"Lama banget, sih. Sampai keroncongan nih perut gue," dumel seorang gadis berambut sebahu yang baru saja menduduki kursi disebelah Raline. Ia meletakan tas ranselnya di jok belakang. "Bekal lo masih sisa, 'kan? Sini gue makan."
"Gak ada sisa.""Hah? Kok bisa? Semalam Lo bilang katanya mau diet.""Bekalnya gue kasiin Alan."Alis Lisa tertarik ke atas. "Lo ketemu sama Bang Alan?""Iya," sahut Raline."Langgeng banget ya lo berdua." Raline sontak melempar tatapan tajamnya pada Lisa. "Pertemanan lo maksud gue, Mbak. Belum selesai ngomong udah main lirik-lirik aja. Sensi amat, sih." Raline memilih menghidupkan mesin mobil, menjejakan roda mobilnya dengan tenang dari pada membalas omelan Lisa. Jalanan yang lenggang, memudahkan Raline untuk menaikkan kecepatan kendaraannya, menyelip beberapa kendaraan roda empat di depan. "Mama nanya besok pulang apa nggak, lo pulang nggak?" tanya Raline. "Gue kayaknya pulang."Lisa menglihkan tatapan dari ponsel ditangannya, menatap Raline dengan kedua alis terangkat. "Tumben, biasanya cuma gue yang pulang. Kesambet apaan lo, Mbak?"Raline mengangkat bahu. "Lo tau banget alasan gue selama ini kenapa gak pulang."Lisa tersenyum jenaka. "Raline kapan nikahnya? Umurnya berapa sih, kok belum dapet jodohnya? Raline kapan-kapan bawa pacar dong, dikenalin sama keluarga? Raline anak Tante—""Diem Sa, gue muak dengar semua pertanyaam laknat itu," potong Raline dengan wajah kecut. Lisa mendengus. "Yee ... lagian kalo gak mau dengar pertanyaan kayak gitu ya bawa dong gandengan ke rumah. Mama tuh keliatannya pengin banget liat lo ada di pelaminan. Masa gak bisa sih kabulin satu permintaan Mama aja.""Lo pikir nyari gandengan kayak nyari kutu di rambut lo? Gak segampang itu, Lisa!""Kampert lo, Mbak! Rambut gue gak ada kutunya, ya!" Lisa merengut kesal membuat Raline terkekeh pelan."Gue belum kepikiran buat nyari pendamping, Sa," ujar Raline setelah tawanya berhenti, memandang kendaraan di depannya dengan tatapan kosong. "Atau mungkin gue gak akan punya pendamping." Lisa menatap Raline dengan pandangan horor. "Idih, jadi perawan tua gitu? Malu-maluin banget sih lo." Lisa menggelengkan kepalanya sebelum kembali menatap layar ponsel. "Lagian kenapa, sih? Belum bisa move on dari Bang Al?""Nggaklah, ya kali gue masih kepikiran sama Alan, gak banget, Sa. Gue emang balik lagi jadi sahabat sama dia, tapi untuk yang lebih, itu gak mungkin!" Raline berkata apa adanya. Usai memutuskan hubungan dengan sahabatnya itu, ia berusaha kembali menata hatinya. Kembali fokus menjalani hidup, membiayai Lisa hingga lulus kuliah, menafkahi Dian meski sang ibu sendiri sudah memiliki usaha di Bandung tapi bagi Raline itulah kewajibannya. Masalah cinta, Raline ingin meletakan itu di bagian terakhir tujuan hidupnya. Raline bisa mengatakan dengan gamblang bahwa dirinya takut menjalani kisah asmara karena penghianatan yang dilakukan Alan. Banyak sekali lelaki yang ingin mendakatinya, tapi Raline masih berusaha menutup hati. Dia tak ingin memberikan celah pada siapapun meski Raline bisa melihat ketulusan pada beberapa lelaki yang mendakatinya. Sakit dijiwa masih terasa. Luka itu telah meninggalkan bekas yang sulit menghilang."Udahlah, Mbak. Kalo udah move on ya buka dong hati lo buat cowok yang lain. Kasian mama, dia gak mau liat anaknya jadi perwan tua."Raline menghela napas, ia memilih menghentikan audi putihnya dipinggir jalan. "Gue ... cuma takut, Sa. Alan itu sahabat gue, orang yang gue sayang. Waktu dia nembak gue, gue gak pernah kepikiran bakal sesakit ini. Gue senang. Gue bahagia. Tapi ... tapi waktu liat dia selingkuh ... sakit banget, Lis." Air mata perlahan turun dari mata Raline, ia menggigit bibir, menahan isak. Lisa yang melihat Raline begitu rapuh di depannya, hanya bisa menggenggam erat tangan Raline. Lisa bisa merasakan sakit Raline menular padanya. "Mbak—""Gak, Lis." Raline menggeleng sembari mengusap pipinya. "Gue gak mau dikasihanin, selama ini gue tahan sendiri sakitnya karena gak mau liat lo sama mama juga ikut sedih. Gue yang salah, gue yang mau aja dibodohi Alan. Biar gue sendiri yang tanggung sendiri akibatnya, Sa.""Jangan gitu, Mbak. Lo nyiksa diri namanya. Gue sama mama ada buat lo, kita berdua pasti bakalan ada di samping lo buat nguatin lo, Mbak." "Gue cuma gak mau mama berharap.""Pikirin kebahagian lo dulu, Mbak. Mama bakal bahagia kalo liat lo bahagia.""Udah, Lis! Udah! Dan Lo liat sendiri akibatnya, gue diselingkuhin! Gue gak mau sampai kejadian itu terulang lagi. Gue gak mau mama ngerasa sedih, Sa. Gue gak mau." Raline menundukkan wajahnya, air matanya kembali turun. Lisa segera memeluk erat tubuh Raline."Gue cuma bisa berdoa buat lo, Mbak. Semoga lo ketemu sama cowok yang bisa hapus rasa sakit lo. Bikin lo bahagia terus.""Gue gak yakin tentang itu, Sa."Lisa tersenyum sambil mengusap rambut Raline. "Tuhan gak mungkin sejahat itu, Mbak. Mungkin aja jodoh lo udah ada di dekat lo. Cuma lo aja yang belum sadar."Raline menarik dirinya dari pelukan Lisa. Bibirnya merengut tak setuju. "Ngomong apaan sih lo. Mending kita pulang aja deh." Raline kembali menjalankan audi putihnya.
Lisa menggelengkan kepala. "Susah banget sih lo kalo dinasehatin."Raline mengangkat bahu tak acuh.
Pukul setengah delapan pagi, Rana sudah bersiap dengan setelan kerjanya berupa kemeja biru langit dan celana bahan berwarna hitam. Penampilan pria itu cukup necis dengan rambut bermodel undercut yang disisir rapi serta sepatu pantofel hitam mengkilap yang tengah menjejaki lantai ruang makan. Ketukan pelan sepatu Rana menyadarkan Mayang yang tengah menyeduh Teh hangat di dapur, bersegera wanita berhijab itu menambahkan sedikit gula ke dalam teh sebelum mengaduknya pelan. "Pagi, Bu," sapa Rana seraya meletakan tablet di atas meja. Hari ini dia ingin memeriksa beberapa pasien yang sudah membuat jadwal dengannya dari kemarin. "Pagi. Tehnya Mas." Mayang membawa nampan berisi teh lalu meletakkannya di atas meja. "Makasih, Bu." Rana melempar senyum tipis sembari memperbaiki kancing baju di lengannya.
Jam berdetak pukul sebelas malam ketika Raline baru saja menghabiskan secangkir coklat hangat dan menyelesaikan drama Korea favortinya. Bola matanya memandang cemas jam dinding sembari napasnya terhela berat. Tungkai kakinya bolak-balik mengitari meja ruang tamu. Sesekali ia menarik rapat sweater rajutnya begitu depus angin malam masuk melalui jendela yang masih terbuka lebar. Raline memang sengaja membiarkan jendela besarnya terbuka, agar ia bisa memastikan langsung kedatangan Lisa. Tapi sayang, yang ditunggu-tunggu tak kunjung memunculkan batang hidungnya.Menurut Raline, ini sudah terlalu larut malam untuk berkencan. Sang adik yang entah di mana sekarang belum pulang sehingga membuat Raline di penuhi rasa cemas. Ponsel Lisa yang tak bisa di hubungi semakin menambah kekhawatiran Raline. Benak wanita itu sejak tadi terus menyalahkan dirinya sendiri. Seharusnya dia bisa mencegah Lisa supaya gadis itu tidak jalan lagi bersama Fino atau seharusnya Ra
Raline tak menyangka, dari sekian banyaknya lelaki di dunia ini, kenapa harus mahasiswa bernama Arbelio Fino Desaga yang menjadi kekasih Lisa. Masalahnya bukan karena Fino mahasiswanya, tapi karena Raline tahu betul seperti apa kelakuan Fino. Tak hanya kurang ajar dengan Dosen, Raline sendiri pernah melihat Fino ditampar oleh seorang perempuan karena dituding telah berselingkuh.Memiliki wajah tampan bak aktor laga membuat Fino banyak digandrungi kaum hawa. Ketampanan itulah yang membuat ia menjadi sosok laki-laki yang ingin memiliki segalanya, termasuk kaum hawa tentunya. Dan Raline membenci keinginannya itu.Raline tidak akan melarang hubungan keduanya. Raline tahu Lisa seperti apa. Gadis itu pandai dalam menangani masalah percintaan seperti ini, dia tidak lugu dan bodoh seperti kakaknya. Raline sangat yakin kalau Lisa sudah mengetahui kelakuan nakal Fino."Jadi Kakak aku dosen kamu, Yang?" tanya Lisa.Raline ha
Raline lebih menyukai mendekam di rumah dengan leptop yang menayangkan serial drama Korea di tambah cemilan keripik kentang buatan Dian ketimbang harus menemani sang adik yang ingin menonton film di bioskop. Menyebalkan. Raline harus merelakan jadwal menontonnya demi menemani Lisa yang tidak hanya ingin menonton, tapi juga berkencan dengan kekasihnya.Apalah daya seorang Raline yang notabenenya telah berstatus jomblo yang diselingkuhi, harus bermalam minggu dengan sepasang kekasih yang sedang kasmaran itu. Sialan.Dan itu semua bukan kemauan Raline atau Lisa, pun juga bukan keinginan kekasih Lisa yang Raline saja tak tahu nama serta wujudnya. Titah sang Ibunda Ratu yang sedang berada di Bandung yang mengharuskan Raline selalu menjaga Lisa dimana pun sang adik berada. Dikarenakan Raline adalah anak yang penurut, menyayangi orang tua, jadi tak ada alasan untuk dirinya menolak titah tersebut.Tubuh ramping yang terbalut pakaian casual
"Lama banget, sih. Sampai keroncongan nih perut gue," dumel seorang gadis berambut sebahu yang baru saja menduduki kursi disebelah Raline. Ia meletakan tas ranselnya di jok belakang. "Bekal lo masih sisa, 'kan? Sini gue makan.""Gak ada sisa.""Hah? Kok bisa? Semalam Lo bilang katanya mau diet.""Bekalnya gue kasiin Alan."Alis Lisa tertarik ke atas. "Lo ketemu sama Bang Alan?""Iya," sahut Raline."Langgeng banget ya lo berdua." Raline sontak melempar tatapan tajamnya pada Lisa. "Pertemanan lo maksud gue, Mbak. Belum selesai ngomong udah main lirik-lirik aja. Sensi amat, sih."Raline memilih menghidupkan mesin mobil, menjejakan roda mobilnya dengan tenang dari pada membalas omelan Lisa. Jalanan yang lenggang, memudahkan Raline untuk menaikkan kecepatan kendaraannya, menyelip beberapa kendaraan roda empat di depan."Mama nanya besok pulang apa nggak, lo pulang ng
Awan mendung menggantung di langit-langit Jakarta begitu Raline menggeleserkan audi putihnya di pelataran sebuah cafe. Depus angin sedikit menusuk kulit putih susu Raline. Sayang sekali ia tidak membawa sweater rajut yang baru dibelinya bulan lalu. Raline hanya bisa merapatkan blazer ditubuhnya.Kaki jenjang Raline memasuki sebuah cafetaria yang hanya terdapat beberapa pengunjung. Nuansa sunyi begitu kental terasa. Hanya terdengar alunan lirih piano yang dimainkan. Raline berderap menuju sosok yang melambai ke arahnya."Gue gak bisa lama, harus jemput Lisa." Raline mendudukan dirinya di kursi. Lelaki dihadapannya hanya mengangguk tenang. "Udah lama?""Gak, gue baru aja kok. Mau pesan?"Raline mengangguk. "Kayak biasa."Pria dengan jas silver itu memanggil salah satu pelayan. Memesan beberapa makanan ringan serta minuman hangat untuk dirinya dan Raline."Jadi gimana? Masih betah jadi Dosen?" tanya Ala