlu kamu nanyain visa? Ya jelas udah kuurus.” Yara menggigit lidahnya, terdiam malu karena ucapan Adam. Iya, mereka sudah berada di pesawat, berarti semua berkasnya sudah beres. Kenapa ia sebodoh itu mempertanyakan hal yang tidak perlu? “Gimana caranya kamu ngurus visaku? Passport-ku kan kusimpen di lemari, kamu tau dari mana?” Adam mengeluarkan sesuatu dari tas selempang yang dipakainya, kemudian menunjukkan semuanya kepada Yara. “Udah? Aman. Kamu nggak bakal dideportasi.” “Tapi gimana caranya?” tanya Yara keheranan. “Mau tau aja.” Adam menarik hidung Yara agar istrinya itu bisa tenang. Ia memang diam-diam mengurus semua be

  • My Horrible Romance   199 On the Way to ...

    “Papa, Mama, ati-ati ya, inget umur,” pinta Yara yang menatap kedua orang tuanya dengan bimbang.Pagi itu, Yara dan Adam mengantar orang tua Yara lebih dulu ke stasiun kereta sebelum mereka melanjutkan perjalanan menuju bandara dengan diantar sopir keluarga Yara.“Maksudnya apa ngingetin Papa sama Mama tentang umur?” tanya Naren (sok) galak.“Jangan naik kendaraan aneh-aneh, jangan memacu adrenaline berlebihan, dan yang paling penting … tolong jangan bikinin aku adek. Aku mau jadi anak bungsu seumur hidup. Lagian malu kan sama Kak Arla yang lagi isi, kalo Mama nyusul isi juga.”“Astaga! Anak ini!” Rhea menggeleng-gelengkan kepala mendengar celotehan Yara. Ia dan suaminya memang akan melakukan perjalanan yang sedikit ekstrim. Napak tilas. Bukan sembarang napak tilas, mereka akan pergi ke tempat-tempat yang dulu pernah dikunjungi Rhea ketika kabur dari Naren saat mereka masih berstatus tunangan. Mulai d

  • My Horrible Romance   198 Pelan-Pelan

    “Pelan, Dam,” lirih Yara saat Adam menyesap ceruk lehernya dengan keras. “Maaf.” Nyatanya Adam hanya mengalihkan area penjelajahannya setelah meninggalkan jejak kemerahan yang mungkin akan berubah menjadi kebiruan di ceruk leher sebelah kanan. Adam berusaha tidak menyakiti Yara, tapi ia kesulitan mengontrol hasratnya. “Cantik banget,” pujinya sambil berbisik. Yara tidak mampu merespon. Setiap kali kulit mereka bersentuhan, seperti ada gelenyar asing yang menguasai tubuhnya. Terlebih seperti sekarang, saat Adam menyapukan indra peraba dan perasa ke seluruh permukaan tubuhnya. “Dam,” desah Yara sekali lagi, entah bermaksud meminta Adam berhenti atau melanjutkan, otaknya sedang tidak benar-benar bekerja. Adam kembali ke atas, menatap wajah Yara sebelum kembali melumat bibir istrinya yang setengah terbuka karena menahan desahan. “May I?” Yara mengangguk. “Pelan-pelan.” Adam mengangguk mengiakan, walau tidak tahu batas pelan yang dimaksud Y

  • My Horrible Romance   197 Masih Sore

    Yara tergagap saat merasakan sesuatu membelit perutnya. Tapi begitu menatap ke arah perutnya dan melihat kalau benda yang membelit perutnya adalah tangan seseorang, barulah ia menyadari keberadaan Adam, sekaligus menyadari kalau kini ia tidak tidur sendiri lagi. Perlahan, Yara memindahkan tangan Adam dari atas perutnya. Ia ingin buang air kecil karena itu terbangun di tengah tidur nyenyaknya. Ah iya, dia belum melihat kado dari teman-temannya. Jadilah sambil berjalan ke kamar mandi, Yara menenteng kotak di dekat televisi. Setelah menyelesaikan hajatnya, ia masih berdiri di depan cermin sambil berpikir kalau ia akan mengganti piyamanya dengan kado tersebut. Bukankah tadi Adam juga memintanya untuk berganti dengan isi kado itu. "Ya ampun capek banget sih," gerutu Yara sambil mencari ujung yang digunakan untuk membuka kerdus. Matanya yang semula masih sayu karena mengantuk, seketika membuka lebar saat melihat kain berenda tipis di dalam kotak.

  • My Horrible Romance   196 Kemakan Omongan Sendiri

    “Makanya lain kali kalo ngomong dipiir dulu ya, Dam,” ucap Yara sambil tetap berusaha mempertahankan senyumnya di atas pelaminan. “Hah?” “Dulu kamu nyumpahin aku apa? Kamu nyumpahin aku supaya nggak langgeng setiap punya pacar, kamu nyumpahin aku supaya nggak bisa nikah sebelum ngelihat kamu di pelaminan. Sekarang malah kita di atas pelaminan bareng. Kemakan omongan sendiri kan?” “I did the right thing,” jawab Adam sambil mengusap punggung tangan Yara yang melingkari lengannya. “Ck! Right thing apanya?” Yara berdecak. “Coba dari awal jadi orang yang sabar, kan aku nggak mesti ngalamin pacaran berkali-kali.” “Nggak apa-apa, yang penting ending-nya sama aku.” “Kata Papa, it’s the beginning, Adam, bukan ending.” “Ya … beginning buat kita hidup berumah tangga. Tapi kan juga ending dari horrible romance kamu, horrible romance-ku juga sih.” “Sejak kapan belajar ngegombal, Pak?” Adam belum sempat menjawab karena antrea

  • My Horrible Romance   195 Orang Itu Adalah Adam

    “Ini kamar pengantinnya?” tanya Rian dengan berbisik karena ada kakak dan kakak ipar Yara di kamar yang digunakan untuk Yara bersiap sebelum acara akad nikah berlangsung. “Nggak, di sini cuma buat ganti baju sama make up aja sih,” jawab Yara yang duduk di depan cermin, menunggu dijemput ke tempat acara. “Santai sih, Ra. Anggep aja kayak dipanggil guru BK.” Yara mendongak dan menatap Rian dengan kesal. Bisa-bisanya akad nikah dianalogikan dengan menghadap guru BK. “Yan, jangan kirim foto ke grup anak-anak kelas sepuluh!” pinta Yara ketika Rian mengarahkan kamera ponsel ke arahnya. “Kenapa? Karena ada Adam di grup? Takut Adam makin nggak konsen ya?” Yara menggeleng pelan. “Takut diketawain sama anak-anak.” “Risiko, dapet jodoh temen sekelas, ya mau gimana. Ntar gue catetin deh siapa yang ngetawain, nggak gue kasih souvenir dari sini,” sombong Rian yang mendapat tugas menjadi penerima tamu sekaligus mengarahkan tamu-tamu VIP ke area

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status