Share

Lima

  "Kau ini sedang apa?" tegur Karin sambil berusaha melepaskan rangkulan Vian di pinggangnya.

"Jangan macam-macam atau aku keluar dari proyek ini!"

  Vian melihat gadis itu sesaat kemudian mengangkat bahu dan melangkah pergi.

 'Ada apa sih dengannya?' gerutu Karin dalam hati.

'Seenaknya saja main rangkul pinggang orang.'

  Vian yang melangkah menjauh juga merasa kesal. Entah apa yang terjadi padanya, saat Karin berbicara dengan pria lain, ia merasa tidak senang. Karena itu, tanpa pikir panjang, ia langsung menghampiri dan meraih pinggang gadis itu.

  'Pikiranku pasti sudah kacau. Setelah proyek ini selesai, mungkin sebaiknya aku tidak bertemu atau bicara dengan Karin.'

***

  Karin datang ke kantor keesokan hari untuk melaporkan kemajuan proyek dia dengan Vian. Akan tetapi, Edwin malah menyuruh dia untuk berhenti dari proyek itu.

  "Kenapa? Proyek ini telah hampir berhasil. Cafetaria itu sebentar lagi pasti akan jadi. Proyek ini akan menjadi proyek tersukses kita. Menangani seorang aktor terkenal ...."

  "Kurasa bukan itu alasanmu tidak mau pergi. Itu semua karena kau menyukai artis itu," tukas Edwin memotong penuturan Karin.

  "Aku tidak menyukai dia."

  "Kalau begitu, kau harus mau untuk berhenti. Soal proyek, tenang saja, masih banyak yang bisa menangani. Kau juga bisa menangani proyek yang baru."

  "Tapi dia yang meminta ...."

  "Aku tidak peduli!" tegas Edwin.

"Aku tidak peduli meski dia membatalkan proyek. Kalaupun dia menuntut tempat ini, aku juga tidak peduli dengan hal itu."

  Pria itu berdiri dan memegang kedua bahu Karin. 

"Karin, aku mencintaimu. Kuharap kau bisa mengerti dan menjaga perasaanku."

  Karin diam menatap Edwin. Sesaat kemudian, dia menggeleng.

"Tidak, aku tidak mengerti. Kau boleh mencintai aku, tapi yang kulakukan sekarang demi proyek. Aku ingin bisa memajukan diri karena ini adalah cita-citaku."

  "Karin ...!"

  "Aku belum selesai bicara!" tukas Karin lagi 

"Aku tidak menerima perasaanmu. Aku tidak menerima dirimu. Itu artinya kau tidak berhak untuk mengaturku. Dengan siapa aku dekat, itu bukan urusanmu."

  Edwin terdiam dan menurunkan tangannya. Karin berbalik dan melangkah pergi dari ruangan tersebut.

***

  Anna masuk dan tersenyum saat melihat raut muram di wajah Edwin. Dia kemudian segera mengalungkan tangan di leher Edwin yang sedang duduk.

  "Kenapa? Dia menolakmu? Tentu saja begitu. Dia akan memilih seorang aktor ternama daripada dirimu. Kau harusnya sadar kalau selama ini kau hanya dimanfaatkan," ucapnya.

  Edwin segera melepaskan pelukan gadis itu dan mendorong Anna menjauh. 

  "Keluar dari sini!" usirnya. 

  Anna tetap saja tersenyum. Ia justru kembali melangkah maju dan mendaratkan kecupan di leher Edwin.

  "Anna!" gertak Edwin.

"Berhenti bertingkah murahan!"

  "Kau sangat bodoh. Gadis yang kausukai juga bertingkah seperti aku pada artis itu, tapi kau tidak pernah menganggap dia murahan."

  Suara pintu dibuka membuat Edwin dan Anna menoleh. Senyum tersungging di bibir Anna, sedang Edwin seketika panik saat melihat Karin berdiri di ambang pintu.

  Edwin segera mendorong Anna dan mengejar Karin yang telah keluar dari ruangan tersebut. Di dalam, Anna tersenyum kecil melihat itu.

***

  "Karin, kau jangan salah paham, aku dan Anna tidak ada apa-apa. Tadi Anna yang lebih dulu datang merayuku. Kau tahu sendiri, Anna memang sangat berani untuk melakukan hal-hal seperti itu," ucap Edwin sambil meraih tangan Karin untuk menahan gadis itu agar tidak terus pergi.

  "Aku tidak apa-apa. Yang terjadi antara kau dan Anna, itu bukan urusanku. Bukankah sudah kubilang tidak ada apa-apa antara kita?" 

  "Karin ...."

  "Edwin, aku menemuimu hanya ingin agar aku bisa menangani proyek Vian. Proyek itu adalah milikku, hanya karena kau tidak suka aku dekat dengan Vian, kau tidak seharusnya menghentikan aku dari proyek itu," tukas Karin sambil menatap pria itu. Ia kemudian berbalik dan bergegas pergi.

***

  Karin datang sambil mengayuh sepeda ke tempat proyek. Ia kemudian segera memarkir kendaraan roda dua tersebut dan berjalan masuk. Senyum mengembang di bibir Karin saat melihat bangunan di depannya telah hampir selesai. Setelah semua ini, ia tidak perlu lagi direpotkan dengan Vian.

  "Kusangka kau tidak akan lagi datang ke sini. Bukankah sebelumnya seperti itu? Kau menimpakan masalah pada orang lain dan pergi begitu saja?" tegur Vian.

  "Aku tidak akan pergi. Proyek ini adalah proyekku. Aku pasti akan menyelesaikannya," sahut Karin tanpa menoleh. 

  "Baguslah, kalau kau akan menyelesaikannya, tapi bangunan ini sangat buruk. Aku mau kau merombak semuanya."

  Karin terkejut dan sontak menoleh.

"Apa maksudmu? Bukankah kita sudah setuju di awal dengan rancangan itu?"

 "Proyek ini adalah milikku. Aku adalah punya uang dan membiayaimu, jadi terserah aku jika mau mengubahnya," ucap Vian sambil membalikkan tubuh Karin sehingga mereka saling berhadapan. Karin mengernyit kesakitan oleh karena cengkeraman kuat tangan Vian.

 "Apakah ini adalah balas dendammu? Kau sungguh tidak masuk akal!" tukas Karin.

 "Benar," sahut Vian. Mata hitamnya menatap langsung manik mata Karin.

"Ini adalah balas dendamku. Kau sudah menghancurkan aku. Aku tidak akan pernah melepasmu. Selamanya."

***.

 'Sebenarnya ada apa dengan para pria? Kenapa mereka begitu labil? Sedikit bersikap seperti ini dan kemudian berubah lagi?' gumam Karin dalam hati sambil mengetuk-ngetuk kening dengan pensil.

  Kemarin dia sempat mengira Vian dan dia telah berbaikan, tetapi ternyata tampaknya pria itu masih marah padanya.

  "Vian, I Miss You, I Love You, Wo ai ni!" seru Silvi sambil melingkarkan tangan membentuk hati di atas kepala. Dia juga membentuk simbol hati dengan jari.

  "Silvi!" tegur Karin.

"Apa kau tidak bisa berhenti? Setiap hari kau selalu seperti ini. Kau mengidolakan dia, tapi dia bahkan tidak mengenalmu. Kau tidak tahu, mungkin saja dia orang yang jahat dan tidak menyenangkan."

  "Kau jangan bicara seperti itu. Vianku tidak seperti itu!" seru Silvi sambil menangis. Ia kemudian bergegas masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dengan keras.

  'Karin, apa yang kaulakukan? Kau kesal dengan Vian, tapi kenapa marah pada Silvi? Dia 'kan tidak tahu apa-apa,' rutuk Karin dalam hati.

***

   Silvi baru keluar kamar di saat malam telah larut. Gadis itu kemudian memekik terkejut saat melihat Karin duduk di meja makan dengan lampu yang dipadamkan.

  "Kau ini, apa mau menakuti aku?" tegurnya pada Karin.

  Karin menggeleng sambil tersenyum.

  "Aku ingin minta maaf padamu soal Vian, tapi karena kau tidak juga keluar kamar, jadi aku menunggu di sini."

  Silvi kemudian menyalakan lampu dan duduk di samping Karin.

  "Kau belum tidur dari tadi?" tanyanya. Karin hanya menggeleng.

  "Ya sudah, kalau gitu aku memaafkanmu," ucap Silvi.

"Aku memaafkanmu, tapi kau tidak boleh menjelekkan Vian lagi. Dia itu kesayangan aku."

  Karin mengangguk sambil mengangkat tangannya.

"Aku berjanji tidak akan menjelekkan Vian lagi."

  Silvi mengangguk kemudian tersenyum.

"Tapi kau tetap harus dihukum, sekarang masakkan ramen untukku!"

  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status