"Tidur denganku!" perintah Ian.
Fafa langsung membeku ditempat. Dia gugup."A-aku ...," Fafa tidak sanggup berkata-kata lagi. Suaranya tercekat di tenggorokan.
"Aku apa!" sahut Ian.
"Aku hanya mau duduk di sini, bukan mau tidur," jawab Fafa sembari menunjuk ke arah ranjang dengan ekspresi sedikit ngeri melihat wajah Ian.
Demi apapun, Ian sekarang malu. Bagaimana dia bisa berfikir kalau Fafa akan tidur. Sekarang ini masih siang, tengah hari saja belum! 'Ian otakmu jeniusmu di mana sekarang ini! Memalukan!' batin Ian.
Diam-diam Fafa tersenyum tipis melihat Ian meringis. 'Kenapa dia! Ada-ada saja, mau tidur katanya! Apa memang dia ingin segera meniduriku!' batin Fafa, lalu mengusap-usap lengannya yang tiba-tiba merinding.
"Huh, kenapa merinding begini. Bukankah sekarang dia sudah sah menjadi suamiku! Wajar jika tidur bersama, tapi juga tidak siang-siang begini!" gumam Fafa pelan
Melihat kelakuan adik Fafa dari kaca spion, membuat Ian tersenyum geli.'Dasar bocah?" gumam Ian.Ikhsan tertawa lebar. Dia senang, tidak sia-sia tugas robotik di bawa serta ke Jakarta. Ternyata, kakak ipar bersedia membantu mengerjakan."Kenapa bocah itu? Tertawa nggak jelas!" rutuk Ian."Dia terlalu senang, Mas Ian bersedia membantu mengerjakan tugas robotik. Katanya sudah satu bulan ini, belum berhasil.""Hhmm."Ian menuju kamar tamu. Tanpa mengetuk pintu, langsung masuk. Dia melihat Fafa masih tidur. Perlahan Ian mendekat, mengagumi Fafa. Ian takjub, bagaimana bisa gadis secantik ini dengan mudah mengiyakan syarat yang dia ajukan. Ian geleng-geleng. Sejak kapan dia begitu mudah menerima kehadiran orang tidak dia kenal.Ian melirik jam tangan, pukul 16:00 WIB. Sudah satu jam dia masih duduk di kursi yang ada di dekat ranjang. Memperhatikan Fafa tidur, akan dia masukkan daftar aktifitas favorit hariannya."Bangun!"Ian me
Setelah Fafa keluar dari kamar utama, dia segera menuju ke taman. Dadanya terasa sesak, diusir Ian dari kamar. Dia bertekad akan mencari jawaban sendiri, jika Ian tidak memberi penjelasan.Cukup lama Fafa melamun. Hingga Tini datang pun, Fafa tetap tidak menyadarinya."Nduk!""Bulik!"Tini langsung duduk di sebelah Fafa, kemudian memeluk keponakannya itu. Dia bisa memahami keadaan pasangan baru ini. Mereka berdua baru bertemu, langsung menikah.Tini membiarkan Fafa menangis dalam pelukannya. Dielus punggung Fafa pelan. Tini membenarkan perkataan Rusdi dalam hati, 'Inilah hal yang menjadi sedikit keberatan dari Abang Rusdi, jika Ian dan Fafa menikah.'Fafa memilih bungkam. Ingin sekali dia bercerita, tapi tidak untuk saat ini. Dirinya masih terguncang dengan bentakan Ian. Fafa segera melepaskan pelukannya, kala mendengar panggilan dari Rusdi."Dik, Nduk. Ayo masuk!""Iya Bang."Hari sudah menjelang malam. Waktu juga su
"Maaf," bisik Ian di telinga Fafa.Seketika Fafa blank, dia tidak menyangka jika suara rendah Ian begitu lembut masuk dipendengarannya.Ian menyadari jika Fafa terkejut dan nyaman dengan posisi terpaku."Bolehkah!"Bisikan Ian lagi, seakan membius Fafa. Reflek Fafa menjauhkan diri wajah dari Ian. Dia memandang Ian lekat, pun sebaliknya. Fafa langsung memalingkan wajah yang tampak merona. Mengetahui hal itu, Ian perlahan mendekat dan menempelkan pucuk hidungnya di pipi Fafa dan menggeseknya pelan.AahhTanpa Fafa sadari dia mendesah pelan. Ian semakin bersemangat. Ia berulangkali menggesekkan kembali dengan pelan pucuk hidungnya ke pipi Fafa.Ian sedikit kaget mendengar Fafa mendesah lagi dan lagi. Sungguh, suara rendah itu telah membangkitkan insting purba-nya.Ian menjauhkan wajahnya, menatap lekuk wajah Fafa dari samping. Fafa masih terlena, kedua matanya masih saja terpejam. 'Indah ... sangat indah!' ba
"Aku muak, semua orang menatapku iba. Aku ti-,"EegghhFafa langsung menyerang bibir Ian. Menyatukan bibirnya dengan bibir Ian. Dengan wajah merah menahan malu. Inilah yang terlintas dipikirannya. Bagaimana secepat kilat membungkam ocehan absurd Ian.Ian sangat terkejut, Fafa tiba-tiba mencium dengan tidak ada lembut-lembutnya. 'Baiklah jika ini maumu,' batin Ian. Fafa terkejut saat merasakan Ian memegang tengkuknya. Ian sekarang benar-benar melakukan, menyesap dan merasai bibir milik istrinya itu.Fafa menyesal telah melakukan ini. Sebuah langkah yang salah, skak mat. Maksud hati menghentikan ucapan Ian yang absurd itu, dengan menempel bibir agar diam. Tapi apa sekarang? Ian begitu menikmati. Fafa lemas seketika, malu kian bertambah. Entahlah, apakah setelah ini masih bisa memandang wajah Ian lagi.Dengan enggan, Ian segera menyudahi perbuatannya. Dia tidak tega melihat ekspresi Fafa yang menatap dengan ekspresi kaget dan tak berdaya.
"Sudah jangan tegang begitu. Toh sudah beberapa kali! Aku hanya ingin mendekapmu saja, atau kamu ingin aku melakukan lebih? Dengan senang hati dan sangat bersyukur, suamimu ini akan mengabulkannya Nyonya Aldric Andrian!" ucap Ian dengan wajah menyeringai."A-Aku ...!""Ishh, sudah. Apa kamu nggak nyaman jika kudekap? Baiklah kita ngobrol saja ya, sampai pagi!"Fafa menggeleng, kemudian beringsut semakin merapatkan tubuhnya. Ian terkekeh melihat kelakuan Fafa. Ian mengecup berkali-kali pucuk kepala Fafa."Apa rencanamu setelah ini, Fa!""Kuliah, bekerja, dan menyekolahkan Ikhsan.""Hhmm, tidak ada yang lain?"Fafa seperti berpikir sejenak, lalu menggeleng."Nggak, tapi semua juga kalau Mas Ian mengijinkan.""Kalau aku tidak mengijinkan!"Fafa terdiam, mendongakkan kepala dan memandang lekat Ian. Seakan-akan bertanya kenapa! Ian menunggu apa yang akan diucapakan Fafa. Ian melihat mata Fafa berkaca-kaca."Kenapa me
Ian menunggu beberapa saat. Fafa tetap saja tidak membuka mata. Ide jahil Ian keluar lagi. Pelan-pelan menyingkap kaos Fafa, mengelus perut Fafa pelan dan mengecup beberapa kali."Eegghh,""Nak, baik-baik di perut ibu. Patuh pada ibumu, jangan menyusahkan. Paham. Jika tidak, kamu akan berhadapan dengan ayahmu ini!"Ian terus berbicara dengan perut Fafa, seolah-olah ada janin di perutnya. Mata Fafa tetap terpejam dan hanya senyum-senyum mendengar ucapan Ian. 'Ada-ada saja, Mas Ian ini!' batinnya.Fafa mengelus rambut panjang Ian yang berantakan. Ian berhenti berbicara, dia langsung meletakkan kepala di dada Fafa. Ian merasa sangat nyaman dengan hal ini. Memori Ian berputar ke masa kecilnya, sebelum kecelakaan terjadi. Dia selalu berada di pangkuan ibunya kala pagi, mengelus rambutnya yang panjang. Ian kecil memang bersikeras memanjangkan rambut. Ian menitikan air mata dan segera saja diusapnya, jangan sampai Fafa mengetahui.'Ibu, belum ada 1
Fafa langsung masuk ke kamar tamu, lalu duduk di tepi ranjang. Banyak pertanyaan berputar di otaknya. Fafa mengulang satu per satu kejadian mulai dari bangun tidur. Apakah ada ucapan dan sikap yang menyinggung dan menyakiti Ian. Dia menggeleng, tidak ada. 'Ada apa dengan suaminya itu? Kenapa emosinya cepat sekali naik turun!' batin Fafa.Fafa kira sudah sedikit mengetahui sifat Ian, setelah tadi malam. Tapi apa yang dia dapatkan. Pagi ini, Ian kembali pada sosok dingin lagi. Fafa menyesal begitu mudah menilai Ian, apalagi merasa sedikit mengetahuinya. Sekarang, Fafa sadar jika dia sama sekali belum bahkan tidak mengenal seorang Aldric Andrian-suaminya.Setelah Fafa keluar kamar, Ian mengepalkan telapak tangan. Geram, kesal, marah, dan aura dingin kembali muncul di wajahnya. Padahal tadi pagi, dia masih bermanja dengan Fafa. Beberapa saat kemudian Rusdi datang, dia langsung membersihkan pecahan gelas. Rusdi mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Dia tidak menemukan s
'Ian, apa yang sebenarnya sedang kamu rencanakan. Ini tidak seperti kamu yang biasanya!' batin Reynan.Ian keluar dari ruangan Reynan. Dia berhenti sejenak, memejamkan mata. Keputusan telah dibuat. Ingatan Ian kembali mengenang tadi malam hingga dini hari. Bagaimana dia bermanja pada candu-yang kemarin baru dinikahi. Senyuman langsung menghias wajah Ian."Istriku," gumam Ian pelan.Ian segera mengayuh kursi roda menuju lift. Seorang gadis bernama Fafa, telah mengubah tujuan hidup Ian. Bahkan dia telah lupa, jika tadi pagi telah membuat luka pada candunya. Ian hanya berbahagia, ingin melihat dunia dengan cara berbeda bersama istrinya. Ya, dia ingin hidup sesuai keinginan Fafa.Lift telah sampai di lantai dasar, Ian segera keluar dari lift dan segera menuju ke lobby. Anto berlari kecil kala melihat Ian berhenti di resepsionis."Mas Ian!""Nggak papa Anto, kamu santai saja. Aku hanya ingin berbincang dengan Rani!"