Share

Tujuh

   Di perhentian selanjutnya, Silvi membawa Ksrin untuk keluar dari bus. Silvi kemudian menyeret Karin menuju ke taksi yang dia hentikan. Akan tetapi, Karin menolak dan malah mendorong sahabatnya itu ke dalam taksi terbuka. Karin kemudian kembali berjalan sambil tertawa-tawa. Silvi tentu tidak tinggal diam. Dia langsung mengejar Karin.

  Vian tengah duduk melamun di dalam mobil yang dikemudikan sopir pribadinya. Ia merasa bersalah pada Karin. Seandainya tahu semua akan menjadi seperti sekarang, ia tidak akan muncul dalam kehidupan gadis itu. Niat dia hanya untuk membalas perbuatan gadis itu, bukan untuk membuatnya dipecat. 

  Mobil berwarna hitam tersebut berhenti karena lampu lalu lintas menunjukkan warna merah. Vian yang melihat keluar jendela tertegun saat melihat saat sosok Karin berjalan tidak jauh dari mobilnya. Wajah Karin tengah tertawa-tawa dan jalan dia tampak tidak beraturan. Melihat saja, Vian tahu Karin tengah mabuk berat.

***

   Silvi terkejut saat sebuah mobil hit berhenti tidak jauh dari Karin. Ia sempat mengira ada orang yang berniat jahat atau hendak menculik sahabatnya itu. Akan tetapi, mulut Silvi kemudian malah ternganga lebar. Mata hitamnya membulat karena tidak percaya dengan yang dilihat. Ia kemudian mengucek mata berulangkali, memastikan dia tidak salah melihat karena pengaruh mabuk.

  'Vian? Dia mengenal Karin?' gumamnya dalam hati.

  Tidak jauh di depannya, Vian tengah membujuk Karin untuk ikut dengannya.

  "Aku ... tentu aku akan ikut denganmu. Aku akan ikut kemanapun kamu pergi," ujar Karin sambil merangkul leher Vian dengan erat.

  "Baiklah, ayo kita pergi sekarang!" ucap Vian. Ia kemudian setengah menyeret dan menarik Karin yang masih bergelayut padanya untuk masuk ke dalam mobil.

  "Tunggu sebentar!" panggil Silvi sambil bergegas menghampiri.

  "Nona, aku tidak punya waktu. Temanku sedang mabuk berat," tukas Vian yang mengira Silvi adalah penggemar yang hendak meminta foto bersama dan tanda tangan. 

  'Di saat berbeda, jika aku bertemu lagi denganmu, maka itulah yang akan kulakukan,' ucap Silvi dalam hati.

  Silvi kemudian menunjuk pada Karin.

"Karin adalah teman aku."

  Vian tertegun dan menatap gadis di depannya itu, sementara Karin yang masih bergelayut di leher Vian, menepuk-nepuk pipi pria itu.

 "Tampan, kau benar-benar tampan," ucap Karin sambil tersenyum dan menyandarkan kepala pada dada bidang Vian. Tidak lama ia kemudian malah muntah pada pakaian lelaki itu.

 "KARIN!" teriak Silvi.

***

  Vian melirik sekilas pada Karin yang tengah terlelap di kursi belakang mobilnya. Pria itu telah melepas pakaian luarnya yang terkena muntahan Karin dan mengenakan kaos hitam yang adalah rangkapan dalam pakaian tersebut.

  Silvi menatap kagum pada dada kekar nan berotot yang tercetak jelas di balik kaos hitam tersebut. Ia nyaris tidak percaya kini ia berada di dalam mobil milik Vian, idolanya.

  Kepala Karin yang telah tertidur berpindah dan bersandar di bahunya. Silvi melirik sekilas pada sahabatnya itu.

  'Karin, kau berbohong padaku. Kau ternyata mengenal Vian. Tampaknya hubungan kalian juga bukan hubungan biasa. Dia sedari tadi berulangkali melihat padamu,' gumam Silvi dalam hati.

  Mereka kemudian berhenti di sebuah rumah yang memiliki halaman sangat luas. Silvi melihat bingung pada sekeliling. Ia kemudian baru ingat jika dirinya lupa memberitahu alamat rumah karena begitu senang bertemu idola.

  'Ia mungkin membawa kami ke mana,' ucap Silvi dalam hati.

  "Aku dan Karin bisa pulang saja," ucapnya kemudian.

  "Kalian menginap saja malam ini di sini," sahut Vian.

  "Tapi ...."

  Bantahan ragu Silvi terhenti saat Vian keluar dari mobil. Pria tersebut dengan segera membuka pintu belakang dan menggendong Karin keluar dari mobil. Vian kemudian berjalan masuk ke dalam rumah. Silvi segera mengikuti.

  Vian kemudian mengendikkan kepala pada Silvi yang masih mengagumi kemegahan dan keindahan arsitektur klasik rumah itu.

  "Kamarmu ada di sana," ucapnya sambil kemudian berjalan ke kamar lain yang berada di ujung. Silvi hanya mengangguk saja dan mengucapkan terima kasih. Beberapa saat, ia masih di luar saat Vian keluar dan menuju pada kamar yang lain.

  'Dia memang pria yang sungguh bermoral. Aku tidak salah menilai dan tidak salah memilih untuk menjadikan dia idolaku,' tukas Silvi sambil tersenyum riang dan bergegas menuju kamar.

***

  Mata Karin mengerjap membuka saat hari telah menjelang siang. Segera ia tertegun saat menyadari dirinya berada di kamar yang asing. 

  'Apa yang terjadi? Kenapa aku berada di sini? Apa semalam ada yang menculikku?' tanyanya dalam hati. 

  Mata gadis itu makin membeliak lebar saat melihat Vian masuk ke dalam kamar sambil membawa mangkok berisi sup yang masih panas. 

  "Kau kenapa ada di sini? Apa menculikku adalah bagian dari balas dendammu?" tanya Karin.

  Vian hanya tersenyum sambil memberikan mangkuk yang ia bawa pada gadis itu. Namun Karin tetap menatap curiga.

  "Kau jawab dulu pertanyaanku, apa kau menculikku?"

  "Kau makan dulu sup ini," sahut Vian.

  "Tidak," geleng Karin.

"Kau jawab dulu pertanyaanku!"

  Suara perut lapar Karin yang berbunyi keras membuat Vian tertawa lebar. 

  "Tampaknya aku yang menang dari perdebatan kita," ujarnya. Merasa malu dan kesal karena perutnya tidak bisa diajak kompromi, Karin segera meraih mangkok tersebut dan menyendok isinya.

  "Awas masih agak panas!" tegur Vian, tetapi terlambat karena Karin telah menyuap sup tersebut. Karin segera menjatuhkan sendok tersebut dan memegang bibirnya yang terasa sakit dengan raut kesal bercampur malu pada Vian.

***

  "Tidak apa, hanya sedikit terluka saja. Nanti pasti akan segera sembuh," ucap dokter yang memeriksa bibir dan mulut Karin. 

  "Ck, kau ini ada-ada saja," ucap Silvi. 

  "Jangan-jangan kau memang sengaja agar tidak pergi dari sini?" bisik Silvi setelah Vian keluar dari kamar untuk mengantar dokter.

  Karin menggeleng dan kembali berbaring. Tenggorokannya yang sakit membuat ia tidak bisa berbicara. Silvi menggeleng dan tersenyum saja melihat sahabatnya itu. Ia kemudian juga keluar dari kamar tersebut.

***

  'Apa kau puas membuatku seperti ini?' tulis Karin di selembar kertas putih. Vian menggeleng sambil tersenyum.

  'Kau masih belum puas juga? Apa lagi yang kauinginkan?' tulis gadis itu lagi.

  "Kau masih sakit. Aku akan memberitahumu besok," ujar Vian. Ia hendak pergi, tetapi Karin menahan tangannya.

  'Beritahu aku sekarang. Kita akan tuntaskan masalah dendam ini sekarang!'

  "Kau yakin tidak akan menyesal? Kau mungkin akan sangat ketakutan setelah mendengarnya," ucap Vian. Karin terdiam sejenak, menimbang-nimbang dan kemudian menggeleng.

  Vian kemudian membungkuk dan mendekatkan wajah pada wajah Karin. Jarak di antara mereka menjadi begitu dekat.

  "Balas dendamku, aku tidak pernah melepasmu. Aku akan membuatmu selalu bersamaku untuk selamanya. Kau tidak akan bisa pergi kemanapun."

  Karin tertegun dan menatap manik mata di hadapannya itu. Tanpa mereka tahu, Silvi tengah melihat mereka sambil tersenyum.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status