Dania berjalan cepat di koridor rumah orang tuanya yang mewah. Mengabaikan beberapa sapaan pegawai yang melintas. Dania tahu, pasti mama akan membahas tentang mangkirnya dia dari kencan kemarin malam.
Mama dan papa ada di taman belakang saat Dania datang. Dia bergegas menuju ke sana. Arya Danureja, sang papa sedang menyesap kopinya, sementara Niken, sang mama, duduk bersilang kaki di sebelahnya.
"Sore, Ma, Pa," sapa Dania.
Keduanya menoleh melihat putri sulungnya datang.
"Oh, kamu sudah datang, Dania. Duduk di situ," pinta Niken. Dania menurut dan duduk di kursi seberang mama. Dia tahu apa yang akan mamanya itu katakan. Sudah bisa ditebak. Dia pasti kena marah.
"Alvin tanya kapan kamu punya waktu. Kemarin malam kencan kalian gagal gara-gara kamu lembur. Mama heran. Setiap kali ada janji kencan, ada saja alasan yang kamu buat," ujar Niken menatap lurus anak perempuannya itu.
"Dania memang nggak bisa, mau gimana lagi?" jawab Dania cuek.
"Pastikan untuk pertemuan berikutnya nggak akan gagal, Dania. Papa malu kalau bertemu Alvin," ujar papa meletakkan cangkirnya.
Dania mendengus. Itulah masalahnya. Arya banyak tidak enaknya pada Alvin dan keluarganya. Alvin itu investor penting di perusahaan Arya. Banyak suntikan dana yang Alvin keluarkan untuk perusahaan Arya.
Alvin itu seorang pebisnis besar. Sektor bisnisnya banyak. Dan yang paling besar adalah pertambangan batu bara dan migas. Apa dia seorang sultan? Mungkin. Makanya Arya dan Niken bersikeras menjodohkannya.
Arya mengenalkan Alvin pada Dania pada pesta perusahaan beberapa waktu lalu. Entah bagaimana ceritanya, Arya memiliki pikiran untuk menjodohkannya dengan Alvin.
Dania tidak menyangkal kalau Alvin itu tampan dan pebisnis sukses. Tapi dia tidak suka sifat sombong dan dominan pria itu. Kata Arya, Alvin sudah jatuh cinta pada Dania sejak pertama kali berkenalan. Cinta pada pandangan pertama. Memangnya ada?
"Pa, bisa nggak perjodohan ini dibatalkan? Dania nggak suka sama Alvin," ucap Dania berusaha agar papanya mengerti.
"Kamu hanya belum kenal saja. Makanya bilang begitu. Satu kali bertemu saat kenalan mana cukup?"
Justru itu, kesan pertama saja Dania sudah tidak suka, bagaimana berikutnya? Dania bukan orang yang suka menilai, tetapi dia bisa melihat dengan matanya bagaimana pria bernama Alvin itu berbicara dan bersikap.
Dania mengerutkan bibir. Dia selalu tidak bisa membantah titah papanya.
"Akhir pekan ini, kamu diundang ke acara Alvin di vilanya." Papa melempar sebuah undangan.
Dania hanya melirik sekilas undangan itu. Apa lelaki itu mau sunatan pake acar mengundang dengan kartu seperti itu?
"Alvin berulang tahun. Ada pesta kecil-kecilan di sana. Dan kamu, kali ini wajib datang. Papa nggak mau mendengar alasan lagi. Bila perlu, papa akan bicara sama atasan kamu untuk membebastugaskan kerjaan kamu di akhir pekan," terang Arya. Ah, papa selalu tak terbantahkan.
Mau tidak mau, Dania meraih undangan itu, dan membukanya. "Pa, ini acaranya menginap. Mana bisa aku ikut?"
"Kamu tidak perlu khawatir, di sana sudah tersedia kamar untuk tamu undangan."
"Tapi, Pa. Aku nggak kenal siapa pun di sana," bantah Dania.
"Ada Alvin, calon suamimu. Kamu lupa?"
Dania berdecak sebal. Arya selalu otoriter. Suka memaksakan kehendak. Tidak pernah memikirkan perasaannya.
"Jangan berusaha mangkir lagi, karena papa akan tahu."
Untuk kali ini sepertinya Dania menyerah. Tapi menginap di vila? Astaga, bahkan Dania tidak percaya dirinya akan baik-baik saja. Bagaimana bisa papanya malah menyuruhnya pergi?
***
Dania mengempaskan diri di sofa ruang kerja Clara. Kepalanya berdenyut sejak Arya memintanya untuk hadir ke pesta ulang tahun Alvin.
"Lo kenapa?" tanya Clara bangkit dari kursinya. Muka Dania tampak asam, itu artinya dia sedang bermasalah. "Jangan bilang soal perjodohan itu lagi?"
"Apa lagi?" Dania mendesah, seraya memijat keningnya sendiri.
Clara memutari meja dan beranjak duduk di sisi sofa yang kosong. "Kencan lagi?"
"Kali ini undangan ulang tahun di vila akhir pekan nanti. Menginap."
"Sepertinya itu menarik." Clara malah tersenyum penuh arti. Dania bisa membaca apa yang ada di kepala Clara saat ini.
"Kalau begitu kalian harus ikut," tembak Dania langsung.
"Ikut ke mana? Seru nih kayaknya."
Viona muncul dari balik pintu. "Gue tadi ke ruangan lo, malah lo udah ke sini duluan." Viona menjatuhkan bokongnya ke kursi putar di depan meja kerja Clara.
"Lo juga ikut. Gue nggak mau di sana jadi manusia bego yang nggak kenal siapa-siapa," kata Dania menunjuk Viona.
"Memang mau ke mana, sih?" tanya Viona lagi.
"Cowok yang dijodohkan sama Dania ngadain pesta ultahnya di vila," jelas Clara membuka tas dan mengambil perlengkapan make up.
"Wah, aku suka pesta. Tapi kan kita nggak diundang."
"Gue diundang, dan gue bebas bawa siapa pun." Dania mengedipkan matanya. Dia sengaja ingin membuat Alvin sebal karena membawa teman-temannya.
"Apa enggak apa-apa kalau kita ikut?" tanya Clara memastikan.
"Itu urusan gue." Dania berdiri. "Udah, yuk kita makan siang. Perut gue udah lapar nih."
Clara bergegas menutup bedaknya dan memasukannya ke dalam tas kembali. "Sebentar, girls. Lipstik gue berantakan, nih."
"Sini, sini, gue benerin." Viona melambaikan tangan.
"Enggak, ntar malah tambah rusak." Sekali lagi Clara bercermin.
"Ya, Tuhan, Cla. Kita cuma mau ke kantin perusahaan. Lo ngapain, sih, dandan begitu?" tanyaku bosan.
"Dandan itu bagi wanita single macam kita penting. Siapa tahu di kantin ada Arjuna mencari cinta. Jadi, kita harus tampil oke setiap saat."
Dania tertawa. "Di kantin itu kalau pun ada Arjuna, bukan mencari cinta. Tapi cari makan. Mereka lagi fokus mengisi perutnya yang lapar karena dihantam kerjaan terus. Boro-boro mencari cinta." Dia makin tergelak.
"Diam lo, Dan. Lo sih enak hilal jodohnya udah ketahuan. Lah kita?"
Viona mengangguk mendengar ucapan Clara. "Sambil nyelam minum air kan peribahasanya?"
"Sampai daratan, kembung!" timpal Dania tertawa lagi. Membuat kedua sahabatnya kesal.
Mereka bertiga lantas beriringan menuju lift.
"By the way. Yang namanya Alvin itu seperti apa, sih? Ada contohnya nggak di kantor ini," tanya Clara menekan tombol pintu lift.
"Kalau di sini kayak siapa, ya?" Mata Dania mengedar. Namun, tidak menemukan padanan yang pas untuk dibandingkan. "Di sini nggak ada. Pokonya Alvin itu, tinggi dengan kulit yang agak kecoklatan, kalau pria kebanyakan matanya kayak elang, dia kayak busur panas. Menusuk dan terkesan suka menelanjangi lawan bicaranya. Sombong pokoknya."
Pintu lift terbuka, dan mereka masuk. "Umur berapa, Dan?" tanya Viona. Kali ini tangannya yang menekan tombol angka di pintu lift.
"Mungkin sekitar tiga puluhan, entah." Dania mengedikkan bahu. Tidak terlalu peduli.
"Keren juga, ya. Usia masih tiga puluhan tapi punya kerajaan bisnis. Lo bego kalau nggak terima dia, Dan. Sekarang yang terpenting kan harta dan tahta."
Dania memutar bola mata mendengar argumen Clara. Mungkin bagi sebagian orang benar. Tapi bagi Dania, harta dan tahta bukan di prioritas utama. Dia hanya ingin menikah dengan lelaki yang dia cintai dan mencintainya. Menyayanginya tanpa memandang dirinya siapa.
"Kalau tampan dan tajir, gue juga mau. Paket lengkap kan?" Viona tertawa.
Tampan itu relatif. Jika dibandingkan dengan pria yang Dania temui di apartemennya waktu itu, jelas Alvin tidak ada apa-apanya. Pria asing itu seperti jelmaan Dewa. Namun, lagi-lagi setiap manusia memiliki sisi negatif. Pria asing itu mungkin tampan, tipe Dania banget, tapi kalau hobinya mencumbu tak kenal tempat, jelas Dania tidak mau memiliki pasangan seperti itu.
Oh My God. Kenapa dia malah memikirkan pria tak dikenal itu?
WARNING 18+ BOCIL MINGGIR DULU HAHA.__________***__________"Happy Birthday!"Ramai. Para wanita dan pria berkumpul di satu table. Ada sebuah surprise party kecil-kecilan di kelab malam ibu kota yang lumayan terkenal. Lagu selamat ulang tahun diremix dengan musik DJ hot di atas stage. Semua orang menari dan berjingkrak.Salah satu wanita yang mendapat kejutan itu hanya bisa menahan haru tak percaya apa yang sudah teman-temannya lakukan."Happy Birthday, Honey!" teriak salah seorang sahabatnya seraya memeluk wanita tersebut. Disusul ucapan teman-temannya yang lain."Terima kasih, gue nggak nyangka kalau kalian akan melakukan ini," ujar wanita itu hampir menangis."Ah, Baby. Ini hal kecil, yang penting lo bahagia," ujar sahabat lainnya lagi."Sekali lagi terima kasih, kalian semua aku traktir minum sepuasnya!" Wanita yang sedang berulang tahun itu berteriak, dan disambut heboh oleh teman-tem
Dania dan kedua sahabatnya meluncur ke vila Alvin. Sesuai dengan undangan itu. Mereka pergi menggunakan mobil milik Clara. Lebih praktis berangkat bersama dalam satu mobil.Clara mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Padahal jalanan lumayan ramai. Kebiasaan wanita itu memang sedikit anti mainstream. Viona sampai harus berpegang bangku depan kuat-kuat karena kelakuan Clara ini."Lo nggak bisa jalanin lebih pelan dikit, Cla?!" pekik Viona. "Gue belum kawin, tau!"Clara tertawa tanpa merasa bersalah. "Lo udah kawin, ya,Vi. Nikah yang belum.""Sialan! Gue beneran belum kawin.""Apa perlu gue ingetin Minggu lalu Lo bareng siapa?"Viona berdecak sebal. Dania sendiri hanya bisa memutar bola mata melihat kelakuan mereka."Kecuali Dania yang belum kawin, gue percaya. Dia mau menyerahkan keperawanannya sama suaminya." Lagi-lagi Clara tertawa.Dania mendelik. Ucapan Clara benar, tapi wani
Dania mengerjap. Sementara pria di dekatnya menyeringai. Jujur, Alvin tampan, tetapi menyeramkan. Pria itu tidak sedang berusaha membuat Dania jatuh hati, justru membuat wanita itu merasa takut, dan antipati."Menjauh, Alvin," desis Dania."Enggak. Aku suka dekat denganmu seperti ini." Dia mengeratkan pelukannya pada pinggang Dania.Kekuatan pria ini terlalu besar. Dania tidak sanggup memberontak. Dia harus menunggu kelengahan Alvin."Kamu mau merayakan ultah kamu, kan? Jadi lebih baik lepaskan aku, dan potong kuemu."Alvin tertawa. "Kamu pikir aku anak kecil yang merayakan ulang tahun dengan tiup lilin dan potong kue?"Dania tampak mengernyit. Lalu, apa maksud pria itu?Alvin mengangkat tangan dan membelai pipi Dania. Namun, wanita itu langsung menepisnya."Jaga, tanganmu, Alvin." Dania melotot."Kenapa? Aku cuma ingin membelai pipimu. Gimana kalau aku minta lebih?"
Dania bergegas menghindari Alvin yang kian mendekat. Otaknya terus berpikir bagaimana cara untuk bisa keluar dari tempat ini. Sialan. Apa yang ada di kepala pria itu sebenarnya?Alvin mengikuti pergerakan Dania."Kamu kenapa lari-lari begitu? Ayo, bekerja sama. Semua akan baik-baik saja."Baik-baik saja? Sejak bertemu dengan Alvin, Dania tidak merasa baik-baik saja. Pria itu membuatnya ketakutan."Jangan mendekat!" jerit Dania. Bola matanya bergerak-gerak mencari sesuatu. "Kamu jangan gila.""Tidak, kalau kamu mau menikah denganku secepatnya." Alvin tersenyum. Dia sangat menikmati wajah panik Dania.Dania terus melangkah mundur seiring langkah Alvin yang semakin maju mendekat. Hingga tubuhnya membentur tepian meja tempatnya makan malam tadi. Ya Tuhan, apa tidak ada yang menolong? Dia ingin menghubungi Clara atau Vio. Namun, tas tangan yang dia bawa bahkan sudah jatuh. Ponselnya ada di tas itu. Dania tering
Setidaknya Dania aman di sini. Meskipun pria yang menolongnya asing, tapi ia percaya pria itu tidak akan berbuat macam-macam."Siapa nama lo?" tanya Dania. Pria itu menoleh. Ia lupa mengenalkan diri."Panggil aja gue Martin," jawab pria itu seraya menengok arlojinya. "Sori, gue harus cabut. Lo nggak apa-apa kan gue tinggal dulu? Kalau lo lapar di kulkas ada makanan."Dania hanya mengangguk, dan membiarkan pria bernama Martin itu pergi. Wanita itu menghela napas panjang. Lalu berjalan menuju salah satu kamar yang ada di vila tersebut."Jadi, pria tampan dan mesum itu bernama Martin," gumamnya duduk di tepian ranjang yang ada di kamar.Dia sedikit heran dengan Martin. Pria itu kenapa mempercayainya? Apa pria itu tidak takut Dania akan merampok vilanya ini? Untuk seseorang yang baru pertama kali kenal, Martin terlalu baik kalau menurut Dania. Whatever, yang penting Dania bisa lepas dari Alvin.Alvin? Bagaimana nasib pria itu?
Sekitar dua jam menempuh perjalanan, Martin membelokan arah mobilnya ke jalan menuju apartemen Dania. Tanpa wanita itu menyebutkan alamat, Martin tahu. Dia sadar dari awal bahwa Dania adalah wanita yang pernah dia temui secara tak sengaja di lift apartemen ini."Kita mau ke mana?" tanya Dania. Tujuan mereka benar, seandainya Dania tidak memiliki masalah. Tapi Dania tidak ingin kembali ke apartemennya."Ke apartemen lo, Episentrum kan?"Dania menggeleng. "Nggak. Kita akan ke apartemen lain. Tolong, arahkan mobilnya ke Semanggi.""Jadi, di episentrum bukan apartemen lo?" tanya Martin menuruti permintaan Dania."Itu apartemen gue. Cuma gue lagi nggak ingin pulang ke sana."Martin mengangguk dan membelokkan mobilnya ke arah yang Dania maksud tanpa banyak bertanya lagi. Sesampainya di depan gedung apartemen kawasan Petamburan itu, Dania meminta Martin menghentikan laju mobil."Punya sodara lo?" tanya Martin ke
Dua hari menginap di apartemen Clara memang aman, tapi tidak untuk hari ini. Di luar, tepatnya di depan pintu unit, ada tiga orang laki-laki bertubuh besar. Dari tadi orang itu menekan bel pintu. Dania bisa melihat mereka dari kamera pemantau, sebelum bergerak membuka pintu. Untungnya dia melihat dulu siapa orang yang datang itu. Kalau tidak, tamatlah riwayatnya. Dania menduga itu adalah orang-orangnya Alvin.Dania gelisah dan berjalan mondar-mandir di ruang tengah. Bunyi bel masih beberapa kali terdengar. Dia mengabaikan dengan hati was-was. Bagaimana seandainya orang itu nekat menerjang pintu itu? Tidak, apartemen ini dilengkapi peralatan keamanan canggih. Orang-orang itu tidak akan mudah menerobos masuk secara paksa."Cla, orang-orang Alvin ada di depan apartemen," ucap Dania dengan nada pelan. Dia sedang menelepon Clara."Sial. Kenapa sih lo harus nyeret gue dalam masalah lo?" umpat Clara di ujung sana."Mereka nggak bakal masuk 'kan
Papa pikir kamu nggak akan berani muncul?" Arya menenggelamkan kedua tangan pada saku celananya."Aku nggak salah, Pa. Makanya aku pulang," jawab Dania datar."Nggak salah kamu bilang? Kamu sudah bikin kepala Alvin bocor." Mata Arya melotot. "Dan kamu tahu? Kamu itu buronan. Kamu masuk daftar DPO. Pulang artinya kamu nyerahin diri."Mata Dania melebar, tangannya berpegang erat pada sandaran sofa. Dengan gusar dia menatap sang ibu."Ma, apa itu benar?"Tak perlu menunggu jawaban. Dari raut yang ditunjukkan Niken, Dania tahu berita itu memang benar. Apa yang harus dia lakukan sekarang?"Pa, Dania nggak salah. Alvin mau memperkosaku. Yang aku lakukan hanya untuk membela diri," sanggah Dania membela diri."Apa pun itu alasannya, Dania. Bukti kamu mencelakai Alvin itu ada."Dania menggigit bibir. Apa keputusannya salah sudah kembali ke rumah?Arya beranjak dan duduk di sofa sebera