Share

Enam

  Keesokan hari, di kantor, Karin sibuk untuk merancang ulang cafetaria Vian. Gadis itu menggambar beberapa sketsa dan kembali menggambar model bangunan dengan komputer.

 "Ada apa ini?" tegur Edwin yang berjalan memasuki ruangan. Ia tahu proyek cafetaria milik Vian telah hampir usai, tetapi ia tidak mengerti mengapa Karin masih terlihat sibuk, padahal tidak ada proyek baru untuk gadis itu setelah menolak berpindah dari proyek Vian.

 "Vian tidak setuju dan ingin mengubah konsep yang kemarin, jadi aku merancang ulang lagi," jawab Karin tanpa menoleh. Gadis itu tampak begitu fokus dengan pekerjaan di depannya.

  Edwin menarik tangan Karin hingga mereka saling berhadapan.

"Sudah cukup!" tukasnya.

"Jangan kerjakan proyek ini lagi!"

  "Aku sudah mengatakan padamu, ini adalah proyekku. Aku yang memulai dan akan menangani sampai akhir."

  "Karin, dia hanya mempermainkanmu. Dia sengaja melakukan ini untuk terus mengikatmu. Karin, hentikan ini, aku akan memberikan proyek lain padamu," ujar Edwin dengan tatapan memohon. Nada suara lelaki itu menjadi lebih lembut. Namun, Karin tetap menggeleng.

  "Tidak, aku tidak bisa berhenti begitu saja. Aku harus menyelesaikan ini!"

  "Karin, apa kau tidak juga mengerti?" Edwin menunduk sambil memejamkan mata. Ia kemudian menghela napas berat dan membuka lagi mata serta menatap langsung pada gadis di depannya itu.

  "Kau tidak mau berhenti? Baiklah, kalau begitu aku yang akan memberhentikanmu dari pekerjaan di tempat ini. Karin, mulai hari ini, kau bukan pegawai di tempat ini lagi," ucapnya. Karin menatap pria itu tidak percaya. Namun Edwin hanya diam menunduk. Ia sendiri mengambil keputusan itu dengan berat hati, tetapi ia tidak mau Karin terus dekat dengan Vian.

  "Aku tidak setuju!" seru Vian yang ternyata telah berdiri di ambang pintu dan mendengar percakapan mereka.

  Edwin dan Karin sama-sama menoleh. Mereka tertegun karena tidak menyadari kehadiran pria itu. Edwin kemudian segera menghampiri Vian.

  "Kau tidak berhak untuk bicara. Karin bekerja di sini dan aku telah memutuskan untuk mengeluarkan dia," ucapnya.

  "Jadi kau tidak akan mengubah keputusan?" tanya Vian.

  "Tidak," sahut Edwin singkat. 

  "Baiklah, kalau begitu aku juga membatalkan proyek dengan tempat ini, tapi Karin, dia akan tetap bekerja untuk menyelesaikan proyek itu," ucap Vian sambil kemudian meraih tangan Karin. Ia kemudian menarik gadis itu untuk pergi dari sana.

***

  Ketika berada di luar, Karin segera menarik kembali tangannya yang masih dipegang oleh  Vian. Pria itu menoleh dan melihat pada Karin.

  "Balas dendammu sudah usai, bukan? Aku sudah dikeluarkan dari tempat kerjaku. Kurasa sekarang kita tidak perlu bertemu lagi," ucap Karin.

  "Cafetaria itu belum selesai. Mana bisa kau pergi begitu saja?" 

  "Cafetaria itu hanya alasan. Sejak awal, aku tahu kau tidak memiliki minat untuk mengelola cafetaria. Kau hanya mengarang alasan untuk bisa membalas dendam padaku."

  Karin kemudian kembali melangkah. Namun Vian tidak tinggal diam. Ia bergegas menyusul dan berdiri menghadang gadis itu.

  "Siapa bilang aku tidak serius? Aku tentu serius dengan cafetaria itu. Saat ini, aku juga tidak mendapatkan pekerjaan apa pun sebagai artis. Karenanya aku akan mengelola tempat itu.'

  "Kau bisa mencari orang lain untuk menyelesaikan itu. Jangan mencariku lagi!" tukas Karin sambil berjalan di sisi kanan Vian. Vian hendak kembali bicara, tetapi beberapa orang dan wartawan datang menghampiri. Mereka langsung mengerumuni Vian hingga dia tidak bisa menyusul Karin. Ia hanya melihat sosok gadis melangkah pergi dari sana.

***

  Silvi yang baru pulang dari kerja, tertegun saat melihat Karin telah berada di rumah. Tidak biasa sahabatnya itu masih sore telah di rumah. Karin selalu pulang saat hari telah gelap dan bahkan sering pula lembur di tempat kerjanya.

  "Ada apa ini? Tidak biasanya kau sudah pulang masih sore?" tanya Silvi.

  "Aku hanya sudah keluar dari tempat kerjaku," sahut Karin dengan suara pelan.

  Silvi yang terkejut bergegas duduk dan menatap tidak percaya. 

"Tidak mungkin. Apa kau berbohong padaku?"

  "Apa aku terlihat seperti sedang berbohong? Menurutmu jika aku tidak keluar, apa mungkin aku berada di rumah saat masih sore?"

  Silvi diam dan menghela napas.

"Bagaimana bisa? Apa Edwin tidak melakukan apa pun? Dia 'kan jatuh hati padamu."

  Karin hanya menggeleng. Ia kemudian merebahkan diri di sofa. Silvi tidak lagi bertanya. Ia tahu pekerjaan Karin adalah pencapaian cita-cita gadis itu dan kini semua berakhir, Karin tentu sangat kecewa dan sedih.

  Silvi kemudian pergi ke dapur dan mengambil soju di kulkas.

"Kalau begitu, tidak usah bersedih-sedih lagi. Aku akan menemanimu untuk melupakan kesedihanmu malam ini."

***

  Tangan Edwin tergenggam erat di atas meja kerjanya. Ia teringat yang terjadi saat ia memecat Karin. Siapa sangka Vian akan datang dan membawa pergi Karin di hadapannya.

  'Aku bahkan hanya bisa berdiam diri. Seharusnya aku mencegah ia pergi dengan pria itu,' gumamnya dalam hati.

'Tapi kenapa? Kenapa Karin memilih pergi bersamanya? Kenapa aku begitu bodoh, hanya diam dan membiarkan itu terjadi?'

  Anna membuka pintu sedikit dan mendongakkan kepala kemudian tersenyum dengan senyuman khasnya.

 "Kenapa? Belum rela dia pergi atau tidak bisa rela karena dia pergi dengan pria lain?" tanyanya sambil berjalan menghampiri Edwin. Ia kemudian meraih tangan terkepal pria itu yang berada di atas meja.

  "Jangan khawatir, meski dia tidak lagi ada, aku akan selalu ada bersamamu. Aku tidak akan meninggalkanmu," ucapnya.

  Edwin sontak menggeleng dan menarik tangan dia dari genggaman tangan Anna.

  "Kenapa? Apa kelebihan Karin dariku? Kenapa aku tidak bisa melebihi dia di hatimu?" tanya Anna sarat akan emosi. Edwin menggeleng.

  "Tidak ada. Kau jauh lebih segalanya dari dia. Namun, tetap saja aku tidak bisa mencintaimu. Aku telah mencintai dia dan perasaan itu tidak akan berubah."

***

  Karin berjalan ke sana kemari dengan langkah yang tidak teratur. Setelah minum beberapa gelas, Karin malah membawa botol soju tersebut dan pergi keluar dari rumah.

  Silvi yang hanya minum sedikit dan tidak begitu mabuk segera menyusul sambil memanggil sahabatnya itu berulangkali.

  "Karin, kita pulang, kita pulang saja, ya!" ajak Silvi sambil menggamit tangan gadis itu. Karin sontak menggeleng dan menarik kembali tangannya yang dipegang Silvi.

  "Tidak, aku tidak mau. Aku mau pergi ke sana," tukas Karin sambil tertawa sumbang dan menunjuk ke satu arah.

  "Karin!" seru Silvi lagi saat sahabatnya tersebut malah berjalan menuju perhentian bus dan masuk ke bus yang tengah berhenti sejenak menanti penumpang. Segera Silvi menyusul temannya itu.

  Bau minuman keras yang menyengat menyebar ke seluruh bus. Beberapa orang tampak menutup hidung dengan raut wajah kesal. Silvi membungkuk dan meminta maaf berulangkali pada mereka. 

  

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status