'Apakah aku sudah mulai tertarik padanya!' batin Ian. Tidak semudah itu! aku harus memastikan seperti apa dia. Senyum seujung bibir langsung tampak di wajah Ian. Bukan senyum yang bisa melelehkan hati, lebih tepatnya senyum menyeringai.
Ian menoleh dan mendapati Rusdi sedang menatapnya. Entah bagaimana reaksi Rusdi mengetahui dia mencari informasi tentang Fafa.
"Sudah?" tanya Ian singkat.
"Sudah, Mas Ian. Berkas yang kemarin, dan paket sudah datang. Semua sudah siap di lab," jelas Rusdi.
"Hhmm," dehem Ian sembari melajukan kursi roda secara otomatis mendekati pintu lab. Sebelum memutar handle pintu, Ian menoleh pada Rusdi.
"Paman, nanti siang tidak usah ke sini. Waktu makan malam saja!" perintah Ian.
"Siap Mas Ian. Paman undur diri." Rusdi langsung keluar dari kamar utama.
Seperti itulah Ian jika sudah mulai aktifitasnya di dalam lab. Dia bahkan pernah berhari-hari tidak keluar kamar untuk menyelesaikan eksperimennya.
Ian segera membuka pintu lab, matanya memandang penuh minat paket yang begitu diidamkan. Dia langsung membawa paket tersebut ke dalam ruangan khusus-ruang MiT.
Ruang MiT adalah sebuah ruang yang ada di dalam lab, lagi dan lagi berdinding kaca transparan. Ruangan steril dan hanya Ian sendiri yang bisa masuk, karena menggunakan sandi berupa pindai retina dan rangkaian DNA.
Setelah meletakkan paket diatas meja kaca yang ada di dalam ruang MiT. Ian membuka paket dari Kanada ini dengan hati-hati. Paket istimewa berisi Titanium kelas A untuk proyek persembahan.
Senyum lebar langsung terbit di wajah Ian. "Smart Mosquito (SM) siap dieksekusi!" gumam Ian.
Satu per satu peralatan disiapkan sendiri. Ian pun telah memakai Alat Pelindung Diri (APD), sesaat sebelum memasuki ruang MiT. Pintu otomatis terkunci. Ian menatap takjub tiap bagian SM.
Dengan hati-hati Ian merangkai satu persatu komponen SM menggunakan Helper-robot kecil setinggi 15 cm. Dia terus memantau melalui tab, kelopak matanya enggan berkedip seakan-akan tidak mau kehilangan moment penyatuan itu. Ian menahan napas, kala pemasangan terakhir antena SM. "Hahh, lega ...," desahnya sesaat setelah SM terbentuk sempurna. Inilah saat, menu utama yaitu menanam potongan super kecil titanium ke dalam tubuh SM. Perlahan Helper memasukkan Titanium ke dalam perut SM. Titanium inilah yang nanti yang akan dimasukkan oleh SM melalui gigitan ke dalam tubuh obyek.
"Done," ucap Ian.
Pekerjaan yang memakan waktu lumayan lama, hampir enam jam. Akan tetapi, jika menelisik kembali komponen yang sangat kecil ukurannya. Waktu hampir enam jam, menjadikan proses tersebut termasuk cepat. Ian merapikan beberapa peralatan hingga yang tersisa hanya ada SM dan tab di atas meja kaca ruang MiT.
Waktu sudah menunjukkan pukul 15:00 WIB, saat melanjutkan ke proses penting yaitu aktifasi. Ian masih terus mengamati SM didepannya. Saat paling ditunggu sejak 15 tahun lalu, saat menggagas proyek ini.
"Luar biasa. Wow ... wow ...!" teriaknya. Ian takjub melihat proses aktifasi berjalan mulus. Ini proyek paling lama yang ditangani. Proyek yang berkali-kali memerlukan pengkajian ulang sebelum memutuskan melanjutkan. Proyek impian sejak remaja. Proyek yang semakin mengukuhkan dedikasi dan eksistensi Ian sebagai tehnokrat.
Ian tersenyum tipis kala mengingat siapa yang akan menjadi targetnya kali ini.
***
Kota Kediri
Selepas sholat ashar, Fafa segera duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang San. Memeriksa beberapa chat dan membalasnya. Rata-rata pelanggan loundry yang menanyakan kenapa dua hari ini toko loundry tutup. Terhitung sejak kemarin, hari Jumat dan Sabtu ini. Padahal kalau weekend begini toko loundry sedang rame-ramenya.
Namanya musibah, mau bagaimana lagi.
'Apa aku chat Bulik Tini saja ya,' batin Fafa. Segera saja mengirim chat, dan ternyata langsung dibaca. Tini tidak menjawab, akan tetapi langsung menghubungi.
"Assalamu'alaykum, Fa!" sapa Tini.
"Wa alaykumusalam, Bulik. Bagaimana kabarnya!"
"Alhamdulillah baik, Fa. Bagaimana kabarnya, Le?" tanya Tini.
"Alhamdulillah udah baikan Bulik, tinggal menunggu operasi lututnya yang mengalami dis-lokasi. In syaa Allah, nanti malam operasi, minta doanya Bulik," papar Fafa.
"Iya Nduk, semoga lancar dan berhasil operasinya. Lantas bagaimana denganmu! Paklikmu sudah memberitahu bukan!"
"Iya Bulik. Menurut Bulik, Fa harus bagaimana ya!" tanya Fafa.
Tini tersenyum mendengar pertanyaan keponakannya itu. Tini membayangkan, bagaimana jika Fafa mengetahui fakta siapa sebenarnya Ian. 'Apakah Fafa masih mau!' batin Tini.
"Nduk, kamu penasaran tidak sama Mas Ian!" ujar Tini.
"Hhmm ..., nggak tau Bulik. Memang kenapa?" tanya Fafa.
"Ahh ..., siapa tau penasaran."
"Sedikit Bulik, hiihii .... Kalau menurut Bulik, dia seperti apa?" tanya Fafa sembari tertawa ngikik.
"Aahh, kamu ni Nduk ditanya malah tanya balik. Menurut Bulik, Mas Ian itu baik, tapi penampilannya sedikit menyeramkan!" ujar Tini.
"Hahh ..., kok bisa. Apa seperti preman?! seru Fafa.
"Mirip!" jawab Tini singkat.
"Bulik! Fafa serius!" Fafa merajuk.
"Kamu itu Nduk, tanya sana sama paklikmu kalau tidak percaya! Kamu sendiri bagaimana pendapatmu mengenai bantuan Mas Ian itu?" tanya Tini.
"Fafa tidak masalah Bulik, terserah sama paklik saja. Jika paklik setuju ya Fafa mau!"
"Kok pasrah gitu! Bulik kira kamu akan menolaknya, Nduk. Siapa tahu kamu sudah punya pacar begitu," ujar Tini.
"Enggak punya pacar Bulik. Ayah kan sudah berpesan tidak boleh pacaran, jika ada yang cocok dan Fafa mau, langsung menikah saja."
Mendengar ucapan Fafa, Tini terharu. 'Apakah tega, dia dan Rusdi menyerahkan Fafa menjadi istri dari Ian? Apakah tidak ada jalan lain, selain kesepakatan itu!' batin Tini.
"Bulik sudah dulu ya, San sudah bangun tidur ini!" lanjut Fafa.
"Iya Nduk, kalau ada apa-apa, segera hubungi paklik atau Bulik ya!"
"Iya. Assalamu'alaykum."
"Wa alaykumusalam."
Panggilan terputus.
"Siapa Kak?" tanya San. Fafa langsung menoleh.
"Bulik Tini,"
"Lhoh, kok nggak dikasih San!" protes San.
"Kamu tadi masih tidur Dik! Bagaimana sekarang rasanya? Masih nyeri!"
"Iya," jawab San singkat.
"Ditahan dulu, nanti setelah dioperasi, in syaa Allah nyerinya berangsur hilang," San hanya mengangguk menganggapi ucapan Fafa.
"Kak, bagaimana dengan biaya rumah sakitnya!" tanya San dengan menatap lekat Fafa.
"Kemarin kakak sudah bicara dengan paklik, in syaa Allah sudah siap Dik!"
"Alhamdulillah," ucap San.
Fafa terdiam, melihat kelegaan di wajah San. 'Jika San mengetahui dari mana uang itu berasal dan syaratnya. Apakah San akan lega seperti itu!' batin Fafa.
Kecelakaan yang menimpa San adalah kasus tabrak lari. Jadi, otomatis semua biaya perawatan akan ditanggung sendiri. Beruntung masih ada yang membantu mengantarkan ke rumah sakit umum.
"Dik, nanti habis sholat magrib kakak pulang dulu ya!" San langsung menghentikan aktifitasnya main game di ponsel.
"Sekarang aja nggak papa, Kak. Bentar lagi Hisyam ke sini!"
"Yaelah Dik, kenapa nggak dari tadi ngomong begitu. Kakak kan habis dhuhur bisa pulang dulu!"
"Yee ..., kok San yang disalahkan. Kakak sendiri tuh yang dari tadi nggak ngasih tau kalo mau pulang dulu!" protes San.
"Ya sudah, kakak pulang dulu ya. Nanti mau dibawakan apa?"
"Roti bakar milo 2, Kak!" Fafa melotot, San nyengir melihat ekspresi kakaknya.
"Kamu tu Dik! Kakak pulang dulu!" pamit Fafa.
"Iya Kak, fii Amanillah,"
"Aamiin."
"Kamu tu Dik! Kakak pulang dulu!" pamit Fafa."Iya Kak, fii Amanillah,""Aamiin.""Kak, jangan lupa nanti operasi San pukul 20:30 WIB," ujar San."Iya ... iya .... Adik bawel!" jawab Fafa jengah.San langsung mendengus mendengar ucapan Fafa."Assalamu'alaykum," lanjut Fafa."Wa alaykumusalam."Fafa langsung keluar dari kamar inap San. Waktu sudah menunjukkan pukul 16:15 WIB. Waktu yang lumayan lama untuk pulang membersihkan rumah sebelum kembali ke rumah sakit selepas isya.Fafa segera menuju ke area parkir sepeda motor. Melajukan pelan sepeda motor tua peninggalan ayahnya. Perjalanan tidak terlalu lama, karena jarak rumah dengan rumah sakit hanya tiga km.Sesampainya di rumah, Fafa langsung membuka semua jendela, menyapu, dan mengepel lantai. Pekerjaan selesai menjelang maghrib. Setelah membersihkan diri, Fafa istirahat sembari membalas chat beberapa pelanggan loundry. Fafa menawarkan, apakah diantar atau diamb
Ian sendiri sudah tidak tahan untuk tertawa. Akhirnya pecah juga tawa menggelegar. Apa katanya! terima kasih! Ha ha ha benar-benar lucu.Ian tidak menyadari bahwa nama Fafa sudah membuat dia tertawa berulangkali walaupun dengan interaksi yang sangat minim. Bagaimana jadinya jika Fafa benar-benar hadir dihadapannya, sepanjang waktu berinteraksi. Bukankah julukan gila akan semakin melekat pada dia. Sepertinya Fafa adalah oase yang telah lama didamba jiwa Ian.***Kota KediriSekarang ini, tepat dua hari setelah operasi lutut Ikhsan. Hasil operasi sejauh ini bagus dan tidak ada keluhan. Siang ini, Ikhsan di perbolehkan pulang dan kembali lima hari lagi.Fafa menuju ke bagian kasir untuk menyelesaikan semua biaya perawatan. Antrian tidak terlalu banyak, setelah menunggu 20 menit. Semua sudah selesai, segera Fafa menuju ke kamar inap Ikhsan. Dari kejauhan, tampak adiknya duduk di depan kamar inap ngobrol dengan Hisyam."Assalamu'alayku
Ian menatap kedua kakinya. Senyuman lagi dan lagi nampak diwajahnya.Sudah 20 tahun terakhir tidak merasakan apapun. Beberapa hari ini merasakan nyeri walaupun samar. Apakah mulai ada tanda-tanda syarafnya bekerja kembali.Hidung Ian mencium aroma tidak sedap. Padahal tadi sore sudah keluar sangat banyak. Ian segera menekan tombol. Tak berapa lama Rusdi datang tergopoh-gopoh.Tok tokPintu langsung terbuka lebar."Mas Ian!""Paman ...!"Rusdi yang sudah paham, langsung mendekati Ian. Membantu pindah ke ranjang dan langsung melepas popok yang dikenakan. Rusdi membersihkan BAB dan BAK yang tercampur. Sebenarnya sudah ada kursi roda khusus untuk BAB dan BAK. Akan tetapi dengan kondisi Rian yang lumpuh total mulai dari pinggang sampai kaki, tentu saja alat itu kurang efektif digunakan. Jadi tetap menggunakan popok sehari-harinya."Paman kenapa beberapa hari terakhir seperti ini!" keluh Ian."Mas Ian ...," suar
"Baiklah, jika begitu. Besok paman akan menjemputmu dan Ikhsan. Fa, apakah kamu tidak ingin bertanya lagi tentang siapa mas Ian itu. Apalagi hari Senin kemarin, paklik kirimkan fotonya!""Nggak Paklik, ada apa?" tanya Fafa balik."Ini mengenai kondisi fisik mas Ian," jawab Rusdi."Oh ..., Fafa kira ada apa Paklik. Bagi Fafa, Paklik merestui pernikahan ini sudah cukup. Kalau untuk masalah fisik, Fafa menerimanya dan tidak ada masalah untuk itu," ucap Fafa yakin. Rusdi langsung terdiam mendengarkan perkataan Fafa."Halo ..., Paklik ...!" panggil Fafa."I-iya Nduk," jawab Rusdi tergagap."Kenapa Paklik diam! apakah ada masalah lain?" tanya Fafa."Nggak ada. Ya sudah, Paklik tutup ya. Assalamu'alaykum,""Wa alaykumusam, Paklik Di."Rusdi memutuskan panggilannya kemudian memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Tini terus memperhatikan suaminya itu. 'Ada apa dengannya, setelah bicara dengan Fafa kenapa termenung begitu,'
Nun jauh di sana. Di sebuah ruang rahasia. Percakapan paman dan kedua keponakannya juga didengarnya dengan sangat jelas. Senyum tipis menghias wajahnya, turut mendengarkan obrolan itu. Menyeramkan katanya. Dia geleng-geleng mendengarnya. Dasar bocah.Segera laki-laki itu keluar dari ruang rahasia. Menutup kembali pintunya. Mengunci dengan menekan tombol yang ada di bawah terminal listrik yang ada di belakang meja rias. Perlahan dia bergerak mendekati jendela kaca. Menatap taman yang ada di samping kamarnya. Ada begitu banyak hal yang sedang coba ditelaahnya dalam diam, sekarang ini. Siapapun jelas tak bisa menebak bahwa akan banyak keputusan besar penuh kejutan yang dibuatnya beberapa hari ke depan. Malam semakin larut, tapi lihatlah dia, tetap diam ditempat semula. Dingin dan sepi adalah teman dalam diamnya hingga kini.***Keesokan harinyaAktifitas di rumah Fafa sudah dimulai menjelang subuh. Setelah menyelesaikan sholat subuh dan membaca
Tampak taman buatan mendiang ibunya. 'Ibu, ayah, Ian akan menikahi perempuan itu. Ian tidak tau, apakah benar atau salah. Ian hanya merasa saat itu harus menikahinya. Ian berharap langkah Ian ini tidak salah. Ian hanya tidak ingin keturunan Andrinof berhenti pada Ian. Ibu, ayah, tolong restui Ian,' kata Ian dalam hati.Kereta api Gajayana telah sampai di Jakarta. Rusdi segera menghubungi Anto-sesuai perintah Ian kemarin sore. Ternyata, Anto sudah ada di parkiran. Segera saja, ketiganya keluar dari area stasiun. Anto terus memperhatikan Fafa, sembari membantu memasukkan koper ke bagasi mobil. 'Jadi, gadis ini calon istrinya Mas Ian. Tidak kusangka ternyata masih sangat muda,' batin Anto.Tidak butuh waktu lama untuk sampai di kediaman Andrian. Jarak tempuh selama 20 menit, karena kondisi jalan yang belum terlalu ramai. Setelah memasuki area kediaman Andrian. Ikhsan berdecak kagum."Kak, ini rumah apa istana?" tanya Ikhsan s
"Baiklah sekarang bulik akan bercerita sedikit tentang Mas Ian. Mungkin Fafa mau tanya apa?""Bulik cerita saja," jawab Fafa."Tuan Muda Aldric Andrian adalah putra tunggal mendiang Tuan Andrinof dan Nyonya Anya. Keluarga Tuan Andrinof mengalami kecelakaan saat Tuan Muda berusia 10 tahun. Tuan dan Nyonya tidak selamat dalam kecelakaan itu, hanya Tuan Muda yang selamat. Maaf, dengan kondisi cacat." Tini diam sejenak, sembari memperhatikan Fafa yang menyimak penjelasan Tini dengan seksama."Setelah kecelakaan itu, Tuan Muda- yang biasa dipanggil Tuan Muda Ian. Beliau menolak dipanggil Tuan Muda, dan menyuruh kami semua memanggilnya dengan Mas Ian. Sejak saat itu, Mas Ian sangat berubah sikap dan perilakunya. Paklik dan Bulikmu ini awalnya juga kaget. Akhirnya, kami memaklumi perubahan itu. Sungguh tidak mudah, menjadi yatim piatu di usia 10 tahun. Apalagi kondisinya saat itu kurang baik." Fafa mengangguk membenarkan perkataan Buliknya itu."Lalu bagaimana sa
Mami Rita yang lebih dulu menyadari bahwa Fafa tidak ikut duduk di sofa, langsung memanggilnya."Fa, duduk sini!" ujarnya.Reflek Ian menoleh mengikuti arah pandangan mata Mami Rita.Dua pasang mata sama-sama menjatuhkan pandangan. Terkunci untuk beberapa saat. Seketika ruang tengah hening. Ian menatap intens Fafa. Mendapatkan tatapan seperti ini, seketika Fafa beku, seolah-olah terpaku di tempat berdirinya sekarang.'Jadi, ini yang namanya Mas Ian. Benarkah dia calon suamiku?' batin Fafa. Sedangkan Ian sendiri merasa takjub dengan pemandangan di depannya. 'Benarkah dia calon istriku,' batin Ian.Deg degDetak jantung Ian berkerja lebih cepat dari biasanya. Apakah dia sekarang benar-benar terkena serangan jantung? Dadanya serasa mau meledak dan napasnya sesak, sangat tidak baik jika terus seperti ini. Ingatkan Ian untuk segera memanggil dokter Thomas setelah ini. Fafa, jangan ditanyakan lagi. Saat ini benar-benar pikirannya tidak menentu. Sungguh,