Rusdi dan Tini tidak menyadari, jika percakapan malam ini turut didengar Ian. Saat ini Ian sedang tersenyum puas di atas ranjang. Ian sendiri tidak menyangka jika dia mengajukan syarat konyol itu. Tapi tidak apa-apalah. Ian tersenyum menyeringai.
***
Kota Kediri
Keesokan hari, selepas sholat subuh di masjid yang ada di komplek rumah sakit. Fafa berdiam diri sejenak, memperhatikan perawat yang mulai lalu lalang membagikan peralatan mandi pasien. Fafa bangkit dan bersegera melangkah kembali ke ruang inap San.
Drettt drettt
Ponsel Fafa bergetar. 'Paklik Di!' seru Fafa dalam hati. Fafa langsung berhenti, kemudian bersandar di tiang yang ada di lorong rumah sakit. Segera saja menggeser tombol gagang telpon warna hijau"Assalamu'alaykum, Paklik," sapa Fafa.
"Wa alaykumusalam, Fa," jawab Rusdi.
"Bagaimana Paklik?" tanya Fafa sedikit tidak tenang.
"Alhamdulillah, Fa. Untuk biaya San sudah ada tinggal kirim saja, tapi ...," kalimat Rusdi menggantung dan merasa tak nyaman melanjutkan.
"Tapi kenapa, Paklik!" tanya Fafa cepat.
"Paklik minta maaf, Fa. Saat ini tabungan Paklik juga belum bisa menutup semua biaya perawatan San. Mas Ian-bos paklik, menawarkan bantuan, tapi ada syaratnya."
Suara Rusdi tersendat-sendat antara tega tidak tega mengatakan pada Fafa.
"Syarat apa Paklik!" tanya Fafa.
"Fafa harus menikah dengan Mas Ian!" ucap Rusdi pelan.
"Apa?!" pekik Fafa. Seketika Fafa lemas.
Menikah! Terbersit sedikit saja tidak pernah di usianya sekarang ini. Ingatlah usia juga baru 20 tahun. Banyak keinginan yang hendak diwujudkan, bekerja, membiayai sekolah Ikhsan. Jika menikah, bagaimana dengan kuliahnya. Bagaimana nasib sekolah San? Jika tidak, kemana lagi harus mencari bantuan, dalam keadaan darurat seperti sekarang ini. Fafa terus sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Fa. Fafa ...!" panggil Rusdi membuyarkan lamunan Fafa.
"Ta-tapi bagaimana bisa begitu Paklik!" tanya Fafa.
Paklik juga tidak tahu alasan Mas Ian, Nduk. Beliau hanya bilang syaratnya itu," ujar Rusdi.
"Kamu bisa menolak, Fa. Kita akan pikirkan jalan keluar bersama. Paklik dan bulikmu, akan mencari cara lain!" ucap Rusdi mantap.
"Atau kamu juga bisa mempertimbangkan dulu tawaran Mas Ian ini!" lanjut Rusdi.
"Fafa masih binggung, Paklik. Fafa harus bagaimana?" jawab Fafa.
"Sudah Fa. Tidak perlu terburu-buru. Apapun keputusanmu nanti, Paklik mendukungmu!" sahut Rusdi berusaha menenangkan Fafa.
"Iya, in syaa Allah. Fafa akan mempertimbangkan Paklik. Terima kasih Paklik Di, dan tolong sampaikan salam ke Bulik Ni," jawab Fafa pelan.
"Ya sudah kalau begitu, Paklik tutup dulu ya," ucap Rusdi.
"Iya, Paklik Di. Terima kasih," jawab Fafa.
"Assalamu'alaykum, Fa."
"Wa alaykumusalam, Paklik Di."
Panggilan terputus.
Fafa menghela napas dalam. Apa yang harus dia lakukan sekarang. Jika tidak menerima bantuan itu, kemana lagi mencari bantuan. Jika menerima, bukankah sama dengan menjual diri. Sebenarnya ada jalan lain, menggadaikan sertifikat rumah ke bank. Tapi Fafa juga takut pinjam ke bank. Dengan penghasilan yang tak menentu dari Toko Loundry dan memberi les pelajaran, bagaimana bisa dirinya berani menjaminkan peninggalan kedua orang tuanya ini.
'Tapi kenapa dia mau menikahiku, sedangkan dia maupun aku tidak saling kenal. Bagaimana bisa seperti itu. Apakah dia akan menyiksaku seperti yang kulihat di film. Ya Allah, bagaimana ini. Arni, apa sebaiknya aku bicara pada dia ya! Tapi .... Apa aku bicara saja sama Bulik Tini. Nanti siang akan coba menghubungi bulik saja,' tekad Fafa dalam hati.
***
Kediaman Andrian, JakartaWaktu sudah menunjukkan pukul 05:30 WIB, Rusdi segera menuju ke rumah utama.
Tok tok
"Assalamu'alaykum," sapa Rusdi.Beberapa saat kemudian memutar handle pintu. Rusdi kaget kala melihat Ian sudah bangun tidur dan termenung menatap taman yang ada di samping kamar utama melalui jendela kaca. Baru kali ini Rusdi menyaksikan Ian sudah bangun tidur, karena biasanya butuh waktu dua jam menunggunya bangun.
"Mas Ian, ap-."
Suara Rusdi langsung terhenti, tercekat di tenggorokan kala melihat Ian sudah mengangkat telapak tangan, mengisyaratkan untuk berhenti bicara. Rusdi paham, langsung mengangguk walaupun Ian sama sekali tidak mau melihatnya.
"Bagaimana!" tanya Ian singkat.
"Paman sudah memberitahu Fafa, Mas Ian."
"Kapan!"
"Dua hari lagi, Paman akan menanyakan kembali," jawab Rusdi.
"Besok! Waktumu tinggal besok, Paman!" ujar Ian.
"Tapi Ma-."
Rusdi terhenti berbicara karena mendapati Ian menoleh dan menatap tajam. Akhirnya, Rusdi menghembuskan napas pelan-pelan untuk menghela kegugupannya. 'Selalu dan selalu seperti ini,' keluh Rusdi dalam hati.
Rusdi terus memperhatikan Ian. Dia melihat Ian menutup mata, entah apa yang mengganggu dan membuat Ian gelisah. Segera Ian mengambil ponsel dari saku kursi roda, lalu menghubungi David.
"Assalamu'alaykum, Boss!"
Sapa David di tengah suara bising dentuman musik. Ian sudah menduganya, kebiasaan David setiap pagi-memutar musik cadas.
"Hhmm! Cari informasi Fathimah, usia 20 tahun, Kota Kediri. Sebelum makan siang!" perintah Ian tanpa basa basi.
"Siap Boss."
Jawab David yang sudah sangat paham tabiat Ian. Begitulah Ian, sepertinya sifat bossy tidak akan pernah hilang.
'Ck, bukannya dia juga bisa melacak sendiri? Dasar Boss aneh. Eh, tunggu. Fathimah umur 20 tahun? What's! Buat apa si Boss mau tau perempuan itu. Perempuan muda dan sangat menggiurkan. Wah ... wah ..., kasian dia,' batinnya.
David begidik ngeri membayangkan bagaimana kelakuan Ian. Hanya orang terdekat saja, yang paham bagaimana seorang Ian, pribadi yang hangat, itu dulu. Jauh sebelum kecelakaan yang menimpanya dan menewaskan kedua orang tuanya. Musibah yang bertubi-tubi, menjadikan Ian pribadi yang dingin dan semena-mena seperti sekarang ini.
Ya, Ian dan David sudah bersahabat sejak kecil, selain itu orang tua mereka juga bersahabat. Dengan tangan dingin Ian, memoles kemampuan David hingga bisa seperti sekarang ini. Menjadi salah satu kepercayaan Ian di AA Corp sebagai Kepala Divisi Riset.
David bergegas ke ruang kerja. Bersegera melaksanakan perintah Ian. Sebenarnya aneh juga, Ian tidak pernah dekat perempuan, tiba-tiba memerintahkan mencari informasi. Perempuan mana juga yang mau dekat dengannya, liat tampangnya saja pasti sudah lari. David terkekeh mengingat sahabat karibnya itu.
Tak perlu menunggu lama, David sudah menemukan informasi tentang Fafa. David penasaran, bagaimana bisa Ian? Kapan dia kenal perempuan! David benar-benar tidak percaya. Apakah Ian sudah normal? Entahlah, Coba nanti kutanya bagaimana dia kenal perempuan ini.
"Ck, luar biasa si Boss, tahu aja bening begini!" decak David setelah mendapatkan semua informasi tentang Fafa.
Suit suit
David bersiul, setelah sukses mengirimkan e***l ke Ian.
"Done!" seru David.
Hari ini, Ian lebih diam dari sebelumnya. Entah apa yang saat ini dia rasakan hingga membuat begitu gelisah. Rusdi terus memperhatikan Ian yang masih tetap di tempat semula, meskipun hari sudah beranjak siang. Rusdi berinisiatif menawarkan sarapan lagi. Jawaban yang diperoleh masih tetap sama, nanti saja.
Ting
Bunyi notifikasi e***l masuk di ponsel Ian. Secepatnya Ian membuka dan segera menelusuri setiap informasi yang dikirimkan oleh David. Ian sedikit terkejut, Fafa bukan gadis sembarangan. Selain otaknya encer, secara fisik juga menarik walaupun tertutup baju dan kerudung yang besar.'Gadis ini, tinggi 170 cm dan berat 55 kg. Luar biasa keponakan Rusdi ini. Aku harus mendapatkanmu!' seru Ian dalam batin. Jauh dalam hati Ian tidak percaya jika Rusdi memiliki keponakan seperti Fafa. Jarinya pelan mengusap foto Fafa yang terpampang di layar ponsel.
Apakah aku sudah mulai tertarik pada dia!' batin Ian. Tidak semudah itu! aku harus memastikan seperti apa dia. Seulas senyum langsung tampak di wajah Ian. Bukan senyum yang bisa melelehkan hati, lebih tepatnya senyum menyeringai.
'Apakah aku sudah mulai tertarik padanya!' batin Ian. Tidak semudah itu! aku harus memastikan seperti apa dia. Senyum seujung bibir langsung tampak di wajah Ian. Bukan senyum yang bisa melelehkan hati, lebih tepatnya senyum menyeringai.Ian menoleh dan mendapati Rusdi sedang menatapnya. Entah bagaimana reaksi Rusdi mengetahui dia mencari informasi tentang Fafa."Sudah?" tanya Ian singkat."Sudah, Mas Ian. Berkas yang kemarin, dan paket sudah datang. Semua sudah siap di lab," jelas Rusdi."Hhmm," dehem Ian sembari melajukan kursi roda secara otomatis mendekati pintu lab. Sebelum memutar handle pintu, Ian menoleh pada Rusdi."Paman, nanti siang tidak usah ke sini. Waktu makan malam saja!" perintah Ian."Siap Mas Ian. Paman undur diri." Rusdi langsung keluar dari kamar utama.Seperti itulah Ian jika sudah mulai aktifitasnya di dalam lab. Dia bahkan pernah berhari-hari tidak keluar kamar untuk menyelesaikan eksperimennya.
"Kamu tu Dik! Kakak pulang dulu!" pamit Fafa."Iya Kak, fii Amanillah,""Aamiin.""Kak, jangan lupa nanti operasi San pukul 20:30 WIB," ujar San."Iya ... iya .... Adik bawel!" jawab Fafa jengah.San langsung mendengus mendengar ucapan Fafa."Assalamu'alaykum," lanjut Fafa."Wa alaykumusalam."Fafa langsung keluar dari kamar inap San. Waktu sudah menunjukkan pukul 16:15 WIB. Waktu yang lumayan lama untuk pulang membersihkan rumah sebelum kembali ke rumah sakit selepas isya.Fafa segera menuju ke area parkir sepeda motor. Melajukan pelan sepeda motor tua peninggalan ayahnya. Perjalanan tidak terlalu lama, karena jarak rumah dengan rumah sakit hanya tiga km.Sesampainya di rumah, Fafa langsung membuka semua jendela, menyapu, dan mengepel lantai. Pekerjaan selesai menjelang maghrib. Setelah membersihkan diri, Fafa istirahat sembari membalas chat beberapa pelanggan loundry. Fafa menawarkan, apakah diantar atau diamb
Ian sendiri sudah tidak tahan untuk tertawa. Akhirnya pecah juga tawa menggelegar. Apa katanya! terima kasih! Ha ha ha benar-benar lucu.Ian tidak menyadari bahwa nama Fafa sudah membuat dia tertawa berulangkali walaupun dengan interaksi yang sangat minim. Bagaimana jadinya jika Fafa benar-benar hadir dihadapannya, sepanjang waktu berinteraksi. Bukankah julukan gila akan semakin melekat pada dia. Sepertinya Fafa adalah oase yang telah lama didamba jiwa Ian.***Kota KediriSekarang ini, tepat dua hari setelah operasi lutut Ikhsan. Hasil operasi sejauh ini bagus dan tidak ada keluhan. Siang ini, Ikhsan di perbolehkan pulang dan kembali lima hari lagi.Fafa menuju ke bagian kasir untuk menyelesaikan semua biaya perawatan. Antrian tidak terlalu banyak, setelah menunggu 20 menit. Semua sudah selesai, segera Fafa menuju ke kamar inap Ikhsan. Dari kejauhan, tampak adiknya duduk di depan kamar inap ngobrol dengan Hisyam."Assalamu'alayku
Ian menatap kedua kakinya. Senyuman lagi dan lagi nampak diwajahnya.Sudah 20 tahun terakhir tidak merasakan apapun. Beberapa hari ini merasakan nyeri walaupun samar. Apakah mulai ada tanda-tanda syarafnya bekerja kembali.Hidung Ian mencium aroma tidak sedap. Padahal tadi sore sudah keluar sangat banyak. Ian segera menekan tombol. Tak berapa lama Rusdi datang tergopoh-gopoh.Tok tokPintu langsung terbuka lebar."Mas Ian!""Paman ...!"Rusdi yang sudah paham, langsung mendekati Ian. Membantu pindah ke ranjang dan langsung melepas popok yang dikenakan. Rusdi membersihkan BAB dan BAK yang tercampur. Sebenarnya sudah ada kursi roda khusus untuk BAB dan BAK. Akan tetapi dengan kondisi Rian yang lumpuh total mulai dari pinggang sampai kaki, tentu saja alat itu kurang efektif digunakan. Jadi tetap menggunakan popok sehari-harinya."Paman kenapa beberapa hari terakhir seperti ini!" keluh Ian."Mas Ian ...," suar
"Baiklah, jika begitu. Besok paman akan menjemputmu dan Ikhsan. Fa, apakah kamu tidak ingin bertanya lagi tentang siapa mas Ian itu. Apalagi hari Senin kemarin, paklik kirimkan fotonya!""Nggak Paklik, ada apa?" tanya Fafa balik."Ini mengenai kondisi fisik mas Ian," jawab Rusdi."Oh ..., Fafa kira ada apa Paklik. Bagi Fafa, Paklik merestui pernikahan ini sudah cukup. Kalau untuk masalah fisik, Fafa menerimanya dan tidak ada masalah untuk itu," ucap Fafa yakin. Rusdi langsung terdiam mendengarkan perkataan Fafa."Halo ..., Paklik ...!" panggil Fafa."I-iya Nduk," jawab Rusdi tergagap."Kenapa Paklik diam! apakah ada masalah lain?" tanya Fafa."Nggak ada. Ya sudah, Paklik tutup ya. Assalamu'alaykum,""Wa alaykumusam, Paklik Di."Rusdi memutuskan panggilannya kemudian memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Tini terus memperhatikan suaminya itu. 'Ada apa dengannya, setelah bicara dengan Fafa kenapa termenung begitu,'
Nun jauh di sana. Di sebuah ruang rahasia. Percakapan paman dan kedua keponakannya juga didengarnya dengan sangat jelas. Senyum tipis menghias wajahnya, turut mendengarkan obrolan itu. Menyeramkan katanya. Dia geleng-geleng mendengarnya. Dasar bocah.Segera laki-laki itu keluar dari ruang rahasia. Menutup kembali pintunya. Mengunci dengan menekan tombol yang ada di bawah terminal listrik yang ada di belakang meja rias. Perlahan dia bergerak mendekati jendela kaca. Menatap taman yang ada di samping kamarnya. Ada begitu banyak hal yang sedang coba ditelaahnya dalam diam, sekarang ini. Siapapun jelas tak bisa menebak bahwa akan banyak keputusan besar penuh kejutan yang dibuatnya beberapa hari ke depan. Malam semakin larut, tapi lihatlah dia, tetap diam ditempat semula. Dingin dan sepi adalah teman dalam diamnya hingga kini.***Keesokan harinyaAktifitas di rumah Fafa sudah dimulai menjelang subuh. Setelah menyelesaikan sholat subuh dan membaca
Tampak taman buatan mendiang ibunya. 'Ibu, ayah, Ian akan menikahi perempuan itu. Ian tidak tau, apakah benar atau salah. Ian hanya merasa saat itu harus menikahinya. Ian berharap langkah Ian ini tidak salah. Ian hanya tidak ingin keturunan Andrinof berhenti pada Ian. Ibu, ayah, tolong restui Ian,' kata Ian dalam hati.Kereta api Gajayana telah sampai di Jakarta. Rusdi segera menghubungi Anto-sesuai perintah Ian kemarin sore. Ternyata, Anto sudah ada di parkiran. Segera saja, ketiganya keluar dari area stasiun. Anto terus memperhatikan Fafa, sembari membantu memasukkan koper ke bagasi mobil. 'Jadi, gadis ini calon istrinya Mas Ian. Tidak kusangka ternyata masih sangat muda,' batin Anto.Tidak butuh waktu lama untuk sampai di kediaman Andrian. Jarak tempuh selama 20 menit, karena kondisi jalan yang belum terlalu ramai. Setelah memasuki area kediaman Andrian. Ikhsan berdecak kagum."Kak, ini rumah apa istana?" tanya Ikhsan s
"Baiklah sekarang bulik akan bercerita sedikit tentang Mas Ian. Mungkin Fafa mau tanya apa?""Bulik cerita saja," jawab Fafa."Tuan Muda Aldric Andrian adalah putra tunggal mendiang Tuan Andrinof dan Nyonya Anya. Keluarga Tuan Andrinof mengalami kecelakaan saat Tuan Muda berusia 10 tahun. Tuan dan Nyonya tidak selamat dalam kecelakaan itu, hanya Tuan Muda yang selamat. Maaf, dengan kondisi cacat." Tini diam sejenak, sembari memperhatikan Fafa yang menyimak penjelasan Tini dengan seksama."Setelah kecelakaan itu, Tuan Muda- yang biasa dipanggil Tuan Muda Ian. Beliau menolak dipanggil Tuan Muda, dan menyuruh kami semua memanggilnya dengan Mas Ian. Sejak saat itu, Mas Ian sangat berubah sikap dan perilakunya. Paklik dan Bulikmu ini awalnya juga kaget. Akhirnya, kami memaklumi perubahan itu. Sungguh tidak mudah, menjadi yatim piatu di usia 10 tahun. Apalagi kondisinya saat itu kurang baik." Fafa mengangguk membenarkan perkataan Buliknya itu."Lalu bagaimana sa