Share

Malamnya si jomblo

Raline lebih menyukai mendekam di rumah dengan leptop yang menayangkan serial drama Korea di tambah cemilan keripik kentang buatan Dian ketimbang harus menemani sang adik yang ingin menonton film di bioskop. Menyebalkan. Raline harus merelakan jadwal menontonnya demi menemani Lisa yang tidak hanya ingin menonton, tapi juga berkencan dengan kekasihnya. 

Apalah daya seorang Raline yang notabenenya telah berstatus jomblo yang diselingkuhi, harus bermalam minggu dengan sepasang kekasih yang sedang kasmaran itu. Sialan.

Dan itu semua bukan kemauan Raline atau Lisa, pun juga bukan keinginan kekasih Lisa yang Raline saja tak tahu nama serta wujudnya. Titah sang Ibunda Ratu yang sedang berada di Bandung yang mengharuskan Raline selalu menjaga Lisa dimana pun sang adik berada. Dikarenakan Raline adalah anak yang penurut, menyayangi orang tua, jadi tak ada alasan untuk dirinya menolak titah tersebut. 

Tubuh ramping yang terbalut pakaian casual itu berjalan gontai di belakang adiknya. Sesekali Raline menghela napas pendek untuk meluapkan rasa bosan. Bibir bersalut pelembab itu melengkung kebawah. Kaki jenjangnya tetap mengikuti langkah sang adik memasuki area food court. Lisa memutuskan untuk menunggu kekasihnya dulu sebelum membeli tiket, katanya kekasihnya itu sedang dalam perjalanan menuju kemari.

"Gue mau pesan makan dulu."

"Eits, tunggu dulu. Lo mau pesan makan apa? Jangan nasi ya, cowok gue entar lagi nyampe. Masa kudu nungguin lo kelar makan."

Raline memutar bola mata malas. "Tinggalin aja gue disini. Lagian bukannya bagus ya kalian berdua bisa ngapain aja di dalam. Entar canggung kalo ada gue."

Lisa tampak berpikir, keningnya mengkerut. "Iya juga sih, tapi kalo terjadi apa-apa sama gue gimana? Nanti lo gak tau."

"Yaelah Lisaaa, pacar lo tuh cowok dan tugas seorang pacar yang utama ya jagain si ceweknya."

"Ya tapi 'kan lo juga ke sini mau jagain gue," sungut Lisa dengan bibir mengerucut.

Raline mendengus. "Lisa sayang, umur lo itu udah dua puluh dua, jangan kayak bocah deh. Masa ke mana-mana harus selalu ada gue. Mama emang nyuruh gue jagain lo, tapi bukan berarti gue harus siap dua puluh empat jam disamping lo. Tugas gue cuma ngawasin lo di sini, pergaulan, sama pacar lo itu." Raline memilih bermain dengan ponselnya.

"Lo gak jadi pesan makan?"

"Nggak," ketus Raline.

"Kok gitu?"

"Udah gak mood makan."

"Yeee, gitu aja ngambek. Bocah lo!"

Raline tertegun. Bocah? Lagi-lagi dia harus mendengar kata itu. Kenapa sih semua orang memanggilnya bocah? Memangnya sikapnya seperti bocah?

Tak berapa lama kemudian terdengar suara seorang pria dari kejauhan.

"Sayang!"

"Beb!"

Lisa tersenyum girang seraya bangun dari duduknya. Meski dengan kepala menunduk, Raline bisa melihat siluet sepasang kekasih yang tengah berpelukan.

Raline jelas iri jika melihat pemandangan itu secara langsung. Ya, begitulah Raline yang gengsian, mengaku saja bahwa Lisa masih labil jadi boleh-boleh saja berpacaran, sedangkan dirinya tak pantas untuk berpacaran mengingat umur yang tak muda lagi. Namun sebenarnya dalam lubuk hatinya yang terdalam, Raline begitu menginginkan berada di posisi Lisa. Di perhatikan, dipanggil sayang, dan tentu saja mencintai dan dicintai. Ah, membicarakan itu semua membuat Raline mengingat sang mantan yang sekarang sudah menjadi sahabat.

Jika di pikir-pikir lagi, Raline juga merasa heran. Apa yang sebenarnya membuat dia menerima Alan sebagai pacar. Meski Raline tahu, pria berumur tiga puluh tahun itu adalah salah satu pengusaha sukses di Indonesia. Usaha yang bergerak di bidang properti seperti hotel dan resort yang sudah tersebar cabangnya di seluruh Indonesia, tidak bisa membuat Alan dipandang sebelah mata oleh banyak orang. Bukan hanya otaknya yang cerdas karena berhasil membangun sebuah perusahaan terkemuka, tapi tampang seorang Alandra Dwi Hartanto juga patut diperhitungkan. Pria dengan postur tubuh tegap itu memiliki ketampanan di atas rata-rata, hingga tak jarang ia dikejar-kejar kaum hawa yang mengaku diri sebagai kekasihnya. .

Raline yang sewaktu itu berstatus sebagai pacar Alan, hanya menganggap angin lalu ketika tersiar berita bahwa Alan sedang berkencan dengan model papan atas. Raline memang tak pernah mempercayainya, sebab berita seperti itu sudah sering muncul dan dia yakin, Alan sangat mencintainya dan tak mungkin berhianat. 

Namun, Alan sendiri yang telah mematahkan keyakinan Raline akan cinta mereka. Bahkan di malam anniversary mereka, Raline sendiri yang menyaksikan pergulatan panas Alan dan model papan atas itu di salah satu hotel milik Alan. 

Kalian mungkin bisa membayangkan reaksi Raline, bukan?

Menangis? Oh tidak. Tidak sama sekali. Raline bukannya menangis meronta-ronta dan menuntut banyak pertanyaan pada Alan. Raline dengan gaun model sabrina dan dengan membawa kue tart hasil kepiawaiannya dalam bermasak, hanya bisa tertawa getir saat membuka pintu hotel, tempat di mana Alan yang mengusulkan untuk merayakan Anniversary mereka. 

Bahkan saat Raline menutup pintu dan berlari keluar setelah menjatuhkan kue tartnya, kedua insan itu tidak menyadarinya sama sekali. Keesokan harinya, Alan langsung mendatangi Raline di unversitas, tempat Raline mengajar. Sambil berlutut di hadapan Raline, Alan berkali-kali berucap maaf.

"Kami boleh pukul aku, marah sama aku. Tapi tolong, jangan pergi dari aku, Lin." 

"Buat apa aku mukul kamu?" tanya Raline dengan senyum getir.

"Say—"

"Jangan," potong Raline seraya meletakan jari telunjuk di depan bibir Alan. "Jangan kamu panggil aku kayak gitu lagi, Lan. Kamu sama aja menusuk semakin dalam pisau itu dihati aku."

Alan menangis. "Lin," bisiknya.

"Sakit banget rasanya, Lan."

"Jangan, Lin."

"Kita putus, ya?"

Dan begitulah kisah percintaan Raline yang menyedihkan itu. Untuk mengingatnya saja membuat Raline kembali bisa merasakan sakit dihatinya.

"Mbak, lo kok malah melamun, sih! Kenalin nih cowok gue. Gak sopan lo nunduk mulu."

Raline memutar bola mata kemudian segera mengangkat wajahnya. Bola mata Raline seketika terbelalak terkejut begitu menemukan sosok yang dikenalnya.

"Kamu?!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status