Share

Tiga

  "Dia adalah seorang perancang bangunan. Jangan khawatir, saya akan mengatasi dia," ucap Jason, asisten Vian. 

  Vian menatap ke layar di mana foto Karin terpampang jelas. 

"Tidak perlu, aku akan melakukannya sendiri."

  "Tapi ...."

  "Ini adalah balas dendamku. Aku yang akan menangani sendiri."

***

  Karin sedang sibuk merancang maket di kantornya saat Edwin berjalan masuk. 

  "Pekerjaan yang bagus. Kau melakukannya dengan baik," puji pria itu.

  "Sebaiknya kita tidak bertemu berdua saja seperti sekarang. Aku tidak mau Anna marah lagi padaku," sahut Karin yang terus melihat pada maket di depannya. Ia tidak menoleh sedikitpun pada Edwin.

  "Karin, aku sungguh menyukaimu," ucap Edwin sambil meraih tangan Karin.

  "Edwin, aku sudah bilang aku hanya menganggapmu teman. Teman yang sangat baik. Aku tidak mau merusak persahabatan kita dengan perasaan lebih dari itu."

  Suara bising di luar menghentikan percakapan mereka. Keduanya kemudjan bergegas keluar. Mata Karin membeliak lebar saat melihat sosok yang datang di tempat kerjanya tersebut.

***

  Vian tersenyum dan melambaikan tangan pada beberapa orang di kantor tersebut. Beberapa karyawati mendekat dan meminta foto bersama. Ada pula karyawan yang meminta tanda tangan darinya untuk kerabat mereka. Vian tetap tersenyum dan memenuhi permintaan mereka. Meski begitu, ia tetap melangkah mendekat pada Karin dan Edwin.

  "Untuk apa dia kemari? Apa dia berniat untuk membuat masalah denganku?" gumam Karin.

  Edwin menoleh mendengar suara Karin.

"Ada apa? Apa kau ada masalah dengannya? Apa kau mengenal dia?"

  Karim hanya menggeleng. Tidak lama Vian telah berdiri di hadapannya dan Edwin 

  "Jadi ini tempat para perancang bangunan bekerja? Sungguh luar biasa. Kebetulan aku ingin membangun sesuatu dan temanku menyarankan tempat ini," ujar pria tersebut.

  "Baiklah, kami pasti akan melakukan yang terbaik untuk bisa memuaskan permintaan Anda," ucap Edwin.

  Vian tersenyum dan berpaling pada Karin.

  "Apakah dia perancang di sini? Kalau begitu, aku ingin dia yang melakukannya," ucapnya sambil menatap lekat pada Karin.

  Karin menatap balik Vian kemudian menggeleng.

"Aku tidak bisa melakukannya. Aku sedang sangat sibuk. Banyak proyek yang kutangani."

  "Sayang sekali, padahal aku akan membayar banyak untuk proyek ini."

***

  "Karin, ini kesempatan langka. Meski bukan proyek besar, tapi dia mau membayar mahal, bahkan lebih tinggi dari biasa. Kita harus menerima ini," ucap Edwin dengan penuh semangat.

  Saat ini ia dan Karin tengah berada di kantor Edwin. Sementara Vian tetap menunggu di luar. Para pegawai dan staf tampak menyapa ramah dan mengajak bicara pria itu.

  "Kita memang harus menerima, tapi tidak harus aku yang menangani proyek ini."

  "Dia hanya mau dirimu. Jika tidak, maka ia akan membatalkan dan mencari tempat lain. Itu yang dia katakan di pertemuan kami tadi."

  "Aku tetap tidak bisa."

  "Kenapa? Apa kau ada masalah dengan dia? Kalian sepertinya memang telah saling mengenal."

  Karin menghela napas dan menggeleng. Kini Edwin bahkan menaruh curiga. Jika seperti ini, Edwin mungkin akan tahu masalah dia dengan Vian. Karin tidak mau itu terjadi. Ia tidak ingin namanya menjadi buruk di depan orang-orang yang ia kenal.

  "Baiklah," ucap Karin akhirnya.

"Tapi aku ingin bicara berdua dulu dengannya."

***

  "Tampaknya kau baik-baik saja setelah apa yang terjadi di hari itu," ucap Vian setelah masuk ke kantor Edwin. Edwin sendiri keluar dari ruangan tersebut.

  "Apa yang sebenarnya kauinginkan?" tanya Karin sambil bersidekap. Vian melangkah mendekat dan menengadahkan wajah Karin.

  "Apa lagi? Kau telah menghancurkan karirku, tentu aku ingin membalasnya."

  Karin serta-merta menepis tangan Vian. Akan tetapi, Vian justru mencekal tangan Karin dan menarik gadis itu mendekat, sehingga kini Karin berada persis di hadapannya. Tubuh mereka bahkan saling bersentuhan.

  Karin sontak mendorong Vian menjauh.

"Jika kau ingin membalas dendam, kau tidak perlu khawatir. Aku akan membayar nanti. Kau tidak perlu melakukan ini."

  Vian kembali mendekat. Kali lengannya melingkar di pinggang Karin. Ia kemudian kembali menarik gadis itu mendekat. Mata Karin membeliak lebar. Ia segera meronta untuk melepaskan diri dari pelukan Vian.

  "Balas dendam ini adalah milikku. Akulah yang merasakan akibat dari perbuatanmu hari itu, maka ...."

   Ucapan Vian terhenti sejenak. Tangannya terulur dan membelai pipi Karin dengan lembut. Meski bergidik, Karin hanya bisa diam tanpa bisa menghindar.

  "dendam ini harus dilakukan dengan caraku."

  "Baiklah, terserah padamu saja. Sekarang lepaskan aku!" tukas Karin dengan nada geram. Vian justru tertawa.

  "Jika aku tidak mau, apa yang akan kaulakukan?"

  "Kau!" geram Karin dengan emosi yang semakin tidak tertahan. Ia dan Vian saling menatap satu sama lain. Suara pintu dibuka membuat keduanya sontak menoleh. Vian segera melepas pelukan pada Karin. Seulas senyum muncul di wajahnya.

  "Baiklah, aku mengerti sekarang. Terima kasih atas penjelasannya," ujar Vian sambil kemudian bergegas keluar. 

  Edwin yang tadi membuka pintu masih tertegun selang beberapa saat. Ia kemudian segera menghampiri 

  "Karin, apa yang terjadi? Apa dia bersikap kurang ajar padamu? Karin, jika dia macam-macam, aku akan memberi pelajaran dan membatalkan proyek kita dengannya."

  "Tidak perlu," geleng Karin.

"Lagi pula tidak ada yang terjadi. Dia benar, aku hanya menberi penjelasan padanya."

***

  Edwin menuang minuman ke dalam gelas dari botol yang berada di depannya dan meminum hingga tandas. Bayangan Karin yang berada dalam pelukan Vian masih tergurat jelas dalam benaknya. 

  Ia yakin Karin dan Vian telah saling mengenal. Karin telah berbohong padanya, padahal ia menganggap gadis itu selalu jujur.

  'Mereka berpelukan. Hubungan mereka pasti lebih dari perkenalan biasa. Mereka mungkin adalah sepasang kekasih. Aku yang bodoh. Pantas saja Karin tidak menerima perasaanku, ternyata dia adalah kekasih Vian.'

  "Berada di sini seorang diri, apakah tidak merasa kesepian?" tegur Anna yang duduk di samping Edwin. Edwin hanya tersenyum saja dan kembali meminum minuman miliknya.

  Anna kemudian juga memesan minuman pada bartender di depannya. Ia kemudian membuka ponsel dan memperlihatkan sesuatu pada Edwin. Itu adalah foto Vian yang kecelakaan dengan Karin beberapa hari sebelumnya.

  "Gadis di foto ini sungguh tidak tahu malu, melakukan hal semacam itu di tempat terbuka, tapi tidakkah menurutmu gadis ini mirip dengan Karin?" tukasnya. 

  Edwin melihat foto tersebut sekilas kemudian menggeleng.

"Karin gadis baik-baik, dia tidak mungkin melakukan itu."

  Edwin kemudian beranjak pergi dengan langkah yang sempoyongan. Anna segera menyusul dan meraih tangannya.

  "Kau sudah tahu. Kau tahu karenanya kau bermabukan di sini. Kau tahu hubungan tidak biasa dari mereka. Kau juga tahu alasan Vian datang ke kantor kita adalah untuk menemui Karin."

  Edwin segera mengibaskan tangan gadis itu.

 "Itu tidak benar," ucapnya.

 "Itu benar, hanya saja kau tidak mau mengakuinya," tandas Anna.

  

  

  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status