Share

Chapter 5: Masa Terpuruk

Eleanor bingung melihat ekspresi wajah sang asisten berubah drastis. Dengan penasaran hingga dahinya berkerut, Eleanor menggeser tubuhnya mendekati Alice, namun Alice langsung menghindarinya cepat. 

Eleanor masih tetap tidak menyerah. Ia ingin mengambil ponsel itu, langsung direbut kembali oleh Alice. Batas kesabarannya sudah habis kali ini. Pasti ada sesuatu yang tidak beres sampai sang asisten terus menyembunyikannya seolah-olah seperti ada kaitan dengannya. 

“Kamu kenapa sih mau intip ponselku?!” Alice mengomel sedikit gugup. 

“Sedangkan kamu sendiri kenapa menyembunyikannya dariku? Ada seseorang yang mengancamku?”

“Bukan karena itu. Tapi—”

“Tapi kenapa? Cepat perlihatkan pesan itu kalau ada kaitannya denganku!”

Alice menggarukkan kepala kesal hingga rambutnya sedikit terlihat berantakan. Kali ini ia menyerah dan memperlihatkan isi pesan itu untuk Eleanor. 

“Direktur Cedric memintaku bertemu dengannya nanti.”

Dahi Eleanor berkerut kesal. “Apa yang dia inginkan sebenarnya setelah menyebabkan semua kekacauan ini?!”

“Tenang dulu, Eleanor! Kenapa kamu jadi marah-marah begini? Bukankah mencemaskan keadaannya selama ini?” Alice menepuk pundak Eleanor pelan. 

“Menyebalkan sekali pria itu! Setelah berhari-hari tidak mengabariku malahan dia ingin bertemu denganmu tiba-tiba! Memang dia sungguh tidak ada tanggung jawab sama sekali!”

“Tapi Eleanor—”

“Pasti dia ingin memberiku sejumlah uang sebagai kompensasi atas kekacauan yang diperbuatnya!”

Alice memutar bola mata. Cukup lelah menghadapi sang model yang sifat keras kepalanya terus membara. “Bagaimana kalau aku menemuinya sekarang? Aku juga harus tahu rencana apa yang diperbuatnya sekarang.” 

“Baiklah, kamu boleh menemuinya. Tapi, kalau sampai dia memberimu uang atau kompensasi apa pun itu, aku tidak akan menerimanya! Beritahu dia secara terang-terangan bahwa aku bukan tipe wanita murahan yang tergila uang!”

“Kamu selalu bilang muak dengannya, tapi selama ini kamu juga sedikit mencemaskannya,” ejek Alice terkekeh. 

Eleanor memalingkan mata sambil kembali fokus mengamati drama yang ditontonnya masih berlangsung. “Kalau itu aku hanya sembarangan bicara! Aku tidak berniat terlalu mencemaskannya. Lagi pula memang dia sangat menyebalkan! Seharusnya dia bertemu denganku langsung, bukan jadikan kamu sebagai perantara! Dasar direktur tidak punya sopan santun!” 

Alice memasuki sebuah Kafe tempat pertemuan yang diatur Cedric sebelumnya. Cedric sudah tiba lebih awal. Dari kejauhan ia melambaikan tangannya pada Alice memberitahukan kehadirannya. 

Dengan sigap Alice langsung mendatanginya dan menduduki kursi tepat di hadapannya. Sengaja memasang wajah datar seolah-olah seperti tidak tahu apa pun dengan tujuan pertemuan ini. 

Cedric memasang ekspresi wajah ramah memberikan segelas Aren Latte untuk Alice. “Ini minuman untukmu.”

“Terima kasih.” Alice menyesap kopi pelan. 

“Kamu tahu alasan aku memintamu bertemu denganku secara pribadi tiba-tiba.”

Alice menaruh gelas kopi itu dan memasang tatapan serius pada sang direktur. “Aku tidak peduli apa yang kamu inginkan, Pak Direktur Cedric. Kamu tiba-tiba berbicara informal padaku padahal hubungan kita tidak akrab. Apa yang kamu inginkan sebenarnya? Kamu ingin memberikan kompensasi untuk Eleanor?”

Cedric tertawa lepas sambil menggeleng pelan dan sedikit memajukan kepala. “Sudah kuduga dia akan menganggapku seperti itu. Dia masih belum tahu aku tipe direktur yang berbeda dari lainnya. Aku bukan tipe direktur yang suka memberikan kompensasi berupa material.”

“Lalu, apa tujuan kamu menemuiku tiba-tiba?”

“Alamat kediaman Eleanor di mana?”

Apa Alice tidak salah mendengarnya? Ekspektasi dan realita sangat berbeda jauh. Kenapa seorang direktur tiba-tiba ingin bertemu dengan seorang model apalagi di kediaman pribadi? Ini gila! 

Alice hanya meresponnya tersenyum tipis dan menyilangkan kaki berlagak sombong. “Kenapa kamu minta alamatnya?” 

“Karena ada sesuatu penting yang ingin kubicarakan dengannya secara pribadi.”

“Kamu bisa membicarakan hal penting itu padaku. Aku tidak bisa memberikan alamat kediamannya pada orang lain.”

“Tidak bisa. Aku harus memberitahukannya secara langsung. Karena ini ada kaitannya antara aku dan dia.”

Alice berdecih kesal, ia tidak peduli sikap kesopanannya memudar dalam sekejap karena situasi semakin memuakkan. Apalagi ada permainan rahasia, ia sangat membenci hal itu. 

“Kesalahanmu itu membuat hidup Eleanor tidak bebas! Apalagi setiap saat dia diserang haters, dia dianggap wanita murahan yang pekerjaan sampingannya adalah bermalam bersama pria lain di kamar hotel! Karier Eleanor akan hancur! Sebentar lagi dia akan putus kontrak dengan agensi periklanan dan projek terbarunya mungkin akan dibatalkan!”

Tubuh Cedric hampir terjatuh lemas. Sekarang gilirannya merenungkan kesalahan yang telah diperbuat justru merusak karier dan citra nama baik sang teman baru yang ia sangat percayai sekarang. Ia terus merutukki dirinya sendiri dalam hatinya hingga netranya sedikit memerah sekarang. 

“Pokoknya kamu harus memikirkan cara untuk mengembalikan kariernya seperti semula. Aku sebagai asisten pribadinya juga tidak tega melihatnya terus menghadapi masalah seperti ini! Kalau seandainya dia mengundurkan diri, maka aku harus mengikuti jejaknya juga.”

“Kalau begitu, kamu harus memberitahukan alamat rumahnya kepadaku. Aku harus menjelaskan semuanya padanya. Saat dia meninggalkanku tanpa berpamitan, aku sangat mencemaskannya sampai tidak bisa tidur nyenyak.”

Dilihat ekspresi Cedric terlihat sangat jujur, Alice sedikit merasa senang karena direktur ini ternyata masih memiliki sisi kecemasan terhadap Eleanor meski hubungannya hanya sekadar teman biasa. Memang direktur tampan ini sangat berbeda dari CEO lainnya yang selalu tidak bertanggung jawab atas kesalahan diperbuat setiap malam terhadap para gadis.

Berarti bisa disimpulkan baik Eleanor maupun Cedric, sebenarnya mereka saling mencemaskan satu sama lain. Hanya saja mereka tidak berani mengungkapkannya terang-terangan. Apalagi Eleanor yang selalu jual mahal selama ini. 

“Kalau seandainya aku memberikan alamatnya padamu, kamu ingin berlutut meminta maaf padanya sampai menangis? Eleanor bukan tipe wanita mudah memaafkan orang yang berbuat kesalahan padanya.”

“Sebenarnya tujuanku ingin menemuinya bukan ingin berlutut.”

“Lalu, kamu ingin melakukan apa? Aku sebagai sekretarisnya harus tahu maksud tujuan kedatanganmu supaya aku memberikan alamatnya padamu tanpa keraguan.”

Eleanor membaringkan dirinya di sofa ruang tamu sambil mengamati semua pesan dari sang ibu yang terus mencemaskan keadaannya sekarang. Eleanor sangat muak dengan hidupnya selama ini yang ada masalah terus bermunculan. Ditambah kehadiran Cedric yang membuat hidupnya semakin kacau. 

Eleanor masih membenci sang direktur. Ia kesal karena direktur itu terus bersembunyi tanpa ingin berbincang dengannya terang-terangan. 

Sudah dua jam, Alice masih belum berkunjung kembali. Eleanor mulai tidak bisa menahan kesabarannya. Sejenak ia berjalan mondar-mandir. Ia semakin penasaran apa yang diperbincangkan asistennya dengan direktur menyebalkan itu. Jika dipikirkan baik-baik, ini bukan percakapan biasa sampai menghabiskan waktu lama. 

‘Cedric, kamu sangat menyebalkan! Sebenarnya apa tujuanmu menculik asistenku sampai berjam-jam? Apakah mungkin sekarang kamu beralih menggodanya setelah menyebabkan semua kekacauan ini?! Apa mungkin kamu mengancamnya seperti seorang CEO di semua drama yang pernah kutonton? Awas saja sampai kamu sungguh melakukannya, aku tidak akan mudah mengampunimu!’

Ding…dong… 

Akhirnya terdengar juga suara bel kediamannya berbunyi nyaring. Tapi, kenapa Alice menekan bel padahal selama ini tahu kode akses kediaman ini? 

Dengan penuh waspada, ia mendekati pintu kediamannya dan menekan layar LCD di samping pintu, mengamati sosok tamu tidak terduga mendatangi kediamannya tiba-tiba. 

“Cedric?”

“Eleanor, ini aku.”

Ada apa ini? Kenapa direktur menyebalkan itu ingin bertemu tiba-tiba? 

Eleanor panik dicampur kesal. Seminggu mengurungkan diri di dalam kediamannya terus, penampilannya berantakan. Ia sangat sensitif jika ia bertemu dengan seseorang berpenampilan berantakan tanpa persiapan apa pun. Lalu, bagaimana bisa Cedric mengetahui alamat kediamannya? Padahal selama ini mereka belum pernah saling berbagi nomor ponsel. 

Sudah satu menit berdiri di pintu sambil mengamati layar LCD. Sebenarnya Eleanor juga penasaran maksud kedatangannya tiba-tiba, meski ia bermaksud tidak menyambut kedatangan sang direktur. Seperti biasa Eleanor selalu berlagak jual mahal dan tidak pernah membiarkan orang lain menginjak kediamannya. 

“Eleanor, ini aku Cedric. Kumohon biarkan aku masuk.”

“Bagaimana kamu bisa tahu alamat kediamanku?” Eleanor sengaja berbasa-basi. 

“Alice yang memberitahukan padaku.”

Tangan Eleanor terkepal kuat. Seolah-olah seperti ingin menjambak rambut Alice tanpa segan. “Dasar mulut ember! Memang dia sungguh tidak bisa dipercaya sepenuhnya!” 

“Jangan memarahinya! Memang aku yang memaksanya saat kami bertemu tadi.”

“Oh, jadinya sekarang kamu membela wanita lain! Beginikah sikapmu padaku selama seminggu ini kita tidak bertemu?!” 

“Bukan itu. Tujuanku ingin mendatangimu sekarang karena ada sesuatu penting yang ingin kubicarakan padamu.”

“Kalau kamu ingin memberiku uang atau cek, aku tidak akan menerimanya sebagai kompensasi. Sebaiknya kamu pergi saja sebelum aku panggil petugas keamanan mengusirmu!”

Wajah lesu terpampang pada wajah tampan Cedric. “Aku tidak ingin memberimu apa pun sebagai kompensasi. Justru aku ingin memberitahumu sesuatu lainnya. Jadinya, kumohon izinkan aku memasuki kediamanmu. Kamu harus dengarkan perkataanku dulu. Aku bukan pria berengsek seperti yang kamu bayangkan selama ini.”

Eleanor semakin kesal. Ia terus memainkan rambut indahnya dan sebenarnya sedikit kasihan mengamati wajah sang direktur yang kini tidak bersinar. Namun, tetap saja rasa kekesalannya yang mencegahnya bersikap empati sekarang. 

“Aku tidak akan mengizinkanmu masuk, meski kamu memohon ampun dengan cara apa pun atau kamu berlutut juga aku tidak akan membiarkanmu masuk. Karena aku sangat marah dan malas melihat wajahmu! Pergilah! Aku tidak ingin berbincang denganmu!”

Eleanor langsung mematikan layar LCD dengan tatapan dingin. Namun, hatinya terasa sesak saat mengatakan hal menyakitkan itu. Dirinya duduk lemas dan bersandar di pintu. Sebenarnya tidak tega melakukannya. Entah kenapa tangan kanannya ingin menyambut kedatangan sang direktur. 

Sedangkan Cedric juga tidak akan menyerah. Tetap saja ia keras kepala menunggu di depan pintu sampai dirinya diperbolehkan menginjak ke kediaman mewah itu. Tidak peduli siapa pun mengamatinya sekarang, yang terpenting misi penting sudah direncanakannya sejak awal harus berjalan dengan lancar. Meski butuh perjuangan membujuk hati sang model cantik di balik pintu. 

Cedric mulai merasa lelah, lalu ia duduk bersandar di pintu sambil menunggu. Napasnya sangat lesu sambil meraba sebuah benda dalam saku jasnya lambat laun. 

‘Eleanor, aku tidak peduli kamu sangat membenciku. Tapi, aku tetap tidak akan menyerah. Aku pasti akan bertanggung jawab sepenuhnya atas kesalahan yang aku perbuat. Maka dari itu, aku tetap akan menunggumu di sini sampai kamu membuka pintu untukku.’

Satu jam telah berlalu sejak kedatangan Cedric. Eleanor masih penasaran apakah sang direktur tampan masih menampakkan batang hidungnya atau sungguh sudah pergi dengan penuh putus asa. 

Apalagi ia tahu kepribadian Cedric seperti apa padahal baru bertemu beberapa saat lalu. Kepribadian Cedric yang selalu mengkhawatirkannya hingga saat ini, membuat perasaannya tercampur aduk sekarang. Menurut pikirannya, kemungkinan besar Cedric masih menunggu tepat di balik pintu ini. Meski sudah tidak mengganggunya lagi seperti sebelumnya. 

Dengan penuh rasa penasaran, akhirnya ia menekan layar LCD mengamati keadaan di luar kediamannya. Dugaannya benar. Sang direktur tampan sedang duduk termenung di balik pintu ini menampakkan wajah kusut. 

Eleanor membelalakan mata mengamati jam dinding di dekatnya. Rasa bersalah timbul pada dirinya seolah-olah ia tidak memiliki hati nurani terhadap Cedric. Apalagi jika dibayangkan lagi momen kebersamaannya bersama Cedric selama ini membuatnya selalu merasa nyaman, tentunya ia tidak tega kalau kondisi seperti ini terus berlanjut. 

‘Kamu sangat menyebalkan! Kalau kamu lesu begini, seolah-olah aku sungguh berbuat kejam padamu. Haruskah aku membiarkanmu masuk dan menyelesaikan masalah ini dengan baik?’

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status