"San, kamu pindah ke sini!" Ikhsan menoleh menatap Ian dan melongo.
"Iya Kak."
"Kamu dan istriku tinggal di sini. Besok paman yang urus semua."
Ikhsan masih mengumpulkan pemahamannya. 'Pindah ke sini? Jadi aku dan kakak tinggal di rumah ini!' batin Ikhsan. Dia langsung mengangguk tanda paham.
"Iya Kak, tapi keputusan tetap sama kak Fa."
"Hhmm."
Keduanya kembali pada aktifitas masing-masing, hingga kedatangan Fafa memecah keheningan ruang tengah. Fafa langsung duduk di samping Ian.
"By, ayo sarapan!" ajak Fafa.
"Hhmm."
"Dik, sudah sarapan?" tanya Fafa.
"Sudah Kak, tadi sama pak Anto dan bulek."
Fafa langsung mendekatkan kursi roda di sebelah sofa. Dia langsung memeluk tubuh Ian, perlahan Ian menggeser tubuhnya ke arah kursi roda. Setelah dirasa nyaman, Fafa langsung melepas kunci kursi ro
"Ian, aku minta ma-," kalimat Frans terputus."Frans, aku tidak peduli perasaanmu. It's your business." Frans mengangguk.Ian langsung menggerakkan kursi rodanya keluar dari kamar tamu. Dia berpapasan dengan Fafa yang hendak mengetuk pintu ruang kerja Ian. Fafa mendengar suara pintu di tutup langsung menoleh."By!""Eh, Kak Frans." Frans tersenyum tipis dan mengangguk."By, kudapan dan kopi mau taruh di mana?""Ian, gue masuk dulu," pamit Frans sembari memegang bahu Ian dan tersenyum ke arah Fafa."Kudapan apa?""Tadi Fa bikin croissant.""Croissant?""Iya, By mau coba?""Naik!"Fafa yang sudah mulai hapal kebiasaan Ian, sudah mulai tidak canggung lagi. Dia langsung naik ke atas kursi roda Ian. Segera saja Ian melajukan kursi roda ke ruang tengah. Dia melihat tidak ada nampan di atas meja."Di mana?""Masih di dapur, By." Ian mengangguk.Di dapur, Ian melihat Tini sedang me
"Maaf Kak Dav ...," ujar Fafa."Kenapa?""Cuci tangan dulu!""Aku udah lapar," rengek David. Fafa tersenyum tipis."Baik. Kakak tunggu di sini saja."Fafa langsung mengambil baskom berisi air. "Ini Kak," ujar Fafa."Makasih, Dik!" ujar David. Fafa mengangguk.Ian langsung melotot mendengar ucapan David. 'Ni orang bener-bener minta di hajar!' batin Ian. David tertawa terbahak melihat reaksi Ian. Hobi baru David sekarang adalah menggoda Ian. Fafa langsung mendekati Ian. Dia langsung mengambil piring."By," panggil Fafa seraya menunjukkan piring yang dipegangnya. Ian menggangguk."Sedikit saja nasinya, Sayang."David berdehem mendengar Ian memanggil Fafa dengan kata sayang. Sejak kapan Ian bucin begitu. 'Tapi kalau melihat cara Fafa memperlakukan Ian seperti itu, memang benar kata mami kalau Ian laki-laki terberuntung dan setimpal dengan hidupnya selama ini yang kesepian. Menang banyak Ian,' batin David.
Brut! brut!Fafa berusaha melepaskan dekapan Ian, sedangkan Ian sendiri sibuk membekap hidung Fafa. Keduanya berpandangan. Sejurus kemudian tertawa terbahak."Bau, Sayang. Tutup hidungnya."Ian terus berusaha menutup hidung Fafa. Karena takut jatuh, Fafa memaksa turun dari atas kursi roda. Fafa tertawa terpingkal-pingkal, hingga langsung duduk di lantai. Ian menyaksikan itu-takjub. Ternyata yang membuat istrinya tertawa adalah hal-hal sederhana, walaupun di sini Ian yang tampaknya dipermalukan. Bahkan Ian tidak menyangka jika hanya dengan dirinya buang angin, bisa membuat Fafa bisa tertawa seperti itu. Dia berfikir, Fafa akan menunjukkan ekspresi tidak suka. Ternyata justru tertawa, entah apa yang dianggap lucu oleh gadisnya. Setelah tawanya mulai mereda. Perlahan Fafa mendekati Ian, mengendus area bawah Ian."Nggak bau, By. Berarti bukan BAB, ini hanya kentut aja," ucap Fafa tersenyum geli."Kentut?" tanya Ian."Kentut sama dengan buang ang
"By ... By ...! seru Fafa panik.Fafa terus memanggil Ian sembari menangis. Ian semakin tidak tega melihatnya, langsung berpura-pura gelagapan dan tangannya berusaha memegang badan Fafa. Dia merasakan Ian mencengkeram lengannya. Fafa langsung membantu Ian menggeser badan ke atas. Bagaimana bisa Fafa melupakan fakta jika Ian tidak bisa mengendalikan bagian pantatnya tegak menopang tubuh bagian atas."By ...! Syukurlah." Fafa langsung memeluk erat Ian dengan sisa-sisa tangisannya. Dia lupa dengan kondisi tubuhnya. 'Ah, begini rasanya dipeluk dari depanHangat dan aagghh luar biasa. Hai kau yang di bawah sana, cepatlah bagun dan mengganaslah!' batin Ian senang.Sore ini acara mandi terlama yang pernah dilakukan Ian. Bagaimana tidak lama? Mandi bersama istri. Ingatkan Ian untuk wajib memasukkan kegiatan ini di list harian. 'Jul, aku harus memberimu bonus. Tahapan terapi-mu, membuatku menang banyak mulai sekarang,' batin Ian puas. Ian sudah membayang
"Kak, Kak Fa!" panggil Ikhsan."Sudah jangan menangis, Sayang. Habiskan makananmu!" perintah Ian, sesaat setelah menghapus air mata Fafa.Ketiganya makan malam dalam diam. Ikhsan merasa bersalah dengan ucapannya tadi. Dia harus melakukan itu, agar Fafa tidak terlalu kepikiran. Bagaimana pun dia laki-laki, jika sekarang harus tinggal sendiri di Kediri tidak ada masalah. Ikhsan sadar cepat atau lambat dia pasti segera berpisah dengan Fafa. Apalagi kakaknya sekarang berstatus istri.Selesai makan malam, Ian memanggil Rusdi dan Tini untuk segera datang ke rumah utama. Ian berencana membicarakan masalah ini dengan mereka karena posisi Rusdi kerabat dan wali Ikhsan. Di sinilah sekarang, mereka berkumpul dan duduk di sofa ruang tengah. Ian memerintahkan Tini membuat minuman hangat dan membawa camilan."Paman, aku ingin membicarakan soal Fafa dan Ikhsan yang besok sore balik. Sayang, bicaralah!" pinta Ian lembut.Semua pandangan mata tertuju pada Fafa. Hati Faf
"Paklik, By ...!" seru Fafa.Rusdi setengah berlari mengambil tas kecil di dalam nakas. Dia segera mengambil alat injeksi yang sudah terisi obat penenang dan langsung mengarahkan di lengan Ian. Fafa terus memeluk tubuh Ian dan terus mengelus punggungnya. Fafa merasakan tremor badan Ian perlahan menghilang hingga tubuh Ian total lunglai. Fafa di bantu Rusdi segera membaringkan tubuh Ian."Sudah, Nduk. Mas Ian sudah tenang.""Apa sering seperti ini, Paklik?" tanya Fafa."Sudah tidak pernah beberapa tahun terakhir ini. Entah kenapa sekarang seperti ini lagi."Fafa terus berada di samping Ian. Dia memandang lekat suaminya. Apa yang membuat Mas Ian seperti ini."Nduk, paklik keluar dulu ya," ujar Rusdi."Iya makasih Paklik."Fafa segera merebahkan diri di samping Ian, lalu menggeser tubuhnya merapat dan menghadap ke tubuh Ian yang tidur dalam posisi terlentang. "Sebenarnya apa yang terjadi padamu, By. Penderitaan seperti apa yan
Pintu perlahan terbuka. Seorang perempuan langsung menerobos masuk. "Rusdi .... Mana bocah nakal itu, hah!" seru perempuan itu. Rusdi terkejut. "Nyonya Hi-Hinata!" ujar Rusdi. "Iya, mana keponakanku itu?" tanyanya. "Maaf, Nyonya Nata sekarang ini Tuan Muda sedang kurang sehat," jawab Rusdi. Ian memejamkan mata, kala mendengar suara perempuan masuk. Dia bersiap untuk menerima amarah dari Nata. Perempuan itu adalah Hinata. Dia adik satu-satunya mendiang Anya. Saat pernikahan Ian, dia batal datang karena bandara Tokyo di tutup ada badai. "Heh, Ric. Mana istrimu!" teriak Nata-Andrian biasa dia panggil Ric. "Bi, sudahlah. Dia ada di dapur, jangan marahi aku sekarang." Nata memperhatikan seksama keponakannya ini. Wajah lelah Andrian tidak dipungkiri membuatnya sedikit takut. Andrian adalah satu-satunya kerabatnya. Tiba-tiba rasa takut kehilangan menyeruak di hati Nata. Dia perlahan mendekati Andrian dengan eks
"Please ...!" pinta Fafa. Melihat Ian tertawa, entah kenapa tiba-tiba Fafa menjadi sangat jengkel. Saat hendak turun dari pangkuan Ian, lengan Fafa di cengkram kuat."Siapa yang memberimu ijin turun!" tegas Ian. Dia langsung menjatuhkan Fafa di sampingnya."Jangan pergi dulu, di sini saja. Pagi ini, mungkin saja pelukan kita yang terakhir," ucap Ian pelan sembari menempelkan puncak hidungnya ke pipi Fafa. Entah kenapa perasaan Fafa menjadi tidak enak mendengar ucapan Ian."By," panggil Fafa. Ian memalingkan wajahnya.Fafa langsung naik dan duduk di atas badan Ian. Entahlah, dia dapat keberanian dari mana. Saat ini yang terpenting adalah Ian harus memberi penjelasan atas ucapannya tadi. Ian terkejut saat Fafa naik ke atas tubuhnya. Dia secepat mungkin menormalkan ekspresi wajah terkejutnya. Fafa langsung menangkup rahang Ian dengan kedua telapak tangannya."By, lihat sini!" pinta Fafa. Ian mengabaikan, dia malah memejamkan mata. Fafa yan