Share

Tiga

Penulis: Meimei
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-03 11:00:30

  "Dia adalah seorang perancang bangunan. Jangan khawatir, saya akan mengatasi dia," ucap Jason, asisten Vian. 

  Vian menatap ke layar di mana foto Karin terpampang jelas. 

"Tidak perlu, aku akan melakukannya sendiri."

  "Tapi ...."

  "Ini adalah balas dendamku. Aku yang akan menangani sendiri."

***

  Karin sedang sibuk merancang maket di kantornya saat Edwin berjalan masuk. 

  "Pekerjaan yang bagus. Kau melakukannya dengan baik," puji pria itu.

  "Sebaiknya kita tidak bertemu berdua saja seperti sekarang. Aku tidak mau Anna marah lagi padaku," sahut Karin yang terus melihat pada maket di depannya. Ia tidak menoleh sedikitpun pada Edwin.

  "Karin, aku sungguh menyukaimu," ucap Edwin sambil meraih tangan Karin.

  "Edwin, aku sudah bilang aku hanya menganggapmu teman. Teman yang sangat baik. Aku tidak mau merusak persahabatan kita dengan perasaan lebih dari itu."

  Suara bising di luar menghentikan percakapan mereka. Keduanya kemudjan bergegas keluar. Mata Karin membeliak lebar saat melihat sosok yang datang di tempat kerjanya tersebut.

***

  Vian tersenyum dan melambaikan tangan pada beberapa orang di kantor tersebut. Beberapa karyawati mendekat dan meminta foto bersama. Ada pula karyawan yang meminta tanda tangan darinya untuk kerabat mereka. Vian tetap tersenyum dan memenuhi permintaan mereka. Meski begitu, ia tetap melangkah mendekat pada Karin dan Edwin.

  "Untuk apa dia kemari? Apa dia berniat untuk membuat masalah denganku?" gumam Karin.

  Edwin menoleh mendengar suara Karin.

"Ada apa? Apa kau ada masalah dengannya? Apa kau mengenal dia?"

  Karim hanya menggeleng. Tidak lama Vian telah berdiri di hadapannya dan Edwin 

  "Jadi ini tempat para perancang bangunan bekerja? Sungguh luar biasa. Kebetulan aku ingin membangun sesuatu dan temanku menyarankan tempat ini," ujar pria tersebut.

  "Baiklah, kami pasti akan melakukan yang terbaik untuk bisa memuaskan permintaan Anda," ucap Edwin.

  Vian tersenyum dan berpaling pada Karin.

  "Apakah dia perancang di sini? Kalau begitu, aku ingin dia yang melakukannya," ucapnya sambil menatap lekat pada Karin.

  Karin menatap balik Vian kemudian menggeleng.

"Aku tidak bisa melakukannya. Aku sedang sangat sibuk. Banyak proyek yang kutangani."

  "Sayang sekali, padahal aku akan membayar banyak untuk proyek ini."

***

  "Karin, ini kesempatan langka. Meski bukan proyek besar, tapi dia mau membayar mahal, bahkan lebih tinggi dari biasa. Kita harus menerima ini," ucap Edwin dengan penuh semangat.

  Saat ini ia dan Karin tengah berada di kantor Edwin. Sementara Vian tetap menunggu di luar. Para pegawai dan staf tampak menyapa ramah dan mengajak bicara pria itu.

  "Kita memang harus menerima, tapi tidak harus aku yang menangani proyek ini."

  "Dia hanya mau dirimu. Jika tidak, maka ia akan membatalkan dan mencari tempat lain. Itu yang dia katakan di pertemuan kami tadi."

  "Aku tetap tidak bisa."

  "Kenapa? Apa kau ada masalah dengan dia? Kalian sepertinya memang telah saling mengenal."

  Karin menghela napas dan menggeleng. Kini Edwin bahkan menaruh curiga. Jika seperti ini, Edwin mungkin akan tahu masalah dia dengan Vian. Karin tidak mau itu terjadi. Ia tidak ingin namanya menjadi buruk di depan orang-orang yang ia kenal.

  "Baiklah," ucap Karin akhirnya.

"Tapi aku ingin bicara berdua dulu dengannya."

***

  "Tampaknya kau baik-baik saja setelah apa yang terjadi di hari itu," ucap Vian setelah masuk ke kantor Edwin. Edwin sendiri keluar dari ruangan tersebut.

  "Apa yang sebenarnya kauinginkan?" tanya Karin sambil bersidekap. Vian melangkah mendekat dan menengadahkan wajah Karin.

  "Apa lagi? Kau telah menghancurkan karirku, tentu aku ingin membalasnya."

  Karin serta-merta menepis tangan Vian. Akan tetapi, Vian justru mencekal tangan Karin dan menarik gadis itu mendekat, sehingga kini Karin berada persis di hadapannya. Tubuh mereka bahkan saling bersentuhan.

  Karin sontak mendorong Vian menjauh.

"Jika kau ingin membalas dendam, kau tidak perlu khawatir. Aku akan membayar nanti. Kau tidak perlu melakukan ini."

  Vian kembali mendekat. Kali lengannya melingkar di pinggang Karin. Ia kemudian kembali menarik gadis itu mendekat. Mata Karin membeliak lebar. Ia segera meronta untuk melepaskan diri dari pelukan Vian.

  "Balas dendam ini adalah milikku. Akulah yang merasakan akibat dari perbuatanmu hari itu, maka ...."

   Ucapan Vian terhenti sejenak. Tangannya terulur dan membelai pipi Karin dengan lembut. Meski bergidik, Karin hanya bisa diam tanpa bisa menghindar.

  "dendam ini harus dilakukan dengan caraku."

  "Baiklah, terserah padamu saja. Sekarang lepaskan aku!" tukas Karin dengan nada geram. Vian justru tertawa.

  "Jika aku tidak mau, apa yang akan kaulakukan?"

  "Kau!" geram Karin dengan emosi yang semakin tidak tertahan. Ia dan Vian saling menatap satu sama lain. Suara pintu dibuka membuat keduanya sontak menoleh. Vian segera melepas pelukan pada Karin. Seulas senyum muncul di wajahnya.

  "Baiklah, aku mengerti sekarang. Terima kasih atas penjelasannya," ujar Vian sambil kemudian bergegas keluar. 

  Edwin yang tadi membuka pintu masih tertegun selang beberapa saat. Ia kemudian segera menghampiri 

  "Karin, apa yang terjadi? Apa dia bersikap kurang ajar padamu? Karin, jika dia macam-macam, aku akan memberi pelajaran dan membatalkan proyek kita dengannya."

  "Tidak perlu," geleng Karin.

"Lagi pula tidak ada yang terjadi. Dia benar, aku hanya menberi penjelasan padanya."

***

  Edwin menuang minuman ke dalam gelas dari botol yang berada di depannya dan meminum hingga tandas. Bayangan Karin yang berada dalam pelukan Vian masih tergurat jelas dalam benaknya. 

  Ia yakin Karin dan Vian telah saling mengenal. Karin telah berbohong padanya, padahal ia menganggap gadis itu selalu jujur.

  'Mereka berpelukan. Hubungan mereka pasti lebih dari perkenalan biasa. Mereka mungkin adalah sepasang kekasih. Aku yang bodoh. Pantas saja Karin tidak menerima perasaanku, ternyata dia adalah kekasih Vian.'

  "Berada di sini seorang diri, apakah tidak merasa kesepian?" tegur Anna yang duduk di samping Edwin. Edwin hanya tersenyum saja dan kembali meminum minuman miliknya.

  Anna kemudian juga memesan minuman pada bartender di depannya. Ia kemudian membuka ponsel dan memperlihatkan sesuatu pada Edwin. Itu adalah foto Vian yang kecelakaan dengan Karin beberapa hari sebelumnya.

  "Gadis di foto ini sungguh tidak tahu malu, melakukan hal semacam itu di tempat terbuka, tapi tidakkah menurutmu gadis ini mirip dengan Karin?" tukasnya. 

  Edwin melihat foto tersebut sekilas kemudian menggeleng.

"Karin gadis baik-baik, dia tidak mungkin melakukan itu."

  Edwin kemudian beranjak pergi dengan langkah yang sempoyongan. Anna segera menyusul dan meraih tangannya.

  "Kau sudah tahu. Kau tahu karenanya kau bermabukan di sini. Kau tahu hubungan tidak biasa dari mereka. Kau juga tahu alasan Vian datang ke kantor kita adalah untuk menemui Karin."

  Edwin segera mengibaskan tangan gadis itu.

 "Itu tidak benar," ucapnya.

 "Itu benar, hanya saja kau tidak mau mengakuinya," tandas Anna.

  

  

  

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • My Husband is an Idol   Empat puluh

    Empat puluh Karin yang terbangun di pagi hari terkejut melihat sosok Vian berada di sampingnya. Lebih terkejut lagi saat mendapati mereka tanpa busana, hanya tertutupi selembar selimut, sedang pakaian yang semula dikenakan berserakan di lantai samping tempat tidur. Karin bergegas beranjak dari tempat tidur. Ia kemudian segera mengenakan pakaian. Vian juga bangun. Karin segera berbalik dan menatap tajam padanya. "Kenakan pakaianmu, kita harus bicara," ucap Karin. "Semua terjadi begitu saja, aku memang salah melakukannya, tapi itu semua terjadi karena kau menggodaku lebih dulu," tukas Vian sambil mengejar Karin yang telah keluar dari kamar. "Jadi kau menganggap ini adalah salahku? Vian, kau tahu yang terjadi. Minuman itu apa kau yang merencanakannya?" tanya Karin. "Tidak, bukan seperti itu." "Tapi kau tetap melakukannya, kau tidak berusaha menyadarkan aku, tapi malah mengambil kesemp

  • My Husband is an Idol   Tiga sembilan

    Tiga sembilan Pagi hari, Vian terbangun saat ia merasa ada sesuatu menindih tubuhnya, belum lagi seperti ada sesuatu yang melingkari tubuhnya. Saat membuka mata, ia terkejut melihat Karin tengah memeluk dia. Tubuh gadis itu bahkan berada persis di sampingnya. Kaki Karin juga melintang di atas tubuhnya. Vian tersenyum kecil. Ia kemudian menunduk untuk melihat wajah gadis itu. Ia kemudian menyibakkan rambut yang menutupi sebagian wajah Karin. Gadis itu tampaknya benar-benar lelap. Karin kemudian malah meraih dan memeluk tangan Vian dengan erat. "Kau ini ...," ucap Vian sambil tersenyum. "Ayah, jangan tinggalkan aku," gumam Karin dengan mata terpejam rapat. 'Apa-apaan ini?' gerutu Vian dalam hati.'Kenapa dia malah berpikir kalau aku adalah ayahnya?'*** Setelah bangun dari tidur, Karin membersihkan diri dan menemani Vian untuk sarapan yang dibuat nenek untuk mer

  • My Husband is an Idol   Tiga delapan

    Tiga delapan "Aku?" tanya Karin dengan nada tidak percaya sambil menunjuk dirinya sendiri. "Vian, kau memintaku untuk mendorong mobil?" Vian mengangguk. "Apa kau bercanda?" tukas Karin kemudian."Aku ini seorang gadis. Kau memintaku keluar di hutan belantara untuk mendorong mobil. Vian, kau bilang kau sudah tidak dendam padaku, tapi apa yang kaulakukan ini?" "Aku memang sudah tidak dendam padamu." "Lalu?" "Hanya saja tidak ada yang mendorong mobil selain dirimu." "Vian, bukankah masih ada dirimu? Kenapa? Apa kau tidak bisa melakukannya? Vian, kau yang mendorong mobil dan aku yang akan menyetir untukmu. Bagaimana?" "Kau menyuruh aku?" tanya Vian seperti tidak percaya mendengar ucapan Karin. "Lalu? Bukankah kau bilang tidak ada orang lain selain kita di sini? Jadi kalau bukan aku, tentu kau yang harus mendorong m

  • My Husband is an Idol   Tiga tujuh

    Tiga tujuh "Kau tenang dulu," ucap ayah Vian lagi setelah beberapa saat."Jika kau bicara dengan keras seperti tadi, ibumu mungkin mendengarnya, dia akan tahu kalau pernikahanmu dan Karin tidak terjadi sungguhan. Hal itu mungkin akan kembali mempengaruhi kesehatannya." "Tapi, Ayah ...," ucap Vian yang hendak membantah, tetapi lelaki paruh baya di depannya itu segera mengangkat tangan untuk menghentikan kata-katanya. "Ayah belum selesai bicara. Kau dengarkan ayah dulu," ucap lelaki itu lagi."Vian, kau mungkin tidak peduli dengan yang terjadi pada ibumu, tapi ayah sangat peduli. Ayah tidak mau dia sakit lagi." "Aku juga peduli, Ayah, aku juga tidak mau ibu sakit lagi," ujar Vian. "Baiklah, Ayah percaya padamu, tapi dengan kata-katamu yang keras tadi, jika dia mendengarnya maka ...." Ayah Vian berhenti bicara. Wajahnya menunduk dengan rona muram. "Ayah, aku minta m

  • My Husband is an Idol   Tiga enam

    Tiga enam Sebenarnya, Karin tidak sungguh tidur. Ia berpura-pura terlelap agar tidak lagi terus melihat Vian. Saat Vian mendekat dan meletakkan selimut pada tubuhnya, ia telah terkejut meski begitu, ia tetap berpura tertidur. Akan tetapi, sewaktu pria itu menyibakkan rambutnya, Karin langsung terperanjat dan membuka mata. Vian tertegun dengan pertanyaan Karin. Apa yang dia lakukan, dia sendiri sungguh tidak mengerti. Tangan dia seolah bergerak sendiri untuk menyibakkan rambut gadis itu. "Karin, aku benar-benar tidak bermaksud. Aku hanya ingin kau tidur dengan baik. Rambutmu itu tampak mengganggu bagiku, jadi aku menyingkirkannya," ucap Vian. Pria itu kemudian bergegas untuk kembali tanpa menunggu perkataan Karin.*** Keesokan hari saat bangun, Vian telah tidak melihat Karin. Ia tertegun dan sejenak mencari, tetapi tidak menemukan gadis itu di kamar. 'Ah, untuk apa aku mencari dia? Mungkin dia telah pergi,

  • My Husband is an Idol   Tiga lima

    Tiga lima "Maafkan ibuku, Karin, dia memang keras kepala. Kadang ia memakai cara licik hanya agar orang memenuhi keinginannya," ucap Vian yang mengantar Karin keluar kamar. Karin hanya mengangguk. Vian yang melihat langkah gadis itu yang sedikit terpincang menjadi merasa tidak enak. "Kakimu apakah tidak apa?" tanyanya. "Tidak apa, sudah membaik, kok, kau tidak perlu cemas." "Soal permintaan ibuku, aku aksn memikirkan cara untuk menolaknya. Kau tidak perlu cemas dengan hubunganmu dengan Matthew," ucap Vian. Karin kembali mengangguk. Ia sampai pada taksi yang telah dipanggil. Ia segera pamit dan pulang dari sana.*** "Kau tidak mengantar Karin? Kau membiarkan calon istrimu pulang sendiri?" tanya Nyonya Choi. Vian menggeleng."Berapa kali harus kubilang? Karin bukan calon istriku. Pernikahan kami tidak akan berhasil." "Ibumu masih sak

  • My Husband is an Idol   Tiga empat

    Tiga empat "Apa kau mengenal Karin?" tanya nyonya Choi pada Vian. Putranya itu hanya diam dan menggeleng. Acara pembukaan telah lama berakhir. Para tamu undangan termasuk Karin dan Silvi telah lama pulang. Tadinya Vian disuruh Nyonya Choi mengantar, tetapi Karin bersikeras menolak. Akhirnya dibiarkan Karin dan Silvi untuk pulang sendiri. Sedang Vian mengantar Cindy pulang. "Mereka saling mengenal. Lebih dari itu, mereka juga saling menyukai," ucap Nyonya Choi pada suaminya. Lelaki itu mengangguk. "Aku juga tahu itu saat melihat mereka, tapi sepertinya ada masalah antara mereka." Nyonya Choi kemudian menelepon Vian yang baru selesai mengantar Cindy pulang untuk datang ke rumah. "Apa kau menyukai Karin?" tanya Nyonya Choi saat Vian datang. "Mana mungkin? Aku baru bertemu dengannya. Ibu saja yang menganggap berlebihan," sahut Vian. "Aku berlebihan? Tidak, aku ti

  • My Husband is an Idol   Tiga tiga

    Tiga tiga Waktu berlalu, tanpa terasa restoran telah selesai dibuat. Karin diundang nyonya Choi untuk hadir pada acara peresmian. Karin mengajak Silvi untuk datang bersama. Ia tidak enak untuk menolak nyonya Choi dan ia juga tidak nyaman untuk datang sendirian. Ia tahu yang hadir di pembukaan tersebut pasti banyakan dari kalangan berada. Ia pasti akan merasa sendirian di pesta itu. Karenanya ia memaksa Silvi untuk datang bersamanya. "Kalian sudah datang," sambut nyonya Choi dan sang suami. Karin hanya tersenyum tipis. "Vian!" panggil nyonya Choi."Ini perancang yang ingin kukenalkan padamu, cantik dan berbakat." Tubuh Karin membeku seketika.'Vian di sini?' kemudian sosok Vian sungguh muncul di hadapannya. Silvi bahkan terbengong dengan mulut membuka lebar sambil menatap Vian. "Ini Vian, putraku, biasanya dia selalu sibuk, tapi kali ini dia menyempatkan untuk datang untuk acara

  • My Husband is an Idol   Tiga dua

    Tiga dua Beberapa hari berikutnya, Karin tetap saja sibuk dengan pekerjaannya. Gadis itu bahkan sering lupa waktu untuk makan. "Karin," tegur nyonya Choi."Kau sudah makan?" Karin menggeleng. "Kau ini bagaimana? Anak gadis sepertimu harus banyak makan bergizi. Pantas saja kau kurus begini," omel wanita itu. Karin hanya tersenyum saja. Wanita itu kemudian mengajak Karin untuk makan dengannya. "Kita mau ke mana, Nyonya?" tanya Karin saat mobil melaju malah kembali menuju kota. "Tanah itu tidak akan lari meski kautinggalkan, jadi kau tidak usah cemas seperti itu," ujar Nyonya Choi. Karin hanya mengangguk. Ia bukan gugup karena pekerjaannya, tetapi lebih pada Nyonya Choi. Wanita itu adalah atasannya, bosnya, ia merasa tidak enak untuk semobil dengan wanita itu. "Satu hal lagi, kau terus memanggilku Nyonya, Nyonya, aku tidak suka kau memanggilku seperti itu.

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status