Share

03| Kalung yang Sama

Sungguh diluar perkiraan, Alzen kira rumah yang Thana maksudkan tak jauh dari danau adalah sebuah rumah dengan bangunan yang layak. Tapi, ternyata hanya sebuah bangunan berbahankan kayu yang kurang pemeliharaan. Kamar yang semalam Thana maksudkan sebagai kamarnya hanyalah sebuah dipan dengan kasur yang tak begitu tebal. Tapi secara keseluruhan, Thana berhasil membuat seluruh ruangan bersih dan rapih. Alzen tidak tahu bahwa ada seorang gadis yang bisa dan mau menempati tempat menyedihkan seperti ini.

Alzen sibuk memerhatikan lemari pakaian yang pintunya saja sudah hilang sebelah, sedangkan Thana terlihat sedang membuka laci kecil di samping tempat tidurnya yang sederhana, bahkan terbilang menyedihkan di mata Alzen.

"Ketemu!" Seru Thana seraya mengangkat kalung berliontin biru yang cantik, "Yang mulia pangeran mahkot- ah, maaf, Alzen, aku sudah menemukan satu-satunya barang berhargaku."

Alzen pun berbalik badan, "Apa ini lemari pakaianmu?" Tanyanya sembari menunjuk ke lemari yang ia belakangi.

Thana mengangguk, "Haruskah aku membawa pakaian-pakaian itu?"

"Tidak. Itu tidak layak disebut pakaian." Ujar Alzen.

Sontak saja Thana menunduk dan mengamati pakaian yang menempel ditubuhnya. Setelah kehujanan semalam, dia dipinjamkan seragam salah satu pelayan dan dari segi warna saja sudah jauh lebih baik dibandingkan pakaian di dalam lemarinya.

Melihat reaksi Thana yang sedemikian sedihnya, Alzen mulai merasakan sebuah rasa bersalah. Bukan dosanya kalau dia kurang beruntung dalam hidup.

Padahal Alzen tidak pernah menyesali semua ucapan yang telah keluar dari mulutnya, tapi kali ini dia langsung mengutuk dirinya sendiri karena sudah membuat Thana merasa tidak cukup baik dengan apa yang dimilikinya.

"Hey," Alzen mengangkat dagu Thana, "Jangan pernah menundukkan kepalamu lagi, sebagai calon permaisuri negeri ini, kau harus punya harga diri." Tekannya mengingatkan.

Thana menjauhkan tangan Alzen, "T-tapi... Kamu sendiri yang menghina pakaianku. Seperti y-yang aku bilang, kau pasti akan berpikir ulang..." Cicitnya.

Wajah sendu Thana terlihat berbeda dari seorang gadis yang ditemui di tepi danau, padahal ia hanya dipoles make up tipis oleh pelayan tapi kecantikanya sudah mulai muncul kepermukaan.

Alzen menunduk, menantap mata biru nan indah yang dihiasi bulu mata lentik. Kenapa dia baru menyadari itu? Lalu bibirnya, terlihat kenyal dengan warna merah muda yang natural. Sungguh menggemaskan.

Sadar dengan apa yang sedang dipikirkannya, Alzen langsung mengambil langkah mundur dan berdehem pelan untuk menghilangkan kegugupan. Suhu di kamar itu mendadak terasa panas, padahal masih terlalu pagi untuk merasa kegerahan, terlebih lagi semalaman habis diguyur hujan.

Thana menatap Alzen dengan heran, "K-kamu kenapa?"

Alzen mengusap tengkuknya dengan gugup, "Kamu sudah selesai, kan? So, let's go!"

Dia melengos pergi terlebih dahulu, meninggalkan Thana yang kebingungan dengan tingkah Alzen yang tiba-tiba seperti salah tingkah.

"Dia kenapa? Aneh, sekali." Thana bergumam kemudian menyusul Alzen keluar.

Alzen berdiri di ambang pintu sembari menarik nafas dalam-dalam, menghirup udara sebanyak mungkin. Pemandangan di luar sungguh indah, tanah lapang di sana sebagian ditanami tanaman kentang dan kubis. Udaranya pun segar, jauh dari polusi asap kendaraan ataupun pabrik-pabrik, tak heran jika Desa Kalentis ini menjadi penghasil bumi terbanyak setiap tahunnya.

Tak selang beberapa lama, Thana muncul dan bergabung dengan berdiri di sampingnya. Ia sesekali melirik Alzen.

"Apa ada yang ingin kamu katakan?" Tembak Alzen tepat pada sasaran. Ia pun menoleh, "What?"

Thana menunjukkan kalung di telapak tangannya, "Bisa tolong pakaikan?"

Tanpa menjawab, Alzen mengambil kalung tersebut lalu dilihatnya secara seksama. Kalung yang indah, pikirnya. Melihat kondisi rumah yang alakadarnya, Alzen sedikit terkejut bahwa Thana memiliki kalung berliontinkan permata biru asli.

"Ini... Kalung peninggalan ibumu?" Tanya Alzen pada akhirnya. Rasa penasaran yang dia miliki selalu gagal ia tahan.

Thana mengangguk.

"Benarkah?"

"Aku bukan pencuri." Kata Thana yang tahu arah pikiran Alzen mengenai kepemilikan kalung itu. Melihat keadaannya, pasti sulit untuk percaya bahwa dia memiliki sebuah benda berharga.

Alzen menggeleng sembari memutar tubuh Thana jadi membelakanginya, "Aku tidak menuduhmu mencuri, aku hanya bertanya. Jangan mudah tersinggung seperti itu."

Thana sedikit terjengit kaget saat tangan dingin Alzen mengenai leher saat menyibakkan rambut panjangnya yang digerai. Alzen menyampirkan rambut hitam legam itu ke depan dan mulai memasangkan kalung tersebut.

"Selesai." Kata Alzen.

Thana tersenyum, karena setelah sekian lama, dia akhirnya bisa memakai kalung tersebut. "Terima kasih." Ucapnya.

"Senyumanmu indah, sering-seringlah menunjukannya." Alzen mengisap liontin biru yang tersebut tanpa memedulikan betapa terkejutnya Thana dengan tindakan spontanitasnya.

Liontin itu mengantung dengan indah di depan dada Thana yang hanya bisa diam saat Alzen terpesona dengan keindahan kalungnya.

"Aku punya kalung yang sama persis," Alzen menjauh, "Sama-sama peninggalan dari seorang Ibu." Lirihnya mendadak terdengar sedih.

Thana tahu bahkan semua rakyat kerajaan Oltocasc pun tahu bahwa Alzen adalah putra dari istri kedua Kaisar yang harus kehilangan sang Ibunda ketika berusia 10 tahun. Karena tidak diberitahukan penyebabnya, orang-orang mulai menyebar banyak rumor dan spekulasi bahwa kematian itu merupakan sebuah pembunuhan.

Tanpa sadar tangan Thana bergerak mengelus lengan Alzen, "Setidaknya kamu tahu rasanya memiliki Ibu."

"Oh... Jadi, mau membandingkan siapa yang paling menyedihkan dibanding siapa?"

Thana terkekeh pelan, "Setidaknya kamu menangis di istana yang megah, tidak sepertiku. Aku harus hidup sendirian di rumah kayu ini sejak umur 15 tahun, dan..."

Alzen mengangkat sebelah alisnya, "Dan?"

"Apa kita bisa mampir ke rumah Ayahku? Aku ingin berpamitan padanya sebelum pergi ke kota." Tanya Thana, "Meskipun aku hanya anak haram, tapi hanya dialah yang mengunjungiku walau harus dimarahi oleh istrinya."

"Jadi, kau masih memiliki Ayah? Wow, keadaanmu tidak menunjukkan itu."

Thana tersenyum, "Tidak semua Ayah bertanggung jawab, Zen. Dan yeah, kalung ini Ibu dapatkan sebagai hadiah dari pria beristri itu. Pria yang beberapa hari lalu memutuskan untuk berhenti memberi uang dan sepenuhnya meninggalkanku demi putrinya yang lain. Dia... dia takut kehadiranku menyulitkan putrinya yang berharga." ucapnya.

Sungguh fakta yang sedikit mengejutkan, Alzen tidak menyangka bahwa kemalangan yang dilihatnya bukanlah cerita keseluruhan. Perlahan-lahan Alzen mulai bisa mengerti kenapa gadis malang ini menyerah akan hidupnya. Entah kesedihan dan kesengsaraan apalagi yang Thana alami selama menjalani kehidupan sendiri di tepi hutan sejak remaja.

Alzen mempersilakan Thana untuk berjalan lebih dulu meninggalkan rumah kayu tersebut, "Akan aku temani. Kita temui your wicked family itu."

"Terima kasih banyak." Ucap Thana penuh syukur, lalu terkekeh pelan, "Kamu terdengar lebih kesal dariku,"

Mereka kembali menaiki kuda sampai ke tempat penangkarannya di dekat desa yang merupakan milik keluarga kekaisaran. Setelah itu, mereka akan melanjutkan perjalanan menggunakan mobil.

Yeah, mobil, kerajaan Oltocasc adalah kerajaan termahsyur di benua dengan prajurit terbanyak dan wilayah terluas. Hasil bumi yang melimpah memperkuat perekonomian di sana, dari tambang sampai pertanian berlimpah.

Seperti sebelumnya, Thana duduk di depan dengan Alzen di belakang. Ia sesekali memegangi pinggang ramping Thana setiap kali gadis itu hilang keseimbangan, tapi tubuhnya yang kurus membuat Alzen tidak begitu kesulitan dan terganggu. Alzen justru mengkhawatirkan bobot tubuh gadis yang sebentar lagi akan menjadi istrinya, the Queen of Otocasc.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status