Beberapa hari lalu, Geya bertemu dengan Janu dan anaknya, kali ini anak itu tidak tertidur seperti pertama kali dia bertemu, kedua kali mereka bertemu juga anak itu sangat manis dan terlihat sangat berhati-hati untuk bicara dengan orang asing. Maka dari itu, Geya menawarkan si kecil untuk bermain ke tempatnya. Dia berjanji untuk membuatkan anak itu Spaghetti, jadi dia mengeluarkan beberapa bahan makanan untuk membuatnya sore ini.
Geya, baru saja pindah ke rumah ini.
Dia memutuskan untuk menjual rumah yang diberikan mantan suaminya itu sebagai harta gono-gini, rumah yang dulu menjadi sumber kebahagiaannya saat pertama kali dihadiahkan oleh suaminya telah berubah menjadi tempat yang mengerikan, yang bahkan saat dia masih bersama suaminya, dia enggan untuk masuk ke dalam. Setiap sudut rumah mengingatkan dia bagaimana laki-laki itu memukulinya habis-habisan, setiap sudut rumah mengingatkan dia bahwa laki-laki itu pernah membawa seorang perempuan dan berbuat mesum
Pria dengan setelan santai, kaos berwarna putih, celana jeans robek dan jaket denim berjalan masuk ke dalam lobi Rumah Sakit. Dia memakai masker berwarna senada dengan kaos dan topi bercorak, wajahnya hampir tertutup seluruhnya, namun semua orang mengenali hanya dari caranya berjalan, atau dari merk-merk pakaian terkenal yang dia pakai dari ujung kepala sampai ujung kaki.Semua orang menyapanya, dan beberapa memberikan senyuman kecil, dia membalas. Selalu mencoba ramah kepada semua orang meskipun matanya sesekali sibuk dengan ponsel.“Mas Theo, Nyonya sudah nunggu didalam.” Seorang pria berkata, menghentikan langkahnya yang baru saja akan masuk ke dalam ruang ganti. Mengganti baju santainya dengan baju kerja.Theo berkerenyit, dia tidak berpikir ibunya akan datang ke tempatnya bekerja. Dia langkahkan kakinya menuju ruangan tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu, ketika pintu dibuka seorang wanita berusia 56 tahunan dengan wajah yang masih cukup muda
“Kak!” Tara masuk melewati pagar tinggi itu setelah si empunya rumah membuka dari dalam, dia sedikit berlari dengan pantofel tinggi, si empunya rumah terkekeh dari teras melihat kelakuannya.“Kenapa mesti lari-lari sih?” Ucapnya, dia kemudian merangkul gadis itu yang kini masuk dengan wajah cemberut menatapnya.“Mana mana si sialan itu?! Kok berani-beraninya ngechat kak Geya lagi?!” Tara berkata dengan penuh emosi, dan Geya menyambutnya dengan tawa.Bu Ria keluar dari dalam rumah mendengar keributan itu, ketika Tara melihatnya dia menjerit kegirangan karena sudah begitu lama sejak terakhir mereka jumpa satu sama lain, Tara memeluknya erat.“Non Tara masih sama aja kayak dulu, heboh!” Bu Ria berkata sambil tertawa, kemudian mengambil alih bungkusan-bungkusan di tangan Tara yang sedari tadi dia pegang dan tidak dilepas sama sekali. Dia membeli beberapa buah-buahan dan kue untuk Geya karena wanita itu cuti hari
“Kamu emang enggak latihan?” Suara gadis itu terdengar sedikit berteriak dari balik pagar sebuah bangunan berwarna abu-abu, dia terburu-buru keluar dengan tangan penuh jinjingan. Hari ini rambut hitam sebahunya dibiarkan tergerai, dia memakai kaos hitam lengan pendek dipadu dengan celana jeans semata kaki serta sepatu kets putih.“Bawa apa aja ini?” Javis mengecek bawaan kekasihnya, dia membawa dua tas belanja yang isinya lumayan berat. Dia terkadang tidak habis pikir dengan gadis dengan lengan kecil itu, terkadang kedua lengan itu bisa mengangkat sesuatu yang begitu berat.“Itu semua peralatan mandi ibu, biasa bulanan..” Jawabnya dengan senyum penuh. Javis mengangguk, kemudian mereka berjalan sedikit menuju mobil. Javis membuka bagasi mobilnya, menyimpan tas-tas itu ke dalamnya dan siap pergi menuju tempat yang setiap sebulan sekali selalu Tara datangi.Seperti yang sudah-sudah, gadis itu selalu terlihat senang dan bersemanga
Gadis dengan rambut ikal panjang yang digelung masuk, memakai kaos berwarna biru dongker dipadu dengan rok jeans selutut itu mengamati sekelilingnya, mata mengikuti setiap gerak orang-orang di depannya. Mulutnya sibuk mengunyah coklat bar yang kini hampir meleleh ditangannya yang penuh dengan cat warna-warni, sepatu kets putihnya terkena lumpur di beberapa bagian bercampur dengan cat warna-warni.Mahika, namanya. Orang-orang memanggilnya dengan sebutan, Mahimo, Ma-chan, Ikaika atau paling normalnya orang-orang memanggilnya dengan sebutan Mahika saja. Usianya tahun ini memasuki angka 29. Usia yang begitu rentan memiliki ketakutan akan masa depan, yang memiliki krisis karena sebentar lagi usianya memasuki angka 30. Kepala tiga pertama.Dia menaikkan kacamata bingkai besar yang tengah dia pakai dengan ujung jarinya. Masih sibuk mengamati orang-orang yang berlalu lalang di taman kota. Ini adalah hobi utamanya, duduk di sebuah taman, menikmati kudapan apapun yang dia miliki
Diraya berjalan masuk ke dalam rumah dengan derap langkah cepat dan terburu-buru, dari wajahnya bisa dilihat dia sedang marah. Wajah memerah, kedua alis tebal itu bertaut dan giginya bergemeretak. Dia membanting pintu dan semua pelayan dirumah melesak masuk mengikutinya. Langkahnya besar-besar, menaiki anak tangga satu demi satu.“SIALAN!” Dia memekik, membuka pintu kamar dan mendapati istrinya, Yara tengah terbaring di tempat tidur sambil membuka salah satu aplikasi di ponsel. Yara terkejut, menoleh dan menatap wajah marah itu.“Ada apa sih?” Pekiknya, tidak kalah kencang.“Brengsek! Lo nelpon Geya semalam?!” Kata Diraya, mengacungkan ponselnya ke depan wajah Yara yang sekarang berubah ekspresi, kaget dan takut disaat bersamaan. Dia berusaha mengalihkan pandangannya dari sejarah ponsel yang memperlihatkan dia menelpon nomor itu semalam.Goblok banget Yar, bukannya dihapus. Batinnya. Semalam karena terlalu terb
Halo semua, maaf karena saya begitu lama hiatus disini. Ada pekerjaan offline yang sedang saya lakukan beberapa bulan terakhir, saya begitu sulit untuk menyeimbangkan waktu menulis dan juga fokus pada pekerjaan saya sehingga saya harus merelakan untuk melepaskan menulis sementara waktu dan kini pekerjaan itu sudah selesai, saya akan kembali bulan depan di cerita ini, saya harap kalian semua masih mau membacanya! Mohon maaf jika cerita ini begitu lama alurnya, saya ingin membuat setiap karakter punya cerita masing-masing meskipun nantinya saya akan membuat cerita dengan judul berbeda untuk mereka. Saya harap kalian bisa terus mengikuti ke 7 orang ini dan juga mengikuti Alba! Terima kasih banyak, love!
Geya membuka matanya, langit-langit kamar berwarna putih terlihat begitu menyilaukan di hadapannya. Sayup-sayup suara mesin vakum terdengar, dia melirik kearah nakas di samping tempat tidurnya, air putih telah terisi, dan semangkuk bubur yang masih terlihat kepulan asapnya berada disana bersama dengan obat yang begitu familiar untuknya. Dia bangun, dan duduk di tepian kasur. Kepalanya sakit. Dia menenggak habis segelas air putih dan mengisinya dengan yang baru, kemudian menyentuh mangkok putih itu, dia harus makan. Menyendokkan bubur ke dalam mulutnya setelah bangun pagi bukanlah ide yang bagus, perutnya terasa tidak nyaman tapi dia tetap melanjutkannya. Di suapan ketiga, dia berhenti. Setidaknya, lambungnya sudah terisi sesuatu. Dia terdiam, kembali meminum air di dalam gelas. Dalam diam, dia bisa mendengar apa yang terjadi diluar kamar, suara mbak Cicih dan bu Ria yang tengah berbincang mengenai menu makanan yang akan dimasak. Terdengar bu Ria kemudian berpamitan untuk ke pasar mem
Janu menjemput putrinya di sore hari, setelah dia mampir ke tempat Yuwa dan mengobrol sebentar dengan pria itu kemudian dia bergegas pergi menuju agensi, menjalani rapat yang sesak dan serius, membicarakan banyak hal mengenai pembuatan lagu untuk album salah satu artis di agensi. Kali ini, Janu mendapatkan giliran mengisi dua lagu utama, maka dari itu dia diwajibkan mengikut rapat ini. Agensinya memang tidak pernah main-main masalah memilih lagu ataupun pembuatannya apalagi jika si artis adalah artis lama yang sudah memiliki banyak penggemar. Agensi mereka selalu mengutamakan kepuasan para penggemar. Obrolan dengan Yuwa masih tersisa di benak Janu termasuk pertanyaan laki-laki itu mengenai perasaannya terhadap Geya. Dia tidak bisa memastikan, masih terlalu dini, dia juga tidak tahu. Tidak mengerti. Keduanya belum pernah mengobrol dengan intim, membicarakan masalah pribadi misalnya. Geya masih menutupi banyak hal, obrolan mereka hanya berputar dari hobi, atau membicarakan rumah dan t