Share

2. Mencari Informasi

Rusdi dan Tini tidak menyadari, jika percakapan malam ini turut didengar Ian. Saat ini Ian sedang tersenyum puas di atas ranjang. Ian sendiri tidak menyangka jika dia mengajukan syarat konyol itu. Tapi tidak apa-apalah. Ian tersenyum menyeringai.

***

Kota Kediri

Keesokan hari, selepas sholat subuh di masjid yang ada di komplek rumah sakit. Fafa berdiam diri sejenak, memperhatikan perawat yang mulai lalu lalang membagikan peralatan mandi pasien. Fafa bangkit dan bersegera melangkah kembali ke ruang inap San.

Drettt drettt

Ponsel Fafa bergetar. 

'Paklik Di!' seru Fafa dalam hati. Fafa langsung berhenti, kemudian bersandar di tiang yang ada di lorong rumah sakit. Segera saja menggeser tombol gagang telpon warna hijau 

"Assalamu'alaykum, Paklik," sapa Fafa.

"Wa alaykumusalam, Fa," jawab Rusdi.

"Bagaimana Paklik?" tanya Fafa sedikit tidak tenang.

"Alhamdulillah, Fa. Untuk biaya San sudah ada tinggal kirim saja, tapi ...," kalimat Rusdi menggantung dan merasa tak nyaman melanjutkan.

"Tapi kenapa, Paklik!" tanya Fafa cepat.

"Paklik minta maaf, Fa. Saat ini tabungan Paklik juga belum bisa menutup semua biaya perawatan San. Mas Ian-bos paklik, menawarkan bantuan, tapi ada syaratnya." 

Suara Rusdi tersendat-sendat antara tega tidak tega mengatakan pada Fafa.

"Syarat apa Paklik!" tanya Fafa.

"Fafa harus menikah dengan Mas Ian!" ucap Rusdi pelan.

"Apa?!" pekik Fafa. Seketika Fafa lemas. 

Menikah! Terbersit sedikit saja tidak pernah di usianya sekarang ini. Ingatlah usia juga baru 20 tahun. Banyak keinginan yang hendak diwujudkan, bekerja, membiayai sekolah Ikhsan. Jika menikah, bagaimana dengan kuliahnya. Bagaimana nasib sekolah San? Jika tidak, kemana lagi harus mencari bantuan, dalam keadaan darurat seperti sekarang ini. Fafa terus sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Fa. Fafa ...!" panggil Rusdi membuyarkan lamunan Fafa.

"Ta-tapi bagaimana bisa begitu Paklik!" tanya Fafa.

Paklik juga tidak tahu alasan Mas Ian, Nduk. Beliau hanya bilang syaratnya itu," ujar Rusdi.

"Kamu bisa menolak, Fa. Kita akan pikirkan jalan keluar bersama. Paklik dan bulikmu, akan mencari cara lain!" ucap Rusdi mantap.

"Atau kamu juga bisa mempertimbangkan dulu tawaran Mas Ian ini!" lanjut Rusdi.

"Fafa masih binggung, Paklik. Fafa harus bagaimana?" jawab Fafa.

"Sudah Fa. Tidak perlu terburu-buru. Apapun keputusanmu nanti, Paklik mendukungmu!" sahut Rusdi berusaha menenangkan Fafa.

"Iya, in syaa Allah. Fafa akan mempertimbangkan Paklik. Terima kasih Paklik Di, dan tolong sampaikan salam ke Bulik Ni," jawab Fafa pelan.

"Ya sudah kalau begitu, Paklik tutup dulu ya," ucap Rusdi.

"Iya, Paklik Di. Terima kasih," jawab Fafa.

"Assalamu'alaykum, Fa."

"Wa alaykumusalam, Paklik Di."

Panggilan terputus.


Fafa menghela napas dalam. Apa yang harus dia lakukan sekarang. Jika tidak menerima bantuan itu, kemana lagi mencari bantuan. Jika menerima, bukankah sama dengan menjual diri. Sebenarnya ada jalan lain, menggadaikan sertifikat rumah ke bank. Tapi Fafa juga takut pinjam ke bank. Dengan penghasilan yang tak menentu dari Toko Loundry dan memberi les pelajaran, bagaimana bisa dirinya berani menjaminkan peninggalan kedua orang tuanya ini.


'Tapi kenapa dia mau menikahiku, sedangkan dia maupun aku tidak saling kenal. Bagaimana bisa seperti itu. Apakah dia akan menyiksaku seperti yang kulihat di film. Ya Allah, bagaimana ini. Arni, apa sebaiknya aku bicara pada dia ya! Tapi .... Apa aku bicara saja sama Bulik Tini. Nanti siang akan coba menghubungi bulik saja,' tekad Fafa dalam hati. 

***

Kediaman Andrian, Jakarta

Waktu sudah menunjukkan pukul 05:30 WIB, Rusdi segera menuju ke rumah utama. 

Tok tok

"Assalamu'alaykum," sapa Rusdi.

Beberapa saat kemudian memutar handle pintu. Rusdi kaget kala melihat Ian sudah bangun tidur dan termenung menatap taman yang ada di samping kamar utama melalui jendela kaca. Baru kali ini Rusdi menyaksikan Ian sudah bangun tidur, karena biasanya butuh waktu dua jam menunggunya bangun.

"Mas Ian, ap-." 


Suara Rusdi langsung terhenti, tercekat di tenggorokan kala melihat Ian sudah mengangkat telapak tangan, mengisyaratkan untuk berhenti bicara. Rusdi paham, langsung mengangguk walaupun Ian sama sekali tidak mau melihatnya. 

"Bagaimana!" tanya Ian singkat.

"Paman sudah memberitahu Fafa, Mas Ian."

"Kapan!" 

"Dua hari lagi, Paman akan menanyakan kembali," jawab Rusdi.

"Besok! Waktumu tinggal besok, Paman!" ujar Ian.

"Tapi Ma-." 

Rusdi terhenti berbicara karena mendapati Ian menoleh dan menatap tajam. Akhirnya, Rusdi menghembuskan napas pelan-pelan untuk menghela kegugupannya. 'Selalu dan selalu seperti ini,' keluh Rusdi dalam hati.

Rusdi terus memperhatikan Ian. Dia melihat Ian menutup mata, entah apa yang mengganggu dan membuat Ian gelisah. Segera Ian mengambil ponsel dari saku kursi roda, lalu menghubungi David.

"Assalamu'alaykum, Boss!" 

Sapa David di tengah suara bising dentuman musik. Ian sudah menduganya, kebiasaan David setiap pagi-memutar musik cadas.

"Hhmm! Cari informasi Fathimah, usia 20 tahun, Kota Kediri. Sebelum makan siang!" perintah Ian tanpa basa basi.

"Siap Boss." 

Jawab David yang sudah sangat paham tabiat Ian. Begitulah Ian, sepertinya sifat bossy tidak akan pernah hilang.

'Ck, bukannya dia juga bisa melacak sendiri? Dasar Boss aneh. Eh, tunggu. Fathimah umur 20 tahun? What's! Buat apa si Boss mau tau perempuan itu. Perempuan muda dan sangat menggiurkan. Wah ... wah ..., kasian dia,' batinnya.


David begidik ngeri membayangkan bagaimana kelakuan Ian. Hanya orang terdekat saja, yang paham bagaimana seorang Ian, pribadi yang hangat, itu dulu. Jauh sebelum kecelakaan yang menimpanya dan menewaskan kedua orang tuanya. Musibah yang bertubi-tubi, menjadikan Ian pribadi yang dingin dan semena-mena seperti sekarang ini. 


Ya, Ian dan David sudah bersahabat sejak kecil, selain itu orang tua mereka juga bersahabat. Dengan tangan dingin Ian, memoles kemampuan David hingga bisa seperti sekarang ini. Menjadi salah satu kepercayaan Ian di AA Corp sebagai Kepala Divisi Riset.


David bergegas ke ruang kerja. Bersegera melaksanakan perintah Ian. Sebenarnya aneh juga, Ian tidak pernah dekat perempuan, tiba-tiba memerintahkan mencari informasi. Perempuan mana juga yang mau dekat dengannya, liat tampangnya saja pasti sudah lari. David terkekeh mengingat sahabat karibnya itu.


Tak perlu menunggu lama, David sudah menemukan informasi tentang Fafa. David penasaran, bagaimana bisa Ian? Kapan dia kenal perempuan! David benar-benar tidak percaya. Apakah Ian sudah normal? Entahlah, Coba nanti kutanya bagaimana dia kenal perempuan ini.

"Ck, luar biasa si Boss, tahu aja bening begini!" decak David setelah mendapatkan semua informasi tentang Fafa.


Suit suit

David bersiul, setelah sukses mengirimkan e***l ke Ian.

"Done!" seru David. 


Hari ini, Ian lebih diam dari sebelumnya. Entah apa yang saat ini dia rasakan hingga membuat begitu gelisah. Rusdi terus memperhatikan Ian yang masih tetap di tempat semula, meskipun hari sudah beranjak siang. Rusdi berinisiatif menawarkan sarapan lagi. Jawaban yang diperoleh masih tetap sama, nanti saja.


Ting

Bunyi notifikasi e***l masuk di ponsel Ian. Secepatnya Ian membuka dan segera menelusuri setiap informasi yang dikirimkan oleh David. Ian sedikit terkejut, Fafa bukan gadis sembarangan. Selain otaknya encer, secara fisik juga menarik walaupun tertutup baju dan kerudung yang besar.


'Gadis ini, tinggi 170 cm dan berat 55 kg. Luar biasa keponakan Rusdi ini. Aku harus mendapatkanmu!' seru Ian dalam batin. Jauh dalam hati Ian tidak percaya jika Rusdi memiliki keponakan seperti Fafa. Jarinya pelan mengusap foto Fafa yang terpampang di layar ponsel. 


Apakah aku sudah mulai tertarik pada dia!' batin Ian. Tidak semudah itu! aku harus memastikan seperti apa dia. Seulas senyum langsung tampak di wajah Ian. Bukan senyum yang bisa melelehkan hati, lebih tepatnya senyum menyeringai.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status