Share

Bab 3

Janu membuka matanya, wewangian yang tidak terlalu familiar tapi mungkin akan menjadi sangat familiar baginya dalam beberapa saat kini mulai tercium lagi, wewangian yang lembut dan menenangkan, wewangian khas, wewangian yang bisa mengingatkannya pada seseorang, seseorang bermata biru cerah yang kini Janu dapati duplikatnya. Kedua mata itu tertutup hingga Janu bisa melihat bulu matanya yang panjang mencuat, dengan perlahan jari telunjuk Janu menelusuri pipi putih itu, lembut, nyata. Dan senyum Janu terlihat, senyuman seorang ayah yang tengah mengamati wajah tidur putri kecilnya. 

Alba.

*

*

*

Sebelum kedatangan Alba

Setelah Janu memutuskan membawa Alba untuk hidup bersamanya, dimulailah pengurusan surat-surat kepindahan Alba yang sangat panjang dan rumit. Anak gadis itu diajukan untuk memiliki dua kewarganegaraan, karena usianya masih sangat kecil sekarang. Janu ingin nantinya Alba bebas memilih kewarganegaraannya sendiri, tidak bisa egois karena bagaimanapun ada darah Amerika mengalir ditubuhnya, ada sanak saudara yang mungkin tidak akan lagi ada ketika Alba tumbuh dewasa namun setidaknya Alba harus tahu bahwa dia adalah bagian dari sana, jika nantinya anak itu memilih warga negara lain menjadi kewarganegaraannya, Janu rela. Jadi untuk beberapa saat Janu sibuk mengurus dokumen, pulang pergi ke Amerika karena bibi Millie tidak sanggup mengurus semuanya, dibantu oleh pekerja dari kedutaan Indonesia disana dalam sebulan akhirnya Janu mengantongi segala berkas yang mengizinkan anaknya tinggal bersamanya disini.

Janu juga mengganti nama Alba, orangtuanya berkata bahwa nama adalah sebuah doa, jadi mereka ingin menambahkan nama indah untuk Alba tentu saja atas persetujuan Janu. Janu menimbang, kemudian dia bertanya pada Alba apakah anak itu tidak keberatan, si kecil mengangguk saja. Tidak tahu apakah dia mengerti apa tidak, tapi pengurusan ubah namanya berhasil. Kini nama gadis kecil itu,

Alba Parvati Krispala.

Ibu Janu meminta Janu untuk membereskan rumah sebelum Alba kembali ke Indonesia dan menetap di tempatnya, namun pria itu sudah terlalu lelah untuk sekedar menyalakan Vacuum Cleaner dan membiarkan alat itu melakukan tugasnya. Jadi, dia hanya masuk ke kamar dan tidur di sela waktu senggangnya.

Terkadang rasa takut selalu menghampiri Janu ketika dia mengingat akan membesarkan putrinya seorang diri, ini tentu saja kali pertama dia berhadapan dengan anak-anak, dia tidak pernah terlibat sekalipun dengan anak kecil di sepanjang hidupnya, jadi memikirkan bagaimana nantinya dia akan bersama-sama dengan Alba selama dua puluh empat jam penuh setiap harinya membuat Janu merinding ngeri. Dia takut jika apa yang di lakukannya membahayakan putri kecilnya, semua orang tahu bagaimana Janu bersikap, semua orang tahu bahwa Janu adalah seorang pria ceroboh saking cerobohnya entah berapa kali dia membuat pintu-pintu dan laci-laci rusak hanya karena menyentuhnya, entah sudah keberapa kalinya dia mengganti pintu kamar mandi dan pintu kamar tidurnya sendiri karena ulahnya atau menyakiti dirinya sendiri. Jadi, dia benar-benar merasa takut akan melukai Alba.

Pikiran-pikiran buruk, rasa khawatir meliputi Janu setiap harinya. Ada kalanya dia bersemangat karena menyambut status baru yang akan di sandangnya begitu Alba tiba di Indonesia, namun dia terlalu sering merasa tidak sanggup menjalani peran seorang ayah yang baik untuk putrinya. Dan, satu bulan lalu ketika pada akhirnya surat permohonan dua kewarganegaraan Alba di terima, Janu mendapat panggilan saat dia baru saja hendak memejamkan matanya setelah tiga hari penuh terbangun untuk mengerjakan salah satu lagu milik penyanyi solo dari label musiknya. Dia bergegas penuh semangat ketika petugas kedutaan mengatakan dia harus menandatangani beberapa dokumen untuk pengesahan, jadi disinilah Janu sekarang menandatangani sejumlah berkas.

“Alba akan diberangkatkan ke Indonesia dalam dua hari, saya harap anda bisa menunggunya dengan sabar.” Ucap si petugas, tersenyum lebar pada Janu sambil memasukan berkas-berkasnya.

“Anakku akan berangkat seorang diri?” Tanya Janu kemudian, raut wajah khawatir terlihat dengan jelas ketika dia mengatakannya.

Petugas itu tertawa kecil, Janu jadi merasa malu karena tanpa sadar dia memanggil Alba dengan sebutan ‘anakku’.

“Tidak, petugas pengadilan dan kedutaan akan menemani putri anda dalam perjalanannya.”

Janu mengangguk kaku sebelum berpamitan pada si petugas, memikirkan bagaimana nantinya dia dan Alba tinggal bersama membuat dia sangat bersemangat, rasa takut yang beberapa hari ini menghampirinya mendadak menguap tak bersisa. Moodnya sedang sangat bagus sekarang, maka dia memencet nomor telepon ibunya dan memberitahukan hal ini, ibunya berteriak kegirangan disambut suara ayahnya yang terdengar jauh lebih bersemangat dari dirinya sendiri.

“Kau harus segera merenovasi kamar untuk Alba meskipun sedikit! Jangan membuatnya sedih karena kamarnya terlihat seperti gudang, anak perempuan sangatlah sensitive!” Ibunya berkata,

Dan Janu mengangguk seperti seorang bocah kecil, dia melirik ke arah jam di tangannya, jam makan siang sudah terlewati dua jam yang lalu. Dia merasa lapar namun tidak terlalu lapar, terdiam sejenak dia memutuskan untuk pergi ke studio tattoo milik Maga, dia akan meminta pria itu menemaninya berbelanja, lebih tepatnya mengantarnya dengan mobil karena sampai saat ini Janu belum memiliki surat izin mengemudi karena kedua orangtuanya tidak mengizinkan dia mengendarai mobil akibat tingkat kecerobohannya. Tidak perlu menghubungi Maga terlebih dahulu, dia langsung saja menaiki bus yang melewati studio sahabatnya tersebut.

Di dalam bus tanpa sadar Janu menggumamkan lagu-lagu miliknya sendiri, lagu-lagu sendu dengan tema kesepian dan rasa tidak percaya diri kini berubah menjadi lagu yang indah untuk dirinya, tidak akan ada lagi rasa kesepian yang menjalari hatinya, rasa rindunya pada Millie kini sudah tergantikan dengan sosok yang baru, sosok yang bahkan jauh lebih berharga dari hal berharga lainnya yang pernah dia miliki. Janu tidak pernah berpikir jika Millie akan tetap mengandung anaknya, padahal ketika tahu bahwa dirinya tengah mengandung Millie bersikeras untuk menggugurkan kandungannya, passion-nya pada musik tidak ingin membuatnya merasa terbebani dengan kehadiran seorang anak, dia tidak ingin memiliki keluarga, dia tidak ingin memiliki tanggung jawab akan apapun. Lalu, mengapa Millie tetap mempertahankan Alba?

Mendadak pertanyaan itu melintas di benak Janu.

Dia mungkin akan meluangkan waktu untuk membaca isi notes millik Millie, disana mungkin dia akan mendapatkan jawabannya.

Magani tertawa lebar sampai-sampai gusinya terlihat semua ketika Janu baru saja menginjakkan kakinya ke dalam studio, disana sudah ada Sadam, Rainer, Javis bahkan Theo yang sulit mengambil waktu luang untuk sekedar membalas pesan W******p -kecuali ada gossip hangat- duduk di sofa sambil memegang sekaleng bir. Entah darimana tapi mereka sudah mengetahui kabar bahwa Alba akan tiba dalam dua hari di Indonesia.

"Selamat kawan, kamu bakalan menyandang gelar baru begitu anakmu sampai di Indonesia!" Theo tertawa, melempar sekaleng bir pada Janu yang menangkapnya dan duduk di samping Sadam.

"Aku tidak tahu kalian sangat bersemangat dengan kedatangan putriku,"

"Oh!! Kalian mendengarnya? Dia mengatakan putriku dari pada menyebut namanya!" Sadam berkata membuat empat orang lainnya saling berseru dan tertawa meledek Janu. Janu memukul perut Sadam yang masih tertawa.

"Ini bagus, kamu melakukan tindakan yang bagus, Nu." Suara Yuwa tiba-tiba terdengar pria itu baru saja keluar dari kamar mandi sambal tersenyum menatap Janu dan berjalan mendekat.

"Aduh! Aku tahu deh, kak Yuwa ‘kan yang mengompori Sadam dan Kak Maga untuk mengatakan hal-hal menyentuh itu padaku?”

Yuwa melirik Magani dan Sadam, merasa ketahuan tapi ketiga malah mengangkat bahu bersamaan.

"Gak ada yang membocorkannya padaku, hanya saja, kata-kata indah seperti itu hanya keluar dari seseorang yang memiliki daya imajinasi tinggi sepertimu. Kakak pikir aku bakalan percaya bahwa kak Maga akan mengatakan hal seperti itu? Dia bahkan tidak peduli apakah harus berkencan atau tidak, yang dia lakukan selama ini hanyalah menyukai seseorang secara diam-diam."

Dan Janu mendapat tendangan tepat di tulang kakinya dari Maga setelah mengatakan hal itu, yang lainnya tertawa melihat tingkah keduanya.

"Bukankah ini berarti kita telah berubah? Kita sudah benar-benar dewasa sekarang." Ujar Rainer.

"Rain benar, lihatlah bahkan Javis sudah memiliki sedikit jenggot," Theo berkata, melingkarkan tangannya ke belakang leher Javis sambil memainkan dagu pria itu. Menggodanya.

"Kak Theo! Aku sudah besar!” Pekik Javis, dan sejurus kemudian keenam orang itu meledeknya.

"Aku ingat sekali pertama kali bertemu Javis ketika dia masih berusia 15 tahun, tubuhnya penuh dengan luka-luka, dia memakai jaket, tas, topi dan juga sepatu berwarna merah." Magani tersenyum, terlihat sekali memorinya melayang ketika dimana hal itu terjadi. Theo tertawa, "Benar, dan kak Maga membawanya seperti baru saja menemukan seekor anak kucing." Ucapnya.

"Saat itu, Javis benar-benar seperti kucing liar," Yuwa menambahkan. "Dia bahkan meneriaki kita yang mencoba mengobati luka-lukanya," Janu berkata di sela hisapan rokoknya.

"Kalian ingat apa yang dia teriakkan saat itu?" Rainer menatap kelima orang di depannya,

"Bajingan!" Ucap keenam orang itu bersamaan dibarengi derai tawa. Javis memajukan bibirnya, tidak suka, tapi dia tertawa juga mengingat betapa konyol reaksinya saat itu.

Sadam menepuk pundak Javis, "Melihat Javis sudah sebesar ini dan menjadi seorang petinju, rasanya aku bangga sekali."

Mereka kembali tertawa, kembali bercerita mengenai bagaimana satu persatu saling menemukan. Di mulai ketika Magani dan Janu yang saling bertemu karena kedua orangtua mereka saling mengenal, kemudian Theo, dilanjutkan Yuwa, dan tiga orang lainnya. Tidak ada yang pernah berpikir mereka akan sampai disini, tidak ada yang berpikir apa yang mereka lalui selama ini akan mereka tertawakan hari ini. Hal-hal menyedihkan itu kini bisa mereka jadikan bahan lelucon.

Saat itu, Janu tahu betul bagaimana sulitnya Javis untuk percaya pada orang lain, Yuwa tahu betul bagaimana susah payahnya Rainer membuka dirinya pada orang lain, jujur dan menyadari bahwa dia memerlukan orang lain, Maga tahu betul bagaimana perjuangan Theo lepas dari obat-obatan yang hampir merenggut nyawanya, dan mereka semua tahu betul bagaimana Sadam menaklukan rasa putus asa dan ketidakpercayaan dirinya yang mendadak luntur karena ulah orang-orang yang membencinya. Masa-masa itu telah mereka lewati bersama-sama, bertahun-tahun.

"Sebenarnya, kami berkumpul disini karena ingin membantumu," Tiba-tiba suara Maga menghentikan tawa keenam orang tersebut. "Kau pasti cukup kesulitan untuk mengasuh Alba sendirian, aku, kak Yuwa, Theo, Rainer, Sadam dan Javis sudah membicarakan hal ini. Kami tahu betul bagaimana pekerjaanmu, maksudku.. jadwal kerjamu yang tidak memiliki aturan. Jadi, kurasa, kami sepakat untuk menggantikanmu mengasuh Alba untuk sementara."

Janu terdiam,

"Biaya menyewa pengasuh sekarang cukup mahal, daycare juga tidak bisa menjaga Alba sampai malam. Lagipula, bagaimanapun, Alba juga bagian dari kami, dia anakmu, kami akan menjaganya seperti anak kami sendiri." Yuwa tersenyum,

"Jika kau benar-benar kesulitan dan tidak memiliki waktu untuk menjaganya, kami siap membantu!" Theo menambahkan.

Janu mematikan rokoknya, dia menunduk dalam, senyumnya mengembang. Benar, inilah mengapa dia yakin betul untuk mengambil Alba bersamanya, karena dia tidak sendirian, diluar keluarganya, dia masih memiliki keluarga yang jauh lebih solid, yang selalu ada untuknya dan siap kapanpun dia memerlukannya.

"Terima kasih, terima kasih sudah menerima Alba."

.

.

.

"Jadi, bagaimana? Aku harus ke toko mana?" Janu bertanya, keningnya berkerut dan dia kebingungan, menoleh kesana kemari dia jadi pusing sendiri karena Mall hari ini terlihat sangat ramai dan penuh sesak oleh orang-orang.

"ASTAGA JANU! Kamu bisa bertanya pada spg disana! Disana ada toko khusus penjual baju anak-anak, kalau tidak salah di lantai tiga, bacalah petunjuknya bodoh!" Yuwa membentak Janu di ujung telepon.

Janu menghela napas, bukan karena dia malu harus membeli baju untuk Alba hanya berduaan dengan makhluk mungil itu, tapi…..ya….. itulah yang sedang Janu rasakan.

"Alba ada bersamamu?" Tanya Yuwa, menengok ke arah Alba yang terdiam sambil memegang erat boneka kecilnya Janu menggumam untuk menjawab pertanyaan Yuwa. "Dengar, kamu gak boleh membiarkannya berjalan terlalu lama, kamu harus menggendongnya terutama jika kalian naik eskalator. Sebaiknya kamu menggunakan lift dan jangan turunkan Alba dari gendonganmu, mengerti?"

Janu bergumam sekali lagi menyetujui ucapan Yuwa, dia mematikan teleponnya dan memandang Alba. Menghela napas, pria itu berjongkok di depan Alba, ayah dan anak itu saling pandang. Janu merapikan mantel bulu berwarna merah marun yang Alba kenakan, dia juga merapikan rambut panjang Alba, bola mata biru cerah itu menatap Janu lekat-lekat.

"Kita, ngapain?" Tanya Alba dengan Bahasa Indonesia terbata.

"Hm, kita belanja baju. Alba ‘kan mau masuk sekolah.” Jawab Janu.

"Sekolah?"

"Iya, biar Alba tidak bosan dirumah saja, biar bertemu dengan teman.”

"Teman?"

Janu mengangguk. "Maka dari itu, Alba harus bersiap-siap untuk bertemu teman-teman."

Alba mengangguk kecil, Janu kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi dan memeluknya dengan erat. Dia menggendong Alba, seperti apa yang di peringatkan Yuwa, dia tidak akan melepaskan Alba sedikitpun untuk hari ini. Jadi, mereka masuk ke dalam lift dan menuju lantai tiga.

Janu mendudukkan Alba di dalam troli, ada begitu banyak jenis dan merk pakaian anak yang terpampang di lantai tiga. Melihat ke dalam contekan yang dia bawa dari rumah, Janu mulai berkeliling. Pajamas, Underwear, Shirt, Skirts, Socks, Leggings. Dia terdiam di depan jajaran rok-rok anak usia empat tahun, dia bahkan tidak tahu ukuran Alba jadi dia mengintip sebentar ke belakang rok yang kini di pakai oleh Alba, Janu asik memilih dan sesekali bertanya pada Alba apakah anak itu menyukai pilihannya atau tidak. Terkadang Alba mengangguk, atau menggeleng, terkadang hanya diam saja.

Setelah satu jam berkeliling, akhirnya Janu membayar semua belanjaannya dia begitu terkejut karena baju-baju Alba bahkan jauh lebih mahal di bandingkan dengan baju-baju miliknya. Ayah dan anak itu mampir ke sebuah restoran, Janu memesan makanan untuknya dan Alba, namun sebelumnya Alba meminta di buatkan susu. Beruntung, dia mendengarkan saran Yuwa dengan membelikan Alba botol susu canggih yang hanya perlu air panas, ditekan bawahnya dan kemudian susunya tercampur sempurna. Bocah itu mulai menyedot susunya dengan sangat lahap membuat Janu terkekeh geli.

"Kayaknya Alba harus berhenti meminum susu dari botol, ‘kan sudah besar." Ujarnya, makanan datang begitu Alba menyelesaikan susunya. Janu memisahkan udon ke mangkuk kecil untuk Alba makan dan anak itu makan dengan lahap, beruntungnya, Alba tidak terlalu pemilih untuk urusan makanan.

Janu tidak pernah mengira dia akan seluwes ini mengasuh Alba, ketika Alba pertama kali datang ke Indonesia seminggu lalu, dia sudah takut setengah mati, dengan gemetaran dia memeluk Alba yang berlari ke arahnya. Putri kecilnya masih mengenali siapa dirinya, Alba menatapnya dengan penuh minat, seperti benar-benar sudah mengenalnya sejak pertama anak itu lahir ke dunia. Janu mengelus kepala putri kecilnya kemudian berbisik, "Selamat datang." Dengan sangat lembut.

Hari-hari pertama membuatnya terkejut terutama ketika bangun dari tidur dan mendapati Alba tengah tertidur di sebelahnya, kamar Alba sudah dia persiapkan, bahkan dia mendesainnya dengan sangat cantik karena ibunya berkata bahwa anak perempuan sangatlah sensitif. Namun kenyataannya, setiap malam Alba selalu diam-diam masuk ke dalam kamar ayahnya untuk tidur bersama. Mungkin disana, Alba selalu tidur bersama neneknya karena itulah anak itu terus-menerus kembali ke kamar Janu untuk tidur bersamanya.

Untuk pertama kali dalam hidupnya Janu menggunakan microwave di dapur hanya untuk memanaskan susu yang akan dia campurkan ke dalam sereal Alba, dia takut Alba akan sakit perut jika susunya dingin. Janu juga mulai membeli bermacam-macam buah-buahan untuk dijadikan jus, dia membacanya di sebuah buku jika anak-anak akan menyukai berbagai macam jus dan itu bagus untuk kesehatan. Dia belum berani untuk memasak sendiri, maka dari itu untuk urusan makan siang dan makan malam Janu sering sekali mengajak Alba dari satu restoran ke restoran lain, dan beruntung sekali si kecil Alba tidak pernah mengeluh dan menolak makanan yang Janu pesan.

"Aku sudah mendaftarkannya," Janu berkata, telinganya menempel pada layar ponsel. Ibunya menelepon.

"Baguslah, kapan dia mulai masuk TK?" Tanya ibunya di ujung telepon.

"Besok, Janu memiliki jadwal yang padat sampai minggu depan jadi nanti kak Maga anter Alba ke daycare sepulang dari TK.”

"Kamu udah kasih tahu Alba kalau dia akan berada di Daycare sampai kamu pulang dari bekerja?"

"Sudah."

"Bagus Nu, ibu tidak pernah berpikir kamu akan secepat ini beradaptasi dengan Alba." Ujar Ibunya kemudian tertawa disana. Janu hanya terdiam, sibuk mengisi ulang mangkok Alba yang sudah kosong.

I wonder too.

"Alba makan dengan baik?"

"Dia sangat suka makan, dan susu."

"Susu? Dia masih menyusu?"

"Menggunakan botol,"

"Aduh Nu, sepeertinya kamu harus menghentikan kebiasaannya itu, itu akan membuat giginya jelek!"

Hm, kayanya gigi Alba baik-baik aja?

"Dengar? Kamu harus menghentikan kebiasaan menyusu dengan botol, berikan dia cangkir untuk minum susu."

Janu hanya menjawab dengan gumaman setiap ocehan ibunya. Dia belum memikirkan bagaimana mengasuh Alba dengan baik, sangat baik, namun dia tengah berusaha, berusaha agar Alba aman dan mendapat pendidikan yang baik.

"Ibu,"

"Ya?"

"Ibu melakukan hal ini setiap hari?"

"Apa?"

"Ketika aku kecil," Janu berkata, menatap Alba yang tengah mengunyah mie udonnya.

"Tentu saja," Jawab ibunya, pelan.

"Ibu pernah merasa lelah?"

Dan Janu bisa mendengar suara ibunya tertawa, "Kamu Lelah, Nu?" Dan gumaman terdengar sebagai jawaban. Ibunya tertawa lagi.

"Dulu,, setiap kali ibu melihatmu tertidur sehabis makan atau sehabis pergi bersama-sama ke suatu tempat, ibu merasa bahagia, karena ibu tahu kamu juga merasakan hal yang sama.”

"Aku bahagia,"

Dan Janu bisa mendengar suara ibunya tertawa sekali lagi.

Mungkin masih terlalu dini untuk memanggil Janu sebagai ayah yang hebat, namun dia tengah berusaha, berusaha menjadi sangat hebat di mata Alba. Berusaha menjadi yang terbaik bagi putri kecilnya.

"Alba, senang gak?" Tanya Janu, mencondongkan tubuhnya ke depan, menjajari mata Alba dengan matanya. Kedua bola mata bulat besar itu menatapnya. Alba mengunyah dan menelan udon di dalam mulutnya, dan untuk kali pertama Janu melihat senyum malaikat kecilnya, tanpa menjawab, hanya memberikan senyuman kecil, Janu yakin Alba merasa senang sekarang.

Jadi, dia mengelus puncak kepala Alba dan tersenyum pada bocah itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status