Home / Romansa / My Pain Killer / Anak yang dibuang

Share

Anak yang dibuang

Author: Alfarin
last update Last Updated: 2021-04-19 19:39:57

Aku dan Ares berpisah di gerbang utama kampus tempat ujian seleksi dilaksanakan. Cowok itu kebagian gedung di bagian Utara kampus, sementara aku di gedung bagian Timur.

"Ntar kalau sudah beres, tunggu di gedung lo aja, Li. Biar gue jemput ke sana," ujarnya ketika hendak berpisah.

"Okay, thanks, Res."

Cowok itu berlalu dari hadapanku dengan langkah panjang dan tak menoleh lagi. Aku pun beranjak ke gedungku. Bimbang tiba-tiba saja menyelubungi. Apakah aku berani menjalani konsekuensi, apabila nanti lulus di jurusan yang bukan pilihan orangtuaku?

Perang batin terjadi. Antara keinginan menjadi anak yang patuh atau menjadi anak yang pemberontak. Di tengah perdebatan batin dan kepala yang kembali terasa berat, ponselku berbunyi. Panggilan dari Mama.

"Halo, Ma."

"Sudah enggak perlu doa Mama lagi sekarang?" cecar Mama dari seberang sambungan. "Hari ini kamu ujian, kan? Kenapa enggak ada kabar sama sekali? Sudah di lokasi ujian apa belum?" lanjutnya tanpa memberiku kesempatan menjawab pertanyaan pertamanya.

"Maaf, Ma. Tadi Lia Buru-buru berangkat, takut kesiangan. Ini baru mau masuk," terangku setelah omelan Mama mereda.

"Kata Daren kemarin kamu pulang malam-malam sama cowok? Sama siapa?" Mama kembali menginterogasi.

"Mam, Lia mau masuk. Nanti boleh ya, disambung lagi." Jika tak disudahi, bisa-bisa sampai malam Mama tidak akan berhenti mengomel.

"Ya sudah, kamu kosentrasi ngejawab soal-soalnya. Kamu ingat, 'kan apa kata Papa? Mama sudah tidak bisa nego lagi sama Papa," sahut Mama dengan nada terdengar sedikit frustrasi dari ujung sambungan.

"Iya, Ma."

Perih. Itu yang kurasa. Bagaimana mungkin ada orangtua yang benar-benar akan tega membuang anaknya hanya karena ambisi mereka tak terpenuhi.

Mendekati ruangan tempat ujian, kata-kata Ares kembali terngiang. "Orangtua itu hanya kebetulan ditunjuk Tuhan sebagai tempat lo pertama  hidup di dunia. Kalau lo beruntung, ya bakal dapat orangtua yang baik hati dan nerima lo apa adanya. Kalau enggak, ya lo harus bisa bertahan. Tuhan sudah kasih anggota tubuh lengkap, kan? Berarti sudah saatnya lo mulai bertahan dengan kemampuan sendiri."

Menguatkan tekad, akhirnya aku mengikuti saran Ares. Memilih salah satu jurusan yang mendekati minatku. Karena aku benar-benar tak melihat celah untuk bisa menempuh pendidikan kedokteran. Apa yang akan terjadi nanti, biar kupikirkan nanti.

Selesai ujian, aku diajak Ares mengelilingi kota Bandung. Untuk pertama kali, aku merasa bebas. Ketakutanku seakan sirna. Saat itu yang kurasakan, bersama Ares saja sudah cukup. Bersama cowok itu aku bisa tertawa lepas. Dia mempunyai segudang lelucon receh yang cukup mampu membuatku tertawa lepas.

"Li, Lo tau enggak kalau kulit durian itu bisa dimasak?" tanyanya tiba-tiba.

"Ha? Masa, sih? Emang digimanain?" Jiwa penasaranku keluar.

"Dipotong kecil-kecil, terus di rebus."

"Terus buat apa?"

"Kalau sudah matang dibuang," sahutnya santai.

"Loh, terus buat apa direbus?" tanyaku makin heran.

"Buat dimasak doang. Kan tadi gue bilang bisa dimasak bukan buat dimakan," ujarnya dengan ekspresi datar.

"Dasar! Aku pikir ada khasiatnya." Gelakku menertawakan kebodohan sendiri karena tertipu wajah seriusnya.

Tidak ada yang istimewa, hanya bersamanya aku bisa tertawa. Itu saja.

Semenjak dari ujian masuk PTN itu, makin hari ada saja alasan kami untuk bertemu. Untuk urusan hasil ujian, aku tak lagi memusingkan. Segala omelan Mama hanya singgah sebentar di benakku, lalu berlalu begitu Ares datang.

***

Sore itu Ares tiba-tiba kembali datang ke kosan. Seperti biasa, dia baru mengabari ketika sudah sampai di gerbang kosanku.

"Li, lo mau ikut kerja sambilan enggak?" tanyanya tanpa banyak basa-basi begitu aku membukakan pintu pagar.

"Eh? Jadi apa?"

"Waitress. Kafe tempat gue perform lagi butuh waitress. Gajinya lumayan, ada bonus juga kalau masuk weekend atau hari libur," terangnya cepat.

Tanpa berpikir panjang, aku langsung menyetujui. Dalam pertimbanganku, jika nanti benar-benar harus lepas dari keluarga, aku tidak akam gamang. Sudah saatnya berpikir untuk mandiri.

Ares mengenalkanku pada pemilik kafe, yang ternyata salah seorang mahasiswa magister di salah satu universitas di Bandung. Tidak terlalu banyak persyaratan yang diberikan. Aku cukup bekerja enam jam sehari dengan enam hari kerja dan satu hari libur.

"Yang penting kamu tidak gengsi kerja," ujar Kang Hilmi si pemilik kafe saat menerimaku bekerja.

Bekerja di kafe sebagai waitress benar-benar membuatku keluar dari zona nyaman. Aku yang terbiasa dikungkung dalam lingkungan yang serba ada, berbalik menjadi pelayan bagi orang lain. Minggu-minggu awal bekerja, banyak hal yang harus kupelajari. Salah satunya, bagaimana berhadapan dengan orang dengan karakter yang berbeda.

Beruntung saat aku mulai bekerja sambilan, Kak Daren lagi memasuki masa-masa ujian akhir semester. Sehingga dia tidak terlalu hirau dengan apa yang kulakukan setelah ujian seleksi masuk perguruan tinggi.

Sementara Mama, sepertinya juga tengah sibuk dengan pasiennya. Sehingga tidak terlalu sering memantau keadaanku di Bandung. Apalagi Papa, selama aku keluar dari rumah, tak sekali pun dia sekedar bertanya bagaimana kabarku. Sepertinya aku memang hanya anak yang kebetulan dititipkan Tuhan padanya.

Tak terasa, satu bulan kujalani menjadi pelayan kafe. Detik-detik mendekati pengumuman kelulusan ujian masuk perguruan tinggi pun semakin dekat. Jika dulu aku mulai senewen setiap kali hasil ujian akan diumumkan, tidak untuk kali ini. Aku benar-benar merasa Nothing to lose. Lulus atau tidak di Fakultas Kedokteran, aku tak lagi peduli. Duniaku saat itu hanya berputar mengelilingi Ares.

Pagi-pagi sekali, ketika aku masih berkemul dalam selimutku yang hangat. Suara dering ponsel memaksaku terjaga. Nomor kontak Mama muncul di layar.

"Kamu sudah lihat hasil test-mu?" Suara Mama terdengar sarat emosi.

Aku mengucek mata, melihat jam dari ponsel. Baru pukul lima pagi. Perasaanku sudah tidak enak. Masih antara sadar dan mata masih mengantuk, aku memaksakan diri untuk duduk di pinggir tempat tidur.

"Belum, Ma," sahutku setelah berusaha mengumpulkan sisa-sisa kesadaran. Seharusnya semalam aku menunggu hasil ujian keluar. Akan tetapi karena terlalu capek sepulang bekerja, aku langsung tertidur begitu memasuki kamar.

"Apa-apaan kamu memilih Sastra Jepang? Memangnya mau jadi apa? Papa benar-benar akan melaksanakan janjinya, Lia." Suara Mama terdengar bagai suara algojo yang hendak memenggal kepalaku.

Aku menelan ludah. Sesiap apapun aku menghadapi hari ini, masih saja ada ketakutan yang membayangi. Mendadak udara sekitar terasa berat untuk kuhirup. Aku merapatkan selimut ke seluruh tubuh. Berharap rasa dingin yang kurasakan sedikit menghilang.

"Lalu, Lia harus bagaimana lagi, Ma?" tanyaku dengan airmata yang mengambang. Berharap sedikit belas kasihan dari perempuan yang telah melahirkanku.

"Mama juga bingung, Lia." Suara mama pun turut bergetar. 

"Sebenarnya Lia beneran anak Papa sama Mama bukan, sih?" tiba-tiba saja pertanyaan itu keluar tanpa mampu kucegah.

Hanya suara Mama membuang napas kasar yang terdengar.

"Lia terima konsekuensinya jika keputusan Papa tidak bisa di tawar lagi," ujarku berusaha agar suaraku tak bergetar.

"Kenapa kamu malah memilih Sastra Jepang?" Mama mengulangi pertanyaannya. Kali ini suaranya terdengar melunak.

"Lia ngerasa nggak punya harapan untuk lolos FK, Ma. Daripada nanti Lia bingung membiayai kuliah di swasta jika tidak lolos dua-duanya di negri."

"Ah, maafkan Mama," ucap perempuan di ujung telepon. Aku seakan tidak mengenal suara itu. Mama yang kukenal selama ini tidak akan pernah mengucapkan kata maaf.

"Mama tidak perlu minta maaf. Lia yang membuat hidup Mama dan Papa menjadi sulit. Lia juga sebenarnya ingin jadi anak yang membanggakan buat Mama dan Papa, tapi apa daya, sekuat apa pun Lia berusaha, tetap saja tak berhasil," ungkapku masih dengan sekuat tenaga menahan airmata yang sudah tak terbendung.

"Jadi setelah ini rencanamu apa?" tanya Mama dengan suara serak.

"Belum terpikirkan. Yang jelas Lia akan tetap kuliah bagaimana pun caranya," ucapku tegas.

"Mama tetap akan mengirimimu uang, biar pun Papa melarang."

Aku sudah tidak lagi mampu menjawab perkataan Mama. Airmataku luruh. Dulu banyak yang iri padaku. Lahir di keluarga yang berkecukupan. Kedua orangtua dokter spesialis. Sudah tidak diragukan, menurut mereka masa depanku akan terjamin.

Namun ada yang mereka tidak tahu.

Hidupku tak seindah apa yang mereka lihat. Anak mana yang akan bahagia hidup dalam segudang aturan dan segunung tuntutan dari orangtuanya. Jika tuntutan mereka tidak terpenuhi, aku harus menjalani konsekuensinya.

Seperti saat ini, Papa benar-benar serius dengan ancaman yang diucapkannya. Aku tidak akan mendapatkan biaya untuk melanjutkan pendidikan jika tidak lolos Fakultas Kedokteran.

Siapa yang akan menyangka, anak dokter akan banting tulang untuk membiayai kuliahnya sendiri. Entah bagaimana nanti akan bertahan hidup setelah ini. Aku merasa benar-benar dibuang dari keluarga. Kupikir, ancaman akan dicoret dari daftar keluarga, hanya ancaman berlebihan yang diucapkan oleh Papa. Namun, kini aku percaya, hati laki-laki itu lebih dingin dari ruangan bedah tempat ia bekerja.

Lamat-lamat kudengar isakan di ujung sambungan.

"Mama nangis?" tanyaku pelan.

"Mama merasa gagal. Entah apa yang kurang kami berikan sama kamu Lia. Semua fasilitas yang kami berikan, sama untuk kalian bertiga."

"Aku yang salah," ujarku pelan. "Tak perlu Mama mencari-cari kesalahan ada di mana."

Saat itu aku hampir tak mempercayai kejadian itu adalah nyata. Aku sempat berharap itu hanya mimpi buruk. Rasa-rasanya tidak mungkin aku akan dibuang begitu saja bagai benda rusak karena tidak memenuhi standar si empunya barang.

Pada hari itu, dimulailah perjuangan hidup baruku, dan Ares seolah menjadi penyelamat ketika aku terpuruk.

"Mari kita mulai perjuangan hidup Sesungguhnya, Li. Tidak perlu berkecil hati. Akan ada masa depan untuk mereka yang bersungguh-sungguh," hiburnya kala itu dengan senyuman.

Aku kembali mematri wajahnya ke dalam buku sketsa. Menegaskan bahwa wajah itulah yang memberikan ketenangan padaku saat itu. Seperti halnya Ares yang yang menemukan ketenangan setiap kali memetik gitar, aku pun menemukan ketenanganku setiap kali goresan pensilku melukiskan wajahnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • My Pain Killer   My Panacea, My Pain Killer

    Tiga minggu telah berlalu semenjak keluar dari rumah sakit. Perut yang sudah mulai kembali ke ukuran semula, memudahkan gerakanku melakukan berbagai aktivitas yang beberapa bulan belakangan ini terasa berat. Namun, entah mengapa ada kosong yang terasa sulit untuk dijelaskan. Terkadang tanpa sadar, aku mengusap perut dan menunggu gerakan yang seolah balas menyapa dari dalam sana.Meski berusaha menyibukkan diri dengan kembali beraktivitas normal, nyatanya rasa kosong itu masih saja kian menganga. Hingga pada suatu hari, Ares mengajakku keluar. Mengendarai skuter tua yang selalu menemani ketika kami bepergian pada masa kuliah dulu. Mengajakku berkeliling kota Jakarta, menyalip di antara kemacetan dan asap knalpot, dan berakhir di pemakaman yang sudah begitu familiar.Setahun lebih aku tak mengunjungi tempat ini semenjak terakhir kali Ares mengajakku menikah. Namun, kali ini ada yang berbeda. Ares tidak mengajakku ke blok yang biasa kukunjungi, tetapi ke arah yang berlawa

  • My Pain Killer   Aku Yakin Kuat

    Aku berusaha untuk kembali membuka mata meski rasanya begitu berat. Mencoba memahami apa yang tengah terjadi dan apa yang akan kulalui setelah ini. Kemudian rasa mulas dan nyeri di perut membuat kesadaranku seakan kembali menjauh. Sesuatu seolah mendesak keluar dari bagian bawah tubuhku, hingga aku tak mampu lagi mempertahankan diri untuk terus tersadar. Suara dengingan yang memenuhi telinga, silau lampu ruangan serta rasa pusing yang menghebat, membuatku tak mampu lagi memahami apa yang tengah terjadi seiring suara Ares yang terasa makin menjauh.******Samar kurasakan jemari dingin menggenggam erat jemariku disertai embusan hangat napas seseorang di punggung tangan. Aku membuka mata. Mendapati Ares dengan posisi menelungkupkan wajah di tepi brankar yang kutempati. Kedua tangannya menggenggam erat jemariku. Perlahan, sebelah tanganku yang bebas dan dipasangi selang infus bergerak mengelus rambut hitam tebalnya. Ares seketika mengangkat wajah dengan mata ya

  • My Pain Killer   Menata Kembali

    Jika ada yang lebih berat dari menerima kenyataan, hal itu adalah memaafkan. Memaafkan bukan lah perkara mudah. Terlebih lagi jika itu memaafkan seseorang yang telah menghancurkan kehidupanmu. Akan tetapi, psikiaterku berkata, memaafkan itu seperti menanggalkan beban yang kita pikul. Aku harus bisa melakukan agar mampu melangkah dengan ringan.Perlahan, aku mulai menerima kehadiran jabang bayi yang mulai tumbuh dan membesar di rahimku. Merasakan gerakannya yang makin menguat. Kehadirannya sedikit banyak membantuku mengusir rasa sepi yang belakangan sering mengusik. Terkadang tanpa sadar, aku mengajaknya berbicara. Lalu terkekeh geli ketika gerakan kuatnya seakan membalas perkataanku.Bulan ini aku pun sudah mulai kembali ke rutinitas sebagai author komik. Melanjutkan kontrak kerja yang sempat terbengkalai dan mengikuti perkembangan proyek film dari ceritaku yang sedang di garap oleh rumah produksi.Ares terlihat senang dengan perubahan sikapku akhir-akhir ini. T

  • My Pain Killer   Percaya Saja

    "Mau tau jenis kelaminnya?" Dokter Puji melirik dari balik kaca matanya dengan senyum teduh. Mengalihkan tatap dari layar monitor alat USG.Meski dokter yang berwajah keibuan ini tau riwayat janin yang kukandung, tetapi dia tetap memberi tau perkembangan janin dalam rahimku dengan penuh semangat. Seolah-olah janin ini adalah anak sah dari pernikahan kami."Mau, Dok!" Ares yang lebih dahulu menjawab penuh semangat, mengalihkan perhatiannya dari televisi layar datar di seberang tempat periksa yang sedari tadi ia perhatikan, dengan seluas senyum."Baby-nya laki-laki," tukas Dokter Puji sambil menggerakkan kembali transduser ke bagian sisi perutku yang lain. Kurasakan kembali gerakan yang sedikit menyentak itu di dalam perut."Bayinya aktif banget ini." Dokter Puji tertawa pelan melihat gerakan di layar monitor alat USG.Alih-alih memperhatikan dengan seksama gambar abstrak yang ada di monit

  • My Pain Killer   Belajar Menerima

    Tak ada yang bisa kulakukan. Aku hanya bisa pasrah menerima dan merasakan sesosok makhluk telah tumbuh dalam rahimku. Gerakan-gerakan halus itu kini terasa nyata. Ares masih terus menghujaniku dengan perhatian. Meski terkadang aku dapat melihat tatapan terluka dari sorot matanya saat aku mulai mengeluhkan sikapnya yang terus saja menahan diri untuk tidak menyentuhku seperti seharusnya seorang suami lakukan pada istrinya.Sudah dua bulan ini aku kembali rutin mengunjungi psikiater. Setelah kembali harus menjalani pemeriksaan ke kantor polisi terkait kasusku, trauma ini semakin terasa menyiksa. Terlebih lagi, ketika menjalani beberapa sidang. Melihat wajah pelaku membuat ketakutanku semakin menjadi. Aku beberapa kali kembali mengalami mimpi buruk. Meskipun tak mengingat kejadian sebenarnya, entah kenapa alam bawah sadarku seakan memberikan gambaran jelas tentang kejadian itu.Hampir tiap malam

  • My Pain Killer   Janin yang tak diharap

    Wajah khawatir Ares terlihat begitu kentara kala dia menemuiku di kamar sepulang kerja."Kata Buk Rom seharian kamu nggak makan. Muntah-muntahnya makin parah?" tanyanya lirih.Aku mengangguk lemah."Aku bantu siap-siap, ya. Kita ke dokter sekarang." Nada Ares lebih seperti titah yang tak bisa dibantah. Dia menyibakkan selimut dan membantuku untuk bangun. Setelah memastikan aku duduk dengan posisi nyaman dengan bersandar, Ares beranjak ke meja rias di sisi lain tempat tidur, mengambil sisir dan menyibakkan rambut yang menutupi bagian keningku."Biar aku yang nyisir rambut sendiri," tepisku mengambil alih sisir dari tangan Ares.Tanpa membantah, dia menyerahkan sisir kemudian beralih ke walking closet. Membuka sisi lemari tempat pakaianku tersimpan dan mengambil salah satu pakaian yang terdapat di bagian atas."Ganti baju dulu. Sepertinya bajumu juga sudah basah karena kerin

  • My Pain Killer   Pasrah

    Sebuah gerakan pelan membuatku tersentak. Sudah lama sekali rasanya aku tidak tidur tanpa mimpi yang membuatku terbangun dengan napas tersengal di tengah malam. Aku membuka mata dengan cepat, mendapati Ares dengan posisi duduk dan menatapku."Maaf membuatmu terbangun," tukasnya sambil menarik kembali selimut untuk menutupi tubuhku."Kamu mau kemana?" Aku bangkit menyibakkan selimut, menarik tangan Ares seperti anak kecil yang tak ingin ditinggal. Entah kenapa rasa takut ditinggalkan Ares terlintas begitu saja di benakku."Mau mandi—""Bukannya tadi sudah mau mandi?" Aku memotong kalimat Ares, tidak terima dengan alasannya."Ini sudah pagi, istriku ... aku mau siap-siap berangkat kerja," balas Ares tertawa geli melihat tanganku yang menarik tangannya dengan posesif.Dengan sorot mata tak percaya, aku melirik jam digital yang terletak di nakas. Pukul 04.3

  • My Pain Killer   Tempat Ternyaman

    Aku baru saja beres membenahi pakaian ke dalam walk in closet saat Ares kembali masuk kamar dan menghampiriku. Duduk di tepi tempat tidur dan berkata, "Makan malam sudah datang. Makan, yuk," ajaknya dengan seluas senyum lembut terukir manis di bibirnya.Aku bangkit seraya mengangguk dan membalas senyumnya."Pesan apa?" tanyaku saat mengikutinya keluar kamar."Nasi Padang, biar Buk Rom nggak terlalu kaget," balasnya seraya merangkul bahuku.Aku kembali mengulas senyum. Betapa lelaki ini penuh perhatian, bukan hanya ke padaku, bahkan pada Buk Rom yang bukan siapa-siapa baginya pun tak luput dari perhatiannya. Keyakinanku makin tumbuh, bahwa aku akan menemukan bahagiaku bersamanya kelak. Meski kini aku masih tertatih meraup satu kata itu ke dalam hidupku. Dan aku berjanji untuk mampu bangkit setelah keterpurukan ini. Sesulit apa pun, akan kuusahakan."Ibuk istirahat saja biar saya yang cuci

  • My Pain Killer   Mimpi Buruk

    "Ma, Lia nggak mau anak ini," cetusku ketika mama hendak beranjak keluar kamar. Ares tersentak, melepaskan pelukan yang sedari tadi tak ia lepas. Dari sudut mata, kulihat wajah Ares mengeras."Lia mau aborsi aja. Mama kan dokter kandungan ...." Aku memperjelas kalimatku untuk meminta bantuan dari perempuan yang telah melahirkanku itu. Mengharapkan profesinya bisa menyelamatkanku keluar dari masalah saat ini."Nggak bisa, itu melanggar kode etik dokter," balas mama berbalik menatapku datar. Tak ada kesan iba atau khawatir selayaknya seorang ibu pada putrinya."Bukannya ada pengecualian untuk korban perkosaan?" Aku berusaha setenang mungkin mengemukakan permintaan, menahan airmata yang kembali berdesakan untuk luruh. Meski rasanya ingin berteriak sekencang-kencangnya agar mama mau sedikit berbelas kasih padaku. Anaknya yang saat ini tengah ditimpa kemala

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status