Share

Masa Lalu Ares

Ketenanganku kembali terusik tatkala Kak Daren lulus kuliah. Lulus dengan predikat cumlaude, nilai indeks prestasi dan skor toefl yang mendekati sempurna. Membuat Papa kembali melontarkan kalimat kekecewaannya terhadapku.

Ketika keluargaku mengadakan acara makan malam untuk merayakan kelulusan Kak Daren, aku memilih menepi. Menjauh dari euforia yang mereka rasakan. Hatiku terlanjur remuk mendapat berbagai kalimat merendahkan dari Papa. Sedangkan Mama, hanya bisa diam tak membela.

Rasa rendah diri itu kembali hadir. Mempengaruhi suasana hatiku. Kafe Kang Hilmi–tempat Ares bekerja—yang menjadi tujuan pelarianku. Perubahan sikapku saat itu tak luput dari perhatian Ares.

"Sudah, nggak usah berkecil hati. Lo punya kelebihan lain yang nggak dipunya kakak lo. Mungkin saat ini ortu lo belum ngeliat aja," hiburnya ketika aku menumpahkan segala uneg-uneg.

Aku merenggut. Merasa kata-kata Ares hanya untuk membesarkan hatiku saja.

"Malah manyun, gue cium, nih!" ancamnya mendekatkan wajah ke wajahku.

"Apaan, sih!" reflek aku mendorong wajahnya menjauh.

"Ha-ha! Abis cemberut aja. Udah ah! Kita makan aja, biar suasana hati lo membaik," ajaknya di sela-sela tawa.

Mungkin baginya hanya bercanda, tapi bagiku yang masih saja terus menyukainya, candaannya itu berhasil membuat jantungku seakan mau copot.

Di sepanjang perjalanan menuju tempat makan, aku hanya bisa bungkam. Detak jantungku belum sepenuhnya normal. Kembali pertanyaan, sampai kapan aku mampu bertahan, dengan perasaan yang semakin lama semakin membesar ini? diputar berulang dalam pikiranku.

Tempat makan yang kami tuju cukup ramai. Walaupun hanya warung tenda pecel ayam yang terdapat tak jauh dari pasar simpang Dago. Namun rasa masakannya yang tidak mengecewakan, membuat tempat itu tidak pernah sepi.

Beruntung kami masih mendapat tempat duduk di ujung belakang tenda. Biasanya harus antri beberapa saat untuk mendapatkan bangku kosong. Mungkin saat kami datang sudah melewati jam makan malam, hingga pengunjung yang datang tidak seramai biasa.

Ares biasanya mengajakku makan di sana sehabis gajian. Bukan tempat yang mewah, tapi terasa spesial karena bersama dengan orang yang kusuka.

"Nambah, ya?" tanyanya ketika melihat nasi yang di piringku hampir habis. Aku mengangguk. Selalu begitu setiap kali kami makan. Seporsi tidak akan cukup. Awalnya aku sempat sempat malu, karena porsi makanku tidak seperti kebanyakan cewek lain, tapi Ares bilang, "Gue suka liat selera makan lo, nggak jaim."

Kuanggap itu pujian. Jarang-jarang cowok memuji selera makan seorang cewek, bukan? Kebanyakan cowok yang kukenal, lebih menyukai cewek yang menjaga image. Hal itu pula lah yang membuatku merasa makin nyaman bersama Ares. Aku tidak perlu berpura-pura menjadi orang lain untuk disukai.

"Daren koas dimana?" tanyanya setelah dua porsi pecel lele berpindah ke perut masing-masing.

Suasana hatiku kembali memburuk. Mengingat Kak Daren, membuatku mau tak mau mengingat kata-kata hinaan Papa.

"Eh, sorry. Gue nggak maksud bikin lo sedih," ucapnya ketika menyadari perubahan wajahku.

"Nggak apa-apa. Kak Daren koas di kampung."

"Berarti nggak ada yang jadi pengawas lagi, dong, ya?" seringaian mencurigakan terpampang di wajahnya.

"Apaan maksud senyum begitu?" tanyaku menampar pelan wajahnya.

"Pindah lagi aja ke Bandung. Biar bisa dekat gue," usulnya.

"Ntar nggak bisa kabur ke kosan gue lagi kalau ada jadwal kuliah kosong."

"Iya juga sih, tapi cari kosan yang ga terlalu ketat jam malamnya, lah. Gue pengen ngajak lo nonton midnight, kan nggak bisa kalau masih di sana."

Aku menatapnya lama. Menepis harap dengan mengatakan bahwa itu hanya ajakan seorang teman, tidak lebih.

"Kenapa harus midnight? Yang jam biasa, kan juga bisa?" ujarku dengan detak jantung yang kembali bertalu-talu.

"Selama ini yang bikin kita nggak jadi nonton, kan kepentok jadwal kerja," ujarnya mengajukan alasan.

Masuk akal. Jadwal kerja Ares sampai malam hari, lalu biasanya tiap weekend dia sengaja masuk agar bisa mendapat uang tambahan lebih dari bonus yang diberikan Kang Hilmi. Bahkan terkadang dia merelakan jatah liburnya demi mengumpulkan rupiah untuk biaya kuliah.

"Ya elah, cuma demi nonton di bioskop aja harus pakai pindah kosan segala," kekeh ku. "Nonton di DVD aja, sih."

"Kurang seru, apalagi kalau film action, kurang dapat efek sound-nya," tukasnya dengan wajah serius. Aku selalu suka jika ekspresi wajahnya begitu, kegantengannya makin maksimal jika sedang berbicara serius. "Kapan lagi nonton sama lo gelap-gelapan tanpa digrebek pak RT, kan?" kekehnya kembali dengan ekspresi wajah konyol.

"Huu! Dasar cowok mesum!" Aku melemparkan tisu bekas ke wajahnya. Dia tertawa puas. Sepuas mataku menikmati pemandangan itu. Mematrinya makin jelas dalam pikiran, untuk nanti kutuangkan kembali dalam buku sketsaku.

Setelah selesai makan, ketika hendak pulang, aku memeriksa ponsel. Berharap salah seorang anggota keluargaku menelpon. Merasa kehilangan karena ketiadaanku. Namun sepertinya aku memang harus memupus harapan. Tidak ada panggilan maupun pesan singkat dari mereka. Aku benar-benar telah dilupakan.

"Yuk gue antar. Ke kosan apa ke hotel tempat ortu lo nginap?" tanyanya hati-hati.

"Ke kosan aja, Res. Bisa mati gaya aku kalau bareng sama mereka semalaman."

"Lo nggak bawa jaket?" tanyanya ketika melihatku tidak mengeluarkan jaket dari tas ranselku.

"Nggak, tadi nggak kepikiran bakal keluyuran malam," sahutku menggosok kedua lengan untuk mengurangi rasa dingin. Karena saat itu aku hanya memakai kaos berlengan pendek.

"Lo pake dulu aja jaket gue." Ares dengan sigap melepas jaket jeans belel kebangsaannya lalu menyerahkannya padaku.

"Nggak usah, aku kan duduk di belakang, kamu ntar kedinginan."

"Sampai kosan gue aja. Kita ambil dulu jaket lain ke kosan gue. Nggak usah kepedean gue rela kedinginan demi lo!" kekehnya.

"Ah, dasar! Kirain bakal romantis dikit!" balasku menarik jaket yang disodorkannya.

"Bukan sepasang kekasih, nggak boleh romantis-romantisan, bahaya!" kelakarnya.

Baru saja aku seakan diangkat tinggi karena perlakuan manisnya, tiba-tiba serasa dilemparkan lagi ke tanah. Sakit jendral!

Herannya, aku tidak pernah jera. Selalu berharap ketika dia memperlakukanku dengan manis, dan kembali harus mengobati lukaku sendiri ketika sikap cueknya muncul.

Skuter Ares membelah keramaian jalan Dago, berbelok ke arah jalan Dipati Ukur. Aku kembali sibuk dengan pikiranku. Jaket Ares yang membungkus tubuhku terasa begitu hangat. Aroma parfumnya yang masih melekat, membuatku merasa dipeluk cowok itu. Ah terlalu jauh khayalanku.

Apakah memang begitu jika menyukai seseorang? Sesakit apapun, masih tetap bertahan. Bahkan perhatian kecil darinya pun seolah sesuatu yang amat sangat berharga.

Skuter Ares memasuki gang kecil yang tak jauh dari Monumen Perjuangan. Ia melambat kan lajunya ketika melewati beberapa polisi tidur. Selama berteman dengannya, itu adalah kali keduaku berkunjung ke kosannya. Pertama kali berkunjung ke sana bersama Aldo.

"Eh, Aldo udah balik belum, Res? Bisa habis kena bully kalau ketahuan kita jalan berdua aja," tanyaku ketika ingat cowok berkacamata itu.

"Tadi gue ajak, kok. Dia lagi ada kegiatan di kampus," sahutnya memalingkan wajah ke arahku agar suaranya terdengar jelas.

"Oh, syukurlah."

"Kenapa? Takut Aldo cemburu?" tanyanya kembali memalingkan wajah.

"Eh? Kok?"

"Ha-ha, nggak usah membohongi diri. Kalian saling suka, kan?" ujarnya terdengar sok tahu, dengan tawa kencang.

"Ih! Sotoy!" Aku menepuk punggungnya.

"Oh, gue salah, ya?" Tawanya masih saja belum reda.

Ya jelas salah! Yang aku suka itu kamu, Res. Nggak peka banget jadi orang! Rutukku membatin.

Kosan Ares malam itu sepi. Tidak terlihat penghuni kos yang biasa berkumpul di salah satu kamar, sekedar bermain gitar ataupun bermain gaple. Kebanyakan pintu kamar yang berjejer menghadap halaman depan tertutup.

"Pada kemana? Kok sepi?" tanyaku heran.

"Malam mingguan, lah! Jomblo emang suka lupa malam minggu, ya," ledeknya terkekeh.

"Ish! Sendirinya juga jomblo!" balasku mencibir.

Ares mengeluarkan kunci dari kantong celana jeansnya, membuka pintu kamar, dan mempersilahkanku masuk. Aroma Ares begitu kentara tercium ketika aku memasuki ruangan tiga kali tiga bercat putih itu. Kamar Ares sangat rapi, bersih dan wangi untuk ukuran cowok dengan tampilan cuek sepertinya. Bahkan selimut terlipat rapi di pojok kasur yang di tutup seprai berwarna coklat tanah.

Lantai kamar dialas karpet wool warna hitam. Buku-buku juga tertata rapi pada meja belajar yang terdapat di samping kanan pintu masuk. Tidak ada gambar apapun yang menghias dinding layaknya kamar kakak-kakak cowokku dan Aldo. Dindingnya dibiarkan polos, hanya ada gitar yang biasa dibawanya, digantung di sebelah jendela samping tempat tidurnya.

"Mau minum dulu?" tanyanya sambil mencari jaket di lemari kayu yang diletakkan berdampingan dengan meja belajar.

"Siapa yang bersihin kamar kamu?" tanyaku tanpa sadar, mengabaikan pertanyaannya.

"Ya gue, lah. Kenapa? Nggak percaya liat kamar gue bersih?" tebaknya tepat sasaran.

"Hooh," sahutku jujur masih mengagumi kebersihan kamarnya.

"Dulu gue sempat terkena OCD," sahutnya menghentikan gerakannya mencari jaket dari dalam lemari.

"Hah? Kapan?" Ternyata ada sisi lain Ares yang tidak kuketahui, dan selama ini dia juga tidak pernah menunjukkan gejala-gejala bahwa dia pernah mengidap gangguan itu.

"Udah lama, sih. Waktu SMP," sahutnya dengan tatapan menerawang. "Terus nyokap yang mulai menyadari keanehan gue, langsung gerak cepat  bawa gue ke psikiater. Lo tau kenapa gue nggak bisa lepas dari gitar itu?" tunjuknya pada gitar yang digantung.

Aku menggeleng.

"Nyokap membelikan buat gue untuk mengalihkan perhatian dari gangguan yang gue derita," terangnya.

"Memangnya gejala apa yang dilihat Ibumu waktu itu?" Rasa ingin tahuku muncul. Karena selama ini Ares jarang membicarakan masalah keluarganya kecuali masalah perceraian orangtuanya dulu.

"Gue sering menata semua barang yang gue punya dengan presisi. Bahkan gue mengukur jarak antara satu barang dengan barang lainnya di meja belajar. Jika ada yang dengan seenaknya memindahkan barang-barang gue, gue bakal ngamuk," cetusnya. "Sekarang udah nggak gitu lagi, tapi gue masih nggak suka jika barang-barang gue berantakan."

Aku hanya tertegun mendengar cerita Ares. Tak mampu berkata apa-apa. Aku pernah membaca bahwa penderita OCD (Obsessive Compulsive Disorder) akan melakukan suatu hal berulang-ulang untuk menghilangkan kecemasan yang mereka rasakan. Mereka akan merasakan kecemasan berlebihan jika ada sesuatu yang tidak berada pada tempatnya. Gangguan itu bisa menjadi gangguan kejiwaan parah jika tidak cepat ditangani.

"Tenang, gue nggak sakit jiwa, kok." Sebuah senyum getir menghias bibirnya. Baru kali itu aku melihat Ares terlihat sedih.

"Aku tau," sahutku tersenyum, mencoba mengusir khawatir yang terpancar dari sorot matanya.

Satu hal yang kupelajari saat itu. Tidak semua orang yang terlihat baik-baik saja, memang begitu adanya. Selama ini hanya aku yang selalu mengeluhkan kehidupanku. Ternyata Ares pernah mengalami hal yang lebih berat.

"Nah, ini dia!" ujarnya menarik sebuah jaket baseball warna merah maroon dan menyerahkannya padaku. "Yuk, keburu terlalu malam," ajaknya, kembali pada ekspresi semula.

Di sepanjang perjalanan menuju Jatinagor, tidak ada diantara kami yang bercerita seperti biasa. Aku dan Ares seperti tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Bahkan kebiasaan Ares yang suka bersenandung saat mengendarai skuter, pun kali ini bungkam.

Tak terasa, skuter Ares berhenti di depan kosanku. Aku melompat turun dan menyerahkan helm yang telah kulepas pada Ares.

"Thanks, Res," ucapku hendak beranjak meninggalkannya.

"Li ...." Cowok itu menarik tanganku. Aku menatapnya heran. Tidak. Biasanya dia begitu.

"Eh, iya, jaketmu, ya?" Aku baru sadar kalau jaket yang kukenakan adalah milik Ares.

"Bukan ... uhm ... gimana, ya?" gumamnya sambil menggaruk pelipis yang aku yakin tidak gatal.

"Kenapa? Buruan. Bentar lagi kena omel Pak Enjang aku."

"Lo nggak bakal ngejauhin gue setelah ini, kan?" tanyanya dengan senyum yang terlihat dipaksakan.

"Eh? Kenapa tiba-tiba?" Aku mengernyit heran.

"Setelah tau kalau gue pernah mengidap OCD. Lo nggak bakal risih, kan sama gue?" Saat itu aku seolah melihat bukan Ares yang kukenal selama ini. Rasa percaya diri yang sering kulihat sirna begitu saja. Hanya cowok rapuh yang terlihat duduk di skuter tua itu.

"Nope. I won't leave you, because you've been my Wonderwall," ujarku menepuk pelan punggung tangannya.

"Arigatou," ucapnya dengan seulas senyum.

"Domo." (sama-sama)

"Ya sudah, gue balik, ya." Ares pamit dengan seulas senyum.

"Ja mata, ne." (sampai jumpa)

Aku masih menatap kepergian Ares hingga menghilang di tikungan jalanan depan kos. Satu rahasia hidupnya telah diungkap padaku. Apakah ini pertanda aku adalah cewek spesial baginya? Atau hanya sebagai teman tempatnya bisa berbagi tanpa takut dihakimi? Aku tak berani berharap banyak dan mereka-reka perasaannya terhadapku. Biarlah aku tetap menjadi pengagum rahasianya.

Malam ini seperti malam-malam sebelumnya, aku kembali berkutat menyelesaikan sketsa wajah Ares. Lalu menatapnya lama seolah dia tengah berada di hadapanku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status