Share

3. Memberi Kabar

'Apakah aku sudah mulai tertarik padanya!' batin Ian. Tidak semudah itu! aku harus memastikan seperti apa dia. Senyum seujung bibir langsung tampak di wajah Ian. Bukan senyum yang bisa melelehkan hati, lebih tepatnya senyum menyeringai. 

Ian menoleh dan mendapati Rusdi sedang menatapnya. Entah bagaimana reaksi Rusdi mengetahui dia mencari informasi tentang Fafa.

"Sudah?" tanya Ian singkat.

"Sudah, Mas Ian. Berkas yang kemarin, dan paket sudah datang. Semua sudah siap di lab," jelas Rusdi. 

"Hhmm," dehem Ian sembari melajukan kursi roda secara otomatis mendekati pintu lab. Sebelum memutar handle pintu, Ian menoleh pada Rusdi.

"Paman, nanti siang tidak usah ke sini. Waktu makan malam saja!" perintah Ian.

"Siap Mas Ian. Paman undur diri." Rusdi langsung keluar dari kamar utama. 

Seperti itulah Ian jika sudah mulai aktifitasnya di dalam lab. Dia bahkan pernah berhari-hari tidak keluar kamar untuk menyelesaikan eksperimennya.

Ian segera membuka pintu lab, matanya memandang penuh minat paket yang begitu diidamkan. Dia langsung membawa paket tersebut ke dalam ruangan khusus-ruang MiT. 

Ruang MiT adalah sebuah ruang yang ada di dalam lab, lagi dan lagi berdinding kaca transparan. Ruangan steril dan hanya Ian sendiri yang bisa masuk, karena menggunakan sandi berupa pindai retina dan rangkaian DNA.

Setelah meletakkan paket diatas meja kaca yang ada di dalam ruang MiT. Ian membuka paket dari Kanada ini dengan hati-hati. Paket istimewa berisi Titanium kelas A untuk proyek persembahan.

Senyum lebar langsung terbit di wajah Ian. "Smart Mosquito (SM) siap dieksekusi!" gumam Ian.

Satu per satu peralatan disiapkan sendiri. Ian pun telah memakai Alat Pelindung Diri (APD), sesaat sebelum memasuki ruang MiT. Pintu otomatis terkunci. Ian menatap takjub tiap bagian SM. 

Dengan hati-hati Ian merangkai satu persatu komponen SM menggunakan Helper-robot kecil setinggi 15 cm. Dia terus memantau melalui tab, kelopak matanya enggan berkedip seakan-akan tidak mau kehilangan moment penyatuan itu. Ian menahan napas, kala pemasangan terakhir antena SM. "Hahh, lega ...," desahnya sesaat setelah SM terbentuk sempurna. Inilah saat, menu utama yaitu menanam potongan super kecil titanium ke dalam tubuh SM. Perlahan Helper memasukkan Titanium ke dalam perut SM. Titanium inilah yang nanti yang akan dimasukkan oleh SM melalui gigitan ke dalam tubuh obyek.

"Done," ucap Ian. 

Pekerjaan yang memakan waktu lumayan lama, hampir enam jam. Akan tetapi, jika menelisik kembali komponen yang sangat kecil ukurannya. Waktu hampir enam jam, menjadikan proses tersebut termasuk cepat. Ian merapikan beberapa peralatan hingga yang tersisa hanya ada SM dan tab di atas meja kaca ruang MiT. 

Waktu sudah menunjukkan pukul 15:00 WIB, saat melanjutkan ke proses penting yaitu aktifasi. Ian masih terus mengamati SM didepannya. Saat paling ditunggu sejak 15 tahun lalu, saat menggagas proyek ini.

"Luar biasa. Wow ... wow ...!" teriaknya. Ian takjub melihat proses aktifasi berjalan mulus. Ini proyek paling lama yang ditangani. Proyek yang berkali-kali memerlukan pengkajian ulang sebelum memutuskan melanjutkan. Proyek impian sejak remaja. Proyek yang semakin mengukuhkan dedikasi dan eksistensi Ian sebagai tehnokrat.

Ian tersenyum tipis kala mengingat siapa yang akan menjadi targetnya kali ini.

***

Kota Kediri

Selepas sholat ashar, Fafa segera duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang San. Memeriksa beberapa chat dan membalasnya. Rata-rata pelanggan loundry yang menanyakan kenapa dua hari ini toko loundry tutup. Terhitung sejak kemarin, hari Jumat dan Sabtu ini. Padahal kalau weekend begini toko loundry sedang rame-ramenya.

Namanya musibah, mau bagaimana lagi. 

'Apa aku chat Bulik Tini saja ya,' batin Fafa. Segera saja mengirim chat, dan ternyata langsung dibaca. Tini tidak menjawab, akan tetapi langsung menghubungi.

"Assalamu'alaykum, Fa!" sapa Tini.

"Wa alaykumusalam, Bulik. Bagaimana kabarnya!" 

"Alhamdulillah baik, Fa. Bagaimana kabarnya, Le?" tanya Tini.

"Alhamdulillah udah baikan Bulik, tinggal menunggu operasi lututnya yang mengalami dis-lokasi. In syaa Allah, nanti malam operasi, minta doanya Bulik," papar Fafa.

"Iya Nduk, semoga lancar dan berhasil operasinya. Lantas bagaimana denganmu! Paklikmu sudah memberitahu bukan!" 

"Iya Bulik. Menurut Bulik, Fa harus bagaimana ya!" tanya Fafa.

Tini tersenyum mendengar pertanyaan keponakannya itu. Tini membayangkan, bagaimana jika Fafa mengetahui fakta siapa sebenarnya Ian. 'Apakah Fafa masih mau!' batin Tini. 

"Nduk, kamu penasaran tidak sama Mas Ian!" ujar Tini.

"Hhmm ..., nggak tau Bulik. Memang kenapa?" tanya Fafa.

"Ahh ..., siapa tau penasaran."

"Sedikit Bulik, hiihii .... Kalau menurut Bulik, dia seperti apa?" tanya Fafa sembari tertawa ngikik.

"Aahh, kamu ni Nduk ditanya malah tanya balik. Menurut Bulik, Mas Ian itu baik, tapi penampilannya sedikit menyeramkan!" ujar Tini.

"Hahh ..., kok bisa. Apa seperti preman?! seru Fafa.

"Mirip!" jawab Tini singkat.

"Bulik! Fafa serius!" Fafa merajuk.

"Kamu itu Nduk, tanya sana sama paklikmu kalau tidak percaya! Kamu sendiri bagaimana pendapatmu mengenai bantuan Mas Ian itu?" tanya Tini.

"Fafa tidak masalah Bulik, terserah sama paklik saja. Jika paklik setuju ya Fafa mau!" 

"Kok pasrah gitu! Bulik kira kamu akan menolaknya, Nduk. Siapa tahu kamu sudah punya pacar begitu," ujar Tini.

"Enggak punya pacar Bulik. Ayah kan sudah berpesan tidak boleh pacaran, jika ada yang cocok dan Fafa mau, langsung menikah saja."

Mendengar ucapan Fafa, Tini terharu. 'Apakah tega, dia dan Rusdi menyerahkan Fafa menjadi istri dari Ian? Apakah tidak ada jalan lain, selain kesepakatan itu!' batin Tini.

"Bulik sudah dulu ya, San sudah bangun tidur ini!" lanjut Fafa.

"Iya Nduk, kalau ada apa-apa, segera hubungi paklik atau Bulik ya!" 

"Iya. Assalamu'alaykum." 

"Wa alaykumusalam." 

Panggilan terputus.

"Siapa Kak?" tanya San. Fafa langsung menoleh.

"Bulik Tini," 

"Lhoh, kok nggak dikasih San!" protes San.

"Kamu tadi masih tidur Dik! Bagaimana sekarang rasanya? Masih nyeri!"

"Iya," jawab San singkat.

"Ditahan dulu, nanti setelah dioperasi, in syaa Allah nyerinya berangsur hilang," San hanya mengangguk menganggapi ucapan Fafa.

"Kak, bagaimana dengan biaya rumah sakitnya!" tanya San dengan menatap lekat Fafa.

"Kemarin kakak sudah bicara dengan paklik, in syaa Allah sudah siap Dik!" 

"Alhamdulillah," ucap San.

Fafa terdiam, melihat kelegaan di wajah San. 'Jika San mengetahui dari mana uang itu berasal dan syaratnya. Apakah San akan lega seperti itu!' batin Fafa.

Kecelakaan yang menimpa San adalah kasus tabrak lari. Jadi, otomatis semua biaya perawatan akan ditanggung sendiri. Beruntung masih ada yang membantu mengantarkan ke rumah sakit umum.

"Dik, nanti habis sholat magrib kakak pulang dulu ya!" San langsung menghentikan aktifitasnya main game di ponsel.

"Sekarang aja nggak papa, Kak. Bentar lagi Hisyam ke sini!" 

"Yaelah Dik, kenapa nggak dari tadi ngomong begitu. Kakak kan habis dhuhur bisa pulang dulu!"

"Yee ..., kok San yang disalahkan. Kakak sendiri tuh yang dari tadi nggak ngasih tau kalo mau pulang dulu!" protes San.

"Ya sudah, kakak pulang dulu ya. Nanti mau dibawakan apa?"

"Roti bakar milo 2, Kak!" Fafa melotot, San nyengir melihat ekspresi kakaknya.

"Kamu tu Dik! Kakak pulang dulu!" pamit Fafa.

"Iya Kak, fii Amanillah,"

"Aamiin."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status