Share

Jaminan teraneh

Raline tak menyangka, dari sekian banyaknya lelaki di dunia ini, kenapa harus mahasiswa bernama Arbelio Fino Desaga yang menjadi kekasih Lisa. Masalahnya bukan karena Fino mahasiswanya, tapi karena Raline tahu betul seperti apa kelakuan Fino. Tak hanya kurang ajar dengan Dosen, Raline sendiri pernah melihat Fino ditampar oleh seorang perempuan karena dituding telah berselingkuh.

Memiliki wajah tampan bak aktor laga membuat Fino banyak digandrungi kaum hawa. Ketampanan itulah yang membuat ia menjadi sosok laki-laki yang ingin memiliki segalanya, termasuk kaum hawa tentunya. Dan Raline membenci keinginannya itu. 

Raline tidak akan melarang hubungan keduanya. Raline tahu Lisa seperti apa. Gadis itu pandai dalam menangani masalah percintaan seperti ini, dia tidak lugu dan bodoh seperti kakaknya. Raline sangat yakin kalau Lisa sudah mengetahui kelakuan nakal Fino.

"Jadi Kakak aku dosen kamu, Yang?" tanya Lisa. 

Raline harus menahan diri untuk tidak memutar bola matanya saat mendengar suara Lisa yang demi apa pun baru kali ini ia mendengar suara semanja itu.

"I-iya, Sa. Bu Raline Dosen di kampusku."

Raline mendengus melihat senyum manis Fino padanya yang terlihat jelas dipaksakan. Dia yakin betul anak tengil satu ini pasti masih menyimpan dendam padanya meski dia sudah mengganti biaya ponsel yang dilemparnya tempo hari.

"Kalian ngobrol aja, saya ke toilet bentar." Bersegera Raline bangkit setelah mendapat anggukan dari keduanya.

Raline hanya sekedar buang air kecil dan memoles kembali makeup tipisnya saat di toilet. Sebenarnya ia menghindari adegan romantisme Fino dan Lisa.  Daripada Raline harus hangus terbakar api iri dan dengki lebih baik dia menghindar saja. Setidaknya dua puluh menit Raline menghabiskan waktu dengan berselancar di media sosial sebelum akhirnya memilih kembali ke area food court. 

Ada sedikit perbedaan di meja makan saat Raline kembali. Di sana tidak hanya ada Lisa dan Fino, tapi Raline juga melihat punggung seorang lelaki yang berbalut kemeja hitam dengan posisi membelakanginya.

Raline mengernyit.

"Eh, itu orangnya udah datang, kita langsung beli tiket aja."

Ketiga orang di meja itu langsung bangkit sembari memandangi kedatangan Raline, termasuk pemilik punggung tegap itu.

Raline tidak bisa menahan tatapan tak sukanya saat mendapati sosok pria berwajah datar itu. Mendadak ia merasa malam ini akan menjadi malam paling tersial sepanjang hidupnya. Bagaimana tidak, ia harus bertemu kembali dengan lelaki yang telah menghina-hina dirinya.

"Sa, maaf banget nih, gue kayaknya gak nonton deh. Kalian aja ya, perut gue tiba-tiba gak enak," bohong Raline seraya mendesis lirih.

"Eh, lo sakit Kak? Kalau gitu kita batalin aja nontonnya."

Raline menggeleng cepat. "Gak usah, Sa. Gue ... baik-baik aja kok, lanjutin aja nontonnya. Gue cuma butuh baring doang, entar juga mendingan."

Alis Lisa bertaut, heran. Namun kepalanya tetap mengangguk. "Oke, lo hati-hati. Kabarin kalo ada apa-apa."

"Iyaa." Raline beralih menatap Fino. "Kamu nanti anterin adik saya pulang, 'kan?"

Alan mengangguk sigap. "Ibu tenang aja, saya pasti bakalan ngantar Lisa tepat waktu, kok." Ia tersenyum manis seraya mengusap rambut sebahu Lisa penuh sayang.

Melihat pemandangan manis didepannya, mendadak membuat Raline kembali dilanda rasa iri.  Kapan gue bisa kayak gitu, Tuhan? batinnya menjerit. 

Raline tersenyum pahit. 

"Kalau gitu gue balik dulu." 

Raline melangkah gontai keluar dari area food court. Mungkin dia bisa kembali ke jadwal awal yaitu menghabiskan episode drama Korea untuk membunuh waktu malam yang menyedihkan ini. Yeah, itu lebih baik meski nantinya ia hanya bisa berandai-andai kembali saat melihat adegan romantis. Setidaknya Raline tidak menjadi obat nyamuk untuk kencan Lisa. 

"Heh, Bocah!"

Raline sedikit terusik dengan suara panggilan dibelakangnya, namun ia mencoba untuk tidak peduli. Kakinya tetap melangkah, tetapi tarikkan kasar dilengannya itu cukup membuat Raline jengkel seketika.

"Kamu gak dengar saya panggil?"

Raline menyentak kasar tangan di lengannya.

"Jangan kurang ajar, ya!" hardik Raline seraya memegang pergelangan tangannya yang sedikit nyeri akibat tangan kasar tadi.

"Jelas-jelas saya manggil kamu bocah, masa gitu aja nggak dengar?"

Raline mendengus. "Jelas-jelas itu bukan nama saya, masa gitu aja gak tau."

"Itu nama dari saya untuk kamu."

"Makasih untuk namanya, saya gak butuh!" Raline memilih membuka pintu mobilnya namun lagi-lagi pria menyebalkan itu menarik bahunya. "Jangan kurang aja, ya!" Raline mencoba keluar dari himpitan kedua lengan dibahunya.

Rana berdecih. "Siapa yang mau kurang ajar sama kamu? Kamu pikir saya pedofil?"

Raline menggeram kesal. Ia berusaha sekuat tenaga melepas tangan Rana dari bahunya "Lepasin! Mau kamu apa, sih?!"

Rana tertawa kering. "Wah, saya gak nyangka kalau orang sakit tenaganya bisa sebesar ini." Ia memundurkan tubuhnya sambil mengangkat kedua tangan.

Raline menatapnya tajam. "Saya gak sakit!" Oke, dengan bodohnya Raline malah membuka kartunya sendiri dan membuat Rana menunduk untuk menyembunyikan senyum gelinya.

Sialan, batin Raline memaki.

Rana mengangguk-angguk seolah baru saja menemukan fakta baru. "Sepertinya saya tahu alasan kenapa kamu berbohong. Hm, alasan yang cukup ... menyediakan." Wajah Rana berubah perihatin namun Raline sangat tahu bahwa itu hanya tipuan saja.

"Ngapain kamu kesini?"

Rana bersandar disisi mobil Raline seraya menyilangkan lengannya. "Saya diminta adik kamu untuk mengantar kamu pulang. Dia khawatir sama kakaknya yang tukang bohong ini."

Raline menghela napas. "Kamu tidak perlu mengantar saya, sebaiknya kamu kembali ke dalam karena saya lebih khawatir adik saya nanti di apa-apain sama adik kamu."

Raline takut terjadi apa-apa dengan Lisa. Dia tak yakin anak tengil itu akan menjaga Lisa baik-baik. Mungkin saja si Fino itu masih dendam dengan Raline dan ingin membalasnya lewat Lisa. Astaga jika itu terjadi, Raline akan membunuh mahasiswanya itu. Dia sangat menyayangi Lisa, di kota sebesar ini dia harus menjaga Lisa lebih ekstra lagi meski usia gadis itu sudah benar-benar dewasa.

"Adik saya gak akan apa-apain adik kamu. Kamu tenang aja," ucap Rana dengan santai.

Raline melirik Rana, sinis. "Apa jaminannya kalau adik kamu gak akan apa-apain adik saya?"

Rana terlihat berpikir sejenak sebelum mengangkat satu bahunya. "Saya bakalan nikahin kamu."

Raline menatap Rana terkejut. Telinganya terasa bocor mendengar jaminan teraneh itu. "Situ gila, ya?!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status