Share

Empat

   Karin datang ke restoran untuk bertemu dengan Vian. Ia melihat pria itu tengah duduk dengan topi dan kacamata hitam. Awalnya ia tidak mengenali jika Vian tidak melambaikan tangan lebih dulu. Di depan pria itu, hanya tersaji sebotol air mineral. Tampaknya meski karir mengalami kemunduran, menjaga penampilan tetap menjadi hal utama bagi pria itu.

  Karin segera duduk di hadapan Vian. Ia merasa lega. Pertemuan di tempat umum seperti sekarang lebih nyaman daripada di tempat tertutup seperti kantor Edwin kemarin. Yang mengatakan Vian pria yang sopan, maka menurut Karin itu adalah bohong belaka. Pria itu bahkan berani bersikap kurang ajar padanya di kantor itu.

  "Apa kau ingin memesan sesuatu?" tanya Vian sambil tersenyum ramah.

  Karin menggeleng. Ia kemudian segera membuka tas hitam yang dia bawa. Tangannya terulur untuk mengambil sketsa. Akan tetapi, Vian yang telah berdiri di depan gadis itu, membungkuk dan memegang tangan Karin. 

  "Kita bicarakan masalah tempat itu nanti saja. Sekarang kita mengapa tidak mengobrol dulu? Aku telah memesankan makanan dan dessert untukmu," ucapnya.

  Karin segera menarik tangannya sambil menatap tajam Vian. Pria itu kemudian membelai lembut pipi Karin.

  "Kau pasti tidak akan menolak, bukan?" 

  Karin menghela napas keras dan menepis tangan Vian. 

"Jika kau bersikap seperti ini padaku, maka kita batalkan saja proyek ini."

  Vian tersenyum kemudian mengangguk. Ia lalu kembali duduk di depan Karin. Tidak lama berbagai jenis makanan datang. Mata Karin membeliak lebar melihat itu semua.

  "Maaf, aku tidak tahu kau mau memakan apa? Jadi aku memesan semua makanan yang ada."

***

  Karin berjalan keluar dari restoran. Makanan yang begitu banyak tersebut akhirnya menyuruh pelayan untuk membungkus. Karin kemudian melangkah menuju sepeda. Akan tetapi, Vian meraih dan menarik tangan gadis itu menuju mobil. 

  "Apa yang ...?"

  "Kita belum bicara. Kau mau pergi ke mana?"

  "Tapi, tadi kau bilang di restoran, saat ini bukan saat yang tepat."

  Vian berbalik dan menatap Karin.

"Memang bukan saat yang tepat karena kita sedang berada di restoran. Tapi, kita sudah keluar dari sana, jadi sekarang kita bisa mencari tempat untuk menyelesaikan masalah kita."

  "Apa maksudmu?"

  "Kenapa? Apa kau takut padaku?"

  Karin menggeleng. Vian segera kembali menarik gadis itu menuju mobil. 

  Karin berhenti melangkah dan terpaku melihat mobil itu. Hanya beberapa hari yang lalu, mobil itu telah membawa masalah padanya.

  "Kau masih ingat mobil ini rupanya. Bagaimana? Apa itu ingatan yang menyenangkan?" tegur Vian yang berdiri di sampingnya. Merasa ada yang salah, Karin berbalik dan hendak pergi. Akan tetapi, Vian kembali menarik dan mendorong gadis itu ke dalam mobil serta menutup pintu.

  Karin segera mencoba membuka pintu mobil, tetapi pintu itu telah terkunci otomatis. Karin menoleh saat Vian masuk dan duduk di sampingnya.

  "Buka pintunya sekarang!" perintah Karin sambil menatap tajam Vian. Namun, pria itu justru memajukan tubuh dan memasang sabuk pengaman pada gadis itu. Ia kemudian menyibakkan rambut Karin.

  "Diamlah, kalau tidak ...."

  Karin menoleh pada pria itu.

  "Kalau tidak, aku akan menciummu di sini," bisik Vian dengan nada mengancam sambil menyentuh bibir Karin.

***

  Vian mengemudikan mobilnya dan berhenti di tanah lapang yang cukup luas. Tanah itu adalah tempat yang ia beli untuk membangun cafetaria miliknya. Sebenarnya, Vian tidak tertarik pada usaha tersebut. Ia hanya ingin mencari cara untuk bisa mendekati dan membalas Karin.

  Karin membuka lembar-lembar kertas yang ia bawa. Gadis itu kemudian mulai menjelaskan tentang bentuk desain dari bangunan cafetaria tersebut. Di sampingnya, Vian hanya mengangguk-angguk saja. 

  Karin kemudian melangkah ke sana kemari untuk menggambarkan rencananya dengan lebih detil. Mata Vian tidak lepas menatap gadis itu. Entah mengapa, ia merasa kagum. Karin ternyata begitu serius menanggapi pekerjaan tersebut. 

  'Tidak, tidak boleh, aku tidak boleh kagum padanya. Dia adalah gadis yang menyebabkan karirku berantakan seperti sekarang,' ucap Vian dalam hati sambil menggeleng.

***

  Di malam hari, Vian sedang duduk seorang diri. Ia kemudian menuang wine ke dalam gelas dan meminum hingga tandas. Pria itu kemudian bersandar di sofa sambil memejamkan mata. 

  Bayangan sosok Karin kemudian muncul dalam benaknya. Saat gadis itu tengah serius menjelaskan proyek, juga saat gadis tersebut menatap tajam padanya. Kemudian saat Karin berjalan ke sana kemari untuk menjelaskan tentang rancangan proyek dia. 

  Vian sontak membuka mata dan menggeleng.

'Apa ini? Aku memang berniat menggoda untuk membalas dia, tapi kenapa malah seperti aku yang tergoda hingga tidak bisa melupakan dia?'

  Vian meletakkan gelas wine dan bangkit berdiri untuk pergi ke lobi. Ia harus fokus untuk tetap pada rencana membalas gadis yang telah menghancurkan karirnya, bukan malah memiliki perasaan lain pada gadis tersebut.

***

  Silvi tengah duduk di ruang depan sambil melihat poster Vian yang terpajang di dinding.

  " My Vian, My Little Sweety, My Bunny,kapan kau kembali? Tahukah kau, aku begitu merindukanmu? Aku tidak tahan melihat Matthew yang selalu tertawa tak jelas itu," ucapnya. Ia kemudian maju dan mengelus-ngelus poster tersebut.

  Melihat itu, Karin mau tidak mau tertawa. Ia kemudian menggeleng dan menuang air putih dalam gelas.

  "Vian, apa kau pergi dengan kekasihmu itu? Gadis yang ada di foto bersamamu, aku rela meski aku tidak bahagia, tapi kau bahagia," lanjut Silvi sambil menempelkan wajahnya pada poster idolanya tersebut.

  Karin yang terkejut sempat terbatuk sejenak mendengar ucapan Silvi. Setelahnya ia menghampiri gadis itu.

  "Tenanglah, dia bahagia, kok," ucap Karin tidak lama kemudian.

  "Tahu dari mana dikau? Melihat dia saja, kau tidak pernah."

  Mata Silvi kemudian membeliak lebar. Ia bergegas menghampiri Karin.

  "Kau, jangan-jangan kau bertemu dengannya atau mungkin memang benar kau gadis yang di foto itu? Apa jangan-jangan kau memang kekasihnya?"

  "Apa?" sahut Karin sambil mendengkus keras dan terbahak.

"Itu hal yang sangat tidak mungkin. Kau juga tahu aku tidak pernah suka dengan idol-idol halumu itu."

  Silvi diam sejenak kemudian tersenyum sambil mengangguk. Karin menghela napas lega. Mulai sekarang dirinya harus lebih berhati-hati. Sahabat baiknya itu sepertinya memiliki radar istimewa jika menyangkut Vian.

***

  Di hari selanjutnya, Karin dan Vian kembali pergi ke tanah yang telah diberi pria itu untuk memgawasi proses pembangunan cafetaria yang telah dimulai. Ksrin tampak sibuk. Ia tengah memberi pengarahan pada para pekerja agar bangunan tersebut nantinya sesuai dengan yang dia rancang.

  Vian berjalan mendekat dan berdehem sejenak. Tanpa berkata apa-apa, Vian merangkul pinggang Karin dan menarik gadis itu agar dekat dengannya. Para pekerja yang tadi menyimak kata-kata Karin, merasa tidak enak dan segera pamit untuk kembali pada pekerjaan mereka.

  

  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status