Share

02| Perjanjian Satu Tahun

Alzen duduk bersandar dengan tangan menyilang di depan dada, menunggu Thana selesai membaca kontrak di ponselnya, jika setuju maka akan ia cetak untuk ditanda tangani bersama diatas materai.

Thana yang baru merasa jauh lebih tenang tampak tidak keberatan dengan semua hal yang tertulis di dalam kontrak. Lalu, ia meletakan ponsel Alzen di atas meja dan mengangguk lemah, pasrah seakan-akan pilihan itu bukanlah apa-apa.

Dalam kontrak tertulis;

1. Menikah untuk satu tahun.

2. Jangan mencampuri urusan pribadi masing-masing tanpa izin.

3. Pembagian harta gono-gini sesuai aturan kerajaan.

4. Pemberian uang tunjangan sesuai kontrak sebanyak (50 Miliar *Prail)

(*Prail= Mata uang Kerajaan Oltocasc)

Hanya itu. Tidak ada perjanjian khusus. Bagi seorang Thana yang ingin keluar dari kehidupan yang menyengsarakan sudah merasa cukup dengan itu semua. Setidaknya, menjadi istri seorang penerus tahta akan membuat nama dan kehormatannya terangkat.

Tapi, bagaimana dengan keluarga kerajaan? Thana rasa, pasti sulit menerima orang luar seperti dirinya yang merupakan anak haram tanpa nama keluarga Ayah di belakang namanya.

"Jadi, kau- tunggu, apa aku boleh berbicara santai?" Tanya Alzen, memastikan.

"Kau pangeran, lakukan saja apa yang anda mau." Kata Thana dengan tatapan sendu.

Alzen mengambil ponselnya dari atas meja, "Jika memang seperti itu, well, thank you. So, apa ada yang kurang kamu setujui atau ingin ditambahkan? Mungkin mau menambah jumlah tunjangan setelah kita bercerai nanti?"

Thana menggeleng. Jumlah yang Alzen tawarkan sangatlah besar, ia bisa hidup dengan nyaman di kota lain menggunakan uang itu. Satu tahun menjadi seorang putri mahkota juga tidak terdengar lebih buruk dari terasing di tepi hutan.

"Satu tahun." Thana menatap Alzen, "Apa selama itu aku tetap bisa menikmati hak istimewa sebagai seorang ratu?"

"Setelah aku dilantik, tentu. Tapi kamu akan mendapat pelatihan tentang etika kerajaan terlebih dahulu." Alzen menyondongkan tubuhnya, "Jangan terlalu terbebani, aku pun tidak selalu patuh pada aturan." Bisiknya.

Thana tersenyum tipis dan mengangguk paham. "Baiklah kalau begitu, aku mengerti, Yang Mulia."

"Alzen, just Alzen atau Zen." Alzen beranjak dari kursi, "Satu lagi, apa kau punya keluarga atau saudara?"

Thana terdiam mematung.

"Jangan khawatir, hanya untuk berjaga-jaga jika Ayahku menanyakan itu untuk keperluan pernikahan. Kalau tidak ada, gak pa-pa, kita bisa mengarang." Alzen tersenyum sebelum kepergiannya. "Istirahatlah, perjalanan ke kota akan cukup melelahkan."

"Terima kasih." Ucap Thana.

Melihat sosok Alzen yang tanpa ragu mengajukan penawaran gila membuat Thana percaya pada rumor tentang pangeran pembuat onar. Tapi, dia terlihat seperti pria yang baik.

Alzen pergi meninggalkan tenda yang Thana tempat, lalu pergi ke tenda yang lain. Sekarang, ia sudah bisa menghela nafas lega karena tidak perlu menemui putri-putri atau wanita bangsawan yang dijodohkan pada dirinya. Mereka terlalu sombong dan egois, merasa menjadi pusat perhatian dunia, padahal jika bukan terlahir dari keluarga bangsawan, gadis-gadis manja itu hanya gadis biasa yang berbelanja di pasar tradisional.

***

Suara hujan mulai menghilang, tinggal rintik-rintik kecil yang tersisa. Udara yang dingin membuat Thana memilih meringkuk di bawah selimut tebal pemberian pelayan atas perintah Alzen. Setiap kali Thana melihat kesekeliling tenda, ia baru menyadari bahwa kehidupannya di rumah kayu tepi hutan sangatlah menyedihkan.

Tenda ini diterangi oleh lampu gantung yang bisa diisi ulang dengan baterai atau listrik, sedangkan gubuk kayunya hanya bermodalkan lampu minyak temaram dan perapian seadanya untuk menghangatkan diri dimusim dingin atau hujan seperti sekarang ini.

Tanpa sadar air matanya terjatuh, Thana merasa kasihan pada dirinya sendiri. Ia merasa tidak berharga dan layak hidup di dunia sampai menyerahkan diri pada sang pangeran dengan imbalan besar. Setidaknya ada orang yang membutuhkan keberadaannya walau hanya sementara.

Thana meremas dadanya yang terasa sesak, kesedihannya terlalu dalam untuk bisa dikeluarkan melalui tangisan.

Sreeek!

Tiba-tiba saja seseorang menyibak penutup tenda.

Thana terkejut dan sontak menoleh ke arah masuk tenda, "A- Alzen?" Disekanya sisa-sisa air mata, "Ada... Ada apa sampai datang kemari malam-malam begini?"

Alzen berjalan mendekatinya dengan kening mengernyit, "Are you okay?" Ia malah balik bertanya.

Alzen mendudukkan diri di tepi tempat tidur, tepat di samping kanan Thana yang bersila berbungkuskan selimut. Gadis itu masih terlihat sangat menyedihkan bahkan setelah berganti pakaian dan diberi makan. Ternyata luka yang dideritanya terpancar dari dalam.

"Aku mendengarmu menangis, kalau ingin bercerita, aku siap mendengarkan." Kata Alzen, lalu diraihnya tangan kanan Thana, "Ceritamu aman bersamaku." Ucapnya meyakinkan.

Entah kenapa, tapi hati Thana terasa menghangat dan setelah mendengar itu, tangisan Thana kembali pecah. Ia bahkan tidak ragu lagi menahan isakan demi isakan, terlebih lagi saat Alzen mengelus kepalanya.

Tanpa bicara, hanya ada isakan kecil Thana dan usapan lembut Alzen. Seakan mengerti dengan apa yang Thana butuhkan, Alzen sama sekali tidak memaksa dia bicara dan hanya memberikan kenyamanan.

"Besok, apa aku bisa mampir pulang? A-ada sesuatu yang tertinggal," tanya Thana setelah merasa lebih tenang.

Alzen mengangguk, "Tentu, aku akan mengantarmu. Aku memaksa, jadi, jangan menolak."

Untuk pertama kalinya ada seseorang yang menemaninya. Hal seperti itu biasa bagi orang lain, tapi istimewa untuk Thana yang selama hidupnya diasingkan.

"Dengar, kita akan menikah walau hanya sebatas kontrak, jangan terlalu canggung denganku." Alzen melepaskan tangan Thana, "Berusahalah untuk tidur, terlalu banyak menangis hanya akan membuat kepalamu sakit."

"A-aku tidak bisa tidur, apa lebih baik aku pulang dan tidur di sana?"

Alzen mengernyit, "Mana bisa, jalanan hutan akan sangat gelap."

"Rumahku bukan di desa, rumahku tidak jauh dari danau tempat kita bertemu tadi." Ucap Thana dengan kepala menunduk, "Kamu... Kamu pasti akan membatalkan kontrak setelah tahu keadaanku yang sebenarnya." Lanjutnya.

"Memangnya menurutmu apa lagi yang seorang Pangeran butuhkan? Seperti yang aku katakan, aku butuh seorang pengantin, hanya itu." Kata Alzen, "Kita pergi besok, jangan mendebatku."

Memang benar, sebagai seorang Pangeran yang akan mengisi tahta menggantikan sang Kakak yang telah tiada, Alzen sudah pasti memiliki segalanya. Dia hanya butuh Thana, bukan harta atau gelar kebangsawanan. Satu lagi, sifat penguasa yang baru saja Alzen tunjukkan membuat Thana yakin bahwa dia turunan kekaisaran, suka mengatur dan menyebalkan.

Thana mendongak dan menatap wajah Alzen dari samping. Pria tampan itu nyaris sempurna, bahunya yang lebar seakan melambai untuk disandari. Tapi, Thana masih sadar untuk tidak melakukan itu.

"Aku memang tampan, tapi tidak perlu ditatap seperti itu." Alzen tertawa ringan.

Thana memalingkan wajahnya, "Kau pria pertama yang mengajakku bicara, selain Ayahku." Katanya.

Sulit dipercaya, tapi Alzen tidak melihat kebohongan dari wajahnya. Dan anehnya, ia jadi semakin penasaran.

"Tidurlah, aku bisa mengajakmu bicara lagi besok." Alzen membenarkan selimut yang terjatuh dari bahu Thana.

"Baiklah,"

"Selamat malam. Mau goodnight kiss?"

Thana sontak menggelengkan kepalanya.

Alzen terkekeh pelan, "Aku hanya bercanda, tidak perlu takut seperti itu."

Kehadiran Alzen membuat keheningan malam tidak terlalu membuat Thana kesepian. Sampai hari ini, gadis malang itu belum pernah tahu rasanya memiliki seorang teman untuk diajak bicara dan ternyata rasanya menyenangkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status