Share

Bab 2

Janu menatap kertas berisi tulisan yang mengatakan bahwa hampir seratus persen, Alba adalah putri kandungnya. Menghisap kembali rokok yang sedari tadi bertengger di antara jarinya dia menyandarkan punggung ke kursi sofa buluk, menatap langit, dia tidak pernah berpikir hal seperti ini terjadi di dunia nyata. Ya, sepengetahuannya ini hanya terjadi dalam novel. Seorang pria yang kedatangan seorang anak yang bahkan dia tidak tahu keberadaannya.

Sialan. Apakah ini benar-benar terjadi padanya? Mencubit kecil lengannya sendiri, Janu tahu ini bukan mimpi. Ini sebuah kenyataan, tapi dia ingin menghindari kenyataan yang tengah dia rasakan. Bagaimana mungkin dia memiliki seorang putri bahkan menikahpun belum? Oh ya okay, dia memang melakukan sex before married but hey semua orang melakukannya! Bukankah ini terlalu bodoh karena dia melakukannya dan tidak pernah mengetahui bahwa gadis yang dia tiduri hamil serta melahirkan seorang anak?

Ponselnya berdering ketika berbagai omelan mampir di benaknya.

Ibunya.

“Oh sialan.” Gumamnya sebelum akhirnya menekan tombol hijau, "Ya bu?"

“Nu, kamu sudah dapat hasilnya?" Janu bisa menebak ibunya mungkin jauh lebih resah dibanding dirinya, ah- tentu saja itu karena baru saja beberapa minggu lalu adiknya mengatakan bahwa ia hamil dan ibu serta ayah terburu-buru mengadakan pernikahan untuk si adik. Sekarang dia berulah dengan mendatangkan seorang anak kecil berusia 5 tahun yang mengaku, bukan hanya mengaku tapi memang pada kenyataan adalah anak kandungnya.

Dang! Ibu dan ayahnya mendapat cucu dua dalam setahun.

"Ya,"

"Bagaimana?"

Janu terdiam, menelan ludahnya sendiri, mematikan rokok dan meneguk sekaleng kola dingin, berharap bekunya es di dalam kaleng juga bisa membekukan otaknya yang hampir saja menyembul keluar.

"Alba anaknya Janu bu,"

Tak ada jawaban, tak ada helaan napas. Ibunya terdiam seperti patung di ujung telepon.

"Pulanglah dulu, mari kita bicarakan ini di rumah bersama dengan ayahmu."

Ibu memutus sambungan telponnya terlebih dahulu, Janu bahkan sudah tidak berpikir harus mengatakan apa lagi untuk membuat ibunya sedikit lebih tenang. Janu menengadahkan kepalanya, menatap langit yang mulai menguning, petang sudah datang. Suara pintu besi terbuka terdengar ketika Janu masih menatap langit, tidak perlu menebak siapa yang datang menghampiri dia sudah hapal betul suara langkah kaki orang tersebut.

"Seratus persen, uh?" Suara yang sudah Janu dengar sejak usianya 15 tahun kini berada tepat di sebelahnya,

"Kau tahu dari mana?" Janu bertanya, masih tetap menatap langit.

"Theo,"

Bahu Janu terangkat. Tertawa getir.

Si mulut ember itu, dia menyesal harus mengecek di Laboratorium dimana Theo bekerja. Laboran mana yang menyebarkan hasil laboratorium pasiennya? Hanya Theo Sadhana yang melakukannya.

"Cek grup W******p, dia memberitahukan hal tersebut pada yang lain."

Janu menoleh dan mendapati pria bertubuh kecil serta blonde di sampingnya tengah menyeringai sambil menatap penuh cemooh padanya.

"Sialan!"

Maga terkekeh sampai-sampai asap rokok keluar dari hidungnya juga, belum selesai tawa Maga, suara tawa lain terdengar dari belakang Janu.

"Oy bang! Gak sangka abang kejebak juga akhirnya!" Suara itu menggelegar diantara udara, Sadam menepuk bahu Janu dan darah Janu kini sudah terasa mendidih.

"Diamlah, ini bukan sesuatu yang bisa kalian jadikan lelucon!"

Maga dan Sadam sama-sama menatap Janu, "Kami tidak menganggap ini lelucon," Ucap mereka bersamaan. Janu menghela napas. Sahabat-sahabat sialan.

"Bukannya ini sesuatu yang mengejutkan? Kami gak pernah menyangka kau dan Millie benar-benar melakukannya," Maga berkata, Sadam mengangguk, "Kan abang tahu, Millie kayak gak ada minat sama abanng." Dan senyum cemooh itu terlihat lagi.

"Kami berpacaran selama empat tahun,"

"Wah, denger gak Dam?" Maga menyenggol lutut Sadam dengan ujung sepatunya sambil memiringkan kepalanya untuk menunjuk Janu.

Sadam terkekeh, "Millie benar-benar pintar menyembunyikannya."

Janu menyentuh keningnya, dia tidak ingin adu mulut dengan keduanya.

"Lalu, apa yang bakalan kamu lakuin?" Suara Maga mendadak terdengar serius, rokoknya telah habis, dia sedang menenggak bir kalengan sekarang.

"Entahlah, aku bahkan gak pernah berpikir untuk mengambilnya dan menjadikan dia bagian dari keluarga. Aku tahu dia anakku, tapi-"

"Tapi, bukannya dia akan diambil oleh pemerintah dari negara kalau ayah kandungnya gak segera mengadopsi atau mengasuhnya?" Sadam menyela.

"Aku tahu…. Hanya saja… Bukannya itu bagus? Dia akan dibiayai oleh pemerintah! Apa yang harus dipikirkan lagi? Hidupnya akan jauh lebih nyaman dibandingkan hidup denganku." Janu berkata, menjelaskan alasannya.

"Kau tidak percaya diri untuk mengasuhnya?" Tanya Maga.

"Oh yang benar saja sih Ga?”

"Kurasa bang Janu tidak memiliki kepercayaan diri," Sadam menimpali.

"Sialan, diam kau!"

Sadam dan Maga terkekeh.

Maga kemudian menyentuh tato di lengannya, dan tersenyum kecil. "Tahu gak, Nu? Kalau aku berada di posisimu, aku mungkin akan melakukan hal yang sama. Maksudku, lihat tampilanku, hampir di seluruh bagian tubuhku tertutupi tato, piercing, orang-orang menatapku takut karena ini semua. Aku sih, tidak akan memiliki kepercayaan diri untuk mengasuh seorang anak." Dia kemudian menatap Janu, "Tapi Nu, kamu gak berpenampilan sepertiku 'kan, kamu bekerja di sebuah perusahaan musik benefit dengan gaji yang lebih dari memuaskan, kamu punya rumah sendiri, dan apa yang anakmu butuhkan nantinya kamu bisa memenuhinya. Lalu, apa yang kamu takutkan?"

Janu terdiam, tidak menjawab pertanyaan Maga. Maga tersenyum kecil, menepuk bahu Janu dan berlalu dari duduknya. Sadam menatap Janu sambil terus mengunyah permen karet di mulutnya, "Tau gak bang, abang beruntung karena bekerja di balik layar, kalau aku yang mengalaminya aku bertaruh karierku di dunia perfilman akan hancur dengan berita semacam ini. Sadam yakin abang bisa berpikir jernih dan mengambil keputusan yang tepat."

Kedua sahabatnya tersebut pergi berlalu meninggalkan Janu sendirian, Sadam membuka pintu besi dan melihat Maga yang tengah bersandar di tembok dekat tangga menunggunya sambil berbicara di telepon dengan seseorang. Sadam tersenyum lebar ketika Maga menunjukkan layar ponselnya, wajah Yuwa terlihat disana.

"Kalian mengatakannya?" Tanya Yuwa,

"Ya, kak, kakak tahu 'kan aku aktor terkenal di Indonesia." Sadam berkata,

"Aku menghapal setiap kata dengan sangat baik, aku bertaruh seorang produser akan menawariku bermain opera sabun jika dia melihat aktingku." Maga menimpali, Yuwa tertawa renyah disana.

"Dia harus mengambil gadis kecil itu bersamanya, karena Millie menginginkan hal tersebut. Dia tidak ingin putri kecilnya masuk dalam penampungan meskipun masa depan Alba akan jauh lebih tertata disana. Millie merasa menyesal karena tidak bisa menjaga Alba sampai putri kecilnya itu beranjak besar."

"Kau masih berhubungan dengan Millie bahkan di akhir hidupnya?" Maga bertanya,

"Tidak, dia menghubungiku ketika Alba berusia dua tahun dan saat itulah dia tahu penyakitnya sudah sangat parah. Dia memberitahukan ku bahwa dia memiliki seorang anak dengan Janu, dia khawatir Janu tidak akan mempercayainya, dia takut Janu tidak menganggap Alba sebagai anaknya."

"Padahal, bang Janu orangnya sentimental…” Sadam terkekeh,

"Karena itulah aku mengambil cara ini lewat kalian berdua, dia tidak akan mendengarkan nasehat seperti ini jika keluar dari mulutku."

Ketiganya kembali tertawa,

"Lagipula, ayah Janu juga menginginkan Alba. Yah- bagaimanapun, gadis kecil itu putri dari anaknya."

Janu menatap kertas putih di tangannya, otak pria itu masih berpikir, mencari jalan dan keputusan terbaik untuk gadis kecil tersebut. Alba. Ini diluar perkiraannya, dia tidak pernah menyangka Millie tetap mempertahankan janin di rahimnya, sebelum mereka putus Janu menemukan hasil tespek positif di kamar mandinya. Janu bertanya pada Millie apakah itu adalah anaknya, namun perempuan itu menjawab dengan sinis bahwa dia tak akan melahirkan anak tersebut.

Dia tidak menginginkan seorang anak.

Janu dan Millie bertemu karena urusan bisnis, perempuan itu seorang composer sama sepertinya, jalan pikiran mereka sama, obrolan mereka cocok karena itulah keduanya terjalin dalam sebuah hubungan meskipun beberapa kali Millie kembali ke negaranya dalam waktu yang tidak sebentar. Jarak dan waktu tidak pernah menjadi permasalahan yang rumit bagi mereka sampai tespek bergaris dua itu di temukan oleh Janu, dia ingin menikahi Millie, namun Millie bersikeras menolaknya. Wanita itu tidak ingin menikah diusia muda.

Keduanya berpisah begitu saja, Janu beberapa kali mencoba menghubungi Millie dan mencari kabar terbaru mengenai wanita itu dari beberapa koleganya. Namun, hasilnya nihil. Bagai di telan bumi wanita itu menghilang begitu saja, bahkan dia tidak menulis ataupun membuatkan lagu untuk seseorang lagi. Ketika Janu pikir segalanya telah usai, tidak ada lagi yang bisa menghubungkannya dengan Millie, tiba-tiba gadis kecil ini hadir dan mengaku sebagai anaknya.

Pria itu menghela napasnya sekali lagi, seperti yang di katakan Maga, untuk menjadi orangtua dia tidak memiliki sesuatu yang memalukan. Well, dia memiliki beberapa piercing di telinganya namun tidak sebanyak Maga, dia tidak memiliki tato juga. Tidak seperti Sadam yang bekerja sebagai seorang entertainer, dia hanya bekerja di balik layar, dia hanya bekerja di dalam studio dan hanya namanya yang terpampang di beberapa album tidak dengan wajahnya. Maka, berita dia memiliki seorang putri tanpa menikah bukanlah sebuah skandal besar.

Lalu, apa yang dia khawatirkan?

Kariernya?

Waktu luangnya?

Atau menjadi orangtualah yang menjadi kekhawatiran terbesarnya?

Tentu saja, itu bisa menjadi faktor terbesarnya saat ini. Janu sama sekali tidak mengenal Alba, gadis kecil berusia empat tahun, dia tidak mengenal kepribadiannya. Bagaimana mungkin dia bisa menyetujui untuk mengambilnya bahkan nama panjangnya pun dia tidak tahu. Dia menghela napas sekali lagi, dia harus kembali berpikir di dalam taksi menuju kampung halamannya, dia harus bertemu dan membicarakan hal ini kepada kedua orangtuanya. Apa yang harus dia lakukan?

.

.

.

Ibu Janu masih mendengarkan putrinya berbicara di ujung telepon ketika gadis kecil bernama Alba itu tengah duduk sambil memakan semangkuk kecil puding mangga yang di bukakan oleh suaminya. Wanita tua itu sudah meninggalkan Alba disana untuk membereskan persiapan pemindahannya, orangtua tersebut yakin betul keluarga Janu akan mengambil cucu kecilnya.

"Jadi bu, kurasa jauh lebih baik kalau Alba memang ikut kita." Putrinya menyudahi pernyataannya.

"Kamu ngomong hal itu dengan sangat mudah, kamu pikir membesarkan seorang anak itu seperti membalikkan telapak tangan? Kamu juga sebentar lagi akan menjadi ibu, Nel dan akan merasakan bagaimana beratnya mendidik seorang anak. Lagipula, kita tidak membahas materi disini, ibu sangat yakin Janu bisa membiayai anaknya jauh lebih baik dari pemerintahan di negara anak ini berasal. Hanya saja, kamu tahu 'kan, kakakmu memiliki jam kerja yang tidak masuk akal. Dan lagi, dia masih sering mengadakan konser-konser dengan kumpulan penyanyi cepat yang tidak ada di televisi itu, apa namanya-"

"Huh? Kakak masih ikut dalam kumpulan rapper underground?" Tanya Ginel.

“Iya, itu… Dia masih sering melakukannya, dia akan pergi ke berbagai negara dengan mereka. Kamu tahu? Kakakmu pernah tidak pulang sebulan hanya karena ikut dengan para kumpulan anak-anak itu.”

"Rapper bu,"

"Iya, iya, Rapper, jadi, ibu hanya mengkhawatirkan bagaimana dia mengasuh anaknya sendiri. Kamu tahu jelas bagaimana kakakmu, dia bahkan tidak bisa membuat kamarnya sendiri rapi." Bu Felisya memijat keningnya sendiri, dan melirik sekali lagi ke arah Alba, "Tapi, semakin ibu perhatikan, Alba benar-benar mirip Janu ketika dia masih kecil."

"Idihl-"

"Yeh bener!" Dan tawa Ginel terdengar di ujung telepon, "Kalau begitu, ibu saja yang mengasuhnya."

"Jangan melucu, kamu tahu ibu dan ayahmu masih sibuk mengurusi penjualan rumah-rumah baru di daerah sini. Ibu tidak akan memiliki waktu yang cukup untuk menjaganya."

Ginel kembali melontarkan pendapatnya, ibunya mendengarkan dengan seksama.

"Lagipula nih Nel, si Alba berbicara dengan Bahasa Inggris anak usia empat tahun, ibu bahkan gak ngerti bahasa inggris orang dewasa. Ibu dan ayah kesusahan untuk mengartikan apa yang dia mau,"

Ginel kembali tertawa di ujung telepon.

Janu datang ketika ibu dan Ginel mengakhiri pembicaraan mereka di telepon, pria itu datang dengan membawa sebungkus donat panas di tangannya. Ketika ibunya bertanya itu untuk siapa, Janu hanya menjawab untuk dirinya sendiri walaupun pada akhirnya Alba yang menghabiskan semuanya.

Ketiganya duduk di ruang keluarga dan mengobrol dengan serius. Kekhawatiran Janu sama persis dengan apa yang ibunya khawatirkan, ini bukan masalah materi, tapi masalah waktu. Janu berpikir waktu kerjanya akan membuat dia kewalahan dalam mengasuh Alba, anak itu masih berusia empat tahun, mungkin dia bisa mengantarnya ke sebuah Daycare center di pagi sampai sore hari, tapi dia bukanlah orang kantoran yang akan pulang tepat waktu di jam yang sama. Jika pekerjaannya belum selesai, dia akan tetap di dalam studionya seharian bahkan semalaman.

Ibunya mengatakan jika sebenarnya dia tidak ingin Alba di bawa oleh orang-orang dari pemerintahan di negara anak itu berasal karena bagaimanapun, Alba adalah cucunya. Anak kandung Janu. Namun, dia juga tidak bisa berjanji pada Janu untuk menjaga Alba.

"Kau bisa meminta teman-temanmu untuk menjaga Alba bergantian, Maga kayaknya punya banyak waktu," Ayahnya kemudian berkata setelah terdiam sekian lama, mendengarkan istri dan anaknya saling berdebat mengenai Alba.

"Maga?!" Istrinya menatap suaminya penuh rasa terkejut ketika nama itu disebutkan, seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar, “Sayang, yang kamu maksud itu si Magani Yasodana putra pak Yasoa? Kamu tahu ‘kan apa kerjaan dia?”

"Tukang tato dia. Hanya penampilannya saja yang menakutkan, Maga gak seperti itu, aku tahu Maga sejak dia masih kecil. Aku juga mengenal kedua orangtuanya.”

Felisya memutar bola matanya setelah mendengar jawaban suaminya, oh tentu saja bukan cuma suaminya yang mengenal orangtua Maga. Dia juga mengenalnya, bahkan Felisya berteman akrab dengan ibu dari anak lelaki itu, hanya saja, Maga yang menjaga Alba? Di tempat kerjanya yang penuh rokok dan orang-orang setengah mabuk datang untuk minta digambari tubuhnya sendiri? Oh tidak….Membayanginya saja membuat bulu kuduk Felisya berdiri.

"Yuwa juga memiliki banyak waktu, dia tukang bunga, dia jago masak juga. Atau kau bisa meminta Javis untuk menjaga Alba di sasana tinjunya. Dia pintar dalam bergaul dengan anak kecil, ah- mungkin Rain? Dia memiliki Dance studio yang luas dan banyak anak-anak kecil disana, Alba bisa bergaul dengan mereka." Pak Abraham terus berbicara mengenai orang-orang yang akan menjadi alternatif Janu untuk menitipkan Alba jika dia benar-benar harus terjebak di dalam studionya.

Felisya terdiam begitu pula dengan Janu yang bahkan tidak bisa berkata apapun pada ayahnya. Keduanya tahu, ayahnya hanya ingin Alba dibawa oleh Janu maka dia terus meracau memberikan ide untuk siapa yang paling punya potensi bagus untuk menjaga Alba ketika Janu sedang sangat sibuk.

"Ayah hanya tidak ingin kamu menyerah untuk mengambil Alba, Ayah tidak ingin kamu menyia-nyiakan kesempatan ini," Akhirnya pak Abraham berkata, melirik Janu yang kini menatapnya. "Bukan karena aku sudah jatuh dalam pesona gadis kecil itu, tapi… kamu tahu, darah jauh lebih kental dibandingkan air. Sejauh apapun kalian terpisah, faktanya, Alba adalah anakmu. Dia anak kandungmu, Nu. Sebagai seorang ayah, kamu harus bertanggung jawab atas kehidupannya. Entah dia berasal dari sebuah kesalahan atau bukan, dia adalah harta satu-satunya yang kamu miliki suatu hari nanti. Seorang istri atau kekasih mungkin akan meninggalkanmu, tapi seorang anak…dia akan tetap berada di sisimu, walau suatu hari nanti dia pergi, dia akan tetap kembali. Karena, dia anakmu dan kamu adalah ayahnya."

Janu terdiam, dia bisa melihat punggung kecil Alba yang masih menatap layar televisi menonton kartun kesukaannya. Perkataan ayahnya benar, dia memang harus bertanggung jawab atas kehidupan Alba itulah mengapa sekarang dia sedang berpikir apa yang terbaik untuk gadis kecil itu. Dia tidak ingin Alba merasa kesepian jika dia terlalu banyak bekerja, dia tidak ingin Alba merasakan apa yang dia rasakan ketika dia masih kecil dan orangtuanya sibuk bekerja. Dia tidak ingin mengatakan hal ini pada ayahnya, tapi- ayah dan ibunya mungkin tidak pernah tahu bagaimana rasanya sendirian di dalam rumah ketika dia tumbuh sebagai seorang remaja. Janu hanya tidak ingin apa yang terjadi padanya terulang kembali pada generasi penerusnya.

"Aku akan mengambil Alba," Kata-kata itu kemudian terlontar dari mulut Janu hingga dia pun terkejut mendengar suaranya sendiri berkata demikian.

"Kamu yakin?" Ibunya bertanya,

"Ya, sebenarnya aku tidak yakin penuh untuk mengurusnya hanya saja, aku tidak bisa lari dari tanggung jawa sebagai seorang ayah. Seperti yang ayah katakan, bagaimanapun dia adalah anakku. Bagaimana mungkin aku meninggalkan anakku begitu saja kepada orang-orang yang tidak dikenal?"

Felisya menghela napas dan tak berkata apapun lagi. Janu berdiri dari duduknya, berjalan kearah Alba yang masih asik dengan televisi sembari memeluk teddy besar miliknya, pria itu berjongkok di depan Alba yang kini menatapnya.

"Hello, you know who I am?" Tanya Janu,

Gadis kecil itu mengangguk, “Janu,”

"Mowmy twell me aboufh you," Jawab Alba,

Mata Janu membulat mendengar jawaban Alba, dia tidak pernah berpikir Millie akan mengenalkan dirinya pada putrinya.

"Then, tell me who I am."

"Dad,” Jawaban itu terdengar ragu dengan suara lirih, "Mowmy said, youw are ma dad,"

Janu terdiam sejenak sebelum akhirnya senyumnya mengembang lebar dan menampilkan dua lesung pipinya sekaligus, dia tersenyum dengan sangat lebar sampai-sampai matanya hanya terlihat segaris saja. Dia menepuk lembut kepala Alba yang masih menatapnya tidak mengerti. Entah mengapa hatinya merasa sangat bahagia, mungkin itulah mengapa ketika nenek Alba meninggalkannya disini sendirian gadis kecil itu tidak menangis, karena Millie sudah menceritakan tentangnya pada Alba itulah mengapa Alba bertingkah seolah-olah ini adalah rumahnya sendiri ketika pertama kali datang. Memang anak ini tidak berjalan di sekitar dan tetap diam di sofa sambil terus memperhatikan Janu dan kedua orangtuanya, namun dia tidak menangis dan merasa asing berada disini. Millie. Dia benar-benar mempersiapkan segalanya, bukan? Dia seperti mempersiapkan pertemuan Alba dengan keluarga Janu hingga membuat anak ini tidak merasa canggung sedikitpun.

"So, Alba. its okay to stay with Dad for now?"

Alba terdiam sebentar dan kemudian mengangguk.

"Bwecause i can't meet mowmy anymoh, mowmy told me to stha wifh dad.."

Janu mengangguk, mengelus kepala putrinya sekali lagi. Dia yakin bisa menjaga putrinya, dia yakin bisa membesarkan putrinya seorang diri, gadis kecil ini adalah buah cintanya dengan Millie. Gadis yang dia cinta selama empat tahun dan membuatnya putus asa ketika pergi tanpa pamit sedikitpun. Millie. Dia mengirim gadis kecil ini padanya untuk selalu mengingatnya, mengingat keberadaannya, mengingat bahwa dahulu seorang Janu Krispala Wedanta pernah jatuh cinta pada seorang wanita bernama Millie Zeth.

"Can you tell me what is your name?"

Alba mengeluarkan kalung dari dalam bajunya, kalung dengan ukiran nama. Alba, Zeth.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status