Seorang wanita berambut blonde baru saja turun dari mobilnya. Kehadirannya seolah menghentikan dunia saat itu juga. Entitasnya menyita perhatian setiap orang yang berlalu-lalang di sepanjang pelataran Magnolia spring Resort. Seakan sudah terbiasa dihujani dengan tatapan kagum, supermodel tersebut berjalan membusungkan dada dan mengabaikan tatapan terpana setiap orang yang melihatnya. Merasa pernah dan pasti bisa meluluhkan hati sang CEO hotel berbintang lima tersebut, dengan penuh percaya diri Laura Martinez mendatangi ruangan sekretaris pribadi Matteo. Dia bahkan masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Seketika Stefano yang kini menjadi asisten sekaligus sekretaris Matteo mengernyit mendapati kehadiran wanita itu. "Aku datang untuk bertemu dengan Matteo," ucap wanita tersebut sembari melepaskan kacamata hitam yang bertengger pada hidung mancungnya. Stefano mengamati Laura dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan seksama. Tubuh berbentuk jam pasir itu terbalut deng
Malam itu hujan turun lebat mengguyur Los Angles. Luna yang terjaga dari tidurnya menatap kecewa pada ranjang di sebelahnya, tempat di mana biasanya Matteo tidur. Jam dinding menunjukan pukul 23.35. Terlalu larut untuk seseorang yang lembur di tempat kerja. "Lihatlah, Sayang. Pria itu bekerja terlalu keras demi memenuhi kebutuhan kita." Luna berucap sembari mengelus perutnya yang terlihat semakin membuncit. Kesenduan menghiasi wajah ayu wanita itu. Wanita berambut pirang madu itu berjalan mendekati jendela, menyaksikan buliran air yang turun lebat mengguyur bumi. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai. Tubuh feminimnya berbalut gaun tidur berbahan satin warna merah muda kesukaan Matteo. Malam itu Luna mempersiapkan diri menyambut kepulangan Matteo dengan berdandan secantik mungkin. "Di luar pasti dingin. Aku pasti memeluknya andai dia ada di sini," ucap Luna penuh sesal, mengingat segala sikap cemburunya yang berulang kali menyinggung dan menuduh Matteo tanpa bukti. Luna mem
Luna memejamkan kedua matanya dengan paksa saat mendengar pintu apartemen terbuka. Dia memilih untuk berpura-pura tidur daripada meluapkan amarahnya malam itu. Jantung Luna berdenyut nyeri saat pria yang ia tunggu kepulangannya berjalan mendekatinya. Matteo mengelus rambut Luna, mengecup kening perempuan itu cukup lama dan menghirup aroma harum rambut perempuan itu untuk mengisi paru-parunya. Aroma harum rambut Luna sedikit membuat Matteo merasa tenang, setelah malam itu dia menemui mantan kekasihnya tanpa sepengetahuan Luna. Tangan Matteo membelai wajah rupawan perempuan itu. Seketika dahi pria itu mengernyit, dia baru menyadari kelopak mata Luna menghitam, mascaranya luntur karena ia menangis. Matteo tersenyum. Dia berpikir bahwa Luna sengaja berdandan malam itu untuk menyambutnya. Pun bibirnya yang terpoles lipstik merah muda yang membuat Matteo gemas. Pria itu mengecup singkat bibir Luna dan berucap; "Maaf telah membuatmu terlalu lama menunggu malam ini", sebelum akhirnya berbar
Alaram di ponsel berbunyi yang membuat Matteo terbangun. Segera ia mematikan alaram agar ponselnya berhenti berdering, khawatir mengusik Luna yang masih terlelap. Mata pria tersebut terbuka lebar saat mendapati Luna tidak berada di sampingnya. Segera Matteo bangkit dari ranjang dan mencari keberadaan Luna. Dia tidak ingin kekasihnya yang sedang hamil kelelahan karena menyiapkan sarapan di dapur. Tetapi saat tiba di dapur, hanya kesunyian yang ia dapati. Semua peralatan dapur masih berada pada tempatnya. Pun saat dia menoleh ke arah kamar mandi. Pintu ruangan tersebut terbuka, tidak ada siapa-siapa di sana. Seketika Matteo menyugar rambut hitamnya dan mulai berpikir di mana keberadaan Luna. "Tidak biasanya dia keluar tanpa memberi tahuku," gumam Matteo sembari menggeleng. Perasaannya mendadak kalut. Seolah kepergian Luna kali itu merupakan sesuatu yang tidak wajar. Pria berbadan tinggi besar itu kembali ke kamar untuk mengambil ponselnya. Segera ia melakukan panggilan tetep
Di sebuah apartemen yang disewakan Adrian untuk tempat tinggal Luna. Gadis itu menatap ke luar jendela yang menampilkan lalu lalang kendaraan yang cukup ramai. Situasi jalanan itu seolah menggambarkan pikirannya yang saat ini sangat penuh dengan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi hari itu; Matteo kalah dari Adrian, dan dia menepati janjinya untuk melepas Luna. Gadis itu sudah melihat betapa gigihnya Adrian berlatih untuk mempersiapkan diri melawan Matteo. Gadis itu menyentuh liontin dari kalung yang dia pakai. Hadiah ulang tahun dari Matteo, pemberian yang sangat berharga dari pria yang sangat dia cintai. Bayangan makan malam romantis di hari ulang tahunnya kembali berkelibat di dalam kepalanya. Saat itu, Matteo adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulang tahun Luna. Akankah romantisme di antara keduanya hanya akan menjadi kenangan dan menyisakan Luna yang akan menerima kenyataan pahit, bahwa Matteo benar-benar melepasnya dan keduanya mencari jalan hidup masing-masin
Hari itu menjadi hari paling bahagia bagi sepasang kekasih yang baru saja keluar dari gedung The Battle Ring sambil bergandengan tangan, bersama Stefano yang berjalan mendahului mereka dan membukakan pintu untuk Luna dan Matteo di kursi penumpang belakang. "Kemana kita akan pergi, Tuan?" tanya Stefano sembari melihat penumpang di kursi belakang melalui kaca sepion atas. "Pulang ke rumah orang tuaku," jawab Matteo yang kali ini terang-terangan bersikap wajar layaknya seorang atasan kepada bawahannya. Di tempatnya duduk saat ini, Luna masih tidak mengerti. Selama ini dia mengenal Stefano sebagai CEO di hotel tempatnya bekerja dulu, dan dari cerita Matteo, dia mengenal Stefano dan mereka menjadi teman, sehingga Matteo diberikan hak untuk leluasa keluar masuk Magnolia Spring Resort. Tetapi apa yang dia lihat saat ini membuatnya bertanya-tanya. Jelas sekali Stefano bersikap layaknya bawahan Matteo, dan dari sisi Matteo aura kepemimpinan sangat dominan. Gadis itu hanya menggigit
Pertanyaan mengejutkan yang keluar dari mulut Alessia membuat Luna terbatuk. Gadis itu sampai kesulitan bernapas dan berulang kali menepuk dadanya. "Luna? Are you okay, Dear?" tanya Matteo. Raut wajah pria rupawan itu terlihat cemas melihat wajah Luna yang memerah. "Aku baik-baik saja," jawab Luna, sembari berdeham, kembali mengatur ekspresi. "Ibu, kami baru saja datang, mengapa Ibu langsung menanyakan itu?" tanya Matteo dengan nada protes yang berhasil membuat Alessia mengernyitkan dahinya. "Kau tahu bagaimana watak ibumu ini, Matt. Ibu tidak suka berbasa-basi," Alesaia mengedikkan bahu. "Tapi, Bu," "Apanya yang tapi? Gadis ini menerimamu saat kau menyamar sebagai pria biasa. Bukankah tipe wanita tulus yang tak gila harta seperti dia yang kau cari?" Salah satu alis Alessia naik mendekati dahi. Dia tidak ingin kalah dari perdebatan itu. Luna yang berada di antara Matteo dan Alessia berulang kali mengerjapkan mata lentiknya. 'Matteo bahkan menyamar menjadi pria bias
Malam itu Luna dan Matteo kembali ke apartemen mengendarai sedan tua yang selama ini Matteo pakai. Di sepanjang perjalanan Luna terus menatap Matteo yang fokus mengemudi. Jalanan yang mereka lalui cukup ramai, tetapi perhatian Luna hanya terfokus pada entitas pria berbadan gagah yang sedang fokus mengemudi. Matteo yang menyadari bahwa ia sedang diperhatikan lantas menoleh sekilas. "Mengapa kau menatapku seperti itu?" "Apa yang sebenarnya kau sembunyikan selama ini? Siapa kau sebenarnya?" Kali ini Luna ingin mendengar penjelasan Matteo. Apa yang dia lihat hari itu bagaikan mimpi. Mendengar pertanyaan Luna yang tidak bisa dia anggap sebagai pertanyaan ringan, Matteo pun menepikan kendaraannya. Sudah saatnya dia mengakui siapa dia sebenarnya. Matteo mematikan mesin mobil, lalu menghela napas setelahnya. "Baiklah, aku mengakui. Aku adalah CEO Magnolia Spring Resort. Dan aku juga yang meminta Stefano untuk menerimamu bekerja di sana," ungkap Matteo, melempar ingatan Luna pada set
Seketika ucapan yang keluar dari bibir Adrian memantik amarah Rosaline dan Alexander. "Apa maksudmu tidak mungkin?" tanya Alex dengan rahang mengetat. Pria paruh baya itu yakin bahwa Adeia adalah satu-satunya pemuda yang menjalin kedekatan dengan anak tirinya. Adrian tertawa hambar. Tampak sekali dia sedang mentertawakan semua orang yang ada di ruang tamu itu. "Bagaimana mungkin dia hamil anakku, sedangkan aku selalu membuang sepermaku di wajah dan mulutnya. Itu semua aku lakukan semata-mata agar dia tidak hamil. Aku bahkan tidak mencintai Emily, Tuan Alex yang terhormat," jawab Adrian sembari tersenyum miring. Seketika ulu hati Emily terasa sakit, rasa sesak memenuhi dadanya. Sesaat dia lupa bagaimana cara bernapas. "Adrian ..." lirih Emily dengan suara parau, air mata menggenangi kedua matanya. "Jadi selama ini kau ..." Adrian menoleh ke arah Emily dan menatap gadis itu dengan sorot mata penuh amarah. "Aku apa? Hanya menjadikanmu pelampiasan nafsuku? Harusnya kau ingat
Seperti pagi-pagi sebelumnya. Matteo yang baru saja selesai menyiapkan menu sarapan langsung melempar senyuman kepada Luna yang baru saja selesai berdandan dan berjalan mendekati meja makan. "Cepatlah makan selagi makanan masih hangat," ucap Matteo sambil menarik salah satu kursi dan mempersilahkan Luna duduk. "Hmm." Luna duduk dan tersenyum simpul. Gadis itu mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, tetapi kali ini dengan gerak ragu, tidak seperti biasanya. Raut kegelisahan di wajah Luna tentu saja tak luput dari perhatian Matteo. Pria itu pun mereguk air dalam gelasnya, sebelum akhirnya bertanya kepada Luna. "Apa kau baik-baik saja, Sayang? Kau sedang merasa tidak enak badan?" Luna menarik napas dalam. "Aku ragu. Apakah Ayahku akan menerima kehadiran kita nanti?" Pertanyaan Luna melemparkan ingatan Matteo pada kejadian beberapa bulan yang lalu, saat Alexander mengusir Luna dan dirinya yang menjenguk Alexander di rumah sakit. Matteo mengatupkan rahangnya. Dia begitu benc
Malam itu Luna dan Matteo kembali ke apartemen mengendarai sedan tua yang selama ini Matteo pakai. Di sepanjang perjalanan Luna terus menatap Matteo yang fokus mengemudi. Jalanan yang mereka lalui cukup ramai, tetapi perhatian Luna hanya terfokus pada entitas pria berbadan gagah yang sedang fokus mengemudi. Matteo yang menyadari bahwa ia sedang diperhatikan lantas menoleh sekilas. "Mengapa kau menatapku seperti itu?" "Apa yang sebenarnya kau sembunyikan selama ini? Siapa kau sebenarnya?" Kali ini Luna ingin mendengar penjelasan Matteo. Apa yang dia lihat hari itu bagaikan mimpi. Mendengar pertanyaan Luna yang tidak bisa dia anggap sebagai pertanyaan ringan, Matteo pun menepikan kendaraannya. Sudah saatnya dia mengakui siapa dia sebenarnya. Matteo mematikan mesin mobil, lalu menghela napas setelahnya. "Baiklah, aku mengakui. Aku adalah CEO Magnolia Spring Resort. Dan aku juga yang meminta Stefano untuk menerimamu bekerja di sana," ungkap Matteo, melempar ingatan Luna pada set
Pertanyaan mengejutkan yang keluar dari mulut Alessia membuat Luna terbatuk. Gadis itu sampai kesulitan bernapas dan berulang kali menepuk dadanya. "Luna? Are you okay, Dear?" tanya Matteo. Raut wajah pria rupawan itu terlihat cemas melihat wajah Luna yang memerah. "Aku baik-baik saja," jawab Luna, sembari berdeham, kembali mengatur ekspresi. "Ibu, kami baru saja datang, mengapa Ibu langsung menanyakan itu?" tanya Matteo dengan nada protes yang berhasil membuat Alessia mengernyitkan dahinya. "Kau tahu bagaimana watak ibumu ini, Matt. Ibu tidak suka berbasa-basi," Alesaia mengedikkan bahu. "Tapi, Bu," "Apanya yang tapi? Gadis ini menerimamu saat kau menyamar sebagai pria biasa. Bukankah tipe wanita tulus yang tak gila harta seperti dia yang kau cari?" Salah satu alis Alessia naik mendekati dahi. Dia tidak ingin kalah dari perdebatan itu. Luna yang berada di antara Matteo dan Alessia berulang kali mengerjapkan mata lentiknya. 'Matteo bahkan menyamar menjadi pria bias
Hari itu menjadi hari paling bahagia bagi sepasang kekasih yang baru saja keluar dari gedung The Battle Ring sambil bergandengan tangan, bersama Stefano yang berjalan mendahului mereka dan membukakan pintu untuk Luna dan Matteo di kursi penumpang belakang. "Kemana kita akan pergi, Tuan?" tanya Stefano sembari melihat penumpang di kursi belakang melalui kaca sepion atas. "Pulang ke rumah orang tuaku," jawab Matteo yang kali ini terang-terangan bersikap wajar layaknya seorang atasan kepada bawahannya. Di tempatnya duduk saat ini, Luna masih tidak mengerti. Selama ini dia mengenal Stefano sebagai CEO di hotel tempatnya bekerja dulu, dan dari cerita Matteo, dia mengenal Stefano dan mereka menjadi teman, sehingga Matteo diberikan hak untuk leluasa keluar masuk Magnolia Spring Resort. Tetapi apa yang dia lihat saat ini membuatnya bertanya-tanya. Jelas sekali Stefano bersikap layaknya bawahan Matteo, dan dari sisi Matteo aura kepemimpinan sangat dominan. Gadis itu hanya menggigit
Di sebuah apartemen yang disewakan Adrian untuk tempat tinggal Luna. Gadis itu menatap ke luar jendela yang menampilkan lalu lalang kendaraan yang cukup ramai. Situasi jalanan itu seolah menggambarkan pikirannya yang saat ini sangat penuh dengan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi hari itu; Matteo kalah dari Adrian, dan dia menepati janjinya untuk melepas Luna. Gadis itu sudah melihat betapa gigihnya Adrian berlatih untuk mempersiapkan diri melawan Matteo. Gadis itu menyentuh liontin dari kalung yang dia pakai. Hadiah ulang tahun dari Matteo, pemberian yang sangat berharga dari pria yang sangat dia cintai. Bayangan makan malam romantis di hari ulang tahunnya kembali berkelibat di dalam kepalanya. Saat itu, Matteo adalah satu-satunya orang yang mengingat hari ulang tahun Luna. Akankah romantisme di antara keduanya hanya akan menjadi kenangan dan menyisakan Luna yang akan menerima kenyataan pahit, bahwa Matteo benar-benar melepasnya dan keduanya mencari jalan hidup masing-masin
Alaram di ponsel berbunyi yang membuat Matteo terbangun. Segera ia mematikan alaram agar ponselnya berhenti berdering, khawatir mengusik Luna yang masih terlelap. Mata pria tersebut terbuka lebar saat mendapati Luna tidak berada di sampingnya. Segera Matteo bangkit dari ranjang dan mencari keberadaan Luna. Dia tidak ingin kekasihnya yang sedang hamil kelelahan karena menyiapkan sarapan di dapur. Tetapi saat tiba di dapur, hanya kesunyian yang ia dapati. Semua peralatan dapur masih berada pada tempatnya. Pun saat dia menoleh ke arah kamar mandi. Pintu ruangan tersebut terbuka, tidak ada siapa-siapa di sana. Seketika Matteo menyugar rambut hitamnya dan mulai berpikir di mana keberadaan Luna. "Tidak biasanya dia keluar tanpa memberi tahuku," gumam Matteo sembari menggeleng. Perasaannya mendadak kalut. Seolah kepergian Luna kali itu merupakan sesuatu yang tidak wajar. Pria berbadan tinggi besar itu kembali ke kamar untuk mengambil ponselnya. Segera ia melakukan panggilan tetep
Luna memejamkan kedua matanya dengan paksa saat mendengar pintu apartemen terbuka. Dia memilih untuk berpura-pura tidur daripada meluapkan amarahnya malam itu. Jantung Luna berdenyut nyeri saat pria yang ia tunggu kepulangannya berjalan mendekatinya. Matteo mengelus rambut Luna, mengecup kening perempuan itu cukup lama dan menghirup aroma harum rambut perempuan itu untuk mengisi paru-parunya. Aroma harum rambut Luna sedikit membuat Matteo merasa tenang, setelah malam itu dia menemui mantan kekasihnya tanpa sepengetahuan Luna. Tangan Matteo membelai wajah rupawan perempuan itu. Seketika dahi pria itu mengernyit, dia baru menyadari kelopak mata Luna menghitam, mascaranya luntur karena ia menangis. Matteo tersenyum. Dia berpikir bahwa Luna sengaja berdandan malam itu untuk menyambutnya. Pun bibirnya yang terpoles lipstik merah muda yang membuat Matteo gemas. Pria itu mengecup singkat bibir Luna dan berucap; "Maaf telah membuatmu terlalu lama menunggu malam ini", sebelum akhirnya berbar
Malam itu hujan turun lebat mengguyur Los Angles. Luna yang terjaga dari tidurnya menatap kecewa pada ranjang di sebelahnya, tempat di mana biasanya Matteo tidur. Jam dinding menunjukan pukul 23.35. Terlalu larut untuk seseorang yang lembur di tempat kerja. "Lihatlah, Sayang. Pria itu bekerja terlalu keras demi memenuhi kebutuhan kita." Luna berucap sembari mengelus perutnya yang terlihat semakin membuncit. Kesenduan menghiasi wajah ayu wanita itu. Wanita berambut pirang madu itu berjalan mendekati jendela, menyaksikan buliran air yang turun lebat mengguyur bumi. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai. Tubuh feminimnya berbalut gaun tidur berbahan satin warna merah muda kesukaan Matteo. Malam itu Luna mempersiapkan diri menyambut kepulangan Matteo dengan berdandan secantik mungkin. "Di luar pasti dingin. Aku pasti memeluknya andai dia ada di sini," ucap Luna penuh sesal, mengingat segala sikap cemburunya yang berulang kali menyinggung dan menuduh Matteo tanpa bukti. Luna mem