Share

Kekecewaan

Pukul setengah delapan pagi, Rana sudah bersiap dengan setelan kerjanya berupa kemeja biru langit dan celana bahan berwarna hitam. Penampilan pria itu cukup necis dengan rambut bermodel undercut yang disisir rapi serta sepatu pantofel hitam mengkilap yang tengah menjejaki lantai ruang makan. Ketukan pelan sepatu Rana menyadarkan Mayang yang tengah menyeduh Teh hangat di dapur, bersegera wanita berhijab itu menambahkan sedikit gula ke dalam teh sebelum mengaduknya pelan.

"Pagi, Bu," sapa Rana seraya meletakan tablet di atas meja. Hari ini dia ingin memeriksa beberapa pasien yang sudah membuat jadwal dengannya dari kemarin.

"Pagi. Tehnya Mas." Mayang membawa nampan berisi teh lalu meletakkannya di atas meja.

"Makasih, Bu." Rana melempar senyum tipis sembari memperbaiki kancing baju di lengannya.

Mayang beralih meletakan sepiring muffin dengan taburan kacang almond diatas meja. Rana memang jarang sarapan dengan makanan berat, pria itu bahkan bisa bertahan hingga siang hanya dengan secangkir teh di pagi hari.

"Pak Sapto gak kerja hari ini Mas, katanya istrinya mau lahiran," ucap Mayang, memberitahukan soal pria yang bekerja sebagai satpam di rumah Rana. Wanita itu kemudian berbalik membereskan peralatan masaknya di countertop. 

Rana batal mengoperasikan tablet dan kembali menaruh di atas meja. Ia memandang asisten rumah tangganya itu dengan alis mengerut.

"Dia gak izin sama saya, Bu."

"Oh gak sempat dianya Mas, istrinya sudah pecah ketuban. Dia aja cuma telepon saya pas subuhan tadi," jelas Mayang sembari memindahkan peralatan masak bekasnya ke sink.

"Dibawa ke rumah sakit mana, Bu?" tanya Rana lagi. 

Dia agak kasihan dengan satpam yang sudah hampir dua tahun bekerja dengannya itu, Sapto tinggal di sebuah rumah kos kecil di pinggir kota, bersama dengan keenam anaknya yang masih kecil-kecil. Kesulitan ekonomi yang dihadapi pria berusia empat puluh lima tahun itu membuatnya hanya bisa bertahan di kos kecil dengan anggota keluarga yang banyak. Rana sudah pernah menawarkan Sapto sebuah rumah sederhana untuk pria itu tinggali. Tapi Sapto agaknya tak bisa menerima bantuan dari sang majikan, sebab Rana sendiri sudah membiayai sekolah kelima anaknya, lengkap dengan segala keperluan. Sapto merasa sungkan karena Rana sudah terlalu baik padanya.

"Kurang tau juga, Mas. Tapi saya sih pernah dengar waktu dia ngobrol sama Juki, katanya dia mau bawa ke klinik bersalin yang dekat sama rumahnya kalo istrinya mau lahiran."

Rana mengangguk-angguk lalu mengangkat cangkir teh, ia menghidu aroma teh buatan Mayang itu sebelum menyeruput sedikit. 

"Kalo kerjaan Ibu udah selesai, tolong telepon dia terus tanyain dimana istrinya lahiran ya." 

"Siap, Mas." Mayang mengangkat satu jempol gemuknya dengan senyum lebar.

"Makasih, Bu," 

"Mas Rana mau jengkuk istrinya Sapto, ya?" tanya Mayang lagi.

"Iya, Bu. Saya mau sekalian nawarin rumah, kemarin-kemarin masih ditolak, semoga kali ini nggak."

"Semoga aja, Mas. Saya juga kasihan sama si Sapto, soalnya yang tinggal di rumahnya bukan cuma dia sama anak istrinya aja Mas tapi mertuanya juga."

Informasi dari Mayang menarik perhatian Rana sepenuhnya. Dia tak tahu soal mertua Sapto yang tinggal bersama di kos sekecil itu. "Loh, mertuanya tinggal di kosan itu juga, Bu?" 

"Iya, Mas. Katanya sih rumah mertuanya di ambil sama dep kolektor, terus karena gak punya keluarga lain ya terpaksa tinggal sama disitu. Udah gitu ya mas, mertuanya juga lagi sakit-sakit lagi. Sapto juga cuma bisa bantu sedikit-sedikit dari gaji dia buat beli obat mertuanya." Mayang bercerita dengan tangan yang sibuk membilas piring.

"Memangnya mertuanya sakit apa, Bu?"

"TBC kalo gak salah Mas, saya cuma dengar sekilas aja waktu dia cerita sama Juki."

Rana menarik napas pelan sembari mengangguk. "Makasih Bu informasinya, nanti biar saya bicarakan lagi dengan Sapto."

"Siap, Mas."

Rana kembali menikmati muffin dan tehnya ketika derit kursi di depan di tarik oleh seseorang. Rana tak perlu memastikan siapa yang duduk di depannya itu, ia hanya merlirik sekilas sebelum menggeser layar tablet di tangannya. Meski demikian Rana merasa sedikt heran dengan kehadiran orang itu.

"Pagi, Bang."

Alis Rana bertaut begitu telinganya mendengar sapaan itu. Ia menutup layar tablet lalu menyesap teh sembari matanya menelisik wajah di depannya. 

"Pagi," balasnya kemudian. "Tumben sarapan," ujar Rana mengutarakan kejanggalan yang dirasanya.

Fino memang jarang ikut sarapan bersama dengan Rana. Pemuda itu lebih sering melewati makan pagi kemudian beralasan bahwa ia akan makan di kantin universitas bersama dengan teman-temannya.

Fino tersenyum tipis. "Lapar gue, Bang. Pagi ini ada kuis, jadi gue mesti isi tenaga yang banyak."

Rana mengangguk-angguk sambil menyendokan potongan muffin ke dalam mulutnya.

"Mas Fino mau sarapan apa?" tanya Mayang yang sudah selesai dengan pekerjaannya.

Fino melirik piring milik Rana yang masih tersisa muffin.

"Yang kayak Bang Rana aja, Bu."

Mayang mengangguk paham lalu bersegera menyiapkan muffin yang masih tersisa.

"Ada yang mau kamu omongin?" tanya Rana sambil menyesap tehnya. 

Dia tak yakin Fino duduk bersama dengannya hanya untuk sekedar sarapan. Pasti ada yang ingin laki-laki sampaikan padanya. Raut wajah Fino yang biasanya tengil tak terlihat juga membuat Rana yakin ada sesuatu yang tengah adiknya pikirkan. Beberapa kali Rana menangkap basah Fino yang tengah menatapnya dengan sedikit kecemasan yang mudah terbaca.

Fino tampak terkesiap mendengar pertanyaan Rana. Ia menelan ludah susah payah sembari mengosok kedua tangannya di atas paha. "Eum gue ... itu gue mau nanya sama lo, Bang."

"Tanya apa?" Rana melipat kedua tangannya di atas meja, siap mendengarkan pertanyaan dari Fino.

"Sarapannya, Mas Fino." Mayang datang menginterupsi pembicarakan mereka. Ia meletakan sepiring muffin dan segelas jus jeruk untuk Fino.

"Makasih, Bu."

Mayang mengangguk sopan sebelum kembali dengan pekerjaannya. Fino mengangkat sendok garpunya namun menyadari tatapan penuh tanda tanya yang menghujaninya membuat ia kembali meletakan garpunya itu.

"Eum ... gue mau nanya soal pacar gue, menurut lo dia gimana?"

"Pacar?" tanya Rana memastikan. Dia pikir Fino akan membahas masalah yang sangat penting, tentang kuliahnya misalnya.

"Iya, pacar yang semalam itu," sahut Fino seraya memasukan satu suap muffin ke dalam mulutnya.

"Yang semalam? Pacar semalam doang maksudnya?"

Pertanyaan Rana sukses membuat Fino tersedak, ia terbatuk sambil menepuk dadanya yang terasa sesak. Fino dengan cepat meminum jusnya, ia menatap Rana dengan tatapan bingung dan setengah tak menyangka.

"Lo tuh jarang ngomong tapi sekalinya ngomong gak pake di filter," dumel Fino sembari memasukan potongan muffin ke dalam mulutnya. "Maksud gue pacar gue yang lo ketemu semalam, menurut lo dia gimana?"

Rana menyatukan kedua tangannya di atas meja, beberapa saat rautnya seolah tengah berpikir keras. Fino menunggunya dengan sabar. Namun kemudian Rana justru mengangkat bahu tak acuh sembari menjawab pendek, "baik."

"Lawak lo? Dari tadi mikir jawabnya baik doang?" dengus Fino, kesal sendiri dengan sikap kakaknya yang kadang tak terduga. Sia-sia saja ia menunggu jawaban dari Rana.

"Terus maumu aku jawab apa?" Rana menyesap teh seraya kembali menggeser layar tabletnya.

"Yaa ... eum menurut lo dia gimana? Cocok gak sama gue? Cocok gak jadi ... adek ipar lo?" Suara Fino mengecil diakhir. Kepalanya menunduk, meski matanya sedikit mengintip reaksi Rana.

Rana menarik tipis sudut bibirnya. "Adik ipar? Pikiranmu terlalu jauh, Fin. Pikirin aja kuliahmu dulu, jangan aneh-aneh kamu, belajar yang bener baru mikir cinta-cintaan." Rana menarik serbet di pangkuannya lalu melap sudut bibir sebelum bersiap bangkit.

"Eh, lo mau kemana, Bang?"

"Menurut kamu ada tempat lain selain rumah sakit buat datangin?" tanyanya dengan wajah datar.

Fino berdecak. "Gue belum selesai ngomong loh, Bang. Jangan main pergi gitu aja."

"Apa lagi? Aku ada pasien bentar lagi." Rana melihat sekilas jam di pergelangan tangannya, lalu kembali menjatuhkan dirinya ke kursi. "Lima menit. Kamu punya waktu lima menit."

Fino menarik turunkan kedua tangannya ke pangkuan. Telapak tangannya tiba-tiba saja berkeringat, begitu juga dengan raut wajahnya yang terlihat cemas. Fino terdiam beberapa saat, isi otaknya berusaha mengatur kalimat terbaik yang ia punya.

"Fino, waktumu gak sebentar," ujar Rana. Fino masih saja terdiam membuat Rana jadi gemas sendiri. "Fin."

Fino menelan ludahnya susah payah sebelum mengangkat wajahnya takut-takut.

"Bang, gue ...."

...

"Ya Allah, Mas Ranaaa! Udahh, Mas! Kasian mas Finonya, Mas. Astaghfirullah!" 

Teriakan panik dari Mayang yang sedari tadi terdengar sama sekali tidak tak membuat Rana menghentikan aksinya memukuli Fino. Pria itu telah digelapkan emosi yang menghanguskan separuh sisi nuraninya. Wajah dingin Rana seakan menggambarkan betapa dahsyatnya ledakan amarah dalam dirinya. Dia tak bisa lagi memandang Fino sebagai adiknya. Ucapan laki-laki itu sanggup membuatnya tak berpikir dua kali untuk menghabisinya.  

Entah sudah yang ke berapa kali Rana melayangkan tinjuannya ke sekujur tubuh Fino. Sementara adiknya itu hanya bisa meringis dan sesekali mengucapkan kata maaf. Namun seperti tak mendengarkan ucapan Fino, Rana terus saja memberikan pukulan tanpa henti. Wajah adiknya itu sudah babak belur dengan sudut bibir yang sobek.

Api amarah dalam kepala Rana benar-benar sulit dipadamkan. Bagaimana tidak? Adiknya itu telah melakukan hal yang sangat fatal. Kesalahan Fino kali ini tidak bisa lagi dimaafkan seperti kesalahan-kesalahan sebelumnya. Clubing, bolos kuliah, bahkan sampai merokok pun hal yang paling dibenci Rana namun dibebaskannya saja Fino melakukan semua itu. Terkadang ia benar-benar lelah menasehati Fino, sebab laki-laki itu selalu saja mengulang kesalahan yang sama.

"Mas, Rana udah! Itu mulutnya Mas Fino berdarah, ya Allah!" jerit Mayang lagi, wanita itu kemudian berlari keluar untuk meminta bantuan.

Rana menarik kasar kerah baju Fino lantas melayangkan pukulan telak dirahang laki-laki itu. Wajah dingin Rana kian memerah padam, nafasnya memburu dengan mata yang menatap jijik Fino. Ia hendak menghampiri adiknya itu namun berhasil ditahan oleh pria berpakaian satpam yang datang bersama Mayang.

"Ya Allah Mas, istighfar Mas!" seru Mayang sebelum menghampiri Fino yang masih terkapar di lantai.

"Ma-maafin gue, Kak," ujar Fino terbata, ia meringis menahan perih luka di sudut bibirnya.

"Maaf?" tanya Rana seolah pernyataan maaf tersebut tak lagi pantas di ucapkan adiknya. Ia membebaskan dirinya dari kukungan Juki yang menahan dirinya. Rana menarik napas dalam-dalam seraya mengusap wajahnya yang terlihat gusar. "Kalian bisa keluar!" perintahnya pada dua orang yang langsung saling berpandangan.

Mayang dan Juki terlihat ragu. "Tapi Mas kami ...."

"Saya gak akan pukul dia lagi. Kalian bisa keluar." Rana menatap datar dua orang di depannya.

Dengan setengah kegusaran kedua orang itu pun langsung bergegas pergi. Rana berjalan menuju tempat Fino. Tanpa kata ia langsung menarik kerah baju laki-laki itu dan mendorongnya duduk di kursi. Sementara dirinya berdiri sembari melempar tatapan menghakimi.

"Kamu hamilin anak orang Fin. Itu bukan kesalahan kecil yang bisa diselesaikan hanya dengan kata maaf. Kata maaf kamu gak bikin keadaan jadi seperti semula. Kamu tahu itu, 'kan?" Rana berbicara dengan nada yang lebih tenang dan juga dingin.

"Gu-gue tahu, Bang." Fino menundukkan pandangan, ia sama sekali tak punya keberanian menatap wajah Rana.

"Kamu tahu Fin, aku pengin banget habisin kami sekarang. Tapi aku gak bisa, aku gak bisa bunuh ayah dari anak gak bersalah. Untungnya aku masih punya hati nurani buat gak bikin anak kamu jadi yatim, Fin."

Dan satu lagi, hati Rana terus meyakinkan dirinya bahwa Fino adalah adiknya, merapalkan mantra tersebut agar setan tak mendominasi pikirannya.

"Gue akan tanggung jawab, Kak. Gue cinta sama Lisa, gue gak sebajingan itu buat ninggalin dia," ujar Fino seraya mengangkat pandangannya.

Rana menganggukkan kepala. "Kamu tahu apa yang kamu omongin itu emang harus kamu lakuin! Dan sekarang juga kita ke rumah perempuan itu," ujarnya lantas berbalik pergi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status