Share

Mantan

Awan mendung menggantung di langit-langit Jakarta begitu Raline menggeleserkan audi putihnya di pelataran sebuah cafe. Depus angin sedikit menusuk kulit putih susu Raline. Sayang sekali ia tidak membawa sweater rajut yang baru dibelinya bulan lalu. Raline hanya bisa merapatkan blazer ditubuhnya.

Kaki jenjang Raline memasuki sebuah cafetaria yang hanya terdapat beberapa pengunjung. Nuansa sunyi begitu kental terasa. Hanya terdengar alunan lirih piano yang dimainkan. Raline berderap menuju sosok yang melambai ke arahnya.

"Gue gak bisa lama, harus jemput Lisa." Raline mendudukan dirinya di kursi. Lelaki dihadapannya hanya mengangguk tenang. "Udah lama?"

"Gak, gue baru aja kok. Mau pesan?" 

Raline mengangguk. "Kayak biasa."

Pria dengan jas silver itu memanggil salah satu pelayan. Memesan beberapa makanan ringan serta minuman hangat untuk dirinya dan Raline.

"Jadi gimana? Masih betah jadi Dosen?" tanya Alan 

"Masih, cuma ya kadang kesel juga sama mahasiswa di sana, sebel aja sama mereka yang kadang nganggap gue itu seumuran sama mereka," gerutu Raline.

Alan terkekeh ringan. "Dan gue yakin, sebagian besar yang anggap lo seumuran semuanya cowok, iya 'kan?"

Raline memutar bola mata. "Yah, makhluk sejenis lo itu memang paling jengkelin." 

Obrolan keduanya terpaksa berhenti dengan kedatangan pelayan yang mengantar pesanan.

"Mereka gak mungkin kayak gitu kalo bukan karena muka lo yang masih fresh itu," ujar Alan sebelum menyesap macchiato miliknya.

"Penampilan gue kurang apa sih Al, perasaan gue udah berusaha berpenampilan kayak wanita dewasa dah. Apa emang mata mereka aja kali yang bermasalah." Raline mencibik.

"Muka lo gak bisa bohong Lin, usia aja gak penting buat para lelaki ngejauhin lo. Coba lo pikir deh, misalnya waktu pertama kali lo ketemu satu cowok, apa yang buat dia terkesan pengin banget dekatin lo? Gak mungkin 'kan dia langsung nanyain umur lo, dia pasti dekatin lo karena liat rupa lo dulu." Alan sendiri tak bisa menghindar dari pesona Raline. Sesungguhnya perasaannya tak bisa hilang begitu saja, masih ada keinginan untuk bersama Raline lebih dari sekedar sahabat tentunya. "Dan mungkin setelah tau lo orangnya gimana dan berapa usia lo, para lelaki tetap bakalan ngejar lo Lin, termasuk gue."

Raline mendengus sebal, mendengar penuturan pria yang pernah memiliki hatinya itu. Jika tak mengingat Alan adalah sahabatnya, Raline mungkin akan menolak mentah-mentah ajakkan Alan sewaktu meminta bersama kembali sebagai sahabat.

"Jangan ngomong yang nggak-nggak, deh."

Alan tersenyum masam. Rupanya rencana untuk memiliki Raline tak semudah yang ia pikirkan. "Lo ... masih belum bisa maafin gue?" 

Raline memutar bola mata. "Kalo gue belum bisa maafin lo, mana mungkin gue duduk di sini sekarang terus bisa terima lo sebagai sahabat lagi," ketusnya sambil bersandar. Raline mengangkat bahu seraya mengalihkan tatapannya ke arah jalanan yang lenggang dengan rintik hujan yang mulai berjatuhan. "Gue rasa penampilan gue gak semenawan yang lo bilang, kalo gue cantik banget gak mungkin 'kan lo bisa ngelirik cewek lain, bahkan sampai grepe-grepe dihadapan gue."

"Maaf." 

Alan  menundukkan wajahnya. Lelaki dengan netra hitam itu tak tau harus melakukan apa lagi agar kesalahannya dulu bisa ditebus. Kadang ia berpikir bagaimana bisa ia tergoda dengan wanita lain sementara ia telah memiliki pujaan hati yang begitu ia cintai. Wanita yang percaya untuk memberikan hatinya, tapi justru ia sia-siakan begitu saja. Alan benar-benar mengutuk dirinya saat itu. 

"Lo cantik, Lin. Banget. Cuma gue aja yang emang bego karena udah sia-sian cewek sebaik lo." Ia memberanikan diri menatap kedua iris cokelat yang juga menatapnya.

Raline kembali menglihkan tatapannya. Ia berdeham. "Udahlah, gak usah di bahas. Setelah gue pikir-pikir kita emang cocoknya jadi sahabat. Apa bedanya sama orang pacaran, toh kita juga bisa jalan bareng, nonton bareng, gak ada yang beda. Pacaran itu cuma nama lainnya doang."

Alan mengangguk setuju. "Ya, lo benar." Meski sebenarnya untuk memiliki Raline kembali seperti dulu adalah tujuan Alan sekarang, tapi ia akan melakukannya dengan perlahan, karena dia tahu masih ada sisa-sisa kebencian Raline padanya yang belum hilang. "Lo gak ada niatan buat balik lagi ke perusahaan gue?" Mungkin ini salah satu rencana awalnya. Oh, tidak. Rencana pertama telah ia lancarkan, yaitu dengan mengajak Raline untuk bersahabat kembali.

Raline menyipitkan kedua matanya, menatap Alan curiga. "Buat apa? Gue udah nyaman jadi Dosen." 

"Katanya gak suka sama tatapan mahasiswa lo, gue bisa terima lo lagi jadi karyawan atau kalo lo mau lo bisa jadi sekretaris gue," tawar Alan dengan wajah penuh harap.

"Nggak, makasih atas tawarannya. Gue masih suka marah-marahin mahasiswa gue, lebih enak aja ada yang bisa buat luapain emosi," ujar Raline dengan tawa pelan di ahkir kalimat.

Alan mengangguk kecewa. "Oh yaudah. Ngomong-ngomong Lo keliatan suntuk banget hari ini, kenapa? Ada masalah?" 

Raline menghela napas. "Kemarin gue berantem sama wali mahasiswa gue. Kesel banget gue, masa dia ngata-ngatain gue bocah. Terus dibilang bocah kayak gue gak pantes jadi Dosen."

Alan menajamkan matanya. "Siapa yang bilang kayak gitu? Kasih tahu gue Lin yang mana orangnya." 

Raline mengibaskan tangannya. "Ck, udahlah gak usah di cari, entar masalahnya makin runyam."

"Tapi Lin—"

"Eh gue kudu cabut nih, mau jemput Lisa. Pesanan gue lo bayar, 'kan?"

"Iya."

"Oke, sip!" Raline beralih mengeluarkan kotak bekal dari dalam tasnya kemudian meletakan di atas meja. "Nih sebagai gantinya. Ayam geprek tuh, gue sendiri yang buat. Makan yang banyak, lo makin kurusan. Gue cabut dulu ya, bye!" Raline melambai sebelum melangkah keluar.

Alan tersenyum tipis seraya menatap kotak bekal di depannya. "Thanks."

Pikirkan saja, bagaimana Alan tidak ingin mengajak Raline kembali bersama kalau gadis itu terus saja memberikan perhatian padanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status