"Apa kamu bilang?" Maria terbelalak tak percaya. "Ka-kamu bercanda, 'kan?" desisnya seraya mendekat ke arah Hendra. Kedua tangannya terulur, mencengkeram kerah kemeja suaminya sedemikian erat. "Sayangnya, itu benar, Maria. Aku telah membunuh kakakmu. Dia mabuk, seperti biasanya dan mulai meracau. Aku hanya mencegahnya agar tidak menyakiti diri sendiri. Akan tetapi, dia tidak terima dan mulai menggila. Rosanna berlari ke dapur. Dia mengambil pisau, lalu menghampiriku. Aku hanya mempertahankan diri, Maria. Itu saja," beber Hendra. "I-itu tidak mungkin," tubuh Maria limbung dan hampir terjatuh ke belakang, jika saja Bimo tak sigap menangkap dan merengkuh tubuh ibunya. "Ma, duduk dulu, Ma," Bimo menuntun Maria untuk duduk di sofa. Sesekali pandangannya terarah ke atas, di mana Zivanna berdiri terpaku di ujung tangga dengan tatap mata yang tak dapat diartikan. "Aku akan menyerahkan diriku ke polisi," ujar Hendra lemah seraya meraih ponselnya. "Jangan!" cegah Maria. "Apa kau gila?" "K
Zivanna merebahkan diri di ranjang kamar tamu, tempat dia biasanya menginap di rumah tantenya. Dia terus saja menangis sambil menggenggam secarik kertas bertuliskan angka di tangannya. Dirasa matanya lelah dan bengkak, Zivanna merogoh ponsel yang selalu tersimpan di saku jaket rajut kesayangan yang selalu dia pakai ke manapun. Malas-malasan Zivanna bangkit dan duduk di tepiaan ranjang. Dipencetnya satu demi satu nomor yang sesuai dengan angka yang tertera di kertas catatan kecil dari Hendra. Belum sempat dirinya memencet tombol panggil, pintu kamarnya terbuka tiba-tiba. Maria muncul di ambang pintu dengan muka merah padam. Tangannya menggenggam sebuah benda pipih yang Zivanna ketahui sebagai sebuah ponsel. Maria mengacungkan ponsel itu ke arah Zivanna. "Jadi, ini penyebabnya," geram wanita itu. "Kenapa, Tante?" Zivanna keheranan melihat sikap Maria yang aneh. "Ini penyebab suamiku membunuh ibumu!" Maria melemparkan ponsel ke arah Zivanna dan tepat mengenai pelipisnya. Zivanna sempat
Zivanna tak berani ke luar kamar ketika terdengar suara pengacara Anthony West mendatangi rumah om-nya. Pria itu ternyata benar-benar menepati janjinya untuk menemui Zivanna. Sementara dirinya terjebak dalam dilema yang begitu besar antara mengakui perbuatannya dengan tetap pada rencana yang sudah diaturkan oleh Hendra. Pada akhirnya Zivanna memilih untuk berpegang pada rencana Hendra, mengingat Maria yang semakin menunjukkan sikap permusuhan padanya. Seperti saat itu, ketika Maria membuka pintu kamarnya begitu saja tanpa permisi dan menatap tajam pada Zivanna dengan raut wajah yang tak bersahabat. "Apa kau yang menelepon pengacara itu?" tanya Maria ketus. Zivanna terdiam beberapa saat. "I-iya, Tante," jawabnya ragu. Maria semakin mendekat ke arah Zivanna yang masih duduk di tepian ranjang. Badannya sedikit membungkuk ketika dia menyejajarkan wajah dengan wajah keponakannya itu. "Bagus! Kau dan ibumu sudah berhasil menghancurkan rumah tanggaku. Aku membenci kalian semua, termasuk H
Zivanna menyelesaikan ceritanya di hadapan hakim. Sesekali mata indahnya melirik ke arah Raja yang memandangnya tak percaya. Raja masih tetap terlihat tampan, walaupun dia harus merasakan beberapa minggu terakhir di dalam penjara. Dia juga sempat memperhatikan semua pasang mata di ruang pengadilan yang luas itu. Mereka semua seperti memandang iba padanya. Zivanna tersenyum getir. Entah apakah pada akhirnya dia bisa mendapatkan keadilan dan hidup dalam ketenangan. "Apa kesaksianmu dapat dipertanggungjawabkan?" tanya hakim itu hati-hati. "Ya, Yang Mulia. Anda bisa memanggil ulang nama-nama yang sudah saya sebutkan tadi sebagai saksi," jawab Zivanna seraya menoleh pada Hendra yang ikut menghadiri persidangan. Pria paruh baya itu tak pernah absen dalam persidangan, walaupun statusnya sebagai tersangka telah dicabut. "Kalau yang kau katakan adalah kebenaran. Maka kami berhak memanggil setiap nama yang berhubungan dengan ceritamu. Sampai mereka berkumpul di tempat ini, maka kau wajib bera
Zivanna meringkuk di atas ranjang besi beralaskan kasur spons. Dia menyembunyikan wajahnya di antara lutut yang tertekuk. Penjara kepolisian metro ini terasa begitu dingin menusuk tulang. Penghangat yang berada di luar jeruji sel yang dekat dengan pintu keluar, sepertinya tidak berfungsi.Gadis cantik itu menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Diliriknya jam dinding di atas meja penjaga yang menunjukkan pukul sembilan pagi. Musim gugur yang mulai menjelang, membuat suhu menurun drastis. Seakan lengkap sudah penderitaannya kali ini."Papa," isaknya lirih. Angannya membayangkan sosok pria hangat yang berada jauh di Edinburgh. Pria yang bertalian darah dengannya. Ayah kandung yang baru saja ditemukannya. Tak disangka, gumaman pelan itu bersahut."Zizi, are you alright?" tanya seseorang. Zivanna langsung menoleh dan mendapati sang ayah berdiri gagah di samping polisi. "Papa!" mata indah Zivanna terbelalak. Dia bergegas berdiri merapat ke dekat jeruji demi bisa mendekat pada s
"Apa kamu sungguh-sungguh mengucapkan itu, Zi?" tanya Raja sekedar untuk meyakinkan kekasihnya. Zivanna sendiri hanya menanggapinya dengan senyuman samar. Sekilas sosok Brandon hadir dalam benaknya. Tak dapat dipungkiri, pria tampan bermata biru itu telah membuat Zivanna jatuh cinta. Cinta yang berbeda dengan yang dia rasakan pada Raja. Akan tetapi, Zivanna harus kembali pada kenyataan jika Raja telah berkorban demikian banyak untuknya. Raja pula yang bertemu dengan Zivanna lebih dulu jika dibandingkan dengan Brandon. "Kamu tahu aku tidak akan memaksamu, Zi. Apalagi di situasi yang pelik seperti sekarang," ucap Raja, membuyarkan angan Zivanna. "Aku sangat yakin dengan keputusanku. Kuharap kedua orang tuamu menerima aku yang ... ." "Mereka selalu mendukung apapun pilihanku. Jangan khawatirkan itu. Mama dan papa juga tulus menyayangimu," potong Raja. Tangannya terulur melewati dua jeruji besi dan menyentuh lembut pipi Zivanna. "Aku tidak pernah mencintai seseorang seperti aku mencint
"Kita pikirkan itu nanti, Zi. Sekarang yang terpenting adalah bagaimana caranya supaya kamu bebas," tutur Raja dalam bahasa Indonesia. Tak ada seorang pun di sana yang mengerti kecuali Zivanna. Ingin rasanya Brandon memrotes dan menimpali perkataan gadis itu sebelumnya. Namun, sebelum hal itu terjadi, Jean lebih dulu memegang lengan adiknya, seolah menhannya untuk tidak bereaksi. "Tunggulah sampai semua mereda," bisik Jean lirih. Brandon tak mempunyai pilihan lain selain mengangguk dan menurut. Dia terdiam hingga seorang petugas polisi memasuki ruangan khusus berisi sel-sel yang berderet. "Maaf, jam menjenguk sudah habis. Kami akan menutup ruang sel ini sampai besok pagi," ucap polisi itu. Theo yang tak tega melihat putrinya sendirian di sana, egera berbalik dan memohon pada polisi tadi. "Tidak bisakah statusnya diganti menjadi tahanan rumah?" tanyanya seraya menangkupkan kedua tangan. "Maaf, Sir. Ini semua adalah keputusan dari pengadilan. Putri anda harus menghadapi peradilan leb
Zivanna melangkah masuk ke ruang persidangan dengan tangan terborgol awalnya. Baru setelah dia duduk di kursi terdakwa, borgol itu dilepaskan. Wajahnya masih terlihat cantik meskipun tanpa make up dan hanya memakai baju tahanan. Dua orang pengacara telah menunggunya, yaitu Anthony West dan Jean. Zivanna sempat mengedarkan pandangan ke arah pengunjung. Mata indahnya mendapati Brandon turut hadir di sana dan duduk di bangku terdepan. Pria itu telah ditolak oleh Zivanna. Akan tetapi, dia masih menunjukkan simpati dan dukungan tak terbatas. Di sudut ruangan lain, Raja juga datang bersama kedua orang tuanya. Dia tersenyum begitu manis seraya melambaikan tangan pada Zivanna. Gadis itu mengangguk, lalu membalas dengan senyuman tipis. Dia lalu kembali menghadapkan dirinya ke depan, ketika hakim dan para jaksa penuntut tiba di ruangan. Semua aparat hukum tersebut, mulai dari hakim, jaksa dan pengacara memakai rambut palsu berwarna putih, yang disebut dengan Peruke. Di Inggris, Peruke ini w