Ricko sedari tadi di sibukkan dengan laptopnya, pandangannya fokus ke layar. Seperti biasa wajahnya minim ekspresi. Hanya Kevin yang berani mengajaknya bicara. Karena mereka sudah kenal sejak kecil. Meskipun begitu Kevin terkadang juga kesulitan menghadapi sikap Ricko yang terlalu kaku.
"Pak, apa Anda jadi akan menerima perjodohan dengan Nona Rania?" tanya Asisten Kevin.
"Menurutmu?" Ricko tidak melihat ke arah Kevin. Ia masih sibuk memeriksa berkasnya yang lain.
"Sepertinya dari penampilan Nona Rania ia suka bermain-main," ungkap Asisten Kevin hati-hati.
"Apa Tuan akan melanjutkannya menikah dengan wanita seperti ...," Asisten Kevin tidak berani melanjutkan kalimatnya melihat wajah Bosnya berubah masam.
"Maaf, atas kelancangan saya," ucap Kevin kemudian.
"Aku akan menikahinya," jawab Alex pendek. Ia menumpuk dokumen di atas mejanya lalu menyingkirkannya agak ke pinggir.
Apa! Tentu saja siapa laki-laki yang tidak tergoda dengan penampilan seperti itu. Tapi hanya lelaki gila yang mau dengan wanita yang suka berhubungan dengan banyak pria, batin Asisten Kevin.
Ricko terdiam. Ia ingat bagaimana Rania menggodanya bahkan mengatakan banyak hal di luar ekspetasinya.
Kalau memang dia wanita seperti itu ...tidak akan ada pria yang mau menikahinya.
'Tapi jika pernikahan ini untuk menenangkan kakek, tidak masalah kan aku melakukan sedikit kebohongan, batin Ricko.
Tapi kenapa dia menolak teleponku? Apa pernikahan membuatnya terkekang? Ricko memikirkan segala kemungkinan yang terjadi. Ia merasa bingung kenapa Rania menolak tawarannya.
Kenapa Presdir wajahnya berubah menjadi tegang? Apa ia marah dengan kata-kataku tadi? batin Asisten Kevin.
"Asisten Kevin, tolong hubungi Kakek. Katakan padanya aku akan segera menikah dengan calon istriku," kata Ricko.
"Me ... menikah! Apa Anda serius?" tanya Asisten Kevin tak percaya.
"Ya, aku akan menikahi gadis itu," kata Ricko santai.
Tentu saja Anda mudah mengatakannya, apa yang Anda inginkan pasti terjadi, batin Asisten Kevin.
**
Sore Hari.
Semua karyawan telah keluar dari kantor untuk pulang. Termasuk Adisty juga. Ia bisa bernafas lega, akhirnya ia bisa pulang ke rumahnya dengan tenang. Matanya celingak-celinguk kesana kemari membaca situasi. Ia cukup takut jika bertemu dengan presdir lagi.
Dan benar seperti dugaannya ia melihat Presdir Ricko keluar dari pintu utama melangkah menuju mobilnya yang sudah menunggu di depan.
Alangkah terkejutnya Adisty, ia langsung membalikkan tubuhnya memunggungi Sang Presdir pura-pura menelpon seseorang.
Dari kaca mobil Presdir Ricko melihat punggung Adisty.
"Seperti pernah lihat," gumamnya.
"Jalan!"
Mobil Presdir akhirnya meluncur pergi, hati Adisty sudah tenang.
"Fyuh, syukurlah!" Adisty bernafas lega.
Kalau ini namanya bukan takdir lagi, masa ketemu terus sampai dua kali, batin Adisty.
'Mana aku tidak tahu jadwalnya presdir', pikir Adisty.
Ia pergi meninggalkan parkiran perusahaannya untuk mencari taksi.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar.
"Hallo Rania, kenapa kau telepon?" tanya Adisty.
"Barusan dari sana telepon, katanya pihak sana ingin menetapkan tanggal pernikahan."
"Katamu kau sudah berhasil membuatnya tidak mau melanjutkan perjodohan. Lalu apa yang kau lakukan kenapa ia malah mau meneruskan perjodohan ini!" terdengar amarah Rania dari seberang sana.
"Itu ... aku tidak tahu kenapa bisa terjadi seperti itu!" kata Adisty bingung.
"Sekarang datanglah ke tempat seperti biasanya!" perintah Rania.
Taksi Adisty berhenti di depan warung makan pinggir jalan. Tempat biasa ketemuan dengan Rania untuk menghabiskan waktu mengobrol seperti biasanya. Warungnya sederhana, hanya saja bangku-bangku kursi yang di setting tanpa atap menghadap ke jalan, membuat orang tertarik untuk membeli makanan sekaligus mengobrol bersama teman di sana.
Rania sudah memesankan makanan beserta minumannya komplit di atas meja. Adisty yang masih letih dari pulang kerja langsung duduk dan menyerobot makanan yang di sediakan Rania.
"Kamu lapar apa doyan?" tanya Rania.
"Dua-duanya." Dengan kecepatan tinggi Adisty menghabiskan makanannya dan terakhir menyerutup teh hangatnya.
"Gila, itu teh panas!" kata Rania. Melihat sahabatnya menghabiskan teh panas yang ada di depannya sekali minum.
"WRRRRR ... panaaaas!" Adisty menjulurkan lidahnya sambil di kipasi menggunakan telapak tangannya.
"Kamu tidak tahu betapa laparnya aku kerja seharian,"kata Adisty menghabiskan tetes terakhir minumannya.
"Boleh pesan lagi?" tanya Adisty.
"Nih, punyaku minum saja," kata Rania menyodorkan gelasnya.
Saat Adisty mau mengambil gelasnya, Rania terlebih dahulu menyerobotnya.
"Tunggu! Katakan ... apa yang kau lakukan sampai pria itu mau menentukan tanggal pernikahan?!" Rania sudah menahan kemarahannya sedari tadi akhirnya meluap juga.
"Aku mengatakan jika aku suka bercinta dengan banyak pria ... di ranjang,"kata Adisty santai.
"Apa! Kau mengatakan itu!" Rania menggebrak meja. Sampai-sampai membuat pengunjung lain melihat ke arah mereka.
Maria langsung duduk kembali dan menebarkan senyuman hambarnya.
"Kau merendahkan harga diriku sebagai wanita keturunan konglomerat, Adisty,"kata Rania lirih. Ia takut pengunjung lainnya heboh melihat ke arah mereka.
"Maaf, aku pikir itu cara yang jitu agar ia tidak memilihku," ucap Adisty merasa bersalah.
"Sekarang kau harus tanggung jawab Adisty, buat dia membatalkan perjodohan ini," kata Rania.
"Kamu belum melihatnya, dia sangat tampan. Kau tidak ingin mencobanya?" tanya Adisty.
"Tapi ada yang salah dengan otaknya, masa menyukai wanita yang suka bermain dengan pria lain. Aku juga mengatakan suka pada wanita, tapi ia tetap kekeh ingin melanjutkan perjodohan ini!" terang Adisty.
"Kalau orangnya seperti itu, jelas-jelas aku tidak mau!" kata Rania.
"Lalu ... kau menyuruhku melakukan apa?" Adisty menjadi bingung.
"Menyamar lagi ... temui dia dan katakan apa adanya jika sudah ada laki-laki yang kau sukai," suruh Rania.
"Apa? Kau ingin aku menemui manusia es itu? Yang ada aku bisa mati berdiri berhadapan dengan orang semacam itu," tolak Adisty.
"Pokoknya kau harus tanggung jawab Adisty. Nasib sahabatmu ini berada di tanganmu!" Rania setengah memohon.
"Aku tidak mau! Kau menyuruhku menemui singa itu. Tidak ... aku tidak mau!" tolak Adisty lagi.
"Ayolah Adisty... aku mohon,"pinta Rania.
"Rania ... kamu tega membuatku masuk ke dalam lubang buaya. Kamu tidak tahu orang yang kau suruh temui itu adalah Presdir di perusahaanku! Yang ada jika ketahuan aku bisa di pecat!" jelas Adisty berapi-api.
"Presdir yang kemarin baru pulang dari luar negeri itu. Ia terkenal sangat galak pada karyawannya!""Adisty tolonglah sahabatmu ini! Papaku akan menjualku ... hanya engkaulah harapanku satu-satunya yang dapat menolongku!" Rania terus saja memohon.
"Ini bayaranmu, ku bayar empat kali lipat jika kau berhasil membuatnya membatalkan perjodohan ini." Maria meletakkan amplop tebal di tangan Adisty.
Adisty seperti mendapatkan angin surga setelah ada uang di telapak tangannya.
"Bagaimana? Kau mau kan?" tanya Rania mengedipkan matanya.
"Ya ... sudah apa boleh buat. Mana boleh menolak rejeki yang sudah di tangan," kata Adisty seraya memasukkan amplop uang itu ke dalam tasnya.
"Bagus, kau memang sahabat yang bisa aku andalkan,"puji Rania.
Hemm, kalau bukan karena aku ingat keluargaku sangat membutuhkan uang ini ... mungkin aku tidak akan menerima tawaran Rania, batinnya.
---Bersambung---Tiga tahun kemudian.Adisty memejamkan mata kala Ricko mau mendaratkan bibirnya di bibir Adisty.Melihat reaksi istrinya yang seolah membuka pintu untuknya. Ricko melanjutkan aksinya merebahkan Adisty di pembaringan. Kemudian mengecup kelopak mata wanita itu satu persatu. Jari-jari Ricko bergerak turun membuka kancing baju Adisty satu persatu."Tok ... tok ... tok!""Mama ... mama!" teriak Austin dari luar."Oh, sayang milikku sudah menegang haruskah kita berhenti lagi seperti kemarin," keluh Ricko."Iya, Austin di luar sayang. Kasihan dia, kalau lama menunggu. Kamu tahu sendirikan jika dia menangis, susah menenangkannya," sahut Adisty.Adisty membenarkan letak kancingnya lagi dan buru-buru membuka pintu untuk putra kecilnya."Ada sayang?" tanya Adisty."Austin, tidak bisa tidur. Boleh Austin tidur sama mama?" tanya Austin polos."Tidak boleh, Austin harus belajar mandiri tidur di kamar sendiri," ucap Ricko.
"Awas ya, kalau kau sampai meninggalkanku. Ku kejar sampai ujung dunia," balas Ricko. Keduanya tertawa bahagia. Mereka berpandangan satu sama lain, pandangan penuh cinta.Sebuah bunyi telepon mengagetkan keduanya yang sedang bernostalgia."Dari siapa sayang?" tanya Ricko."Kakek," ucap Adisty."Lalu, kenapa wajahmu pucat seperti itu?" tanya Ricko.Adisty tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Berita dari Kakek Fermount mengenai pelaku kejahatan yang mengakibatkan Ricko amnesia kini telah di ketahui siapa pelakunya."Ada apa sayang?" tanya Ricko."Tadi kakek memberitahu jika pelakunya sudah ketemu.""Oh, ya. Siapa pelakunya?" tanya Ricko."Ibu tirimu," jawab Adisty pendek."Sudah kuduga, hanya dia satu-satinya orang di dunia ini yang punya alasan ingin melenyapkanku," kata Ricko."Kata kakek, pihak keamanan telah melihat bukti lewat CCTV kota, orang suruhan itu juga merupakan penjahat yang menjadi buronan se
Setelah melakukan pergumulan semalam, pagi hari Rania mendapati tubuh polosnya tengah di peluk Kevin. Ia terperanjat kaget, melihat laki-laki tampan itu masih memeluknya dengan wajah tak bersalah. Sialnya lagi milik Kevin masih menancap lewat belakang. Rania seakan terjebak, ketika ia bergerak justru benda itu juga ikut bergerak di dalam. Dan Rania tanpa sadar mendesah pelan.Kevin sebenarnya pura-pura tidur, ia sudah bangun dari tadi. Hanya saja ia tidak ingin wanita yang di cintainya segera pergi. Jadi, ia melakukan aksi pura-pura tidur.Lagi-lagi Kevin menghujamkan miliknya dalam keadaan mata terpejam. Rania mendesah hebat, dan Kevin menyukai suara desahan itu. Semakin cepat ia memompa milik Rania, semakin sering ia mendengar desahan wanita itu. Hingga akhirnya mereka melakukan pelepasan lagi.Rania baru sadar jika Kevin pasti tidak tidur. Lelaki itu hanya pura-pura saja. Ia mencubit lengan Kevin dengan kencang."Aww!" teriak Kevin.
"Bagaimana Dok, kondisi suami saya?" tanya Adisty cemas."Kami sudah melakukan pengecekan, setidaknya tidak ada pendarahan di otaknya. Itu sudah merupakan kabar yang bagus," kata dokter."Iya, tapi apakah dia akan koma ... atau_,""Tenanglah, Nyonya. Kami akan berusaha yang terbaik," kata dokter."Iya," jawab Adisty lemah. Ia kembali melihat Ricko di balik kaca. Air matanya mengalir dengan sendirinya. Ia menyalahkan dirinya sendiri kenapa harus memaksa agar ingatan Ricko pulih."Berdoalah Nyonya, suami Anda bisa melewati masa kritisnya malam ini. Jika masa kritis berhasil di lewati, kemungkinan besar ia dapat sembuh," terang dokter.Adisty hanya menjawabnya dengan anggukan. "Kalau begitu, saya permisi dulu Nyonya untuk mengecek pasien lainnya," kata dokter pergi meninggalkan Adisty."Bagaimana keadaan Tuan Ricko?" tanya Kevin yang tiba-tiba muncul bersama Rania."Dia ... aku tidak bisa menjelaskannya. Kalian lihat s
"Tidak usah gugup, biasa saja," kata Adisty. Ricko tersenyum datar. Ia merasa Adisty bisa membaca pikirannya."Aku mandi dulu," kata Ricko untuk menghindari suasana yang canggung.ya," jawab Adisty. Wanita itu merebahkan tubuhnya yang penat karena jalan-jalan di Mall.Terdengar suara gemericik air shower kamar mandi. Adisty memilih memejamkan matanya sambil menunggu Ricko selesai mandi. Ia tiba-tiba terbangun teringat sesuatu. Lalu ia beringsut turun dari ranjang."Ada apa?" tanya Ricko yang baru saja keluar dari kamar mandi.Melihat tubuh Ricko yang hanya berbalut handuk saja sebatas perut dan buliran air menetes di rambutnya yang basah. Membasahi tubuh sixpack pria itu. Adisty menelan salivanya."Eh, tidak apa-apa. Aku hanya mau ambil ini," kata Adisty meraih ponselnya. Padahal sebelumnya ia ingin melihat sesuatu di dalam tasnya yang baru saja di beli di Mall tadi."Ada yang ingin kau telepon?" tanya Ricko mengernyitkan dahiny
Seperti biasa Adisty menunggu Ricko pulang kerja. Kali ini ia menunggu tidak di rumah melainkan di Mall untuk membeli keperluan bayi. Ia merasa bosan jika di rumah terus, apalagi Ricko kerja sampai sore. Malahan terkadang pulang sampai malam. Alhasil, Adisty bosan jika terus-terusan di rumah.Adisty memakai longdres pendek selutut dengan kardigan yang menutupi lengannya. Ia menenteng sebuah tas kecil berwarna putih mengkilap. Tak ada yang tahu jika tas yang di bawanya itu limited edition.Kaki Adisty yang berbalut flat shoes mengingat kehamilannya sudah usia tidak muda lagi. Tentunya ia akan mudah kecapekan tidak seperti dulu. Dua orang pelayan setianya mengikuti pergerakan Adisty kemanapun. Mereka selalu siap sedia jika Adisty menginginkan bantuan.Di telinga Adisty terdengar tawa yang tak begitu asing. Ia melihat dua orang wanita tengah mengobrol di cafe yang tak jauh dari temptanya berdiri. Adisty merasa kenal dengan wanita itu. Mereka adala