Share

04| Bukan Akting?

3 mobil hitam nan mewah menarik perhatian orang-orang yang sedang berlalu-lalang. Mereka mulai berbisik pada satu sama lain ketika mobil-mobil itu berhenti di depan gerbang sebuah rumah dengan halaman luas dan bangunan yang besar, rumah Martinus Thorne. Ya, Ayah dari Thana Yudistia.

Di dalam mobil pertama, Alzen terlihat sibuk menatap Thana. Gadis itu terpaku pada gerbang besar dengan tatapan penuh luka dan rasa kecewa, Alzen bisa melihat itu dari air mata yang menggenang di pelupuk mata indahnya.

"Apa di dalam gerbang itu rumah Ayahmu?" Tanya Alzen memastikan.

Thana mengangguk lesu, "Iya..."

Alzen langsung menyuruh salah satu orangnya keluar untuk meminta akses masuk pada si penjaga rumah yang sedari tadi hanya diam memandangi mobil-mobil di hadapannya.

Tak lama kemudian terlihat si penjaga buru-buru membukakan gerbang, sepertinya dia sudah tahu siapa yang berada di dalam mobil, Pangeran kedua yang sebentar lagi naik tahta menggantikan Pangeran mahkota yang telah tiada.

Kekhawatiran yang menghiasi wajah Thana semakin terlihat dengan jelas ketika mobil mereka mulai memasuki area kediaman keluarga Thorne. Jika memang dia diasingkan sejak usia 15 tahun, itu berarti sebelumnya Thana sempat menjalani kehidupan dalam rumah yang begitu membenci dirinya.

Entah semenakutkan apa, tapi melihat tangannya yang bergetar membuat Alzen yakin bahwa 15 tahun pertama kehidupan Thana jauh dari kata bahagia. Gadis itu jelas terlihat ketakutan.

"Zen, apa sebaiknya kita kembali saja? Aku tidak perlu menemui mereka," Thana mulai meragukan keputusannya untuk datang ke sana.

Terlambat, mobil mereka sudah berhenti di depan pintu masuk utama. Tak dapat dipungkiri, rumah itu memang indah, sentuhan klasik dengan banyak tanaman di halaman berhasil membangun suasana yang nyaman. Tapi, tidak untuk seorang Thana, dia sudah merasa gelisah bahkan sebelum menginjakan kaki di lantai rumah itu.

"Kamu mungkin tidak, tapi aku perlu bertemu Ayahmu," Ucap Alzen, "Akan berabe kalau mereka tiba-tiba muncul setelah kita menikah nanti dan mengacaukan segalanya." Lanjutnya.

Benar juga, pikir Thana. "Baiklah."

Setelah itu, Alzen keluar dari dalam mobil, lalu disusul oleh Thana yang juga dibukakan pintu oleh pelayan. Begitupula dengan mereka yang berada di dua mobil lainnya, semua langsung mengambil posisi masing-masing untuk berjaga, memastikan calon raja mereka aman.

Seorang pelayan hendak menekankan bel untuk mereka, tapi Alzen mencegahnya dan melakukan itu sendiri. Untuk kesekian kalinya Thana dibuat terkejut, menekan bel saja harus berebutan.

Bel pertama, gagal. Tidak ada yang keluar. Kemudian, Alzen mencobanya lagi dan lagi sampailah ke percobaan ke empat. Barulah terdengar suara sepatu hak tinggi dari dalam, bukan hanya satu orang, ada langkah kaki lain.

Ceklek.

Pintu pun terbuka, terlihatlah seorang pria paruh baya bersama seorang gadis di samping kanannya. Pria itu, dia pasti Martinus Thorne dan yang disampingnya, Alzen tidak tahu, Tahan belum memberitahu.

"Thana?" Martinus mengernyit heran saat menyadari putri dari hubungan gelapnya berdiri di sana, lalu ia beralih pada Alzen dengan tatapan tak kalah bingung. "Lalu, anda ini siapa?"

Dibandingkan Ayahnya, putri sulung keluarga Thorne lebih fokus pada Alzen. Dia, Marletta Thorne. Padahal, biasanya dia adalah orang pertama yang mengusir Thana bahkan sebelum melewati gerbang masuk.

"Ayah, aku-"

"Apa kita pernah bertemu, Tuan?" Potong Marletta sembari menajamkan pandangannya.

Alzen menggeleng, "Tidak."

"Ah... Benar, mustahil bertemu pria setampan dirimu di lingkungan ini. Dan, mereka siapa?" Marletta dan sang Ayah mengedarkan pandangan pada sepuluh orang yang berjaga di depan teras rumah mereka, "Tunggu dulu..."

Pria tampan dengan dandanan rapih, penjagaan khusus? Tunggu, Marletta langsung merogoh ponselnya dari dalam saku, lalu membuka galeri dan mulai mencari-cari sebuah foto yang menurutnya tidak asing dengan pria di hadapannya.

Sedetik kemudian mata Marletta membola, ia langsung menyenggol sang Ayah sembari menunjukkan sebuah foto di layar ponselnya.

"Ya Tuhan... Pangeran!" Martinus segera memberi salah hormat dengan membungkukkan tubuhnya, "Letta, bungkukkan tubuhmu." Bisiknya pada sang putri.

Marletta yang terkesima pun sadar dan langsung memberi salam, "Maafkan kami Pangeran karena sudah tidak mengenali anda." Sesalnya.

Alzen memijat pelan keningnya dan menghela nafas, "Tidak perlu sampai meminta maaf seperti itu."

"Terima kasih Pangeran, silakan masuk. Maaf karena sudah membuatmu menunggu, mari..." Martinus mempersilakan Alzen masuk.

Alzen melirik Thana yang sepenuhnya bungkam, seakan menghilang, menarik diri dari perhatian.

"Mari, Pangeran..." Ucap Marletta tersenyum ceria.

Alzen meraih tangan Thana, lalu digenggamnya dengan erat. Thana terkejut untuk beberapa saat dan refleks menengok ke arah Marletta yang terlihat tidak suka dengan tindakan Alzen. Tapi, kini Thana tidak mengalah, dia membalas genggaman tangan Alzen. Kemudian, mereka masuk sambil bergandengan tangan.

Bukan hanya Marletta yang terheran-heran, Martinus pun sama terkejutnya melihat cahaya harapan Oltocasc menggenggam tangan putri yang ia rahasiakan dari dunia luar.

"Ayah, ada apa ini?" Bisik Marletta.

"Aya juga tidak tahu, cepat suruh Bi Parlin menyiapkan teh dan camilan juga buah-buahan terbaik yang ada. Kalau tidak ada, suruh dia pergi membelinya." Titah sang Ayah.

Dengan perasaan jengkel juga penasaran yang bercampur aduk, Marletta langsung pergi ke belakang untuk mencari keberadaan pelayan rumah mereka.

Sedangkan di ruang tamu, Alzen masih setia menggenggam tangan Thana. Gadis itu bahkan tidak sempat merasa terganggu karena terlalu waspada terhadap sekitar, matanya sering kali tidak fokus.

"Hey, kerjamu bagus. Dengan membalas genggaman tanganku saja sudah membuat saudarimu terkejut." Bisik Alzen, "Kamu bisa lebih berani lagi."

Tak lama kemudian, Martinus datang dan bergabung bersama mereka. Dia duduk di sofa tunggal dengan menghadap pada sang Pangeran, calon raja mereka.

"Pangeran, anda ingin minum apa? Biar saya minta pelayan kami untuk menyiapkannya untukmu." Tanya Martinus.

"Thana, kamu mau apa?" Tanya Alzen pada Thana.

Thana menggeleng, "Apa saja." Jawabnya.

Alzen beralih kembali pada Martinus, "Apapun itu tidak jadi masalah."

Martinus mengangguk pelan, dia masih berusaha mencerna apa yang terjadi saat ini. Tiba-tiba saja seorang pangeran datang berkunjung bersama putri yang diasingkannya dan mereka terlihat dekat, sangat dekat untuk disebut kenalan.

"Kalau begitu, ada keperluan apa sampai anda mengunjungi kediaman kami yang sederhana ini, Pangeran Alzen?" Tanya Martinus, dia sudah tidak bisa berbasa-basi. Ia ingin tahu tujuan pangeran itu membawa Thana bersamanya.

"Jangan mulai tanpa aku!" Seru Marletta, kemudian ia bergabung dengan duduk di sofa tepat diseberang Alzen, hanya terhalang meja saja, "Ah iya, minumannya akan segera disuguhkan," ucapnya.

Alzen mengangguk, setelah itu menatap Martinus dengan serius. Tentu saja itu membuat Ayah dan anak perempuannya sedikit was-was, mereka takut Thana mengadu yang tidak-tidak.

"Begini, Tuan Mar...tinus Thorne, benar?"

Martinus mengangguk.

"Apa benar anda Ayah dari Thana Yudistia?"

"Yang mulia, entah apa yang dia katakan tentang kami. Tapi, kami tidak pernah berniat apa-apa terhadapnya. Ayah saya hanya ingin menjaga saya dari gunjungan orang-orang, terlebih lagi saya sudah memulai debut di kalangan sosialita para gadis bangsawan." Ucap Marletta yang tanpa disadari sudah membenarkan apa yang pernah Thana beritahukan.

Alzen mengangkat sebelah alisnya, "Jadi, benar atau tidak?"

"B-benar, Yang mulia." Jawab Martinus.

Thana hanya diam mendengar saudarinya membela diri, mencari pembenaran atas tindakan buruk yang dilakukan. Alzen mengerti, gadis malang ini pasti sudah lelah membela diri karena tidak pernah ada yang percaya, seperti dirinya dimasa lalu. Ya, Alzen lahir dari selir, tapi ia beruntung karena memiliki Kakak yang baik walau berbeda Ibu. Tidak seperti Thana, tidak ada seorang pun yang membelanya.

"Istri anda tidak ada di rumah?" Tanya Alzen.

"Ibu sedang pergi ke acara amal." Jawab Marletta.

Thana meliriknya sekilas, acara amal apanya, dia pasti sedang berada di salon bersama para istri lainnya yang sama-sama suka bergosip.

Marletta membalas lirikan Thana dengan sinis, seakan-akan mengatainya menggunakan kata-kata terkotor.

Alzen mengangguk paham, "Sebenarnya ke,datangan saya kemari ingin meminta restu untuk meminang Thana."

Deg.

Ayah dan anak itu tampak sangat terkejut. Mereka membeku.

"Saya harap, anda tidak keberatan." Alzen merangkul Thana, "Karena walaupun anda tidak setuju, saya akan tetap menikahinya. Terlebih lagi, keluarga ini telah mencampakannya. Saya yang akan mengambil alih kewajiban keluarga ini, saya akan menjaga Thana dan memberinya kehidupan yang jauh lebih layak." Tekannya.

Thana dibuat terdiam dengan kalimat yang Alzen katakan. Itu tidak terdengar seperti akting, terlalu alami untuk dikatakan demikian.

"Tapi Yang mulia, dia anak dari hasil hubungan terlarang Ayahku. Dia tidak pantas menjadi anggota kerajaan, terlebih lagi anda akan menjadi seorang raja dan otomatis orang ini akan... menjadi ratu? Yang benar saja, Yang mulia!" Marletta mengoceh tak setuju.

Martinus menelan ludahnya dengan susah payah, kemudian meraih tangan putri kesayangannya dengan erat. "Bagaimana kalau Marletta saja yang anda pinang, bukankah-"

"Bagaimana bisa saja menikahi perempuan yang membenci saudarinya sendiri. Bukan salah Thana lahir dari istri anda yang lain, kalau begitu seharusnya anda juga dibenci oleh keluarga anda, benar kan Tuan?" Alzen sungguh kesal, "Thana bahkan tidak mengatakan apa-apa tapi kalian terus memojokannya."

Saat itulah, tanpa sadar Alzen merasa harus menjaga Thana bagaimanapun caranya dan dari siapapun itu.

"Tapi-"

"Saya seorang putra yang lahir dari selir raja, sebaiknya kalian membenci saya juga." Ucap Alzen seraya berdiri, "Kedatangan kami hanya untuk memberitahu anda mengenai hubungan kami, terima kasih." Lanjutnya.

Dengan perasaan tidak percaya bahwa ada orang yang membela dirinya, Thana mengikuti langkah Alzen yang menuntunnya pergi.

Jujur saja, Thana takjub dengan akting Alzen yang menunjukkan bahwa hubungan mereka itu nyata adanya. Padahal, baru semalam membuat perjanjian. Tapi tungguh, Thana amat sangat berterima kasih karena sudah membuat dirinya merasa tidak sendirian.

"Thana tunggu!" Panggil Martinus.

Thana menahan tangan Alzen yang menuntunnya, lalu berbalik, "Ya?"

"Kalung itu, kalung yang kamu pakai, aku yang membelikan itu untuk Ibumu. Berikan padaku," pintanya.

Marletta menghampiri dengan cepat, lalu kemudian menarik paksa kalung itu dari leher Thana.

"Tidak! Letta... Kumohon, kembalikan kalung itu!"

"Ini dari Ayahku, kalau mau pergi, jangan bawa apapun." Bisik Marletta, "Pangeran, hati-hati nanti barang di istana satu-satu menghilang." Ucapnya.

Alzen merangkul Thana, "It's fine." Bisiknya menenangkan. "Dan untuk anda Mr. Thorne, saya akan memaafkan tindakan tidak menyenangkan ini. Sebagai gantinya, tolong jangan ganggu Thana lagi. Lakukan seperti saat anda mengusirnya saat remaja dulu." Ujarnya dengan peringatan tersirat.

Setelah itu, Alzen menuntun Thana keluar.

"Bagaimana kau bisa tahan dan diam saja diperlakukan seperti itu selama bertahun-tahun," gerutu Alzen.

Thana tersenyum, "Terima kasih, aktingmu sebagai calon suamiku sangat bagus. Aku... Aku sampai terkejut sama seperti mereka," ucapnya.

Alzen terdiam. Ia bahkan lupa tentang itu. "Keluargamu itu terlalu pandai membuat kesal, aku jadi dibuat marah sungguhan."

"Jadi, tadi itu bukan akting?" Thana tidak langsung masuk ke dalam mobil.

"Aku tidak tahu, masuklah." Jawab Alzen.

***

Sudah hampir setengah perjalanan menuju ibu kota, tapi tidak ada satupun dari mereka berdua yang membuka sura. Baik Alzen maupun Thana sama-sama sibuk dengan pikirannya masing-masing. Walaupun terlihat tenang, tapi Thana sungguh merasa gugup setengah mati. Dia memang ingin menikah dan mendambakan seorang pangeran berkuda putih datang, tapi ia tidak menyangka akan ada pangeran sungguhan.

"Yang mulia, kita sungguh akan mampir ke apartemen terlebih dahulu?" Tanya sopir.

"Iya, setelah itu kalian langsung pergi saja. Aku akan menyetir sendiri dari sana," Jawab Alzen.

Penjaga yang duduk di depan menengok ke belakang, "Bagaimana jika Yang mulia Ferdinand menanyakan keberadaan anda, pangeran?"

"Katakan saja aku sedang berkencan."

Thana sampai menengok mendengarnya dan Alzen terlihat sibuk mengetikan sesuatu di ponsel.

"Yang mulia," panggil Thana pelan.

Alzen beralih memandangnya, "Apa?"

Thana menggeleng dan kembali menatap keluar jendela, "Tidak jadi."

Alzen mengedikan bahu, lalu lanjut menghubungi sebuah butik untuk mengirimkan designer dengan model pakaian terbaiknya ke apartemen agar Thana bisa segera diukur dan buatkan pakaian. Tidak mungkin bagi Alzen membawa Thana menghadap Raja sebelumnya dalam keadaan berantakan.

Ting.

Sebuah pesan berupa foto masuk, Alzen langsung membukanya. Seketika saja hatinya menghangat dan senyuman terbit begitu saja. Thana yang tak sengaja menengok pun sedikit terkejut.

"Kamu senyum," kata Thana.

"Hm? Gimana?" Alzen terlalu pada foto di ponselnya.

Thana menggeleng, "Senyumanmu berbeda, tidak terlihat dipaksakan."

"Memangnya senyumku yang lain seperti apa?" Tanya Alzen.

"S-seperti... Tertekan."

Damn.

Tertekan? Benarkah? Alzen tidak pernah menyadari itu, ia kira senyum profesionalitasnya normal-normal saja. Selama ini tidak pernah ada yang berkomentar atau mengeluhkan dirinya senyum atau tidak, baru Thana seorang dan itupun orang asing.

Thana melirik handphone di tangan Alzen, benda itu asing baginya. Dia hanya sebatas tahu, tapi belum pernah memiliki. Jangankan memiliki, memegang pun tidak pernah.

Alzen memperlihatkan foto yang membuatnya tersenyum pada Thana.

Seorang anak laki-laki berusia 2 tahun sedang tersenyum lebar sembari memeluk boneka dinosaurus.

Tanpa sadar, Thana ikut tersenyum. "Dia siapa?" Tanyanya.

"Dia, Arkan. Keponakanku." Jawab Alzen.

"Dia putra Raja Alendra yang meninggal karena kecelakaan?"

Alzen langsung memalingkan pandangannya. Mengingat kepergian sang Kakak tercinta dan membayangkan Arkan kecil harus kehilangan orang tua selalu membuatnya emosional. Karena kecelakaan itu pula Alzen banyak dibicarakan dan dianggap sebagai penyebab tragedi agar bisa naik tahta.

Thana menepuk bahu lebar sang pangeran, "Maaf sudah membuatmu sedih..."

"Aku tidak sedih, hanya lelah." Ucap Alzen.

"Apa-"

"Jangan terlalu banyak bicara, aku mulai tidak suka." Potong Alzen dengan lirikan tajamnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status