"Apa terjadi sesuatu?" tanya Clara begitu mobil sudah berjalan meninggalkan parkir gedung perkantorannya.
Sudah Dania duga, Clara pasti akan menanyakan hal ini. Dania menghela napas panjang. Dia tidak ingin air matanya jatuh.
"Dan? Lo nggak baik-baik aja. Gue tau. C'mon, kita udah lama berteman. Apa yang terjadi? Alvin nyakitin lo?" Clara masih mendesak. Menuntut Dania membuka mulut.
Inilah sebabnya dia menghindari kedua sahabatnya, karena Dania tahu dirinya tidak pandai menutupi perasaannya. Bahkan hanya karena Clara bertanya seperti itu saja, dadanya kembali bergemuruh, matanya membayang, dan hatinya merasakan sesak itu kembali. Dania benar-benar tidak mau menangis di depan Clara. Tapi, air mata sialan ini makin mendesak keluar.
Dania bisa mendengar helaan napas Clara yang sedang konsen menyetir ketika akhirnya satu tetes air mata berhasil lolos dari kelopak matanya.
Clara membelokkan kemudinya ke salah satu kafe. Ji
Viona meletakkan satu cup cendol ke meja Dania. Dari kemarin Dania ngidam minuman segar yang banyak digemari orang Indonesia itu."Cendol!" seru Dania tampak berbinar.Viona tersenyum lebar. "Demi bumil nih gue rela antri panjang buat dapetin es cendol yang lagi viral itu."Dania memasang wajah sok cute, dan merentang kedua tangan. "Unch, peyuuuk."Viona menggeleng lantas memeluk Dania yang kini perutnya sudah tampak membuncit."Makasih, ya, Vi," ucap Dania senang. Meski tidak ada Alvin di sisinya. Dia bersyukur masih ada kedua sahabatnya yang masih perhatian padanya."Gue nggak mau anak lo nanti ileran." Viona melepas pelukan Dania.Dania kembali melirik cendol di atas meja. Wanita itu kemudian meraihnya. "Gue minum ya, Vi.""Nggak, lo tonton aja. Biar awet."Dania terkekeh. Lantas menusuk tutup plastik cendol tersebut dengan sedotan berukuran besar. Sensasi segar dan mani
Dania dikejutkan dengan kehadiran Alex di kantornya. Dia tahu pria itu bisa datang kapan saja sesuka hati. Namun, entah mengapa dirinya tidak menyukai kedatangan Alex yang tiba-tiba. Pria itu tersenyum seraya menghampiri mejanya."Sayang, aku bawakan sesuatu untuk kamu." Alex meletakkan mini tote bag ke atas meja Dania.Kenapa? Kenapa pria itu masih menyebut Dania dengan panggilan sayang. Dulu mungkin Dania sangat senang jika Alex memanggilnya seperti itu, tapi tidak dengan sekarang. Kondisinya beda.Dania melirik tote bag tersebut. Ada apa lagi Alex menemuinya? Bukannya dia sudah berbahagia dengan janda itu?"Ada apa kamu ke sini?" tanya Dania datar. Tangannya masih sibuk mengecek dokumen yang sedang dia pegang.Alex tersenyum. Senyum yang masih terlihat manis di mata Dania. Ya, mata telanjangnya masih bisa memindai ketampanan pria itu."Aku kangen sama kamu." Alex tidak bohong, dia benar-benar merindukan
Tawaran Alex agar Dania mau menikah dengannya terus terngiang. Meski Dania tidak bisa menjawab apa-apa, tetapi hatinya sedikit terusik. Sudah hampir enam bulan suaminya pergi. Tinggal beberapa bulan anaknya akan lahir. Namun, kabar dari Alvin tidak pernah dia terima."Alvin, sebenarnya kamu di mana? Aku minta maaf."Kembali air matanya merembes. Tidak ada yang tahu kepiluan Dania setiap malam. Hanya doa yang bisa dia lakukan, berharap di mana pun Alvin berada, lelaki itu akan baik-baik saja.Dania pikir hanya hari itu saja Alex datang menemuinya. Namun, hari berikutnya dan berikutnya pria itu selalu menyambangi kantornya. Dania mulai bosan mengusir mantan pacarnya itu. Namun, pemilik perusahaan tempatnya bekerja itu tak pernah berhenti datang. Jika bukan sosoknya yang datang, maka Alex akan mengirimkan makanan untuk Dania.Seperti siang ini. Dania meletakkan sebuah kotak makan tepat di kedua sahabatnya."Makan gih, Cla,"
Dania menghela napas panjang beberapa kali ketika lagi-lagi Alex datang menjenguknya di rumah sakit. Kali ini pria itu membawa sekotak kue balok cokelat lumer. Ini sudah hari kelima Dania berada di rumah sakit. Setiap malam Clara dan Viona bergantian menjaganya. Dan, Alex biasanya akan datang menjelang makan siang tiba."Lihat, Sayang, apa yang aku bawa." Alex membuka kotak itu. Menunjukkan kue cokelat berbentuk balok kecil-kecil dengan lelehan cokelat yang melumer di tengahnya. Terlihat menggiurkan. "Baby pasti suka. Kamu coba, ya." Alex masih saja bersikap baik dan manis kendati Dania tidak pernah bersikap sebaliknya. Dia mengambil satu potong kue dan menyodorkannya pada Dania.Dania menatap kue itu sesaat sebelum menatap pria di hadapannya yang kini tengah tersenyum manis. Senyum yang tak pernah lekang oleh waktu. Ketampanan Alex memang luar biasa, apa lagi saat tersenyum seperti itu. Dulu Dania selalu bergetar ketika Alex bersikap manis seperti ini. Nam
Dania baru saja mengisi aplikasi pengajuan cuti ketika perutnya merasakan nyeri. Sebenarnya tadi pagi dia sempat melihat ada bercak darah di celana dalamnya. Namun, dia tidak terlalu khawatir karena tidak ada reaksi apa pun pada perutnya. Hanya sesekali merasa kencang di perut bagian bawahnya. Dania meraba perutnya. Apakah sekarang sudah waktunya? Menurut dokter, hari perkiraan lahirnya masih dua minggu lagi. Dania menggeleng. Mungkin ini hanya kontraksi palsu.Dania bergegas membereskan meja kerjanya. Dia harus cepat sampai rumah agar bisa segera istirahat. Clara sedang bertemu klien di luar, sementara Viona menemani Pak Robbi meeting. Jadi, Dania terpaksa pulang sendiri.Nyeri pada perutnya makin sering terjadi. Hanya jeda beberapa menit lantas rasa sakit itu muncul lagi. Dania makin yakin kalau ini bukanlah kontraksi palsu.Dia memeluk perutnya erat-erat ketika sedang menunggu lift terbuka. Matanya memicing menikmati gelombang cinta yang tim
Dania menggeram ketika melihat Alex datang ke rumahnya membawa sebuah bingkisan. Apa lagi isinya kalau bukan mainan untuk Liam, putranya. Padahal baru kemarin kurir mengantar paket berisi kebutuhan Liam dan mainan untuk anak itu."Jangan beli mainan terus. Kamu tau, semua akan jadi sampah kalau dia sudah besar," ujar Dania protes."Hanya sesekali, Sayang." Alex tersenyum kepada bayi berusia satu tahun di hadapannya.Dania terlalu capek untuk meminta Alex menjauhinya. Pria itu tidak pernah kapok bertandang ke rumahnya."Tapi, kamu baru kemarin mengirimi Liam hadiah, Tin. Dia baru setahun, belum butuh itu," omel Dania seraya membereskan mainan anaknya yabg berantakan."Kemarin kapan? Aku baru kali ini kasih Liam mainan, Dania," ujarnya tak peduli sambil terus mengajak Liam bermain.Dania menoleh sesaat. Kebiasaan sekali suka menyangkal. Sering tidak mengakui perbuatannya kalau Dania sudah mengomel.Dania be
"Ini kok lama-lama perusahaan udah kayak bola aja ya, lempar sana sini. Heran gue. Belum juga genap tiga tahun udah pindah tangan aja," ujar Clara.Dia dan kedua sahabatnya, sedang berjalan bersama menuju aula untuk sosialisasi owner baru perusahaan.Viona tertawa. "Alex menjual sahamnya karena hatinya udah dipatah-patahin dengan kejam sama temen lo."Dania di sebelahnya berdecak, tahu siapa yang Viona maksud."Hm, kasian juga si Alex sih. Kenapa sih lo nggak mau terima dia lagi? Dia itu pria tertampan sejagad. Apa lagi lo mantannya. Nggak akan sulit gue rasa." Clara mencolek lengan Dania yang masih dengan tenang mendengar ocehan kedua sahabatnya."Iya, lagi pula Liam kan butuh bapak. Kasihan dong kalau ketemunya cuma kita-kita aja," imbuh Viona.Ketiganya memasuki lift begitu pintu silver itu terbuka. Clara menekan tombol lantai tujuan mereka."Kalian pada gila apa gimana sih? Gue itu masih istriny
Dania bergegas ke kamar Liam. Anak itu sedang ditimang-timang pengasuhnya. Dia cepat-cepat mengambil alih Liam dari gendongan wanita itu."Panasnya belum turun, Mbak?" tanya Dania."Belum, Bu."Dania terpaksa meminta izin pulang lebih cepat karena Liam dari kemarin demam. Tadi pagi demam anak itu sudah turun. Oleh karena itu Dania memutuskan masuk kerja. Namun, siang tadi pengasuh Liam menelepon kalau demam anak itu meninggi lagi."Tolong siapkan perlengkapan Liam, ya, Mbak. Kita ke poliklinik.""Baik, Bu." Wanita muda yang memakai seragam baby sitter itu segera berbenah.Dania paling tidak bisa melihat anaknya sakit. Kalau disuruh memilih mending dia saja yang sakit. Mereka langsung masuk ke taksi yang sudah menunggunya.Poli anak tidak terlalu ramai ketika Dania sampai. Hanya beberapa pasien yang menunggu. Jadi, dia tidak terlalu lama menunggu.Dania bersyukur karena tidak ada penyakit yang