Share

2. Invitation

Dania berjalan cepat di koridor rumah orang tuanya yang mewah. Mengabaikan beberapa sapaan pegawai yang melintas. Dania tahu, pasti mama akan membahas tentang mangkirnya dia dari kencan kemarin malam. 

Mama dan papa ada di taman belakang saat Dania datang. Dia bergegas menuju ke sana. Arya Danureja, sang papa sedang menyesap kopinya, sementara Niken, sang mama, duduk bersilang kaki di sebelahnya. 

"Sore, Ma, Pa," sapa Dania. 

Keduanya menoleh melihat putri sulungnya datang. 

"Oh, kamu sudah datang, Dania. Duduk di situ," pinta Niken. Dania menurut dan duduk di kursi seberang mama. Dia tahu apa yang akan mamanya itu katakan. Sudah bisa ditebak. Dia pasti kena marah. 

"Alvin tanya kapan kamu punya waktu. Kemarin malam kencan kalian gagal gara-gara kamu lembur. Mama heran. Setiap kali ada janji kencan, ada saja alasan yang kamu buat," ujar Niken menatap lurus anak perempuannya itu. 

"Dania memang nggak bisa, mau gimana lagi?" jawab Dania cuek.

"Pastikan untuk pertemuan berikutnya nggak akan gagal, Dania. Papa malu kalau bertemu Alvin," ujar papa meletakkan cangkirnya. 

Dania mendengus. Itulah masalahnya. Arya banyak tidak enaknya pada Alvin dan keluarganya. Alvin itu investor penting di perusahaan Arya. Banyak suntikan dana yang Alvin keluarkan untuk perusahaan Arya. 

Alvin itu seorang pebisnis besar. Sektor bisnisnya banyak. Dan yang paling besar adalah pertambangan batu bara dan migas. Apa dia seorang sultan? Mungkin. Makanya Arya dan Niken bersikeras menjodohkannya. 

Arya mengenalkan Alvin pada Dania pada pesta perusahaan beberapa waktu lalu. Entah bagaimana ceritanya, Arya memiliki pikiran untuk menjodohkannya dengan Alvin. 

Dania tidak menyangkal kalau Alvin itu tampan dan pebisnis sukses. Tapi dia tidak suka sifat sombong dan dominan pria itu. Kata Arya, Alvin sudah jatuh cinta pada Dania sejak pertama kali berkenalan. Cinta pada pandangan pertama. Memangnya ada? 

"Pa, bisa nggak perjodohan ini dibatalkan? Dania nggak suka sama Alvin," ucap Dania berusaha agar papanya mengerti. 

"Kamu hanya belum kenal saja. Makanya bilang begitu. Satu kali bertemu saat kenalan mana cukup?" 

Justru itu, kesan pertama saja Dania sudah tidak suka, bagaimana berikutnya? Dania bukan orang yang suka menilai, tetapi dia bisa melihat dengan matanya bagaimana pria bernama Alvin itu berbicara dan bersikap.

Dania mengerutkan bibir. Dia selalu tidak bisa membantah titah papanya.

"Akhir pekan ini, kamu diundang ke acara Alvin di vilanya." Papa melempar sebuah undangan. 

Dania hanya melirik sekilas undangan itu. Apa lelaki itu mau sunatan pake acar mengundang dengan kartu seperti itu? 

"Alvin berulang tahun. Ada pesta kecil-kecilan di sana. Dan kamu, kali ini wajib datang. Papa nggak mau mendengar alasan lagi. Bila perlu, papa akan bicara sama atasan kamu untuk membebastugaskan kerjaan kamu di akhir pekan," terang Arya. Ah, papa selalu tak terbantahkan.

Mau tidak mau, Dania meraih undangan itu, dan membukanya. "Pa, ini acaranya menginap. Mana bisa aku ikut?"

"Kamu tidak perlu khawatir, di sana sudah tersedia kamar untuk tamu undangan." 

"Tapi, Pa. Aku nggak kenal siapa pun di sana," bantah Dania.

"Ada Alvin, calon suamimu. Kamu lupa?" 

Dania berdecak sebal. Arya selalu otoriter. Suka memaksakan kehendak. Tidak pernah memikirkan perasaannya. 

"Jangan berusaha mangkir lagi, karena papa akan tahu." 

Untuk kali ini sepertinya Dania menyerah. Tapi menginap di vila? Astaga, bahkan Dania tidak percaya dirinya akan baik-baik saja. Bagaimana bisa papanya malah menyuruhnya pergi? 

*** 

Dania mengempaskan diri di sofa ruang kerja Clara. Kepalanya berdenyut sejak Arya memintanya untuk hadir ke pesta ulang tahun Alvin. 

"Lo kenapa?" tanya Clara bangkit dari kursinya. Muka Dania tampak asam, itu artinya dia sedang bermasalah. "Jangan bilang soal perjodohan itu lagi?" 

"Apa lagi?" Dania mendesah, seraya memijat keningnya sendiri.

Clara memutari meja dan beranjak duduk di sisi sofa yang kosong. "Kencan lagi?" 

"Kali ini undangan ulang tahun di vila akhir pekan nanti. Menginap." 

"Sepertinya itu menarik." Clara malah tersenyum penuh arti. Dania bisa membaca apa yang ada di kepala Clara saat ini. 

"Kalau begitu kalian harus ikut," tembak Dania langsung. 

"Ikut ke mana? Seru nih kayaknya." 

Viona muncul dari balik pintu. "Gue tadi ke ruangan lo, malah lo udah ke sini duluan." Viona menjatuhkan bokongnya ke kursi putar di depan meja kerja Clara.

"Lo juga ikut. Gue nggak mau di sana jadi manusia bego yang nggak kenal siapa-siapa," kata Dania menunjuk Viona.

"Memang mau ke mana, sih?" tanya Viona lagi. 

"Cowok yang dijodohkan sama Dania ngadain pesta ultahnya di vila," jelas Clara membuka tas dan mengambil perlengkapan make up. 

"Wah, aku suka pesta. Tapi kan kita nggak diundang."

"Gue diundang, dan gue bebas bawa siapa pun." Dania mengedipkan matanya. Dia sengaja ingin membuat Alvin sebal karena membawa teman-temannya. 

"Apa enggak apa-apa kalau kita ikut?" tanya Clara memastikan.

"Itu urusan gue." Dania berdiri. "Udah, yuk kita makan siang. Perut gue udah lapar nih."

Clara bergegas menutup bedaknya dan memasukannya ke dalam tas kembali. "Sebentar, girls. Lipstik gue berantakan, nih."

"Sini, sini, gue benerin." Viona melambaikan tangan.

"Enggak, ntar malah tambah rusak." Sekali lagi Clara bercermin.

"Ya, Tuhan, Cla. Kita cuma mau ke kantin perusahaan. Lo ngapain, sih, dandan begitu?" tanyaku bosan. 

"Dandan itu bagi wanita single macam kita penting. Siapa tahu di kantin ada Arjuna mencari cinta. Jadi, kita harus tampil oke setiap saat."

Dania tertawa. "Di kantin itu kalau pun ada Arjuna, bukan mencari cinta. Tapi cari makan. Mereka lagi fokus mengisi perutnya yang lapar karena dihantam kerjaan terus. Boro-boro mencari cinta." Dia makin tergelak. 

"Diam lo, Dan. Lo sih enak hilal jodohnya udah ketahuan. Lah kita?" 

Viona mengangguk mendengar ucapan Clara. "Sambil nyelam minum air kan peribahasanya?"

"Sampai daratan, kembung!" timpal Dania tertawa lagi. Membuat kedua sahabatnya kesal.

Mereka bertiga lantas beriringan menuju lift. 

"By the way. Yang namanya Alvin itu seperti apa, sih? Ada contohnya nggak di kantor ini," tanya Clara menekan tombol pintu lift.

"Kalau di sini kayak siapa, ya?" Mata Dania mengedar. Namun, tidak menemukan padanan yang pas untuk dibandingkan. "Di sini nggak ada. Pokonya Alvin itu, tinggi dengan kulit yang agak kecoklatan, kalau pria kebanyakan matanya kayak elang, dia kayak busur panas. Menusuk dan terkesan suka menelanjangi lawan bicaranya. Sombong pokoknya."

Pintu lift terbuka, dan mereka masuk. "Umur berapa, Dan?" tanya Viona. Kali ini tangannya yang menekan tombol angka di pintu lift. 

"Mungkin sekitar tiga puluhan, entah." Dania mengedikkan bahu. Tidak terlalu peduli. 

"Keren juga, ya. Usia masih tiga puluhan tapi punya kerajaan bisnis. Lo bego kalau nggak terima dia, Dan. Sekarang yang terpenting kan harta dan tahta."

Dania memutar bola mata mendengar argumen Clara. Mungkin bagi sebagian orang benar. Tapi bagi Dania, harta dan tahta bukan di prioritas utama. Dia hanya ingin menikah dengan lelaki yang dia cintai dan mencintainya. Menyayanginya tanpa memandang dirinya siapa. 

"Kalau tampan dan tajir, gue juga mau. Paket lengkap kan?" Viona tertawa. 

Tampan itu relatif. Jika dibandingkan dengan pria yang Dania temui di apartemennya waktu itu, jelas Alvin tidak ada apa-apanya. Pria asing itu seperti jelmaan Dewa. Namun, lagi-lagi setiap manusia memiliki sisi negatif. Pria asing itu mungkin tampan, tipe Dania banget, tapi kalau hobinya mencumbu tak kenal tempat, jelas Dania tidak mau memiliki pasangan seperti itu.

Oh My God. Kenapa dia malah memikirkan pria tak dikenal itu? 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
SyaMeera Rizqi
Mulai penasaran jodoh mereka bertiga, apa jodoh mereka bertiga teman teman Alvin juga hehehe
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status