03
Earlene mematikan laptop, kemudian mengurut pangkal hidungnya yang sedikit berdenyut. Perempuan berbaju krem merentangkan kedua tangan, lalu menggeliat hingga tulang-tulangnya berbunyi.Earlene membulatkan mata. Dia baru menyadari jika saat itu sudah sore. Perempuan yang menjepit rambutnya dengan sirkam kecil, menimbang-nimbang sesaat, sebelum meraih ponsel dari meja dan mengetikkan pesan yang dikirimkan pada Chyou.Sekian menit berlalu, suara Chyou terdengar dari luar kamar. Earlene berdiri dan jalan untuk membuka pintu. Dia memandangi pria bersweter hijau yang balas menatapnya saksama."Miguel mengajak kita makan di rumah makan. Tidak jauh dari sini," jelas Chyou."Ya, sebentar. Aku mau ke toilet dulu," balas Earlene sembari berbalik untuk memasuki bilik mandi.Belasan menit terlewati, Earlene dan ketiga pria berbeda tampilan telah berada di sebuah tempat makan. Mereka sengaja memilih area depan lantai dua, agar bisa mengamati sekitar."Jianzhen nanti malam menyusul kita ke hotel," terang Chyou seusai membaca pesan dari sepupunya."Sama siapa dia nanti?" tanya Miguel."Yuze dan To Mu," cakap Chyou."Kapan mereka datang?""Jam tiga tadi." Chyou meletakkan ponselnya ke meja. "Kemungkinan Jianzhen akan diajak pulang ke Taiwan," lanjutnya."Ya, lebih baik begitu. Dia juga belum bisa bekerja kembali.""Aku harus mencari penggantinya.""Aku saja," sela Steve.Chyou mengangkat alisnya. "Aku tidak yakin.""Jangan begitu. Aku pintar dan gesit.""Masalahnya, Tuan Graham menerapkan standar tinggi untuk orang yang melamar menjadi pengawal keluarga Yang-Zhang.""Jangan sebut tinggi badan. Aku tersinggung."Miguel terkekeh, sementara Chyou melengos. Earlene turut tersenyum mendengar percakapan kedua pria yang sama-sama berambut cepak."Kupikir, To Mu atau Yuze bisa menggantikan posisi Jianzhen. Untuk sementara, maksudku," tutur Miguel, setelah tawanya lenyap.Chyou manggut-manggut. "Ya, nanti kuomongin ke mereka. Karena memang tidak bisa kalau aku bertugas sendirian." Dia memandangi sang nona, lalu bertanya, "Boleh, kan, Nona?""Ya, boleh. Nanti kubicarakan pada Papa," sahut Earlene.Kedatangan pegawai rumah makan memutus pembicaraan. Keempat orang tersebut segera bersantap. Mereka tidak bisa berlama-lama berada di luar, karena mungkin saja pengintai masih berkeliaran.Sementara itu di tempat berbeda, Graham Yang tengah berdebat dengan ipar dan adiknya. Laporan dari menantu keponakan tentang tingkah Earlene di Shanghai, sama sekali tidak dipercayai Graham.Selain Graham, Diana, istrinya dan kedua putra mereka, yakni Carver dan Darren, juga tidak memercayai laporan dari Grandel, menantu pertama Dixon Zhang dan Sophie Yang.Robert Yang, Ayah Graham dan Sophie, mengamati putra pertamanya yang masih berdebat dengan Dixon. Robert sebetulnya juga tidak meyakini 100% penuturan Grandel. Terutama karena lelaki tua berjanggut tersebut cukup memahami karakter cucunya, Earlene."Bisakah kalian berhenti berdebat? Kepala Ibu pusing," tutur Martha, istri Robert sembari memegangi dahinya."Aku tidak terima jika anakku difitnah!" tegas Graham sembari menatap Dixon dengan tajam."Kami tidak memfitnah. Kakak tertua bisa menanyai Earlene bila dia pulang nanti," jawab Dixon."Ya, memang lebih baik begitu," sela Robert. "Kita harus mendengarkan penjelasan Earlene. Ayah harus bertindak adil," lanjutnya."Sudah banyak bukti foto bila Earlene kerap berpesta dan mabuk-mabukan di club," timpal Sophie."Begitu?" Diana memandangi Adik iparnya yang sejak dulu menjadi musuhnya. "Apakah anak-anakmu tidak pernah membuat masalah? Lalu, bagaimana dengan kehamilan Yvete? Itu, kan, alasan pernikahannya dengan Grandel dilaksanakan terburu-buru?" tanyanya."Atau, yang ini. Veronica tertangkap dalam pesta obat-obatan terlarang. Apa itu yang disebut anak baik-baik?" desak Diana. "Atau, Halton yang harus mendekam di sel karena menabrak orang hingga mati? Itu pun karena dia tengah mabuk, bukan?" ledeknya seraya tersenyum miring."Anakmu jelas lebih asusila dari anakku!" desis Sophie."Hanya orang buta yang akan setuju dengan ucapanmu."Sophie melengos. "Terserah kamu. Begitulah kalau mendapatkan pasangan beda level. Pemikirannya tidak sama.""Oh, jelas. Aku berpendidikan tinggi dan seorang desain interior andal. Memang tidak bisa disandingkan dengan orang manja, yang hanya tahu menghabiskan uang, tanpa pernah bekerja sedikit pun.""Aku punya usaha sendiri.""Ya, tapi selalu bangkrut. Begitu pula dengan usaha suami dan anak-anakmu.""Tutup mulutmu!""Istriku benar!" sentak Graham yang mengejutkan sang adik, karena dia jarang sekali mengeluarkan nada tinggi. "Aku dan Seth sibuk memberikan modal usaha, tapi sampai sekarang tidak pernah kembali!" serunya sembari maju dua langkah."Kalian yang selalu membuat masalah, dan aku, Ayah dan yang lainnya terpaksa membantu," tambah Graham sambil memelototi Adik dan iparnya. "Jika Earlene memang seperti itu, aku akan tetap membelanya. Karena dia telah membantuku menstabilkan keuangan keluarga. Sedangkan kalian hanya tahu menggerogoti dan menghabiskan harta!" geramnya.***Langit malam seolah-olah tidak terlihat gelap. Butiran salju yang lebih banyak dari tadi sore, menjadikan langit tampak tengah mengucurkan sinar putih.Earlene memandangi sekeliling melalui jendela kamar hotel. Perempuan berhidung bangir menekuk kedua kaki ke atas, lalu menempelkan dagu ke lututnya.Perempuan bersweter merah, merunut peristiwa sejak beberapa tahun silam. Semenjak dirinya dinyatakan sebagai pewaris utama kekayaan keluarga Yang, Earlene menjadi sasaran Sophie dan Dixon yang marah, karena sebelumnya posisi itu diberikan pada Yvete, putri pertama mereka.Kendatipun berasal dari putra sulung, tetapi sebetulnya Earlene adalah cucu kedua dan Yvete yang pertama. Usia mereka hanya terpaut beberapa bulan, tetapi sejak dulu keduanya memang tidak akrab.Bukan tanpa alasan Robert dan Martha mengalihkan posisi Yvete pada Earlene. Hal itu disebabkan oleh kehamilan Yvete sebelum pernikahannya dengan Grandel digelar dua tahun silam.Hidup di zaman modern tidak mengubah keyakinan Robert dan Martha untuk tetap menjunjung tinggi adat istiadat. Keduanya tidak mentolerir gaya hidup bebas yang dianut banyak orang-orang muda.Lamunan Earlene terputus kala mendengar ketukan di pintu kamar yang disertai panggilan Chyou. Dia berdiri, lalu melangkah untuk membukakan pintu buat sang pengawal."Selamat malam, Nona," sapa Jianzhen yang ternyata telah kembali.Earlene mengangguk. Dia mengamati keempat pria di depan pintu. "Masuklah," bebernya sembari berbalik dan jalan mendahului ke kursi panjang. "Silakan duduk," lanjutnya."Mohon maaf mengganggu waktu istirahat Nona," cakap Jianzhen."Tidak apa-apa," sahut Earlene. "Bagaimana kondisimu?" tanyanya."Sudah membaik, Nona." Jianzhen mengamati perempuan berparas ayu yang balas memandanginya saksama. "Saya minta izin untuk pulang bersama To Mu. Yuze yang akan menggantikan saya sebagai pengawal Nona," jelasnya."Ya, aku izinkan. Tapi, hanya sementara. Setelah kamu benar-benar pulih, harus segera kembali bertugas.""Baik, Nona."Earlene mengalihkan pandangan pada Chyou, kemudian berkata, "Aku ingin pulang tiga hari lagi.""Ya," balas Chyou."Jessica telah memesankan tiket buat kita."Chyou mengangguk. "Saya akan mengatur pengawalan, sampai kita tiba di sana.""Maksudnya?""Miguel, Steve, dan dua teman saya akan ikut kita. Tentu saja bersama Yuze. Mengenai biayanya, akan saya tanggung.""Tidak perlu. Aku bisa menanganinya.""Tapi, Nona. Mereka memang ingin berlibur di sana.""Tidak apa-apa." Earlene berpikir sejenak, kemudian melanjutkan perkataan. "Kupikir, mungkin sebaiknya mereka tetap jadi pengawalku. Untuk sementara waktu. Sampai aku benar-benar yakin tidak akan diserang lagi."04Hari berganti. Earlene bangun tidur sambil meringis. Sendi-sendinya sakit, demikian pula dengan kepalanya. Tenggorokan kering menjadikan Earlene curiga bila dirinya terserang gejala flu. Earlene memaksakan diri untuk bangkit dengan bertumpu pada kedua siku. Dia memejamkan mata sambil memijat pangkal hidung saat kepalanya kian berdenyut. Perempuan bersweter merah beringsut ke tepi kasur. Dia membuka mata, lalu berdiri dan jalan ke toilet sambil berpegangan pada dinding. Sekian menit berikutnya, Earlene sudah kembali bergelung di kasur. Meskipun selimut tebal telah menutupi badannya, perempuan berusia dua puluh delapan tahun tetap kedinginan. Earlene menahan gigil sambil membatin bila dirinya harus memesan minuman dan makanan hangat. Perempuan berbibir penuh mengeluh dalam hati karena merindukan sup ginseng buatan ibunya, yang jadi obat mujarab bila dirinya di rumah. Perempuan berambut panjang menggapai ponselnya dari bantal samping kiri. Dia terpaksa menghubungi Chyou agar pria
05Sepanjang siang hingga malam, Chyou menemani Earlene di kamarnya. Sekali-sekali pria berkaus hitam lengan panjang akan keluar kamar untuk meregangkan otot. Kemudian dia kembali karena mengkhawatirkan kondisi sang nona. Seusai bersantap malam, Earlene menekan-nekan remote televisi untuk mencari tayangan menarik. Namun, karena tidak menemukan yang sesuai dengan keinginannya, perempuan bermata sipit akhirnya memutuskan menonton film romantis dari negeri Hollywood. "Nona, kalau diizinkan, saya mau istirahat," tutur Chyou. Earlene melirik pengawalnya, kemudian mengangguk mengiakan. "Ya, boleh." "Terima kasih." "Besok kita ada pertemuan dengan Paman Liu Wei.""Baik. Saya akan menyiapkan teman-teman untuk ikut mengawal." "Setelahnya, aku mau jalan-jalan sebentar. Karena lusa kita sudah pulang." "Ya, Nona." Chyou berdiri dan merunduk sedikit. Dia menegakkan badan, lalu mengayunkan tungkai menuju pintu. Earlene memperhatikan lelaki bertubuh tegap hingga menghilang di balik pintu. Kem
06Earlene terbangun karena merasa haus. Dia membuka mata dan seketika terkesiap menyaksikan Chyou berada di samping kiri. Earlene baru menyadari bila dirinya sedang berbaring beralaskan lengan kanan lelaki tersebut. Selama beberapa saat Earlene mengamati Chyou. Kebersamaan mereka selama dua bulan terakhir menjadikan perempuan berambut panjang tidak menyadari betapa manisnya sang ajudan. Tanpa sadar Earlene mengulurkan tangan kanan untuk mengusap wajah pria berusia tiga puluh dua tahun. Dia tertegun kala merasakan kulit Chyou yang cukup halus. Pertanda lelaki berambut cepak rajin merawat kulit. Jemari Earlene bergerak pelan menyusuri rahang kokoh pria berkemeja putih. Janggut pendek tumbuh di dagu Chyou. Demikian pula dengan kumis yang menghiasi atas bibir tipis sang lelaki berhidung mancung. Tiba-tiba Chyou membuka mata. Earlene terkejut dan segera menarik tangannya. Namun, gerakan Chyou lebih cepat. Dia memegangi pergelangan tangan Nona muda, lalu mengamati Earlene yang pipinya
07Keesokan harinya, Earlene tiba di kediaman Robert untuk menghadiri jamuan makan malam. Meskipun sebetulnya dia enggan untuk bertemu rival, tetapi Earlene tidak punya pilihan lain dan mau tidak mau harus berhadapan dengan keluarga Zhang. Perempuan bergaun panjang salem mengayunkan tungkai memasuki ruangan besar, di mana semua anggota keluarga telah menunggu. Earlene mendatangi Kakek dan neneknya terlebih dahulu, sebelum berpindah menyalami kedua Adik papanya. Bila Seth Yang menyambut keponakannya dengan pelukan hangat, Sophie Yang justru berbeda. Dia menyalami Earlene dengan ujung jemari, kemudian melengos. Earlene tetap terlihat tenang, sama sekali tidak terusik dengan perlakuan Sophie yang kentara sekali tidak menyukainya. Earlene bergeser untuk menyalami Vinson dan Alfred yang merupakan anak-anak Seth dan Jenny. Kemudian berpindah untuk bersalaman dengan Pamela, istri Vinson. Setelahnya, Earlene melenggang untuk menempati kursinya di antara Carver dan Diana, tanpa berniat ber
08Dixon memijat dahinya saat melihat foto yang menampilkan Halton, suami Veronica yang sedang memberikan amplop pada seorang pria berjaket tebal. Sebuah foto lain memperlihatkan jika orang tersebut telah ditangkap polisi Shanghai. Foto selanjutnya menjadikan semua orang memandangi Grandel. Pria bermata tajam tetap berusaha tenang. Meskipun pada foto itu mencantumkan tanggal pengambilan gambar yang berbeda. Pada bagian atas, tercantum tiga tahun lalu, sedangkan bagian bawah menjelaskan bila foto yang sama tanggalnya berubah menjadi beberapa hari lalu. Padahal pakaian Earlene dan ketiga orang di belakangnya, sama sekali tidak berubah. Beberapa foto berikutnya, membuat Yvete dan Veronica saling melirik. Mereka mulai khawatir rahasia pekerjaan yang tidak becus dari suami masing-masing akan terungkap pada khalayak. "Ini, trik kuno," tutur Vinson. "Ya, tapi masih saja ada yang pakai," balas Darren. "Anehnya itu, yang percaya pada gambar editan," ledek Alfred seraya tersenyum. "Begit
09"Tadi malam, kamu masuk ke kamar jam berapa?" tanya Miguel sambil memandangi sahabatnya yang baru keluar dari toilet di ujung kanan ruangan. "Tidak lama setelah kamu tidur," balas Chyou sembari jalan ke lemari dan membuka pintunya. "Aku menunggumu sampai jam satu." "Kenapa harus menunggu?" "Apakah kamu bermain api dengan Nona muda?" Chyou segera mengenakan kaus putih, sebelum mengambil kemeja biru muda dari gantungan. Dia sengaja mengabaikan pertanyaan Miguel, dan bergegas menuntaskan berpakaian. "Chyou, kamu belum menjawab pertanyaanku," desak Miguel. "Aku tidak akan menjawabnya," cakap Chyou sembari memasang dasi biru tua motif bintik-bintik. "Berarti benar." Miguel mengulum senyuman. "Hati-hati, jangan sampai dia hamil," selorohnya. "Diamlah!" Miguel tergelak, sedangkan Chyou melengos. Yuze memasuki kamar bersama Steve sambil membawa nampan. Mereka memandangi Miguel yang masih terkekeh, kemudian keduanya mengalihkan pandangan pada Chyou yang sedang menyisiri rambut di
10"Ke mana mereka?" tanya seiring pria bertopi bisbol hitam sambil memindai sekitar. "Aku tidak tahu," jawab pria kedua. "Padahal tadi mereka berhenti di sini," sela lelaki ketiga sembari memperhatikan sekeliling. "Mungkin mereka tahu bila tengah dibuntuti," sahut pria keempat. Lelaki bertopi bisbol hitam mengerutkan keningnya. Dia benar-benar tidak menduga jika keempat pengawal keluarga Yang, ternyata mengetahui jika tengah dipantau. Ketiga pria lainnya masih mengamati sekitar. Mereka bingung bagaimana caranya kelompok Chyou bisa menghilang. Padahal hanya dalam hitungan menit, terapi target mereka langsung lenyap. Derap langkah dari belakang salah satu stand pedagang, menjadikan keempat penguntit terkejut. Mereka bersiap menyambut kehadiran ketiga pengawal Nona muda Yang, dengan memasang kuda-kuda sesuai ilmu bela diri masing-masing. Perkelahian tidak bisa dihindarkan. Kedua kubu sama-sama mengeluarkan segenap kemampuan untuk mengalahkan lawan. Kelompok penguntit merasa akan
11Jalinan waktu terus bergulir. Tidak adanya pergerakan terbaru dari pihak Dixon Zhang membuat Earlene lega. Namun, tidak demikian dengan Chyou. Dia justru mencurigai ketenangan kondisi dan menduga jika Dixon dan anak-anak serta menantunya, tengah menyusun rencana baru. Malam itu, Chyou keluar dari kediaman bosnya. Dia jalan dengan santai menuju deretan toko yang berada di ujung jalan. Setibanya di tempat tujuan, Chyou memasuki salah satu toko. Dia memindai sekitar, sebelum mendekati seorang pria berjaket biru yang sedang berdiri di lorong rak penuh kudapan. "Mobilku di belakang," tutur pria berjaket biru dengan suara pelan. "Tepatnya di mana?" tanya Chyou sembari berpura-pura mengambil keripik kentang dari rak."Sedan hitam, pojok kanan." "Oke." "Aku yang beli minuman." Chyou berdeham, kemudian dia mengambil beberapa bungkus lagi, lalu berbalik dan melangkah ke meja kasir. Chyou menyelesaikan transaksi pembayaran sebelum keluar dari toko dan jalan pelan menuju rumah sang bos,