Aku masih terpaku menatap layar lima inchi di tangan. Menimbang-nimbang apakah akan membalas pesan Ares, atau membiarkan saja tanpa berbalas.
Akhirnya aku memutuskan untuk membalasnya. Bagaimana pun juga, dia sudah menurunkan egonya untuk meminta maaf dan memperbaiki apa yang telah terjadi di antara kami di masa lalu.
[Untuk apa lagi, Res?] hanya kalimat itu yang kuketikkan. Agar tak terlihat bahwa aku menyimpan harap terhadapnya. Aku tidak mau Ares mempermainkan perasaanku kembali. Terlihat bahwa Ares sedang mengetikkan pesan balasan.[Untuk menyelesaikan apa yang pernah kita mulai,] balasnya.[Apa maksudmu? Bukankah semua sudah berakhir enam tahun yang lalu? Tidak ada lagi yang perlu kita selesaikan. Aku sudah memafkanmu dari dulu. Jadi please jangan ganggu hidupku lagi. Aku sudah tenang tanpa kamu, Res.]Tanganku bergetar ketika"Kamu egois banget, Res. Tiba-tiba saja datang, mendesakku untuk menerimamu seperti ini. Dari kemarin ngomongin masalah penyesalan kamu aja. Apa nggak mikirin gimana perasaanku?" Aku menarik tangan dari genggaman Ares."Iya, ketakutan gue yang membuat gue jadi egois, Li." Dia terlihat begitu bersungguh-sungguh.Jika ada perlombaan manusia galau, sudah pasti aku akan menjadi pemenangnya. Di satu sisi aku masih takut untuk menerima dan melangkah maju bersama Ares.Namun, di sisi yang lain berharap momen seperti ini tak pernah berakhir. Aku masih ingin cowok yang tengah menatap penuh harap di hadapanku ini, memohon untuk bersamaku. Sudah lama sekali aku tak merasa sehidup hari ini, hanya mengobrol sambil menikmati minuman hangat bersama seseorang dari masa lalu dengan suasana yang menenangkan. Semenjak kepergian R
"Jadi ... apa ini berarti lo jawab iya buat permintaan gue tadi?" tanya Ares begitu aku kembali ke meja tempat Ares menunggu."Hah? Belum. Aku masih harus mikirin lagi. Emangnya gampang ngebolak-balikin hati," sungutku mengalihkan tatapan ke buku menu. Mendadak jantungku kembali berlompatan tak karuan."Ya, mungkin karena Tuhan berkehendak kita bersama, Dia ngebalikin hati lo. Kami nomi zo shiru(hanya Tuhan yang tahu),"sahutnya dengan gaya santai dan tersenyum jail."Nan da yo!" (Apaan, sih!) Wajahku mendadak memanas."Ha-ha, tadi pas lo wa minta buat ngaku jadi pacar lo aja gue dah seneng banget, Li. Pengen nerusin beneran gitu," kekehnya makin menggodaku."Ih, udahan, deh. Ntar kal
Aku langsung keluar kamar setelah menutup percakapan dengan Ares. Sayup-sayup kudengar suara Buk Rom membaca ayat suci Al-Qur'an dari kamarnya, kemudian berhenti ketika aku mengetuk pintu. Suara seraknya menyahut dari dalam menyuruhku untuk masuk."Maaf ganggu, Buk," ucapku mengintip cari celah pintu yang sedikit terbuka."Nggak kok, ibuk juga sudah mau beres," ujarnya sambil menutup mushaf yang ada di pangkuannya.Aku masuk dan duduk di samping Huk Rom."Mama suruh Lia nganterin Ibuk ke pasar," kataku sambil memperhatikan Buk Rom menyimpan mushaf dan melipat mukenanya."Ada tamu yang mau datang?" tanya Buk Rom berbalik sambil merapikan gulungan rambut dan menutupnya dengan ciput.Aku mengangguk. "Teman Lia. Mau makan siang di sini," sahutku tak mampu menyembunyikan rasa panas yang menjalar ke pipi saat mengingat Ares."Laki-laki?" tanya Buk Rom tersenyum penuh arti.Sekali lagi aku mengangguk tak dapat menahan se
Tidak ada penolakan atau keberatan yang ditunjukkan Papa ketika Ares meminta restu. Rasanya bagai sebuah keajaiban. Ini seperti sebuah mimpi. Bahkan ketika Mama membiarkanku menghabiskan waktu berdua dengan Ares pun rasanya bagai sesuatu hal yang mustahil yang terjadi.Setelah mengurus tiket untuk keberangkatanku ke Jakarta besok, aku menyempatkan diri untuk mengajak Ares untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kota kelahiranku. Mengajaknya menikmati kuliner khas daerahku.Hal yang tak sempat kulakukan ketika dulu Rio datang ke kotaku dan meminta restu, sama seperti yang Ares lakukan saat ini.Di sepanjang perjalanan, kulihat wajah Ares tersenyum semringah. Rasanya baru kemarin dengan berat hati harus melepaskannya ketika dia menyerah dengan perasaannya. Kini kami kembali bersama. Memulai kembali petualangan baru yang membuat jantungku berlompatan tak karuan seperti saat bersamanya dulu.Ah! Ternyata hatiku
Ketakutan itu kembali muncul. Bagaimana jika sebenarnya Ares bukan orang yang tepat mendampingiku. Bagaimana jika sebenarnya Tuhan sudah memberi sinyal padaku enam tahun yang lalu, bahwa Ares memang tak layak untuk menjadi mendampingiku.Dia masih belum mampu melepas luka masa lalunya. Bagaimana mungkin dia akan mampu membantuku untuk mengobati luka masa laluku? Kami dua orang yang sama-sama membawa luka. Akankah sanggup melewati ujian yang lebih berat ketika berumah tangga kelak?"Nggak, gue anter ke hotel," tolaknya. Kali ini kecepatan mobilnya telah berkurang. Lalu kembali hening. Hanya suara deru ban mobil menjejak aspal, yang terdengar. Beruntung jalanan kali ini tidak terlalu macet, hingga tak perlu terjebak lama-lama dengan laki-laki yang tengah berjuang keras meredakan emosinya itu.*****Ares mengantarku ke hotel yang terletak tak jauh dari lokasi kantor rumah produksi yang menawarkan kerjasama pe
Lelah menjejak jelas di wajah Ares ketika dia datang menjemputku ke rumah Mama Yasmin. Kantung matanya menghitam dan sedikit sembab. Namun ia tetap berusaha menyembunyikannya dibalik senyum."Kamu kurang tidur?" tanyaku khawatir."Iya, mikirin lo," sahutnya dengan kedua sudut bibir tertarik ke atas, berusaha terlihat biasa."Res, aku minta maaf. Karena menganggap masalahmu sepele. Aku memang nggak ngerti gimana perasaan kamu tempo hari ...."Nggak apa-apa, Li. Kejadiannya sudah sembilan belas tahun yang lalu, harusnya gue sudah bisa berdamai dengan masa lalu. Padahal kemarin gue yang sok bijak ngajarin lo buat saling menguatkan," potongnya dengan senyum lemah."Sekarang, kamu beneran udah siap?" Aku menatap lekat wajah lelah yang berada di belakang kemudi.Ares mengangguk pelan."Harus. Gue nggak mungkin terus-teru
Ruangan seluas lima meter persegi ini mendadak senyap. Hanya bunyi detak pendulum jam antik di sudut ruang keluarga yang terdengar memecah sunyi. Tante Elisa berkali-kali menarik napas, membuangnya perlahan, seperti tengah mengumpulkan keberanian. Dia mengusap ujung mata dan ujung hidung yang telah memerah."Ada hal yang perlu kalian ketahui ketika nanti menjadi orangtua." Tante Elisa mulai berbicara."Apalagi setelah menjadi orangtua. Tidak serta merta semua menjadi indah ketika kalian dikaruniai seorang anak. Justru terkadang dari sana lah dimulai tantangan sebenarnya dalam berumah tangga." Tante Elisa kembali menyusut airmatanya.Kali ini Ares mulai mengangkat wajah, menatap perempuan yang telah melahirkannya dengan wajah yang terlihat penuh kerinduan. Aku merasa bahwa Ares tak sepenuhnya membenci Tante Elisa. Kurasa kerinduan yang telah menumpuk sekian tahun, membuatnya berubah
Separuh beban terasa terangkat begitu aku melangkah keluar dari area pemakaman bersama Ares. Angin bertiup pelan ketika kami beberapa langkah meninggalkan kavling tempat peristirahatan Rio. Seolah mengucapkan salam selamat tinggal pada duka yang selalu terpatri setiap kali aku ke sini. Aku kembali menoleh ke belakang, menatap makam Rio dengan mengulas senyum.Terima kasih sudah mencintaiku begitu dalam, Rio, bisikku sebelum mengikuti langkah panjang Ares."Sudah sampai mana progres proyek movie-nya, Li?" tanya Ares setelah beberapa lama kami saling diam semenjak keluar dari area pemakaman."Minggu depan rencana mau tahap audisi talent." Aku mengulas senyum.Lagi-lagi semua terasa bagai mimpi. Ares ada di sampingku seperti harapanku sebelum bertemu Rio. Mengobrol tentang bakat yang dulu